Pengingat #5: Menyesal

kamu lebih memilih melakukan lalu menyesal atau memilih tidak melakukan lalu menyesal?

Sebuah pertanyaan yang muncul secara mendadak ketika tengah membonceng Ahda, di bulan Januari 2019.

Iya. 2019.

Setahun lalu.

Kok masih inget pertanyaan satu tahun lalu?

Tentu saja udah nggak inget, itulah fungsinya membuat memo di gawai. Ternyata tahun lalu aku membuat catatan dengan tajuk Pengingat #5: Menyesal. Sebenernya aku juga udah lupa pernah membuat memo tersebut, memonya kutemukan ketika sedang iseng bacain memo di gawai.

Catatan di memo isinya cuma judul dan sebaris pertanyaan doang. Nggak ada tulisan apa-apa lagi.

Pas banget aku lagi kangen sama Bianglala, kangen meninggalkan jejak tulisan di sini.



Penyesalan selalu datang terlambat, muncul ketika kenyataan ternyata menjadi lebih buruk dan tidak sesuai harap.

Aku bertanya seperti itu ke Ahda karena terusik oleh pikiran "apa iya lebih baik menyesal karena sudah memilih untuk melakukan sesuatu daripada nggak sama sekali?'

Kata orang-orang,"kamu nggak bakal tau sebelum mencoba."

Lantas, harus mencoba berapa kali?

Kata orang-orang. "kamu harus mencoba terus. Lama-lama akan terbiasa."

Bukannya sesuatu yang dipaksakan justru sudah memiliki akhir yang jelas? Yakni berakhir dengan tidak baik.

Ada beberapa ingatan yang ketika ingatan itu muncul secara mendadak, langsung membuatku ingin mengenyahkan ingatan tersebut. Kalau Pusat Penghapusan Memori benar-benar ada di muka bumi ini, mungkin aku sudah menjadi salah satu pasien tetapnya.

Ingatan tentang kejadian yang sebenernya memberiku dua pilihan, antara melakukannya atau tidak melakukannya.

Ingatan tentang kejadian yang menurutku memalukan, dan itu terjadi karena aku memilih pilihan "aku akan melakukannya!"

Terkadang rasanya seperti sebuah mimpi buruk yang terjadi di masa lalu.

(untuk kebaikanku sendiri, aku nggak bisa menceritakan dengan spesifik tentang kejadian yang aku alami).



Seringkali, munculnya  'penyesalan' identik dengan 'terjadi karena kamu memilih untuk melakukan sesuatu.'

Sedangkan 'memilih untuk tidak melakukan sesuatu' kadangkala mendapat stigma seakan-akan kamu tidak mau bergerak, tidak mau berubah, tidak mau mendapat tantangan.

Meskipun tidak selalu seperti itu.

Merupakan hal bodoh ketika aku menyesal setelah memilih untuk melakukan sesuatu, kemudian aku mendapatkan kesempatan lagi sehingga aku bisa memilih iya/tidak, dan aku tetap memilih untuk melakukannya, lalu kembali merasa menyesal.

Bodoh sekali.

Manusia memang tempat salah dan khilaf, tapi kalau melakukan kesalahan dan kekhilafan yang sama berkali-kali, namanya bodoh.

Tidak semua kesempatan yang kita terima merupakan ujian (yang mana tentu saja tidak melebihi kapasitas hambanya), kadang sebagian kesempatan itu adalah teguran.

Ujian diberikan, untuk menempa manusia.
Teguran datang, untuk mengingatkan manusia.

Artinya apa? Tidak semua kesempatan harus diambil dan dilakukan.

Gimana cara membedakannya?

Entahlah. Aku belum menemukan jawaban yang tepat. Namun ketika kesempatan itu adalah ujian, maka hubungan dengan Allah akan semakin dekat. Pun ketika kesempatan itu ternyata adalah teguran, hati merasa tidak tenang karena hubungan dengan Allah menjadi renggang.

Belajar sebagai seorang hamba yang peka terhadap pemberian Rabb-nya.

Sebenarnya ini perihal kadar penyesalan sih, kira-kira bakalan lebih nyesel karena memilih untuk melakukan atau memilih untuk tidak melakukan?

Dan untuk beberapa kondisi, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya.

Sehingga aku tidak perlu menyesal, tidak perlu berpikir 'seandainya...,'

Yang paling penting, aku tidak perlu membenci diriku sendiri walaupun hanya sesaat.

Sumbawa, 15 Februari 2020

0 komentar