GoF #25: *LGBT


Perlu mikir dulu pas baca snapgramnya kak Jaba. Sesaat sempat mengira kak Jaba pro dengan LGBT (karena kalimat "menjadi yang semacam 'itu' bukan pilihan" which means jadi menyimpang bukan pilihan), namun ternyata enggak.

Ini snapgramnya kak Jaba yang udah kusalin:

Jadi pengen sharing sedikit hasil diskusi gue dengan sepupu barusan mengenai dunia perLGBTan

Kenapa di dalam kehidupan para ‘guy’ itu ada istilah bottom (guy yang memposisikan diri sebagai perempuan) sama top (sebagai laki-laki), ataupun ada juga yang versatile yang bisa jadi dua-duanya, tergantung pasangannya. Hal ini menunjukkan banget sebenarnya kalau sekalipun si pasangannya itu sejenis tetep aja representasi laki-laki dan perempuan tetap ada, kan. Ini fitrahnya manusia loh berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, sekalipun secara fisik jelas sama jenisnya dua pasangan ini, tetep aja masing-masing pengen punya pasangan yang saling melengkapi (makanya yang satu jadi perempuan, yang satu jadi lakinya).

Yang akhirnya gue berada pada titik kesimpulan, manusia itu nggak bisa lepas dari fitrahnya. Sekalipun lo udah melenceng pasti ada deh titik dimana lo nggak bisa seenaknya mengatur diri lo kayak gimana, tanpa balik lagi ke fitrah lo sebagai manusia.

Menurut gue, memilih untuk menjadi ‘yang semacam itu’ bukan pilihan, sejak lahir di bumi ini tugas kita cuma satu “jalanin aja.” Karena nggak ada sebenernya orang yang bener-bener nyaman jadi diri sendiri, sebelum kita menerima apa yang kita punya.

Gue rasa nggak semua perempuan lahir dengan menjadi feminim seutuhnya, sama kayak laki-laki, nggak semua dari mereka jago main bola, ada yang jagonya masak. Jadi yaa kalau cuma punya beberapa hal yang mungkin nggak sesuai dengan stereotipe gender yang ada, bukan berarti langsung nggak nyaman jadi diri sendiri trus “pindah barisan.”

Jadi ya, ketika lahir dengan fisik perempuan maka terimalah diri kita sebagai perempuan, dan sebaliknya. Itu langkah awal untuk identifikasi diri. Setelah itu pahamilah tanggung jawab kita sebagai perempuan apa, sebagai laki-laki apa. Itu jauh lebih gampang dibanding harus minta dilahirin lagi dua kali (coz its impossible).

Inget deh semua orang punya ujiannya masing-masing. Ada orang yang masih harus belajar jadi laki-laki/perempuan seutuhnya sesuai sama apa yang Allah mention dalam Al-Qur’an, dan nggak gampang mungkin buat beberapa orang karena alasan tertentu. Yaa barangkali itulah titik ujiannya. And you have to survive to something that it easy to others. Waw!



Itu yang aku tangkep loh ya, maksud kak Jaba tuh gini:

Jadiii, kalau nemu seseorang yang LGBT, do not judge them easily.

Pasti ada kok yang begitu bukan karena dia memilih untuk menyimpang.

Bisa jadi laki-laki atau perempuan tersebut 'gagal' dalam mengidentifikasi dirinya sendiri, makanya berakhir dengan tenggelam dalam dunia perLGBTan.

Mungkin bagi kita, menjadi perempuan atau menjadi laki-laki adalah sesuatu yang mudah dilakukan. Tapi bagi sebagian orang -like kak Jaba's said- they have to survive to something that it easy to others. Mereka bahkan harus survive untuk menjadi seorang perempuan atau seorang laki-laki.
.
Aku mau tambahin~

As a student who spend time learning about mental illness. There are three sentences that i don't like to hear too much in discussion forums.

(1) "Kamu mau anak kamu kayak gitu?"
(2) "Coba bayangin kamu punya anak yang kayak gitu."

Pertanyaan di atas tuh ngejleb banget. Maksudnya tuh apaloh?
Itu nanya atau nge-doa-in?
Nggak usah bawa-bawa anak.
you know nothing about the future, dude. 

.
(3) "Diceritain di al-Qur'an kalau bangsa Sodom yang punya penyimpangan seksual kena adzab."
.
Kalau nge-argumen pake kalimat itu, kira-kira bakal ngefek nggak di hadapan para nonis?

Untuk kalimat terakhir, meski aku kurang suka. Tapi aku setuju aja selama dipakai di kondisi dan situasi yang tepat.

Sedangkan untuk dua kalimat lainnya, huh.

Aku memang nggak pro dengan LGBT, secara Allah pasti punya alasan kenapa manusia diciptakan dengan dua gender. Tapi aku juga tidak bisa menerima begitu saja jika bertemu dengan manusia yang mengganggap LGBT adalah suatu kecatatan yang disgusting.

Tau nggak, kenapa kejahatan terus berkembang?

Sederhana aja.

"Mereka bilang kita jahat, yaudah mending jahat sekalian."

"Mereka pikir mereka baik dan kita buruk? Mereka sehat dan kita sakit? Yaudah kita bikin sakit aja."

Tentu saja setiap pelaku LGBT memiliki latar belakang yang ndak sama. Pola pikir yang berbeda.

Sebagai manusia, aku akan mendukung mereka yang berniat mengubah kegagalan menjadi keberhasilan dalam mengidentifikasi diri.

Kembali pada fitrah.

Masuk kembali ke dalam barisan.

07 Maret 2018
sumber foto: pinterest

2 komentar

  1. Aku pernah ngobrol juga sama temen masalah LGBT dan kelur dengan statement "Aku percaya perbuatan kaya gitu buruk, tapia aku nggak percayaca mereka harus diperlakukan dengan buruk (pula)"

    Jujur kalau aku sendiri masih milih diem diem aja kalau topik ini keluar. Mau buka suara takut salah jalur dikarenakan minim pengetahuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tandanya apaaa? Banyak membaca!😉
      Aku juga masih belum paham banget kok~

      Hapus