Bertemu GuruTemanku #5: Saatnya Berpisah [selesai]

Sebelum membaca dengan postingan ini dan malah kebingungan, bisa mengecek tulisan-tulisan sebelumnya:



Hari kelima: Sabtu, 03 April 2021

Sepertinya metode paling efektif yang bisa kuberikan adalah belajar sambil bernyanyi. Dengan waktu yang hanya lima hari, mustahil mentransfer ilmu melalui catat-mencatat dan tanya-jawab. Aku yakin para murid kelas tiga dan empat akan melupakan materi yang kuberikan begitu saja, menguap tanpa bekas. Beda halnya jika mengajarkan mereka lagu, pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang senang bernyanyi. Maka di hari terakhir, aku ajarkan satu lagu baru untuk mereka.

Walking walking, walking walking

Jump! Jump! Jump!

Running running running, running running running.

Good morning.

Selain itu, aku ajarkan pula satu yel-yel yang amat terkenal semasa aku kuliah

Ji-double O, di-ji o-bi, Good Job, Good Job, Aseekk

Good Job, Good Job, Asekk.

Rutinitas seperti biasa, pagi hari ke mama Amsia untuk numpang mandi, berangkat sekolah, jam 10 pulang, mampir di dermaga sampai jam sebelas, balik ke rumah, makan siang, tidur atau istirahat, bangun saat asar, kelas sore, selesai kelas sore main lagi di dermaga sampai petang, salat magrib, makan malam, salat isya, kelas malam, evaluasi, tidur.

Bedanya, saat hari terakhir aku tidak memberikan materi baru pada siswa siwi kelas tiga dan empat yang aku ajar selama berperan menjadi guru sementara di satu-satunya SD yang dimiliki desa Tanjung Obit. Aku hanya menulis lirik lagu yang baru aku berikan, membiarkan para siswa mencatat lirik lalu menyanyi bersama-sama, bermain domikado dan ular panjang di dalam kelas. Lalu aku juga memberitahu kalau kelas sore akan diadakan di balai desa lalu malamnya akan ada acara perpisahan kecil-kecilan.

Malam sebelumnya ketika aku menolak membuat perlombaan, terjadi jeda yang cukup lama karena Fida dan Zulfa tidak terlihat berminat untuk memberikan opini, kak Abdul juga mendadak diam, mungkin tidak menduga akan menerima penolakan. Akhirnya kak Abdul nanya, “why you do not agree?

Sebenernya aku nggak setuju karena… males.

Wkwkwkw.

Memikirkan harus menyiapkan materi lomba, menjadi juri, menyiapkan hadiah, membujuk anak-anak supaya mau ikut lomba (ini paling sulit) (nggak semua anak punya keberanian untuk tampil di depan), apalagi dengan personil relawan yang hanya 4 orang dan tidak ada dari kami yang memiliki pembawaan layaknya pembawa acara yang asik nan seru. Plis aku gak siap malam terakhir di Tanjung Obit berakhir dengan krik krik membosankan. Lagipula mengadakan lomba sebagai ajang penutup misi relawan bukanlah pilihan yang tepat. Setelah hampir sepekan terakhir melihat anak-anak Tanjung Obit, aku rasa mengadakan perlombaan tidak tepat karena kami hanya berada selama enam hari di Tanjung Obit lalu aku tidak mau tertanam pemikiran, “wah ada kakak-kakak yang mengajar bahasa Inggris dalam waktu singkat lalu sebelum kakak-kakak pergi, mereka bikin lomba,” di benak mereka. Aku nggak mau muncul pola pikir kalau belajar bahasa Inggris nanti ujung-ujungnya kompetisi, kalau ada relawan yang datang ke sekolah mereka, pasti ada kompetisi. Aku maunya kami –sebagai relawan GuruTemanku– meninggalkan kesan yang menyenangkan jadi jika suatu saat kami kembali lagi ke Tanjung Obit, anak-anak nggak berekspektasi dengan adanya lomba.

Learning should be fun activities. Memang ada pertimbangan untuk membuat kompetisi soalnya anak-anak tidak punya jiwa kompetitif, namun aku rasa mengadakan kompetisi kecil-kecilan tidak membuat sisi kompetitif anak-anak mendadak muncul simsalabim aku suka berkompetisi! Jadi daripada membuat perlombaan di hari terakhir, sepertinya akan lebih berkesan jika diadakan saja kegiatan semacam malam keakraban dengan penampilan dari anak-anak Tanjung Obit. Apalagi kami belum menyiapkan hadiahnya dan di Tanjung Obit hanya ada warung jajanan.

Mau ngasih hadiah jajanan? Buat apa.

Karena aku menolak, aku harus memikirkan alternatif kegiatan lain, akhirnya aku memberikan ide untuk membuat acara perpisahan saja. Lalu kami juga masih punya persediaan kertas untuk mewarnai yang belum sempat diberikan karena sekolah libur sehari gara-gara peringatan kenaikan Isa Al Masih. Lalu kegiatanyang bisa dilakukan saat acara perpisahan dapat diisi dengan mewarnai bersama lalu penampilan dari masing-masing kelas, foto bersama, dan diakhiri memberikan snack ke anak-anak. konsepnya make it simple yet still meaningful.

Makanya alih-alih memberikan materi baru di hari terakhir, aku mengajarkan lagu baru di kelas 3 dan 4 supaya mereka bisa tampil menyanyi di acara perpisahan wkwk sambil menyelam minum aer.

Kelas sore berjalan menyenangkan, balai desa yang kami gunakan adalah bangunan semi outdoor yang letaknya dekat sekali dengan dermaga, angin sepo-sepoi dengan aroma laut tercium selama sesi kelas sore berlangsung. Fida dan Zulfa mengadakan sesi belajar dengan reward main Ludo, kak Abdul membuka sesi belajar mengeja alfabet dalam bahasa Inggris, aku dan white board kecilku memberikan sesi menyanyi. Kami juga membawa buku bacaan ke balai desa jadi anak-anak bebas mau bergabung di sesi siapa atau mau baca buku saja.

Seusai kelas sore, aku, Fida dan Zulfa pergi ke warung untuk membeli konsumsi kecil-kecilan dan untuk malam perpisahan, lalu kami buru-buru kembali ke rumah karena azan magrib sudah berkumandang karena kami memutuskan mau salat di masjid untuk pertama dan terakhir kalinya selama menjadi relawan di desa Tanjung Obit.

Malam perpisahan dimulai ba’da Isya, sudah banyak anak yang ada di balai desa ketika tiba. Tanpa banyak basa basi dan buang-buang waktu, kami langsung mengondisikan anak-anak lalu langsung membagikan lembar-lembar bergambar untuk diwarnai menggunakan crayon, karena crayon yang kami bawa terbatas jadi sempat ada kericuhan ketika anak-anak saling berebutan warna tertentu, but so far so good.

Sekitar satu jam kemudian, kami memulai sesi pertunjukan karena semua anak sudah selesai mewarnai. Hanya ada tiga pertunjukan yang akan dibawakan oleh siswa kelas 1&2, siswa kelas 3&4 serta kelas 5&6. Seperti yang sudah aku duga, masih banyak anak yang malu-malu ketika mendapatkan atensi saat hendak memberikan penampilan, apalagi kelas 3&4 yang biasanya ribut di kelas mendadak jadi super pendiam dan shy shy cat. Nggak bisa bayangin kalau misalnya jadi bikin lomba, pasti jatuhnya gak seru dan super krik krik.

barang bawaan kami

Hari keenam: Minggu, 04 April 2021

Katinting atau kapal kecil yang bertolak menuju ibu kota kabupaten berangkat sekitar pukul delapan pagi, begitu kami sudah selesai siap-siap dan membereskan barang bawaan, ternyata ada beberapa anak perempuan yang sudah menunggu di depan rumah, mau ikut mengantarkan kami ke dermaga

Berhubung hari ini harilibur jadi dermaga cukup ramai dengan orang-orang yang memancing, atau hanya duduk di tepian dermaga saja, beberapa juga ada yang berenang. Kami hanya melambaikan tangan ke anak-anak, pamit pergi dari Tanjung Obit. Nggak ada foto karena emang gak kepikiran.

 

menunggu kami keluar rumah lalu bantuin bawa barang <3

Sesampainya di Labuha, ibukota kabupaten, mr Ady sudah menunggu kami di tepian. Tiba-tiba beliau dihampiri oleh seorang bapak-bapak berkaos lengan pendek dengan celana panjang loreng-loreng, mr Ady memberi isyarat agar kami mendekat, berhubung kak Abdul sibuk memperhatikan barang, Fida sedang menatap arah lain, hanya aku dan Zulfa yang melihat isyarat mr Ady jadi kami berdua mendekat, atas dasar rasa sopan, kami menyapa bapak berkaos lengan pendek yang menatap kami.

Kenal beliau nggak?” tanya mr Ady

"Siapa?” Zulfa refleks bertanya balik dengan nada rendah agar tidak didengar oleh si bapak berkaos lengan pendek. Aku mengernyitkan kening karena tidak merasa kenal dengan si bapak, yang aku tau pasti bapak itu dari Tanjung Obit karena di dermaga hanya ada kapal yang kami tumpangi, berarti tadi kami berada di kapal yang sama.

Beliau kepsek SD Tanjung Obit.” jawab mr Ady.

HAHHHHHHHHH. 

KEPSEK?!

PAKKKK KAMI NUNGGU-NUNGGU BAPAK LHO, KOK GAK NGABARIN KALAU PERGI KE TANJUNG OBIT?

Malah ketemunya pas udah sama-sama kembali ke ibu kota kabupaten.

Membagongkan sekali.

0 komentar