Bertemu GuruTemanku #1: Saatnya menjadi Relawan!

Sekitar lima hari yang lalu aku memutuskan untuk daftar menjadi relawan di Guru Temanku, sebuah komunitas yang baru berumur enam bulan dan lahir dari tangan dingin seorang alumni Indonesia Mengajar tahun 2011 bernama mr Ady. Ketika mendengar nama Guru Temanku untuk pertamakali (biasa disingkat GT), GT sudah pernah turun di desa bernama Sawan Akar dan Toin, GT juga pernah mengadakan lomba Bahasa Inggris level SD-SMP dengan total peserta mencapai ratusan murid.

Hari ini hari Jum'at, pertemuan pertamaku dengan para relawan Guru Temanku. Sejak pagi pikiranku tersibukkan oleh pertanyaan,  "Datang nggak, ya? Atau aku nggak usah datang dulu? Datang pas di pertemuan selanjutnya aja."

 

Saat memutuskan untuk turut serta menjadi relawan, aku perlu mengesampingkan rasa takutku. Sudah berbulan-bulan aku tidak bersosialisasi dengan banyak orang, kali ini malah akan menjadi relawan. Aku sampai merasa lupa gimana caranya bersosialisasi (haaa?) karena sudah terlalu nyaman berada di dalam rumah (wkwk). Makanya, untuk datang ke pertemuan pertama saja aku masih punya perasaan bimbang dan ingin mundur. Kalau situasi seperti ini muncul, hanya ada dua orang yang muncul di benakku.

Putri dan Ula.

Ula dan Putri.

Jika hanya bertumpu pada pikiran dan diriku sendiri, sudah jelas aku bakalan memilih mundur, “ngapain repot-repot masuk ke lingkungan baru?” “aku udah merasa cukup dengan kondisi sekarang dan belum merasa butuh bertemu dengan orang baru,” namun karena konsepnya adalah ‘menjadi relawan’ alias sesuatu yang membuatku penasaran dan ingin mencoba karena bisa memberi manfaat untuk orang lain, aku nggak ingin mundur, nggak ingin mundur namun punya ketakutan yang besar, makanya aku mengafirmasi diriku sendiri dengan cara memposisikan diri sebagai Putri atau Ula. Dua orang temen kontrakanku yang inspiratif, keren, pinter dan… cuy w gabiasa muji orang wakakaka.

"Biasanya kalau di situasi kaya gini, Putri bakalan ngebranding diri secara berlebihan di pertemuan pertama, terus kadang ketawa untuk mencairkan suasana." <- suatu strategi sambil membayangkan ketika Putri sedang berbicara di sebuah forum.

Ula sering speak up ketika ada informasi yang menurutnya kurang jelas, kadang dia mengutarakan pendapatnya, nggak jarang memancing perdebatan dengan niat iseng semata.<- strategi lain supaya aku termotivasi untuk aktif dalam forum.


Oke. Aku bisa.

Putri dan Ula di puncak Tambora

 

Sebenarnya bukan pikiran akan bertemu dengan wajah-wajah baru yang membuatku cemas, yang mencemaskanku adalah kemungkinan aku menjadi satu-satunya orang baru di antara mereka. Ketika sesama relawan baru saling bertemu, semuanya tidak memiliki bayangan akan relawan yang lainnya. Sama-sama memulai di titik ta’aruf, beda ketika aku (sebagai orang baru) datang ke basecamp Guru Temanku untuk memperkenalkan diri di hadapan para relawan yang sebelumnya sudah saling mengenal.

And memories about Ula and Putri give me courage. Meski aku nggak pernah cerita tentang apa yang kulakukan di sini secara mendetail ke mereka dan mereka berada di belahan Indonesia bagian lain, hanya membayangkan tindakan-tindakan yang pernah mereka lakukan ketika di Sumbawa saja mampu memberikan keberanian bagiku untuk tidak mundur dan tetap bertahan dengan tantangan baru.  Semacam perasaan "maybe I will feel lonely for a moment when i around them but i have friends somewhere out there." Jadi nggak perlu terlalu fokus pada feeling lonely ketika melihat interaksi antar relawan yang mayoritas berasal dari SMA yang sama atau antar relawan yang sudah saling kenal dekat, nggak perlu iri dan nggak perlu sedih semisal ternyata kepribadianku tidak cocok dengan mereka.

 

If i cant fit into them, then make it profesional.

 

Sebenarnya aku tidak benar-benar sendiri alone by myself karena sudah ada tiga manusia yang kukenal di antara daftar relawan Guru Temanku. Mereka bernama:

Afi, mahasiswa semester dua yang merupakan adek kelasnya adekku. Dia yang ngenalin Guru Temanku ke aku. Anaknya cukup aktif bersosialisasi dan melakukan berbagai macam kegiatan (tipikal mahasiswa yang organization oriented dengan semangat yang masih membara gitu, lah)

Balqis, dia pernah tinggal setahun di Bacan saat kelas 4 SD jadi aku dan dia sempat menjadi teman sepermainan. Frekuensi pertemuan kami dalam satu dekade terakhir masih bisa dihitung dengan dua tangan, komunikasi di antara kita juga tidak terlalu intens. Sama-sama fresh graduate, bedanya sekarang dia masih koas karena jurusan yang dia pilih.

Fida, adeknya Balqis. Seumuran dengan Afi. Aku jarang berinteraksi dengan dia (sama kakaknya aja jarang, apalagi sama Fida wkwk).

 

Meski sudah mengenal Balqis, Fida dan Afi, keberadaan tiga orang tersebut masih tidak mampu menghilangkan kecemasan yang kumiliki karena aku baru sebatas mengenal mereka, belum benar-benar mengetahui karakter mereka. Makanya saat aku tiba di basecamp Guru Temanku yang terletak di belakang Gereja, begitu melihat wajah tiga orang tersebut, aku hanya membatin, “setidaknya aku udah lebih dulu kenal tiga orang sebelum datang.

Udah kenal tiga orang dan ada lebih banyak orang lagi yang harus kukenal.

Sesi perkenalan berlalu cukup lancar, masing-masing orang yang hadir sudah memperkenalkan dirinya. Mayoritas sedang berada di kelas 12, para calon mahasiswa baru tahun ini. Aku juga bertemu dengan founder Guru Temanku yang akrab dipanggil mister Ady, orangnya supel nan easy going (nggak heran, mengingat beliau pernah menjadi Pengajar Muda selama setahun), beliau memiliki pengetahuan yang luas tentang kondisi pendidikan di Halmahera Selatan baik dari sisi para tenaga pengajar yang berinteraksi langsung dengan para murid hingga sisi sikap pemerintah daerah dalam memprioritaskan pendidikan.

Shofwa, kamu mau tantangan yang seperti apa, deh?" tanya mr Ady secara mendadak di tengah percakapan para relawan.

Aku diem, nggak bisa memikirkan apapun setelah mendengar mr Ady bercerita secara garis besar tentang gambaran desa-desa yang akan dituju oleh Guru Temanku. Memutuskan ikut kegiatan ini aja udah merupakan tantangan untukku, nggak mau request apa-apa lagi😂 nggak mau nge-setting tantangan. Pokoknya apa yang kelak terjadi di lapangan, berarti itu tantangan buatku. Dah. Enough, wkwk.

siluet dua orang teman saat trip ke KSB


Selain itu, aku percaya sama Allah (aziq), percaya bahwa Allah tidak memberi tantangan melebihi kapasitas hambaNya, percaya bahwa Allah nggak akan membiarkanku sendirian, karena aku sudah berkali-kali diberi teman saat mencoba hal baru (yang kurasa berat) dan muncul keraguan untuk menghadapi hal tersebut.

Misalnya saat akhirnya aku terjun perdana sebagai pengurus organisasi, bermula dari diajakin Resa yang terus menerus meyakinkan diriku untuk menerima tawaran pengurus. Saat mencoba kepanitian RESPEK, ada Putri dan Ula (so far ini yang paling berat karena bener-bener ngerasa kesepian dan terasingkan di awal ketika diklat RING 1. Setelah itu, Allah langsung kasih dua temen sekaligus, betapa bahagianya~). Atau mau nerima posisi ketuplak sebuah kegiatan padahal being a leader isn’t my skill, karena ada Riris yang akan selalu membantuku dalam mempersiapkan kegiatan itu.

Makanya untuk kali ini pun sama, pasti ada teman. Nah, karena aku merasa paling mengenal Balqis di antara relawan yang lain, aku berpikir sepertinya pengalaman baru sebagai relawan Guru Temanku akan kulalui bareng dia. Aku cukup yakin. Pertanyaannya adalah:  gimana caranya agar aku bisa satu tim dengan Balqis tanpa perlu keliatan jelas bahwa aku mengincar hal tersebut?

bersambung…

0 komentar