Bertemu GuruTemanku #4: Hari-Hari di Tanjung Obit

Sebelum membaca dengan postingan ini dan malah kebingungan, bisa mengecek tulisan-tulisan sebelumnya:

Kita bisa memiliki pola rutinitas yang sama setiap hari, namun selalu ada peristiwa yang membuat satu hari dengan hari lainnya terasa berbeda. Pekerja kantoran dengan jadwal nine to five, pelajar sekolah dengan sistem pembelajaran daring, jadwal mereka sama namun setiap hari pasti ada cirikhas yang membuat hari itu berbeda.

Begitu pula dengan hari-hari di Tanjung Obit. Setiap pagi, kami bertiga (aku, Fida dan Zulfa) akan bangun saat alarm berdering tanda waktu subuh, kami mengandalkan alarm karena masjid tidak mengumandangkan adzan akibat aliran listrik yang sudah mati, setelah bangun lalu mengambil air wudhu di sumur, kami salat subuh di kamar, membaca al-matsurat, lalu bersiap-siap untuk mandi saat langit sudah sedikit terang. Kami selalu pergi bareng. Ke sumur bareng, makan bareng, berangkat sekolah bareng, pergi ke rumah tetangga untuk numpang kamar mandi pun barengan.

wudhu di sumur dengan cahaya flashlight smartphone

Meski di hari pertama ibu Kepala Desa sudah berpesan untuk datang ke rumahnya jika ingin ke kamar mandi namun kami tidak pernah pergi ke rumah om Pala (Om Pala = Julukan untuk Kepala Desa) karena kami selalu memakai kamar mandi di rumah mama Amsia (tempat tinggal kak Abdul selama penempatan). Sambil menunggu antrian mandi, terkadang kami ikut mencicipi sarapan yang sudah tersedia.

Batalon nane, ayo duduk sini,” ujar mama Amsia sembari membawa sepiring roti goreng buatannya ke meja makan.

Bahasa daerah yang dipakai penduduk Tanjung Obit adalah bahasa milik salah satu suku yang bernama suku Makian. I know it sounds like ‘umpatan’ in Indonesia but believe me, here we don’t spell Makian as Ma.Ki.An but we spell it Ma.ke.ang. Aku baru nyadar nama suku Makian itu cukup aneh didengar oleh telinga orang Indonesia yang tidak tahu kalau pelafalannya adalah Makeang. Suku Makian terdiri dari Makian Dalam dan Makian Luar yang memiliki bahasa daerah yang berbeda. Aku nggak tau apa saja perbedaannya karena aku hanya mendengar bahasa Makian Dalam selama tinggal di Tanjung Obit.

Jika dipikir-pikir, anak-anak Tanjung Obit punya kemampuan linguistik yang mengagumkan. Mereka tahu bahasa daerah yang dimiliki suku mereka, mereka mengerti kosa kata bahasa melayu timur yang jadi bahasa sehari-hari orang Indonesia Timur, dan mereka juga bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Aku diajari beberapa kosa kata oleh anak-anak, misalnya

Berenang (indo) = Batobo (melayu timur) = Yos (makian dalam)

Berkeringat = Basuar = Maposa

Jadi bersyukur sekaligus berterimakasih pada orang-orang yang sudah merumuskan Sumpah Pemuda dan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang satu.

Setiap kali menunggu antrian mandi di rumah Mama Amsia, kami akan ikut sarapan karena memang diajak untuk sarapan bareng, walaupun begitu, kami tetap akan meminum segelas teh hangat dan kudapan yang sudah tersedia di meja sebelum berangkat ke sekolah saat balik ke rumah mama Hayati.

suasana kelas tiga dan empat

Hari Kedua: Rabu, 31 Maret 2021

Tenggorokanku mulai menunjukkan gejala radang dan hidungku mulai mampet. Gawat. Ini kondisi yang sama sekali tidak kupikirkan sebelumnya. Nggak lucu banget sakit saat periode penempatan.

Good Morning~” sapaku begitu memasuki ruang kelas.

Selamat pagiii.”

Loh, bentar, responnya kok begitu. Sepertinya ada yang keliru dari cara ngajarku di hari pertama.

No, kalau kakak bilang good morning, kalian jawab good morning juga.

Memang sepertinya sudah menjadi hal wajar kalau tipe murid yang paling diingat adalah: 1. Murid pintar dan; 2. Murid sulit diatur. Aku belum menghafal nama seluruh anak muridku (ceileh ‘anak muridku’), padahal aku sudah menanyakan nama mereka satu per satu. Tapi ya… aku melupakannya begitu saja. Murid yang paling kuingat wajah dan namanya adalah Aditos, seorang murid laki-laki berkulit gelap dengan rambut sedikit kecoklatan tanda terbakar matahari. Dia mengejutkanku karena terang-terangan mengatakan kalau dia tidak mau belajar.

Kenapa tara mau?

Pamalas.

Tidak mau belajar karena malas. Terima kasih karena sudah jujur, Aditos.

Giliran aku yang bingung bagaimana cara agar Aditos memiliki keinginan untuk belajar.

Di hari  kedua akhirnya aku berhadapan dengan situasi yang kuharapkan tidak terjadi: murid menangis. Menangis karena ditempeleng oleh temannya. Menangis karena saling berkelahi.

Di hari kedua pula aku mendeklarasikan pernyataan secara pribadi bahwa murid yang bernama Aditos dan Agung adalah duo A yang paling sulit dibujuk untuk belajar dan berpotensi sebagai pemicu keributan di kelas. Aku tau mereka berdua sebenarnya bisa kok belajar, bisa tidak membuat gaduh, tapi mereka harus diperhatikan secara khusus (seperti belajar privat gitu, one on one). Sayangnya aku harus memberi perhatian ke 17 murid lain, jadi aku tidak bisa selalu mengawasi Aditos dan Agung.

"Waaaah, lagi menggambar? Gambar apa?" tanyaku saat menghampiri meja Julaiha dan melihat dia sedang membuat kelopak bunga di atas kertas menggunakan bolpoint, serta merta Julaiha langsung menutup buku tulisnya dengan tangan, bahasa tubuh yang mengisyaratkan "jangan lihat!"

Oke. Oke. Aku nggak lihat. 

"Nanti tunjukin ke kakak ya kalau gambarnya sudah selesai." Julaiha hanya mengangguk sambil tersenyum yang membuat matanya menyipit, selain Julaiha, ada beberapa murid perempuan yang juga sedang menggambar. Jika menggambar bisa membuat sebagian murid tenang, aku justru senang karena bisa lebih fokus menangani murid-murid yang tidak bisa duduk diam.

Baru ketika aku menutup kelas pagi, aku tau apa yang sedang dibuat oleh beberapa murid perempuan sepanjang sisa jam pelajaran.

Mereka menulis surat.

Surat. A letter. A letter for me.

Padahal aku baru dua hari mengajar mereka tapi sudah diberi hadiah surat. Entah dari mana mereka kepikiran untuk nulis surat, apalagi mereka memberi lipatan kertas itu dengan senyum malu-malu. (awww, my heart melts). Aku suka sekali surat pribadi, di tengah perkembangan teknologi yang membuat segalanya tertulis secara elektronik, surat yang ditulis di atas kertas tetap menjadi favoritku. Isi suratnya rata-rata sama, berterimakasih karena aku mau mengajarkan ilmu baru, bahkan ada juga yang memuji "kakak shofwa yang cantik sekali di dunia ini.'

Namaku ditulis dengan benar! 😆

Their letters really made my day❤💖

Sepulang sekolah tim Tanjung Obit bertamu ke rumah kepala desa, om Pala baru saja datang dari Bacan jadi baru bisa ditemui. Pak Ghazali juga ikut bersama kami. Di tengah obrolan, tiba-tiba mereka membahas tentang kelas yang aku pegang.

Kelas tiga dan empat memang kaflal, apalagi Aditos deng Agung,” ujar pak Ghazali yang sebelumnya sempat mampir ke kelasku untuk memarahi menasihati murid-murid karena berisik. Mungkin beliau melihat betapa kepayahannya aku saat di kelas.

Iya, hehe.” Selevel pak Ghazali saja sudah menyebut duo A kaflal, kata yang dipakai untuk mendeskripsikan perilaku seseorang yang kurang ajarnya udah kelewat batas.

Kalau dorang bakulai, pukul saja, tara papa,” saran pak Ghazali, “iyo, dorang tu memang harus dapa pukul,” tambah om Pala.

Hehehe.

Aku tidak tahu harus merespon apa, aku tidak setuju pada metode pemberian hukuman secara fisik namun memang itu adalah saran yang terlihat paling efektif untuk menghadapi kelas tiga dan empat, ah tidak, memang itu adalah saran yang sepertinya efektif untuk menghadapi Aditos dan Agung.

Kami tidak terlalu lama di rumah om Pala. Aku, Fida dan Zulfa pamit undur diri sebelum azan zuhur untuk balik ke rumah mama Hayati yang sudah memasakkan ikan kuah kuning sebagai menu makan siang. Jadwal makan siang di rumah mama Hayati memang jam setengah 12 siang.

Ma, di sini nggak ada pasar?” tanyaku saat menyadari kalau aku tidak melihat pasar di sepanjang jalan desa.

Tara ada.”

Terus kalau mau beli sayur gimana?

Beli di Bacan.”

Lalu ikan ini?”

Hasil mancing.”

Begitu mendengar jawaban mama Hayati, aku langsung mengerti kenapa menu lauk kami seputar olahan mie instant dan ikan. Dengan jarak 8 kilometer dari ibu kota kabupaten yang terpisahkan oleh laut, masyarakat Tanjung Obit tidak bisa setiap hari membeli sayur. Seusai makan siang, kami salat zuhur kemudian istirahat di kamar untuk mengumpulkan energi mengisi kelas sore.

swafoto di pinggir dermaga~

Padahal ketika di kelas pagi aku sudah mewanti-wanti, “untuk kelas sore, kalau ngoni tara mau belajar, tara usah datang.” Kutegaskan ke mereka, tidak usah datang jika tidak mau belajar, tapi tetep saja semua anak datang untuk kelas sore dan semua bikin ribut. Alhasil, sebagian besar waktu di kelas sore kuisi dengan main domikado. Baru beberapa kali main, sebagian besar murid sudah bisa menghafal angka satu sampai sepuluh dalam bahasa Inggris.

Domikado mikado eska, eskado, eskado bea beo, bea beo, cis cis, wan throw three for faif sik seven eigt nain ten.

Ngomong two yang terdengar seperti throw. Nggak papa~ yang penting mereka bisa jawab ketika kuacungkan tiga jari, lima jari, atau delapan jari sambil bertanya apa bahasa inggrisnya.

Malam hari kami tetap mengadakan kelas malam di rumah mama Hayati, tetap berfokus pada mendampingi anak-anak membaca sekaligus mengajari jika anaknya belum bisa membaca. Untuk evaluasi hari kedua, catatannya adalah,

First and second grade: the student already know to response ‘good morning’ and knowing basic noun (table, book, window, pencil, etc)

Third and fourth grade: the conditioin getting worse. Teaching alphabet from A~N and playing head-shoulder-knees-toes.

Fifth and sixth grade: It’s a good day~

kak Abdul bersama murid kelas satu dan dua

Hari Ketiga: Kamis, 01 April 2021

Are you happy? Are you happy?

Yes! Yes! Yes!

English makes me happy, English makes me happy

Yes! Yes! Yes!

Setelah memulai pagi hari ketiga dengan nyanyian baru, aku menuliskan beberapa kata benda yang sering dijumpai di kelas (wall, door, window, table, book, pen, etc) untuk mengenalkan kosa kata sederhana ke murid-murid. Untuk mengetes hafalan mereka, aku menghampiri meja paling kanan, tempat duduk dua murid laki-laki yang cukup kooperatif selama waktu belajar.

"Bahasa inggrisnya pintu?"

Kedua anak cowok itu hanya senyum sambil menggeleng.

“Coba lihat yang kakak tulis di papan tulis, bahasa inggrisnya pintu itu door.”

“Dol.”

“No, bahasa Inggrisnya pintu itu Door.”

“Dol.”

“Door.”

“DOL.”

Ebuset ngegas, aku suka semangat mereka dalam menjawab, tapi aku tersenyum miris di balik masker yang kupakai karena pelafalan mereka salah. Dan itu terjadi karena pelafalanku yang tidak jelas. Bagi kalian yang belum tau, pelafalan huruf R-ku memang kurang sempurna (tidak sepenuhnya ‘L’ namun juga bukan ‘R’ jelas. Di antara keduanya).

Ketika aku mendatangi satu meja, murid yang duduk di meja lain akan mengeluarkan suara berisik. Jadi aku beri tugas, “tulis nama kalian di buku, kemudian tulis pelafalannya dalam bahasa Inggris.

Misalkan: Julaiha. Ji-yu-el-ei-ai-eich-ei

Tugasnya cukup efektif membuat suasana kelas sedikit hening meski ada beberapa murid (yang tentu saja berjenis kelamin laki-laki) tidak mengerjakan tugas tersebut. Setelah tugas mengeja selesai, aku membagikan lembar latihan yang berisi operasi matematika sederhana berupa pertambahan dan pengurangan angka satuan. Latihan soalnya bolak-balik, di halaman depan penjumlahan dan halaman belakang pengurangan. Terdapat kurang lebih 60 soal di setiap halamannya. Aku meminta mereka untuk mengerjakan soal penjumlahan  yang ada di halaman depan.

Kalian isi aja sebisanya, nggak harus ngerjain semua. Kalau sudah capek ngerjain, kumpulkan.

Coba pikir, dimana lagi mereka menemukan pengajar sebaik diriku? Wkwk.

Aditos dan Agung langsung mengumpulkan kembali kertas yang kuberikan dalam kondisi belum ada coretan apapun. Oke. Aku terima dengan berpesan, “Jangan ganggu temannya dan nggak boleh berisik.

Seisi kelas langsung sibuk dengan kertasnya masing-masing, ada beberapa anak yang saling kerja sama (aku biarkan), ada anak yang tidak membawa pena (aku pinjamkan), ada anak yang malah mengisi halaman pengurangan (aku betulkan), ada anak yang menyerah setelah menjawab ¾ soal (aku terima), bahkan ada anak yang terlalu semangat sampai dia mengerjakan dua halaman bolak-balik (baru ketahuan waktu udah ngumpulin).

Ketika aku balik ke kantor, udah ada kak Abdul, Fida dan Zulfa yang sedang ngobrol dengan wakepsek. Aku ikut nimbrung, ternyata mereka sedang mengobrol tentang kondisi sekolah. Memang sekolah ini usianya udah tua, dibangun tahun 1980 oleh masyarakan lalu tahun 1998 dibangun oleh LSM (mungkin bangunan sekolahnya yang dibangun) tapi kondisinya tidak ada perubahan secara signifikan. Jumlah ruang kelas hanya lima, kelas satu dan dua digabung di satu ruangan, satu kantor, tidak ada perpustakaan, dua kamar mandi yang pintunya sudah rusak, dan jumlah pengajar yang minim. Namun highlight obrolan kami adalah mengenai  kepala sekolah yang belum juga terlihat batang hidungnya di hari ketiga program Guru Temanku berjalan.

Where are youuu bapak kepsekkkk~~

Lagi dan lagi, meski aku sudah berpesan ke anak murid jika tidak perlu datang ke kelas sore kalau nggak minat belajar namun mereka tetap datang. Tetap bermain di halaman sekolah saat kami baru datang dan beribut di dalam kelas. Memang tidak ada gunanya memberi pesan yang tidak dihiraukan, justru karena aku sedang berstatus relawan seharusnya aku menerima semua anak yang datang ke sekolah terlepas dari niat mereka.

Tapi gimana ya, aku hanya manusia yang masih tidak memiliki kemampuan sebesar itu untuk mengontrol semangat bermain para murid cowok yang di kepalanya hanya berisi berkelahi~ males nyatat~ mau main~ bahkan ogah belajar. Satu pekan untuk mengubah perilaku tersebut tentu saja hal yang mustahil, makanya aku berfokus pada beberapa murid perempuan yang tetap membawa buku tulis saat kelas sore.

Kebiasaan para murid Tanjung Obit adalah mengekor kami kemanapun kami pergi, saat kelas sore selesai, kami biasanya akan pergi ke dermaga untuk melihat matahari terbenam, jarak sekolah ke dermaga sekitar 400 meter. Saking banyaknya murid yang ikut pergi ke dermaga, rasanya seperti sedang menggiring massa wkwk, kedua tanganku juga selalu diincar untuk digandeng. Saat berjalan ke dermaga, aku mendengar cerita bahwa pak Ghazali datang ke kelas saat pagi hari (sebelum relawan masuk) lalu mengabsen anak-anak yang datang ke kelas sore dan kelas malam, jika ada yang tidak datang maka akan dapat hukuman.

Pantas saja pada datang semua :D ada ancaman di balik kedatangan murid-murid ke kelas sore dan malam.

Kelas malam hari ketiga dilaksanakan di balai desa karena ruang tamu mama Hayati tidak cukup menampung anak yang datang. Kami membawa tiga mini whiteboard dan satu kardus buku lalu membebaskan mereka memilih, mau membaca buku atau mau memperhatikan kakak-kakak relawan yang mengajar. Berhubung Fida menggunakan metode reward di malam sebelumnya dengan ngajak main Ludo kalau sudah selesai belajar, beberapa anak berkumpul di depan Fida. Kak Abdul dikerubungi oleh anak-anak kelas satu dan dua yang tidak kukenal. Aku? Aku juga ikut mengulas pelajaran yang sudah kuberi saat pagi hari dengan imbalan main domikado~ setelahnya aku menyimak bacaan beberapa anak untuk mengetes kemampuan membaca mereka. Zulfa sebagai dokumentator pun sibuk di balik lensa kamera.

First and second grade: -unknown- (kak Abdul tidak bercerita apapun)

Third and Fourth grade: Doing simple math, spelling name and basic noun.

Fifth and Sixth: there is no developing knowledge, just few of them have focus and some of them go out from the class without permission.

Zulfa di hadapan murid kelas lima dan enam

Hari keempat: Jumat, 02 April 2021.

Our mistake. Totally lost it.

Kami nggak tau hari ini tanggal merah, kenaikan Isa Al-Masih.

Saat tiba di sekolah, kosong melopong, ternyata sempat ada beberapa murid yang masuk namun kemudian dipulangkan oleh bu Aya karena tanggal merah.

Miskomunikasi.

Padahal kalau masuk juga nggak papa, lagian mereka udah libur lama bangett, masa ngeliburin diri karena tanggal merah

Alih-alih berpikir harus mengajar kapan dan apakah kelas sore tetap diadakan, kami malah sempat kepikiran untuk datang ke Kampung Baru dalam rangka mengunjungi rekan sesama relawan Guru Temanku. Namun gagal karena tidak ada transportasi yang bisa membawa kami ke Kampung Baru. Sempat berpikiran untuk pergi ke desa sebelah bernama Prapakanda. Namun akhirnya hanya wacana.

Gagal ke Kampung Baru, gagal pula jalan kaki ke Prapakanda. Kami menggunakan waktu kosong yang kami punya dengan melihat anak-anak Tanjung Obit memancing ikan di dermaga, ikut serta kak Abdul mengajar bahasa Inggris untuk pak Ghazali sembari bermain dengan anak-anak yang mengintil kemanapun kami pergi, serta mencuci baju kotor yang sudah perlu dibersihkan. Mama Hayati memasak menu istimewa untuk makan malam: telur dadar dan tumis kangkung! Yummy!😍Mengingat sayur hijau adalah barang langka, sepertinya tumis kangkung adalah sayuran hijau pertama yang kusantap semenjak tinggal di desa kecil ini.

Saat evaluasi malam, kak Abdul memberi tahu kami tentang jadwal para relawan tim Kampung Baru (yang mana sebenarnya merupakan informasi yang tidak kami butuhkan, sih). Ternyata di Kampung Baru ada empat jadwal kelas dan satu jadwal evaluasi. Kegiatan dimulai dari jam 8 pagi dan baru selesai pukul 12 malam. Berbeda dengan kami yang punya tiga jadwal kelas dan satu jadwal evaluasi, kegiatan kami juga selesai sekitar pukul 10 malam, kadang malah lebih dini jika evaluasinya tidak lama.

Anak-anak sedang membaca buku (atau melihat gambar di buku) saat kelas malam

We should be grateful because we have so many resist time.” Ujar kak Abdul setelah membahas jadwal Tim Kampung Baru.

(comparing one to another team, exception the condition and situation is unfair) tulisku di kertas yang kugunakan sebagai notula meeting.

And about our last night, we will make the competition for the student.

No, I disagree.” Sahutku cepat begitu mendengar rencana mengadakan kompetisi untuk malam terakhir.

Enak aja, nggak pernah ada omongan serius tentang kompetisi, ujug-ujug di h-1 malah ngasih instruksi ngadain kompetisi. Tentu saja saya akan menolak, hellow, I think the competition is nonsense.

We need to abcdef,” kak Abdul menjabarkan alasan-alasan mengapa kompetisi perlu diadakan.

If you want to make the competition. Go on. I will tell my students and encourage them to join it. But I will not doing anything related to the competition's preparation, because I disagree. Mr Ady said to us before that we can do whatever we want. And I disagree about the competition.

Kak Abdul diam.

Aku diam. 

Fida dan Zulfa yang sudah kelelahan juga terdiam.

bersambung…

0 komentar