Pengingat #2: Memaknai Temu




Seperti ada sensasi hangat yang menjalar ketika membaca tanggapan dari seorang teman terhadap ketidakyakinanku akan sebuah pertemuan
X: Padahal kalau ketemu juga gatau mau ngapain.
Y: Kan tidak perlu alasan untuk berjumpa.
(( kan tidak perlu alasan untuk berjumpa ))



Hingga saat ini, kalimat tersebut masih terngiang-ngiang di kepala, mungkin emang terdengar biasa, tapi karena yang ngomong seperti itu adalah seseorang yang harus mengeluarkan usaha lebih banyak untuk ketemu aku, jadinya terasa beda.

Beberapa waktu lalu aku berkesempatan mengunjungi (kembali) Jogjakarta. Tempat yang biasa kusebut ketika ada pertanyaan "kamu asalnya dari mana?" Kunjungan yang super singkat karena hanya beberapa hari. Bertemu dengan berbagai macam teman (SD, SMP, SMA) dan dari sekian pertemuan tersebut, ada yang membuat beda karena satu sosok yang rela datang dari Solo di tengah kesibukan kuliahnya.

Aku tau, ada perjuangan di dalam perjalanan Solo - Jogja seorang diri dengan kendaraan umum. Perjalanan yang bisa jadi singkat, bisa pula lama.

Maksudnya tuh sebenernya gak perlu segitunya ya gak papa. Terharu, ada yang jauh-jauh datang untuk sebuah pertemuan yang hanya puluhan menit.

Kadangkala aku suka riweuh, sibuk mencari-cari alasan agar bisa berjumpa dengan seseorang. Padahal, justru ketika datang bertemu dengan alasan, esensi dari pertemuan tidak lagi sama karena ada urusan yang perlu dibahas.

Lagipula, bukannya tidak perlu alasan untuk berjumpa?

Meski hanya sekelebat waktu mengelilingi Malioboro Mall.
Meski hanya singkat, sesingkat menghabiskan satu porsi nasi bakar diselingi percakapan.
Meski mengembalikan kenangan, bercengkerama mengenai kehidupan asrama di SMA dengan ditemani oleh seporsi risol mayonnaise dan segelas es jeruk nipis.
Meski merepotkan, untuk menemani shofwa yang sudah lama tidak berjumpa dengan Gramedia.
Meski tanpa kehebohan, dan malah berujung dengan diskusi mengenai lingkungan kampus masing-masing.
Meski mendadak, menyisakan waktu untuk kakak tingkat yang sedang berada di kota yang sama.

Untuk sederet pertemuan yang terjadi dan segala kemudahan yang diberikan. Sebenernya sempat ada rasa takut yang mampir ketika hendak melakukan perjalanan untuk balik ke Sumbawa, takut jika pertemuan tersebut menjadi pertemuan terakhir (soalnya kok seperti dimudahkan gitu jalan untuk bertemunya).

Jadi aku lebih memaknai sebuah temu, pertemuan yang sebatas pertemuan, tanpa rencana apapun di dalamnya, tanpa tujuan apapun yang ingin diperoleh. Pertemuan yang dibiarkan mengalir apa adanya, yang diisi oleh piring, gelas, dan obrolan ringan.

/semacam nggak afdol bertemu tanpa kehadiran konsumsi/ /hehe/

Terkadang memang obrolan ringan yang dibutuhkan, untuk mengeluh menghilangkan penat, untuk bercerita tentang yang sedang diperjuangkan, untuk tertawa ringan, untuk bertukar kabar.

Jogja masih sama.
Dengan orang-orang yang membuat Jogja terasa familiar.

Sumbawa, 20 Oktober 2018.

0 komentar