Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller

BTN Ent

Senandika

Terkantuk-kantuk aku menggoreng sebutir telur di dapur, kutengok layar gawai "oh masih jam 04.05, adzan subuh jam 04.24, masih ada waktu untuk makan ngebut," batinku sambal mengaduk telur menjadi orak-arik. Sembari menunggu cairan kuning berubah padat sempurna, aku menoleh ke arah luar. Dapur apartemen hanya dibatasi oleh pintu kaca dengan ruang tamu dan pintu ruang tamu yang menuju balkon depan memang materialnya kaca, jadi, ya, bisa langsung keliatan ada apa di luar.

“Langitnya udah agak berwarna? Sekarang matahari terbit lebih cepat kah?” pikirku heran, aku jarang memperhatikan perubahan warna langit saat fajar. Masih tidak merasa ada yang janggal.

Berkali-kali mengecek waktu untuk memastikan pergantian menit, aku membawa sepiring sahur ke kamar saat jam menunjukkan pukul 04.10, kulahap menu sahur yang sederhana itu dengan cepat. Aku bukan penganut paham ‘berhenti makan saat imsak,’ bagiku selama belum adzan maka tetep gas buat makan minum no need to stop. Mengucap hamdallah ketika berhasil menandaskan isi piring dalam waktu singkat, aku masih bisa minum dengan santai sembari menunggu subuh. Namun aku sedikit kebingungan ketika angka 04.24 muncul di layar.

“Hmm? Kok shuruq-nya 20-an menit lagi? Tumben cepet banget? Biasanya selisih satu jam dari waktu shubuh?” pikirku heran, aku langsung mengkalkulasikan kenapa jaraknya sedekat itu, lantas…

ASTAGHFIRULLAH

YA ALLAH

Astaghfirullaahalladziim

AKU SALAH LIAT JAM DARI AWAL!

Ketika aku mengira sedang menggoreng telur jam 04.05, nyatanya saat itu udah jam 05.05! Aku sama sekali nggak sadar, sepertinya karena fokus melihat menit sehingga sama sekali nggak ngeh dengan angka yang menunjukkan jam. Pantesan langit udah mulai berwarna!

Nggak tau hukumnya gimana (apakah bisa puasa? apakah nggak apa-apa? apakah puasanya batal?), tapi saat itu aku langsung wudu untuk salat subuh sambil tetap terheran-heran kenapa nggak sadar. Tetap memutuskan untuk berpuasa. Alhamdulillah atas rezeki sahur melebihi jam sahur(?)

foto: pagi 1 Syawal 1446 H

Begitulah momen sahur paling epik yang pernah kualami di ramadan perdana tanpa teman muslim yang tinggal bareng seatap, tahun pertama aku menjadi mandiri dalam menyiapkan sahur serta buka puasa. Ternyata sulit banget wkwkwkw cry, paling sulit ngurusin sahur, salut sama para ibu yang bangun dini hari untuk menyiapkan sahur keluarganya, salut untuk siapapun yang terbangun di sepertiga malam agar para penghuni rumah bisa langsung sahur begitu bangun tidur soalnya PUSING BANGET WEH MIKIRIN MENU SAHUR HUHU. Cuma bikin menu telur goreng aja bagiku udah butuh banyak waktu. Di bulan puasa kali ini, 95% menu sahurku sudah kusiapkan dari malam sebelumnya jadi hanya butuh dipanasin di microwave aja. Itu pun capek.

Capek atau males yha hmmmz, beda beda tipis lah.

Alhamdulillah ramadan di Brisbane mulainya di musim gugur, sempet khawatir karena saat musim panas subuhnya jam 03.41! aku nggak akan bisaaaa survive untuk sahur tiap hari kalau ramadannya di musim panas. Namun karena sudah masuk musim gugur, waktu subuh dan magrib tidak jauh beda dengan Indonesia, durasi puasa sekitar 14 jam. Masih normal. Apalagi hampir setiap hari waktu subuh mundur dan waktu magribnya maju. Subuh tanggal 1 ramadan pukul 04.21 dan magrib di 18.20. Saat 30 ramadan, subuhnya jam 04.39 dan maghribnya jam 17.48.

sc: pinterest

Sesungguhnya aku tidak banyak mencari tahu tentang kegiatan-kegiatan khusus ramadan di Brisbane, kayak… yaudah jalanin aja bulan puasa seperti biasanya(?) nggak perlu lah cari kegiatan tambahan, macam ko punya waktu untuk itu wkwkwk orientasi pikiranku adalah kuliah kuliah tugas organisiasi kuliah kuliah. Namun rasanya sayang bila nggak menambahkan ‘bumbu nuansa islami’ selama bulan suci, sehingga aku memutuskan untuk melakukan hal kecil dengan bergabung ke sebuah kepanitiaan bernama SERAMBI dari IISB.

Setiap tahun, Indonesia Islamic Society of Brisbane membentuk kepanitiaan SERAMBI (Semarak Ramadan di Brisbane) untuk menghidupkan suasana bulan suci di daerah minoritas muslim ini. Programnya beragam, ada tarling (tarawih keliling) yang mana panitia akan menyediakan ustaz kemudian membuka kesempatan untuk orang lain menjadi host/tuan rumah tarling. Berhubung tidak banyak masjid di area Brisbane dan sekitarnya sehingga kadang-kadang salat tarawih diadakan di rumah orang. Melalui tarling, aku jadi bisa merasakan buka bersama warga Indonesia di Caboulture, pun bisa berkunjung ke Gold Coast (bonus: melihat kondisi pantai Surfers Paradise paska siklon Alfred!).

SERAMBI juga mengadakan Grand Ifthar yang rencananya dilaksanakan di tiga lokasi (Griffith, QUT, dan UQ). Qadarullah saat jadwal di Griffith bertepatan dengan kedatangan siklon Alfred sehingga acara dibatalkan karena kampus tutup. Saat jadwal QUT, panitia tidak berhasil mendapatkan ruangan karena semua ruangan kampus difokuskan untuk kegiatan kelas pengganti akibat siklon. Alhamdulillah agenda di UQ berjalan dengan semestinya dengan dihadiri oleh sekitar 400-an peserta, angka yang melampaui eskpektasi panitia soalnya bertepatan dengan jadwal pertandingan timnas di Sydney. Kirain nggak bakal nyampe 400 orang berhubung banyak yang pergi ke Sydney untuk mendukung pertandingan sepakbola yang ujug-ujug hasil tandingnya 5-1. Ngomong-ngomong, hari ketika jadwal Grand Ifthar di UQ adalah hari yang padat untuk panitia! Ada 4 kegiatan lain yang perlu diurus: Islamic Parenting Talk, Pesantren Kilat Kids, Pesantren Kilat Teens, dan Tarawih Keliling di Sunshine Coast. Aku nggak akan ngomongin agenda-agenda tersebut supaya tulisan ini nggak bernuansa LPJ-an wkwkkw.

Di sisi lain, terlibat dengan beragam agenda SERAMBI membuatku tidak eksplor ke agenda ramadan yang diadakan oleh organisasi lain. Misalnya UQ Muslim Association mengadakan buber di kampus tapi aku tidak berpartisipasi (nggak tau infonya), UQ Muslim Chaplaincy mengadakan salat tarawih tiap malam di kampus tapi aku nggak pernah nyoba (bingung ngatur jadwal karena selesainya malam, perlu nyocokin sama jadwal bus dan kelas), beberapa masjid di Brisbane memfasilitasi I’tikaf di 10 malam terakhir Ramadan tapi aku tidak pergi iktikaf (niatnya kurang kenceng?). Keadaan-keadaan tersebut memunculkan niat melakukan eksplorasi jika tahun depan diizinkan untuk bertemu lagi dengan ramadan di Brisbane. Tahun ini ramadanku berfokus ke sosialisasi sama orang-orang Indonesia sajaaa.

Lantas, bagaimana dengan suasana Idulfitri?

sc: pinterest

Sesungguhnya tidak sulit mencari tempat salat Id, pilihannya banyak, termasuk kampusku sendiri. Langsung mikir untuk salat di kampus aja pas tau ada salat Id di UQ, nggak ribet mikirin transportasi dan seusai salat bisa langsung nongkrong di perpus(???), tiada tanggal merah di Idulfitri. Sempet selintas mau nyobain salat di daerah Springfield tapi tidak jadi kulakukan.

Aku berangkat sekitar pukul 6 lewat, janjian dengan kak Jannah di halte bus dekat UQ sign untuk sama-sama pergi ke lokasi salat yang mana merupakan parkiran mobil. Unik, ya? Salat di parkiran. Kami tiba pukul 7 pagi, situasinya masih sepi, di area perempuan baru ada satu saf yang terbentuk. Belum kerasa hawa-hawa lebaran soalnya sound system belum mengeluarkan suara takbir Allâhu akbar... Allâhu akbar... Allâhu akbar... Lâ-ilâha-illallahu wallâhu akbar. Allâhu akbar walillâhil-hamd.

Perlahan-lahan area parkiran ramai oleh kedatangan orang-orang dengan tujuan yang sama, satu saf perempuan berubah menjadu 2 saf, 3 saf, 4 saf… gatau deh totalannya jadi berapa baris. Tidak ada ibu-ibu yang muter sembari memegang sajadah buat tempat infak. Suara takbir nggak kedengaran (ntah telingaku yang bolot, suaranya kecil bangeeeet, atau emang nggak diputer). Eh tiba-tiba aja pada berdiri dengan posisi siap salat, oh wow sungguh membingungkan karena aku nggak denger arahan sama sekali.

Rakaat pertama… buset imamnya cepet banget bertakbiratul ihram. Beneran batinku baru mengucap ‘subhanallah…’ terus udah takbiratul ihram lagi. Baru kali ini aku salat Id dengan pace antar-takbir yang super singkat. Tapi bacaannya indah, jelas, enak didengar, mashaAllah. Saat rakaat kedua malah bikin bingung loading sesaat soalnya pak Imam langsung membaca alfatihah, nggak ada takbir berkali-kali. Waw, pengalaman baru buatku.

Sayangnya aku sama sekali nggak bisa mendengar khutbah Idulfitri:’) suara sound systemnya nggak gahar deh, terlalu kecil. Apalagi area ibu-ibu ntah kenapa jadi berisik sekali. Suara orang ngobrol, suara anak-anak, sulit untuk fokus mendengar apa yang disampaikan oleh ustaz yang sedang memberi ceramah.

Sehabis salat Id, aku dan kak Jannah pergi ke Merlo Café yang lokasinya berada di area kampus. Kami memesan kopi dan beberapa pastry untuk sarapan sembari ngobrol-ngobrol dikit tentang suasana berlebaran di Brisbane. Bagi kak Jannah, beberapa hari yang lalu ia sempat merasa biasa saja menyambut lebaran namun jadi terenyuh di malam takbiran ketika memutar takbir dari Youtube. Bagi aku, tidak ada kesedihan karena nggak berlebaran bersama keluarga, hari Idulfitri adalah hari yang akan kumulai dengan salat Id lantas kujalani seperti biasa karena ada jadwal kuliah, kemudian melakukan panggilan video keluarga di malam hari.

Bentar bentar, apakah ketiadaan agenda kumpul-kumpul dan ketiadaan ketupat adalah sesuatu yang mengenaskan? Kok macam menyedihkan kali konsep lebaranku yang sendirian ini wkwkw.

Tapi nggak juga.

During Ramadan, I reflected on WHY I did these things: the fasting, the tarawih, the additional deeds. I also wondered as Syawal approached, I don’t know what Eid al-Fitr is supposed to be, nor do I know how I am supposed to feel. Is Eid al-Fitr really Eid al-Fitr without rendang, opor ayam, ketupat, nastar? Is Eid al-Fitr really Eid al-Fitr without silaturrahmi?

Kuakui aku nggak terlalu punya keterikatan batin dengan Ramadan tahun ini. I mean, it has a sad side because I can’t gain multiple deeds anymore, which was the special opportunity of Ramadan. But people come and go, and the month also comes and goes. It's just a part of life (or time)????!" Begitupun dengan Idulfitri, it just the ends of the fasting periods and the starts of the new routine.

Maybe I am missing some parts about it. I do not know.

Salah satu hal yang aku suka ketika berpuasa di Brisbane adalah… kenormalan yang terjadi di sekitar? Aku nggak tau ini hal baik atau buruk, ya. Bagiku sih baik wkwkw. Ketika puasa, dunia di sekitarku berjalan seperti biasa. Restoran tidak mendadak berubah jam operasionalnya, tempat makan tetap ramai di waktu makan siang, orang-orang berjalan dengan memegang segelas kopi atau minuman lainnya. Hanya karena aku puasa, bukan berarti sekitarku harus memaklumi. Dan itu yang aku suka, aku tetap bisa ibadah terlepas dari ketiadaan dukungan lingkungan.

Di lebaran tahun ini, aku mendapatkan pesan-pesan spesial yang kehadirannya terasa hangat. Pesan berisi ucapan selamat berlebaran dari teman-teman yang tidak merayakan Idulfitri. Serta pesan yang ditulis secara personal dan dikirimkan melalui personal juga.

Tapi aku nggak banyak menerima pesan dari orang-orang yang merayakan Idulfitri. Dan sejujurnya, itu terasa seperti ironi.

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.

Selamat berhari raya.

shofwamn.

Banyak banget keraguan yang aku hadapi selama beberapa bulan terakhir, keraguan kecil keraguan besar keraguan jamak keraguan tunggal. Apakah adaptasi memang diselimuti oleh ragu? Dan bila memang benar, apa iyaaa harus datang bertubi-tubi? Bertumpuk-tumpuk? Belum selesai mengenyahkan satu ragu, muncul ragu yang lain, hadeh.

Lantas kucari serpihan-serpihan perhatian di dunia maya, mencari tanda-tanda kasih sayang yang mungkin berwujud pesan anonim, cuitan singkat, kiriman lagu, atau sebentuk potret dengan sinyal tertentu. Pencarian yang berakhir nihil.

Adalah harap yang terus membuatku untuk tidak berhenti mencari. Harapan agar bahagia, harapan akan kehidupan yang jauh dari bising isi kepala, harapan untuk hadapi segala keterasingan dengan tegar, harapan mendapatkan apa yang diinginkan.

Di sela-sela patah oleh masalah, kecewa oleh manusia, dan capai oleh asumsi. Tetap tertambat secara kokoh impian mencapai kedamaian. Kapanpun. Selalu.


Dua hari lalu aku menamatkan webtoon berjudul Muse on Fame, komik yang terasa seperti narasi sebuah film alih-alih cerita bergambar. Plotnya terlalu jauh dari realita dengan alur fluktuatif yang terlalu bergelombang dan jedar jeder bikin kaget.

Beberapa hari terakhir aku sibuk bertanya-tanya, apa mimpi orang-orang? Seperti apa hidup yang dijalani oleh orang-orang? Bagaimana mereka mengenyahkan perasaan kebas? Apakah mereka memiliki hasrat untuk terus bergerak? Ataukah menjalani hari seumpama cangkang kosong?

Banyak cuitan berterbangan di sebuah platform yang pernah disebut Twitter, cuitan-cuitan berisi pesan tentang milikilah hobi. Hobi yang akan menyelamatkan dari aktivitas monoton yang menjemukan. Di sisi lain, sebuah postingan berkata bahwa sebuah hobi, setidaknya, harus berkontribusi pada: menambah otot, menambah uang, atau menambah relasi.

Aku pusing.

Aku bingung.

Kepalaku berdenyut-denyut.

Perasaanku berkedut-kedut.

Hampa, hengkanglah.

Ini bukan tempatmu.


Menangis adalah bentuk dari luapan perasaan yang tidak cukup tersampaikan dengan kata-kata semata. Misalnya ketika kamu terlalu senang, kamu hanya bisa menangis, tangisan bahagia. Begitupula ketika kamu sedih dan mulutmu tidak mampu mengeluarkan suara, kamu hanya bisa menangis, tangisan lara.

Ada banyak jenis tangisan di dunia ini, tangisan bahagia, lara, menyayat hati, kebersamaan, kebencian, kemarahan, bahkan kehilangan.

Dan aku tidak tahu jenis tangisan apa yang sedang kulakukan.

Pada layar gawai yang tengah menampilkan wajah yang kumiliki, dengan penunjuk waktu menandakan rekaman telah dimulai. Aku berbicara, aku tercekat, aku menangis.

Sebuah cermin berdiri setia merefleksikan bayangan seorang gadis muda, di sebuah kamar kecil yang tidak kedap suara. Bersama dengan pantulannya yang tidak menghakimi, gadis itu tersenyum lemah, rapuh, seiring dengan air mata yang luruh.

Ia kalah, pada dirinya sendiri.


 

Hatiku membuncah tatkala melihat birunya langit, aliran sungai, lalu lalang kendaraan, gedung-gedung menjulang, pemandangan yang menuntut biaya tinggi bila keluar dari kantong pribadi. Brisbane dan daya tariknya yang indah membuatku terpesona, membuatku nyaman, membuatku termenung tidak percaya, kakiku telah menginjak tanah selain Indonesia. Betapa kagumnya Shofwa usia belasan tahun ketika melihat Shofwa saat ini.

Dalam upayaku untuk terus menjalani jalan hidup yang telah dipilih, di tengah gempuran sindrom impostor karena merasa ada banyak individu yang lebih layak berada di posisiku saat ini, di tengah rasa malu karena belum bisa menjadi mahasiswa yang baik, di tengah kebingungan akan implementasi dari ilmu-ilmu yang masuk dalam kepala, di tengah kesendirian yang perlu dihadapi seorang diri, mulai bersemi benih tawakkal bahwa aku, diriku, hanya perlu menyerahkan urusanku pada Allah, sang Maha Tahu.

Setelah kupikir, sepertinya aku tidak pernah konsisten dalam memberi dukungan atau penolakan. Semenjak aku sadar bahwa mengekspresikan perasaan ternyata merupakan hal yang sulit kulakukan, aku hanya berputar-putar di perasaan-perasaan yang sama.

Dan ketika aku tidak bisa mengidentifikasikan perasaanku sendiri, aku hanya akan memakai satu kata... aneh.

Aku merasakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Seperti ada yang salah, tapi aku tidak yakin. Ada yang tidak beres tanpa bisa kujelaskan.

Ada yang bilang, dewasa adalah ketika kamu tidak mempertanyakan pikiran orang lain. Ketika kamu memahami pola pikir orang lain yang berbeda denganmu.

Namun semakin banyak menemukan kejadian baru, semakin aku tidak mengerti pikiran manusia.

Terlalu kompleks, terlalu bertabrakan, terlalu unik.

Pun di sisi lain terlalu biasa, terlalu seragam, terlalu monoton.

Dan bila aku tidak bisa memahami kenapa seorang manusia memiliki suatu pemikiran tertentu, biasanya aku akan cukup dengan aku paham bahwa aku tidak paham.

#loh # gimana

Berhubung berpikir merupakan suatu aktivitas yang lumayan menguras energi, penting untuk bisa memiliki orang-orang yang satu frekuensi.

Agar penjelasan yang panjang dapat dipersingkat.

Agar bisa mengerti tanpa perlu menjelaskan.

Agar bisa berinteraksi dengan penuh pengertian.


Hasil pra-test IELTS di program Pengayaan Bahasa yang membuatku meringis malu pada diri sendiri karena di bawah perkiraan ternyata merupakan nilai rata-rata (agak bawah dikit) yang didapat oleh para peserta PB, nilai itu membuatku tergabung ke kelas berisi 12 orang yang terletak di lantai bawah tanah, kelas yang diberi nama dari seorang penulis sastra terkenal pada jamannya, kelas yang ketika mati listrik masih mendapat sedikit cahaya mentari dari luar, kelas bernama Austen.

Perasaanku berdebar-debar menghadiri hari pertama, ruangan kelasku tidak besar, aku melihat meja-kursi yang biasanya dimiliki oleh sekolah-sekolah bagus, dengan proyektor yang tergantung di dinding dan seperangkat sound system di atas meja guru. Sarana dan prasarana yang saat ini tidak mungkin ditemukan di sekolah negeri tempatku tinggal.

So classy, so professional, so intelligent.

Hari pertama, hari ketika sesi perkenalan pasti dilakukan, ada 11 murid yang datang hari ini, aku duduk semeja dengan teman kamarku (ALHAMDULILLAH KAMI SATU KELAS). Saat sesi perkenalan berlangsung, otomatis aku membuka buku catatanku untuk menuliskan informasi yang kudengar: Vanie, Yuna, Vivi, Jo, Jeje, Jannah, Dewi, Tami, Ina, Okta.

Ada perasaan excited yang menyeruak ketika bertemu atmosfir kelas, ini akan menjadi kelas pertamaku di mana aku menjadi minoritas. Dari 11 orang, hanya ada 3 orang muslimah berhijab.

Aku juga menulis universitas tujuan mereka: Sussex, Sorbonne, UNSW, UWA, Unimelb, Exceeter, Victoria, Adelaide, Göttingen, Sydney.

Melihat catatan yang kutulis, rasanya keren sekali membayangkan orang-orang yang sedang berada di kelas yang sama denganku kelak akan pergi belajar ke kampus-kampus terkenal.

Indeed they are cool people.

Dari 11 orang yang datang pada hari pertama, sekitar sepekan kemudian kami mendapat satu murid lagi yang baru datang: Ikun. Otomatis dipanggil kak Ikun karena beliau dosen, terus aku langsung wow kewren pol karena kak Ikun adalah dosen Psikologi TwT.

Pada pekan-pekan pertama, kebanggaan yang nggak pernah kusebut adalah aku bisa satu kelas dengan bu Lurah (kak Dewi), bisa satu kamar dengan ketua kelas (Vie), dan bisa satu kelas dengan psikolog (kak Ikun).

I think i am the luckiest.

Eaa self-proclaim wkwkwk.

Bila harus menceritakan tiap kisah dengan Austen selama PB berlangsung, nggak cukup hanya satu postingan saja jadi akan aku bagi kenanganku bersama Austen dalam poin-poin. Kalau di film inside out, bisa disebut core memories, kurasa inilah faktor kerekatan Austen dalam enam bulan kebersamaan kami di program Pengayaan Bahasa Inlingua.


1. Senin Berbatik

Sumbu keceriaan kelas Austen dipantik oleh kak Jannah, kak Dewi, Tami, dan Okta. Setidaknya keempat orang ini yang aktif bertanya di kelas dan sering nyeplos menanggapi ucapan tutor makanya kegiatan belajar-mengajar di Austen lebih hidup dengan kehadiran empat orang tersebut. Belum lagi keindahan pita suara orang-orang timur yang benar adanya, Ina akan menyetel lagu saat jam istirahat lantas mereka nyanyi bersama.

Iya, mereka. Bukan kita.

Soalnya aku nggak ikutan. Aku nggak bisa bernyanyi merdu.

“Guys, senin depan kita pakai batik atau tenun yuk.”

AKU GAK PUNYA BATIK. AKU NGGAK PUNYA TENUN.

Tapi kuy.

Ini Jakarta, ada martketplace. Butuh batik tinggal checkout.

Bukan hari batik, bukan hari pendidikan, bukan hari tenun nasional, bukan hari peringatan apapun. Pertamakalinya Austen berbusana dengan dresscode dan foto bersama.

Kok bisa? Kok bisa semua orang langsung bersepakat memakai batik?

Malam harinya mayoritas dari kami pergi ke bioskop untuk nonton Petualangan Sherina.

Random sekali alur kehidupan.


2. Kebun Raya Bogor

Bila batik masih belum cukup membuat heran, di pekan ketiga Pengayaan Bahasa. Austen jalan-jalan kelas ke Kebun Raya Bogor.

Baru tiga pekan bertemu, tiga pekan belajar di kelas yang sama, tapi sudah pergi jalan-jalan naik KRL ke Bogor. Hanya dua orang yang absen dari #TriptoKRB: aku dan Vi. Alasan kami serupa: ada urusan keluarga.

Dalam kisah Umar ra, khalifah kedua setelah Rasulullah saw. wafat. Beliau pernah berkata bahwa untuk mengetahui karakter seseorang maka lakukanlah perjalanan bersama-sama. Dalam perjalanan ada rintangan yang harus dihadapi bersamaan. pergi bersepuluh dengan style perjalanan yang berbeda bersama orang baru. Berapa budget yang perlu dipersiapkan? Makanan apa yang akan disantap? Transportasi apa saja yang digunakan?

Aku memang nggak ikut ke Bogor jadi harusnya poin ini nggak masuk core memories ku, tetapi kurasa trip ini juga yang membuat Austenian lebih mengenal sifat masing-masing.

3. Malam Barbeku

Gedung asrama yang kami tempati sekaligus tempat kami belajar. Lantai bawah tanah dan lantai satu difungsikan untuk ruang kelas, ruang akademik, lobby, dan ruang laundry. Lantai 2 dan 3 adalah kamar sedangkan lantai 4 berupa aula yang biasa kami sebut rooftop.

Setiap lantai kamar terdiri dari dua lorong, ndilalahnya pada lantai 3 lorong sebelah kanan dihuni oleh mayoritas anak Austen. Jadi kalau mau bikin sesi FGD tinggal pergi ke kamar sebelah, atau kalau liat ada banyak alas kaki berkumpul di depan pintu sebuah kamar, tandanya di dalam sedang banyak orang wkwk.

Aku lupa ide dari siapa, kalau tidak salah ide awalnya adalah mau nyobain all you can eat, kemudian idenya berubah jadi barbekuan saja di asrama. Aku tidak tahu urusan persiapannya (tim hanya setor uang patungan wkwk), yang jelas ada yang pergi ke pasar beli daging, beli sayur mayur, beli bahan-bahan yang diperlukan, ada juga yang bertugas nyewa kompor gas beserta peralatan barbeku, ada pula yang diminta untuk mengajukan izin ke ibu asrama agar kami bisa menggunakan area rooftop (diizinkan! Dengan batas waktu pukul 10 malam), maka tanggal 30 September, makan-makan Austen dilakukan.

4. Jalan-Jalan Impulsif

Ada sebuah taman hijau yang terletak di samping gedung asrama, hanya dipisahkan oleh sungai, bisa kami akses dengan berjalan kaki lima menit. Beberapa tutor memberi tahu kami bahwa ruang hijau di Jakarta adalah hal yang jarang, sehingga bisa tinggal sedekat itu dengan akses taman merupakan keistimewaan tersendiri yang nggak akan kami sadari bila nggak dikasih tahu, karena tempat tinggal kami semua adalah tanah yang masih banyak hutan dengan udara segar.

Pernah Austen jalan-jalan sore (SEKELAS) ke Taman Cattleya, lantas mengabadikan momen tersebut ke dalam sebuah konten video yang TIDAK AKAN AKU COBA LAGI KONTEN KAYAK BEGITU.

Pernah aku dan Tami menemani Ina yang jalan-jalan sore dan Vie yang olahraga lari, lantas mendadak kami memutuskan untuk pergi ke GBK yang kemudian berujung naik MRT ke blok M dan balik lagi ke asrama menggunakan halte TJ jalur malam.

Pernah pula di suatu sore yang tanpa pertanda apapun, Tami mengajak makan tteokbokki di area Jakarta Selatan. Ajakan yang disambut olehku, oleh Ina, dan oleh Vie. Kami berempat jalan kali ke Halte Harapan Kita arah Selatan untuk naik TransJakarta jalur 10H hingga blok M, lantas lanjut menggunakan bus jalur 6M menuju Jakarta Selatan, dua jam perjalanan untuk makan malam di tempat makan korea. Menu-menunya enak, kami semua kenyang. “Kenyang alhamdulillah,” kata Tami karena rasa lapar telah hilang tapi nggak begah.


5. Ulang Tahun

Suatu pagi di bulan Oktober, mendadak aku dimasukkan ke grup whatsapp yang ternyata punya misi untuk memberi kejutan ulang tahun ke Okta, si member kelas yang paling muda.

Pertama kalinya kami membeli kue ulang tahun dan sushi, pertama kalinya ada yang berulang tahun di kelas, pertama dan terakhir kalinya acara ulang tahun yang sukses dikonsep sebagai kejutan. Setelah Okta, nggak ada kejutan yang berhasil karena tiap orang yang berulang tahun sudah tahu kalau ada sesi makan-makan begitu kelas berakhir. Dari 12 orang member Austen, 8 orang dirayakan hari lahirnya. Nggak nyangka mayoritas Austenian berulang tahun saat periode Pengayaan Bahasa berlangsung.

Selain ulang tahun, kami punya #SnackCorner di bagian belakang kelas yang nggak pernah sepi. Ada beberapa jenis kopi, dari kopi arabica asal Papua yang mahal harganya hingga kopi bubuk dari salah satu kedai kopi terkenal. Ada beragam makanan oleh-oleh dari member yang pergi ke luar kota atau pulang ke rumah. Ada jajanan yang dibeli via marketplace. Perut kenyang, hati senang, belajar pun gampang.

#ApaIya #IELTSisnotEASY

6. Tahun Baru

Di bulan Desember, beberapa anak Austen memutuskan menghabiskan malam terakhir tahun 2023 di rumah kak Ikun. Aku salah satunya. Salah empatnya ada Kak Jannah, kak Yuna, Tami, dan Ina.

Kami berangkat dari asrama menjelang siang, ternyata kak Ikun kedatangan sepupunya dari Kupang yang sedang menginap karena ada jadwal kegiatan yang harus dihadiri.

Sore harinya pergi ke toko buah karena kak Jannah sudah lama ngidam makan rujak, setelah itu mengantar kak Yuna ke gereja sebelum pergi ke AEON untuk belanja bahan masakan. Pulang dari AEON menjemput kak Yuna, lantas balik ke rumah kak Ikun.

Kami menggelar tikar di ruang tengah lantas meletakkan panci berisi shabu-shabu, sushi yang dibeli, buah-buahan dengan saus rujak buatan kak Jannah sebagai menu makan malam terakhir tahun 2023. Sehabis makan sempat mengobrol sebentar tapi aku masuk ke kamar karena sudah ngantuk, bahkan tidak berpikir untuk bangun tengah malam saking capeknya ingin rebahan. Namun menjelang pergantian tahun mendengar letusan kembang api berkali-kali yang membuatku terjaga, ternyata semua orang masih terjaga lantas pergi ke luar rumah untuk merasakan sensasi tahun baru. Alhasil kami menghitung mundur 3...2...1 Selamat datang 2024! Di jalanan perumahan kak Ikun.

“Sa tidak nyangka akan tahun baruan dengan orang yang baru tiga bulan kenal,” komentar kak Yuna saat kami masih berada di tengah jalan yang sepi mencari spot terbaik untuk melihat kembang api.

Iya, ya, kenapa bisa begitu?

Baru tiga bulan kenal tapi sudah menginap bersama.

Baru tiga bulan kenal tapi rasanya sudah mengenal lama.

7. Support System

Aku sama sekali nggak pernah mengira program Pengayaan Bahasa yang aku ikuti akan berbonus mendapatkan teman-teman yang baik hati dan satu frekuensi. Memang dari 12 orang Austenian, tidak semuanya memiliki level kedekatan yang sama, namun tetap saja rasanya menakjubkan memiliki beberapa nama tambahan yang bisa masuk ke lingkaran pertemanan yang lebih dalam.

Meskipun sudah memiliki beberapa pengalaman tinggal bersama banyak orang di bawah atap yang sama, ada suatu hal yang baru kurasakan: ekosistem yang saling mendukung pada satu tujuan utama.

Saat masih bersekolah, setiap orang punya dorongan yang berbeda, ada yang serius belajar, ada yang mengincar nilai bagus, ada yang pengennya main-main saja, ada yang lebih suka memikirkan masalah percintaan. Saat masih berkuliah, setiap orang punya fokus yang berbeda, ada yang sibuk kuliah, ada yang menghabiskan waktu dengan organisasi, ada yang melakukan pekerjaan sampingan, ada yang menunda-nunda membuat skripsi. Saat di PB, setiap orang memiliki satu tujuan yang jelas: mendapatkan skor IELTS yang dibutuhkan untuk masuk ke universitas incaran.

Austen memperlihatkanku bagaimana yang terjadi ketika sebuah kelas diisi oleh orang-orang yang memiliki target yang sama tanpa adanya kompetisi. Austen memberikanku perasaan bahagia ketika melihat orang lain berhasil mengatasi kesulitannya dan mampu mencapai target tanpa membandingkan dengan hasil yang kumiliki.

Aku yang tidak senang berbicara, namun harus berbicara untuk sesi speaking. Aku yang buta grammar, namun harus memperhatikan grammar ketika sesi speaking karena nggak bisa berkonsep “as long as I understand, you understand, we understand, no need grammar.” Perlahan-lahan punya kepercayaan diri untuk berbicara, punya dorongan untuk meminta tolong ke teman agar membantuku latihan tanpa harus khawatir ditertawakan, punya semangat untuk belajar bersama di malam hari tanpa perlu mendengar ucapan berbumbu sarkas “ciyee belajar, rajin amat, pasti nanti nilainya bagus.”

Hari-hari terakhir menjelang penutupan Pengayaan Bahasa, Austen memiliki basecamp di sebuah kamar yang ukurannya cukup luas untuk menampung semua orang. Hampir setiap malam kami berkumpul, memang tidak lengkap, yang penting kumpul. Alasannya sederhana, berkumpul untuk makan bersama, untuk bercengkrama, untuk main kartu, untuk mendadak ngidam ngemil malam berujung GoFood.

Hari penutupan program Pengayaan Bahasa, salah satu tutor mengajak pergi, ajakan yang disambut oleh semua anak kelas karena tutornya termasuk tutor kesayangan. Kami pergi ke sebuah kafe, berniat makan malam bersama namun berujung saling memberi kesan-pesan untuk program yang telah kami lewati. Nuansa sedih yang tidak bisa dibendung lagi, tangisan-tangisan yang hadir dari perasaan tulus, dan sebuah janji yang terucap dari tutor. “kalau nanti kalian selesai studi, saya adalah orang pertama yang menyambut kalian di bandara.”

Sumpah aku penasaran, siapa yang kelak di masa depan nanti beneran akan dijemput oleh daddy Yos di bandara.


Sampai sekarang, aku tetap tertawa terbahak kalau melihat video anak-anak Austen yang konyol, random, kocak, adaaa aja tingkah lakunya. Tertawa geli mengingat bagaimana topik-topik sederhana bisa jadi bahasan panas di dalam forum group discussion. Tertawa malu bila teringat beberapa tingkahku yang kekanakan dan mudah sebal ke orang lain dengan masalah sepele.

Banyak sekali kenangan bersama kelas ini yang tidak bisa aku tulis semuanya, seperti aktivitas main pingpong di sela jam istirahat, mencari makan ke warteg di akhir pekan, bertahan hidup saat aliran air mendadak terputus karena mesin rusak, janjian menentukan tema warna untuk busana ke kelas selama satu pekan penuh, nonton film di kelas, belajar di rooftop, banyaaak sekali.

Sebuah kebersamaan yang cukup singkat, berdurasi hampir satu semester, di bawah naungan Inlingua. Sebuah kebersamaan yang tidak akan terulang kembali, tidak ada alasan untuk melakukannya. Sebuah kebersamaan yang, semoga, layak dianggap sebagai memori jangka panjang.

Untuk orang-orang yang mengajarkanku cara berteman.

Untuk orang yang memberiku pengalaman menjaga batasan hubungan pertemanan.

Terima kasih.

Salam hangat,
shofwamn.
Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  April (1)
      • Ramadan dan Idulfitri 1446 H
    • ►  Maret (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  September (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2019 (36)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (28)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes