Menu makan malam pertama kami bertiga -para relawan perempuan- di Tanjung Obit adalah mie rebus, ikan goreng dan nasi.
“Seadanya saja.” Ujar Mama Hayati yang merupakan mama piara kami.
Di Halmahera Selatan (atau bahkan
mungkin di wilayah Indonesia Timur), ketika kita tinggal di rumah orang lain
dalam waktu lama (biasanya karena merantau dari rumah untuk sekolah),
suami-istri dari pemilik rumah adalah papa piara dan mama piara kita sedangkan
kita adalah anak piara mereka. Walaupun kami hanya tinggal di Tanjung Obit selama
enam hari, kami memanggil istri dari pemilik rumah yang menampung kami dengan
panggilan Mama Hayati. Aku dan Fida sempat memanggil dengan sebutan “Ibu
Hayati” tapi Zulfa yang lahir dan besar di Bacan bilang, “Panggil mama aja,
orang sini lebih suka dipanggil mama daripada ibu. Kalau manggil ibu kesannya
seperti ngasih jarak.”
Selepas Isya, kak Abdul datang ke rumah kami untuk rapat. Tanjung Obit
hanya memiliki satu SD sehingga relawan Guru Temanku yang ditempatkan di
Tanjung Obit berjumlah 4 orang: tiga pengajar dan satu dokumentator. Sedangkan
di Kampung Baru terdapat SD dan SMP, makanya tim Kampung Baru berjumlah 6
orang: lima pengajar dan 1 dokumentator.
“Seperti hasil rapat kita saat di basecamp. Kelas lima dan enam dipegang
oleh Fida. Shofwa megang kelas tiga dan empat. Saya sendiri akan mengajar kelas
satu dan dua. Zulfa mengambil foto dan video untuk dokumentasi. Tomorrow will
be our first day, we going to the school at seven thirty because they start the
class at eight o’clock. Don’t be late, okay?”
“Do we need to wait the headmaster or not?”
Sebelum berangkat ke Tanjung Obit, Mr Ady sudah memberi tahu bahwa
kepala sekolah SD di Tanjung Obit sedang berada di Bacan dan katanya akan
berangkat ke Tanjung Obit hari selasa (yang mana merupakan hari pertama
kegiatan Guru Temanku), sayangnya Mr Ady tidak tau kapan kepala sekolah akan
tiba di Tanjung Obit dan rasanya kurang etis jika kami memulai kegiatan sebelum
bertemu dengan kepala sekolah.
“We’ll see tomorrow.”
Tim Tanjung Obit: Fida - Zulfa - Shofwa - Abdul |
Sebenarnya aku skeptis dengan kedatangan kepala sekolah dan sudah siap menjalankan program meski tidak bertemu kepsek di hari pertama. Aku sempat mengobrol dengan papa piara sebelum meeting dimulai untuk menggali informasi mengenai SD yang akan menjadi tempat pengabdian kami selama lima hari ke depan. Menurut cerita papa piara, hanya ada dua guru PNS di sekolah tersebut, dua PNS yang menjabat sebagai kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Papa piara cerita kalau kepala sekolah sudah lama tidak datang ke Tanjung Obit, berbulan-bulan, hampir satu tahun. Di sisi lain, ternyata wakil kepala sekolah tidak tinggal di Tanjung Obit, wakapsek tinggal di desa sebelah bernama Prapakanda, berjarak 30 menit dari Tanjung Obit menggunakan transportasi laut atau dapat ditempuh lewat jalur darat dengan jalan kaki (aku nggak tau berapa kilometer). Cerita lain yang kudengar dari papa piara adalah ternyata para murid SD diliburkan sejak Covid-19 belum lama muncul di Indonesia dan mereka baru masuk sekolah lagi sepekan sebelum kedatangan relawan Guru Temanku. Dengan kata lain, mereka libur lama banget?! Aku agak tidak percaya, nggak masuk akal ada sekolah yang berbulan-bulan meliburkan muridnya.
Pergi mencari kamar mandi |
Hari Pertama: Selasa, 30 Maret 2021
Pagiku cerahku, matahari bersinar~
Lirik lagu yang tidak tepat untuk menggambarkan langit mendung di selasa
pagi. Kami bertiga pergi ke rumah yang ditinggali kak Abdul untuk numpang mandi
dan berkenalan dengan mama Amsia. Selesai mandi, kami balik ke rumah mama
Hayati, sarapan dengan segelas teh dan roti goreng lalu siap-siap berangkat ke
sekolah.
Jarak sekolah dari rumah mama Hayati sekitar empat ratus meter, begitu tiba di sekolah yang bangunannya langsung menghadap ke pantai, kami
menuju kantor dan bertemu seorang guru perempuan yang sedang duduk di kursi.
Iya. Satu.
Satu guru.
Bangunan kuning adalah ruang kantor |
Kak Abdul membuka obrolan dengan guru -yang kemudian aku tau bernama bu Aya- untuk memperkenalkan diri dan berkoordinasi mengenai kegiatan Guru Temanku.
“Iya, kemarin kepala sekolah udah nelpon, udah ngasih tau juga.” Respon
bu Aya.
"Bapak kepala sekolah kira-kira kapan datang dari Bacan?"
"Kurang tau juga. Pak kepsek sudah lama nggak ke Tanjung Obit."
Kemudian kami bertanya mengenai jumlah murid (total murid sekitar 60
siswa) dan waktu KBM (dari jam 08.00~10.00 saja). Aku memandang papan informasi
sekolah dan menemukan tujuh nama yang tertulis di papan tersebut. Ada tujuh
nama di papan, hanya ada satu guru di sekolah.
“Pak wakil kepala sekolah biasa datang jam 8, harusnya sekarang sudah
datang. Atau kalian mau langsung masuk ke kelas?”
“Boleh, bu.” Jawab kak Abdul, “minta tolong untuk satuin anak kelas 1-2,
3-4, sama 5-6.”
“Oh, iya, iya.”
Kami berdiri di depan pintu kantor selagi menunggu bu Aya menyatukan
murid menjadi tiga kelas.
“Kalian punya ice breaking atau lagu yang gampang dinyanyiin, nggak?”
tanyaku ke Zulfa dan Fida.
“Aku punya. Tapi ini lagu sederhana sih,” jawab Zulfa kemudian dia mulai
menyanyi, “Good morning, good morning how are you? I am fine, I am fine, I am
fine thank you.”
Yes. Dapet satu lagu. Memang aku kurang mempersiapkan ide-ide ice
breaking untuk mengajar.
“Okay guys, good luck for your first day. We end the class at nine
thirty because Fida has online class to attend,” ujar kak Abdul sebelum kami
berpencar menuju kelas masing-masing.
Dan aku mulai berdebar saat mulai melangkahkan kaki menuju ruang kelas
yang harus aku pegang.
Makin dekat, makin berdebar, “bentar, ntar aku harus ngapain? Mulai
ngajar dari mana? Ngomong apaaaaa?!”
Aku lihat kak Abdul sudah masuk kelas, Fida juga udah masuk kelas bersama Zulfa,
tinggal aku sendiri yang masih di luar karena kelasku yang paling jauh.
Tanganku mulai dingin, aku nggak pernah memiliki pengalaman mengajar
seorang diri, apalagi mengajar belasan orang sekaligus. Ketika masih menjadi
mahasiswa, saat ikut komunitas yang kegiatannya adalah mengajar joki cilik, aku
lebih memilih menjadi orang di balik layar, sebagai dokumentator, sebagai
pengurus berkas. Tapi bukan ngajar, bukan menjadi pengajar.
“Serius nih harus masuk kelas?”
Ok. Breathe. Inhale. Exhale.
Bismillah.
Kubuka pintu kelas, hening seketika, tampak belasan pasang mata melirik
ke arah pintu dengan penuh rasa ingin tau.
Aku melangkah masuk, “Assalamualaikuummmm.”
“Waalaikumsalammmm.”
Terima kasih pada salam milik ummat Islam, aku bisa masuk kelas dan berjalan
ke meja guru tanpa perlu bertingkah awkward di depan murid. Kutaruh totebag di
atas kursi, kuatur posisi smartphone karena aku berencana
merekam video hari pertamaku. Setelah semuanya siap, aku memandang kelas yang dindingnya berwarna kuning tua, ternyata gabungan murid kelas tiga dan empat terlihat seperti jumlah murid dalam satu kelas.
“Kakak ulang ya, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalammm warahmatullahi wabarakatuh.”
“Selamat pagi semua.”
“Selamat pagi.”
Tak kenal maka tak kan dikenal. Tentu saja aku harus mengenalkan namaku
pada 19 murid yang ada di kelas. Kutulis namaku di papan dan meminta mereka
menyebutnya dengan keras, agar di kemudian hari mereka tidak memanggilku kak
sofa. Kupastikan mereka memanggil namaku dengan benar, kak shofwa.
“Di sini, hari ini, torang akan belajar bahasa Inggris. Siapa yang mau
belajar bahasa Inggris?”
Dua murid mengangkat tangan.
Oke. Baiq.
11% dari populasi kelas mau belajar bahasa Inggris. Lumayan.
Pelajaran bahasa Inggris dimulai dari simple greeting.
Greeting without s, karena emang cuma ngajarin satu sapaan saja: good
morning. Kujelaskan bahwa good morning berarti selamat pagi, kemudian
kunyanyikan lagu good morning yang diberitahu Zulfa beberapa menit yang
lalu.
“Ngoni bisa hafal lagunya?”
Terdengar jawaban dari pojok kanan “tara bisa.” Jawaban yang berasal
dari seorang murid laki-laki bernama Aditos, tak kuhiraukan jawaban itu. Baru juga kelasnya mulai.
Tiga puluh menit pertama, murid-murid mencatat lirik lagu good morning yang sudah kutulis di papan tulis (tentu saja tidak semua murid melakukannya) kemudian aku menjelaskan berkali-kali arti dari good morning, how are you dan I am fine.
Saat sedang mengawasi seisi kelas yang sedang menulis, aku mendengar seorang anak bersenandung lagu ‘kalau kau suka hati’.
Oke. Berhubung aku perhatikan konsentrasi murid-murid udah terpecah karena ada beberapa anak yang sibuk ngobrol. Aku pura-pura nggak tau
lagu ‘kalau kau suka hati’ dan pura-pura request pengen denger mereka
nyanyi lagu itu karena mereka semua tau.
Wow, langsung pada semangat banget dong. Apalagi waktu kuminta mereka
semua berdiri, makin semangat.
Sekitar dua puluh menit selanjutnya, aku tetap mengulang materi yang
sama dengan mendatangi bangku setiap murid, beberapa anak yang berani maju
kuminta untuk menyanyikan lagu good morning di depan kelas. Beberapa
anak keluar kelas tanpa izin (entah untuk buang ludah, buang air kecil, atau
lari ke rumah buat minum air). Murid-murid yang berjenis kelamin laki-laki
mulai membuat keributan di kelas, kebetulan aku menemukan sebuah rotan di meja
guru. Kupukul rotan ke papan tulis.
Amazing, suara rotan efektif membungkam para murid laki-laki. Meski
tidak sampai satu menit.
“Sekarang belajarnya sudah selesai. Nanti, nanti sore abis Asar. Kak
Shofwa bakal balik kesini. Kalau misalnya kalian masih mau belajar, torang bermain
lagi. Bisa datang nanti sore abis Asar ke sekolah.”
Beberapa menit sebelum pelajaran selesai, kami foto bersama (atas
permintaan para murid yang ternyata cukup narsis). Aku mengambil foto murid
laki-laki, kemudian murid perempuan, kemudian kami selfie~
sengaja milih yang blur karena suatu alasan |
Saat kembali ke kantor, aku melihat dua wajah baru. Pak Wakepsek dan
seorang guru bernama pak Gazali. Keduanya tinggal di desa Prapakanda. Bentuk
wajah pak wakepsek dan pak Gazali mengingatkanku pada tipikal wajah guru yang
ditakuti murid. Alis tebal, punya kumis (kumis pak wakepsek cukup lebat), sorot
mata tajam, garis wajah yang tegas, ketika berbicara mengeluarkan suara yang keras dengan intonasi yang jelas. Syarat
sempurna untuk menjadi guru yang bertugas menegakkan kedisiplinan dan sebagai sosok
guru killer bagi murid.
Kalau nggak ada guru yang seperti itu, murid-murid akan sulit diatur
/thumbs up/
Kami ngobrol dengan pak wakepsek, kak Abdul memberitahu bahwa Guru Temanku juga
mengadakan pelatihan bahasa Inggris untuk para guru supaya materi yang
diajarkan oleh relawan selama lima hari kepada murid dapat diulang kembali agar
para murid tidak lupa.
Kelas sore dijadwalkan mulai pukul empat, semua muridku datang, 19 anak. Tapi
tidak semuanya punya keinginan belajar. Murid perempuan duduk rapi di
kursi, sesekali ngobrol dengan teman semejanya, sedangkan murid laki-laki
sibuk… salto di belakang kelas.
Bagian belakang kelas memang cukup lapang, para murid laki-laki sibuk unjuk kebolehan dengan melakukan salto. Koprol. Apalah namanya itu. Aku sekali merespon kelakukan mereka,
sedikit memberi pujian lalu meminta mereka duduk di tempat duduk.
Beberapa menurut, lebih banyak yang tidak.
“Kakak, dorang bermain di belakang kelas,’ lapor Julaiha.
“Biar sudah.”
Berhubung aku menyadari bahwa aku hanya menghabiskan tenagaku dan malah menelantarkan murid perempuan jika aku memberi perhatian pada murid laki-laki yang jelas-jelas datang tanpa keinginan belajar. Jadi, aku fokus saja pada murid-murid yang mau mendengarku berbicara. Buat apa menghabiskan tenaga pada sesuatu yang tidak sanggup kulakukan~ belum lagi beberapa remaja yang berdiri di depan pintu kelas dan membuat suasana makin tidak kondusif tapi saat diajak belajar bersama malah menolak.
Rasanya kelas sore berjalan jauh lebih lambat dibandingkan kelas pagi,
padahal durasinya hanya satu jam. Itu pun sudah terpotong beberapa menit karena
kelas tidak mulai tepat waktu. Aku langsung mengucap hamdalah dalam hati saat
smartphoneku berbunyi (sebelum mulai kelas, kupasang timer yang akan berbunyi
pada pukul 5 sore). Kelas sore ditutup dengan satu sapaan yang baru saja kuajarkan,
Good Afternoon~
Sesuai rencana yang sudah disusun oleh tim Tanjung Obit. Kami mengadakan
tiga kelas dalam satu hari. Kelas pagi saat di jam sekolah, kelas sore untuk
mengulang materi yang diberikan di kelas pagi dan kelas malam yang (sebetulnya
untuk mengulang materi juga) (namun berubah haluan ke) fokus pada pelajaran membaca, kami
membawa satu dus penuh buku bacaan hasil kerjasama Guru Temanku dengan
Perpustakaan Daerah.
Keahlian membaca anak-anak Tanjung Obit tidak berbanding lurus dengan
jenjang pendidikan mereka. Kamu bisa menemukan anak kelas satu yang sudah mampu
mengeja kalimat sederhana, di sisi lain, kamu juga bisa menemukan anak kelas
empat yang masih perlu berpikir dalam membedakan huruf ‘p’ dengan ‘b’ atau
mengeja ‘mo’ dengan ‘mu’ dan beberapa huruf lain. Kami menggunakan ruang tamu
mama Hayati sebagai tempat diadakannya kelas malam. Meskipun yang datang hanya
belasan orang dari keseluruhan jumlah murid, kelas membaca tidak berjalan
dengan kondusif karena murid yang sudah bisa membaca ‘mengganggu’ proses
belajar murid yang belum bisa membaca. Ngerecokin temen. Kalau temennya yang
lagi belajar salah mengeja, langsung dibenerin. Kalau temennya yang lagi
belajar perlu waktu buat mikir, langsung diejain. Sebuah contoh nyata ketika
niat ingin membantu digunakan di kondisi yang keliru.
Setelah kelas malam usai, kami mengadakan meeting untuk mengevaluasi
kegiatan hari pertama sekaligus mempersiapkan materi untuk hari kedua. Secara
garis besar, laporan dari tiap relawan pengajar adalah sebagai berikut
First and second grade:
belajar sambil bermain, ada beberapa anak yang menangis karena dijahili
temennya.
Third and fourth grade:
masalah utama ada pada murid laki-laki.
Fifth and sixth grade:
hampir seluruh murid tidak mengetahui perkalian, bahkan sesederhana 1x2. Zulfa
turut mengajar para murid.
Kesimpulan: harus memiliki banyak strategi untuk memenangkan hati
mereka.
The first day already past and today was the first time experience to teaching for three of us (Fida, Shofwa, Zulfa).
What will happen on our second day?
Bersambung…
0 komentar