Pengingat #1: Paman Pelukis


Futur itu fitrah, yang kedatangannya tidak dapat dicegah, dan kepergiannya tidak pernah abadi.

Akhir Juni, beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Ada satu amanah yang aku sepelekan dengan kalimat, “maaf ya masih suasana liburan jadi ya gimana.”

Alasan yang bisa dimaklumi, tapi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sayangnya, saat itu memang alasan tersebut dibiarkan. Akibatnya? Amanah terlepas.

Kata salah satu tokoh Conan yang namanya Chiba, "sekali kau sudah melanggar aturan, nanti itu akan jadi kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, akan sulit dihilangkan."

Pasca menyepelekan amanah yang berimbas kemana-mana hingga membuat orang lain turun tangan menyelesaikan amanah yang seharusnya menjadi kewajibanku, bibit futur mulai tumbuh perlahan dan menyerang aktivitas sehari-hari.

Serangan paling fatal: kuliah.

Ketika kegiatan perkuliahan telah dimulai, sebenarnya sadar kalau ada beberapa tugas (mayoritas berupa laporan) yang harus dikerjakan tanpa negosiasi. Sejak awal Juli, banyak sekali kelas kosong karena memang tidak banyak materi yang harus disampaikan di kelas. Rasanya kayak libur, tapi bukan libur, karena ‘libur’ ini seharusnya diisi dengan mengerjakan tugas.

Ketika grup kelas ramai membahas tenggat waktu pengumpulan, semakin sadar bahwa aku udah ketinggalan jauh, jauh sekali, seperti telah menjadi yang paling malas di kelas.

Setidaknya aku masih memiliki keyakinan bahwa tugas-tugas ini akan selesai, pasti selesai inshaAllah.

Kapan selesainya? Entahlah. Ketika ingin mengerjakan saat siang, berpikir waktu malam adalah waktu paling tepat untuk mengerjakan tugas. Ketika malam, berpikir kalau besok masih ada waktu untuk mengerjakan tugas. Motivasi untuk tidur sangat tinggi karena tidak ingin mengingat daftar tugas yang harus dikerjakan.

Gitu mulu. Alhasil jadi lebih sering bangun siang dan tidur cepat. Padahal itu tidak baik.

Padahal kalau lagi kesel atau marah, jangan dibawa tidur. Memori yang terkait dengan emosi ini akan membekas di alam bawah sadar dalam jangka panjang. Suatu waktu memori ini akan muncul lagi dan mengganggu mood atau kinerja. Makanya nggak baik dengan menggunakan tidur sebagai pelarian atas segala macam perasaan yang tidak bagus. Emang sih rasanya puas bisa tidur lama, tapi kepuasan tersebut hanya bersifat temporer. Seharusnya melegakan hati dulu, menghilangkan emosi negatif, mengingat pemikiran-pemikiran positif, baru tidur.



Sore itu aku mengantar sekaligus menemani seorang teman untuk rapat di kampus, dia sedang dalam kondisi yang tidak fit jadi daripada naik motor sendiri dan kenapa-napa mendingan ditemani.

Baik kan aku? Iyadong, menjadi manusia harus bisa bermanfaat bagi manusia lain.

Wkw.

Rapatnya selesai menjelang adzan Maghrib.

“Wa, kamu mau buka di mana?”

Aku memang sedang berpuasa.

“Indomart mungkin? Beli minum.  Eh, emang poli mata di RS buka kalau malam?”

“Nggak.”

Jadi tu, ada temen kontrakan aku yang lagi sakit mata. Aku nawarin buat nemenin periksa beberapa hari lagi, lalu mendadak temenku yang sakit mata minta tolong buat ditemenin malam itu juga sedangkan aku udah memiliki agenda. Makanya nyari tahu apakah ada poli mata atau dokter mata yang buka saat malam.

“Di Kimia Farma ada dokter mata tapi nggak tau prakteknya hari apa.”

Aku pikir Kimia Farma yang dimaksud adalah Kimia Farma yang lokasinya deketan sama tempat Cappucino Cincau. Buka puasa pakai capcin bukan ide buruk.

Waktu sampai di tempat Cappucino Cincau, penjualnya nggak ada, cuma ada seorang laki-laki dengan kaos hitam pendek dan celana jeans yang lagi duduk di kursi. Rambutnya sebahu agak panjangan dikit dan udah mulai beruban, ada tato di tangan kirinya.

“Penjualnya lagi sholat, tunggu aja.”

“Ooh, iya paman.”

“Dari mana?”

“Kampus.”

“Kuliah di mana?”

“UTS, paman.”

Agak awkward sih, apalagi Kimia Farma yang ada praktek dokternya ternyata bukan Kimia Farma yang deket tempat Cappucino Cincau. Mau langsung pergi tapi belum buka puasa.

“Mau liat lukisan?”

“Di mana?”

“Itu, di sebelah.” kata pamannya sambil nunjuk pintu yang terbuka sedikit, dari celah pintu aku bisa lihat ada lukisan di dinding.

“Boleh.”

Pamannya langsung berdiri, aku ngekor di belakang.

Ruangannya nggak luas, tapi panjang. Dindingnya penuh lukisan, lukisan kontemporer gitu. Aduh, aku ndak paham soal seni.

“Kamu kuliah jurusan apa?”

“Psikologi paman.” kataku sambil mengamati lukisan-lukisan yang ada, bingung mau ngasih komentar apa, “lukisan ini ada filosofinya nggak?” tanyaku sambil nunjuk sebuah lukisan.

“Ada. Revolusi air.”

Apa pula itu.

“Ohiya? (lukisan ini) mulainya dari mana?”

Nggak ngerti makna dari Revolusi Air tapi pura-pura ngerti, kalau revolusi kan pasti lukisannya bercerita tentang sebuah kejadian yang memiliki titik mula alias titik awal, ye nggak?

Tapi pamannya tidak menjelaskan, beliau malah nunjukin dinding di bagian belakang pintu, ada banyak coretan-coretan dari bolpoint. Coretan-coretan yang saling tumpang tindih.

“Ini ide. Saya tulis di sini biar nggak lupa saat lagi melukis.”

“Banyak ya paman coretannya.”

Nggak elok kali komentarku wkwk.

“Tokoh psikologi itu.... Sigmund Freud.”

“Wah, paman tau freud?” Aku terkejut dong beliau tiba-tiba menyebut nama bapak psikoanalisa, tapi sedikit maklum. Namanya juga pelukis kan, nggak heran kalau tau dengan tokoh psikologi kontemporer.

Melukis kan menuangkan perasaan, perasaan itu bagian dari jiwa, jiwa adalah satu dari sekian variabel yang membuat rumpun ilmu bernama psikologi ada. Kurang lebih seperti itu makanya nggak terlalu kaget dengan pengetahuan Paman Pelukis.

“Tau lah, kan pernah belajar. Ada Sigmund Freud, Jung, sama Adler."

Ternyata Paman Pelukis tau banyak.

"Yang pemikirannya tentang masa depan siapa?” tanya Paman Pelukis tiba-tiba.

“Hahaha wadu siapa ya, kalau Freud kan tentang masa lalu.”

“Jung? Jung tentang orientasi masa kini ya?”

“Hmm.. iyadeh kayaknya.”

Membenarkan meski tidak yakin, soalnya yang aku ingat tentang teori Jung hanyalah kepribadian Ekstrovert-Introvert dan 16 jenis tipe kepribadian bikinan Jung.

“Berarti untuk masa depan dipegang Adler?”

“Iya.. iyaa Alfred Adler.”

Masih tidak yakin tapi samar-samar teringat kalau teori Adler itu tentang ‘bayangan masa depan’.

“Tokoh-tokohnya Psikologi siapa lagi?”

“Ada Abraham Maslow, terus Ivan Pavlov, lalu.....”

“Pavlov itu dari Rusia? Apa dia mengambil bagian dari Revolusi Eropa Timur yang melahirkan Uni Soviet dengan paham Sosial Komunis?”

Aku cuma nyengir. Saat itu, satu-satunya ingatanku tentang Pavlov hanyalah eksperimen Stimulus-Respon menggunakan Anjing.

“Apa pemikirannya Ivan Pavlov? Ada hubungan apa antara Ivan Pavlov dengan Revolusi Eropa Timur?”

Lagi-lagi cuma nyengir sambil meratap dalam hati, "YaAllah ilmu aku sedangkal apasih sampe cuma bisa nyengir doang. Malu."

Didasari oleh rasa penasaran, setelah berpisah dengan Paman Pelukis, aku mencari tau dengan ngubek-ngubek google, dan pencarianku berakhir dengan kesimpulan bahwa Ivan Pavlov dengan Revolusi Eropa Timur sama sekali tidak memiliki hubungan. Ivan Pavlov meninggal tahun 1936 sedangkan Revolusi Eropa Timur terjadi pada tahun 1989. Revolusi tersebut bukan melahirkan Uni Soviet, tapi justru meruntuhkan Uni Soviet dan menghasilkan 14 negara baru.

Kalaupun mereka memiliki hubungan, palingan terjadi secara tidak langsung.

Dalam kurun waktu kurang dari 15 menit yang aku lalui bersama Paman Pelukis, aku harus menerima kenyataan bahwa empat semester yang hampir aku lewati ternyata tidak terlalu banyak menambah wawasan dan pengetahuan. 

Kelak, aku akan bertemu dengan orang-orang seperti Paman Pelukis, yang mengajukan pertanyaan dengan mendadak dan menguji pemahaman tentang pengetahuan serta wawasan umum yang dimiliki.

Kelak, aku nggak mau hanya mampu nyengir tanpa memberi jawaban. Minimal aku bisa menjawab secara gamblang pertanyaan-pertanyaan yang masih berhubungan dengan rumpun ilmu yang tengah kupelajari: psikologi.

YA MALU NGGAK SIH UDAH BELAJAR DUA TAHUN TAPI PAS DITANYA CUMA BISA NYENGIR DOANG?!



Kefuturan yang sekarang sedang dialami tidak bisa membuat keadaan lebih baik, malah bisa menjadi batu sandungan dalam perjalanan memahami berbagai hal. Semakin lama futur justru semakin membesarkan rasa malas dan menyuburkan prokrastinasi.

Terlalu lama berada dalam kefuturan bukanlah prestasi.

Udahan futurnya.

Mending minum capcin.

Sumbawa, 14 Juli 2018.

0 komentar