Bertemu GuruTemanku #2: D-Day

Hatiku tenang karena mengetahui apa yang yang melewatkanku tidak pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” – Umar ibn Khattab ra

Kalimat bijak dari khalifah kedua yang seharusnya selalu kuingat, apalagi ketika mengharapkan sesuatu. Tidak butuh harapan yang besar, bisa juga saat mengharapkan hal-hal kecil yang terlihat sepele di mata orang lain.

Contohnya, harapan bisa satu kelompok dengan Balqis di penempatan program Guru Temanku.

Wkwkwkwk

#lemah

Bisa dibilang itu bukan harapan yang kecil, setidaknya untukku. Selain agar tidak dihinggapi oleh perasaan kesendirian, berada dalam satu kelompok dengannya merupakan kesempatan yang... langka? Super langka? Kapan lagi bisa?

Oh ya, siapa Balqis? Orang yang paling aku kenal di antara relawan Guru Temanku yang lain wkwk. I need to be with someone I know the most to faced new situation. I think I need it, but I don’t want to force it.

Apa itu Guru Temanku? Udah dijelasin sekilas di postingan sebelumnya (baca: Bertemu Guru Temanku). Nah, Guru Temanku memiliki program turun ke desa untuk mengadakan pelatihan bahasa Inggris. Kali ini aku berstatus sebagai relawan, jadi aku akan ikut turun ke desa dan turut melaksanakan pelatihan tersebut.

Intinya datang ke desa buat ngajar bahasa Inggris biar anak-anak desa gak perlu insekyur dengan ngomong kalimat ga bisa basa enggres.

Satu pekan sebelum jadwal keberangkatan, tim relawan mengadakan pertemuan untuk membicarakan progress persiapan. Di awal rencana, kami menargetkan empat desa sebagai lokasi penempatan: Kampung Baru, Prapakanda, Tanjung Obit dan Batu Taga. Keempat desa tersebut berada di satu kecamatan yang sama bernama Kecamatan Kepulauan Botang Lomang.

Kondisi geografisnya memang seperti namanya: kepulauan. Soalnya terdiri dari beberapa pulau dan terpisah dari pulau Bacan (pulau utama di kabupaten Halmahera Selatan).

Dari empat desa yang ditargetkan, ada satu desa yang belum memberi kepastian apakah kami bisa melakukan kegiatan, belum ada kabar lebih lanjut padahal kami membutuhkan kabar untuk memastikan terpenuhinya akomodasi dan konsumsi selama program berjalan. Jadi, dalam menjalankan kegiatan ini kami membutuhkan kerjasama dari pihak sekolah dan pihak desa. Pihak sekolah sebagai pihak yang mempersiapkan para siswa dan pihak desa sebagai pihak yang menyediakan tempat tinggal serta konsumsi selama kami berada di lokasi penempatan. Karena desa Prapakanda tidak memberi balasan atas surat permohonan yang kami kirim, sehingga kami mencoret desa tersebut dan hanya tersisa tiga desa.

Kampung Baru, Tanjung Obit dan Batu Taga.

Adanya satu desa yang di-cancel menyebabkan perubahan formasi relawan. Selama proses diskusi mengenai perubahan formasi (siapa yang dipindah kemana), aku sedikit menggiring opini agar tujuanku tercapai.

 

Daaannnn… berhasil. Uhuy. Alhamdulillah.

 

Aku dan Balqis berada di Tim desa Batu Taga.

 

relawan GT ready to go~

Ternyata niat baik saja tidak cukup untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Apalagi jika perbuatan yang hendak dilakukan melibatkan banyak pihak.

Niat baik tanpa SDM? Mana bisa jalan.

Punya niat baik, punya SDM, nggak punya dana? Jalan di tempat.

Punya niat baik, punya SDM, udah dapat dana, ternyata pihak yang ingin dilibatkan tidak memberi respon, bahkan menolak? Yowes, apa lagi yang bisa kita lakukan~

Beberapa hari sebelum hari H keberangkatan, terdapat perubahan-perubahan lain yang terjadi. Mulai dari desa yang mendadak menolak karena ternyata akan mengadakan UAS dan pengawas tidak mengizinkan adanya kegiatan lain di sekolah, beberapa relawan yang ternyata tidak bisa turut ikut ke lapangan (alias mengundurkan diri), kepala sekolah dan kepala desa yang tidak bisa dihubungi, hingga kepala sekolah yang sedang tidak berada di desa padahal keberadaan kepala sekolah penting untuk memberi instruksi pada guru dan murid selama Guru Temanku berkegiatan di sekolahnya.

Fakta-fakta tersebut membuat target lokasi penempatan berubah (lagi) yang berimbas pada perubahan formasi relawan.

Dan, yah, tim Batu Taga terpecah, menyebar ke tim-tim desa lain.

Dari empat desa, berubah ke tiga desa, berubah lagi sampai pada keputusan final karena keterbatasan jumlah relawan: Guru Temanku akan turun di desa Kampung Baru dan Tanjung Obit.

Kampung Baru: Afi, Reza, Balqis, Maulina, Najla, Safira.

Tanjung Obit: Abdul, Fida, Shofwa, Zulfa.

Seperti yang kubilang, kalau emang nggak ditakdirkan, nggak bakal kesampaian. Udah pernah berusaha agar berada di tim yang sama, ujung-ujungnya dipisahkan juga.

Malam sebelum keberangkatan, aku sempat dihubungi oleh koordinator utama. Ada kemungkinan aku dipindah ke desa Kampung Baru. Berhubung misi Guru Temanku ini terlalu fleksibel dan amat dipengaruhi oleh faktor X, mendengar kemungkinan itu nggak membuatku berharap lagi, sudah pasrah karena:

“apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”

Sedikit terkesan lebai, pada nyatanya aku hanya sedang mengafirmasi diriku sendiri. Semoga mampu bertahan di Tanjung Obit tanpa perlu merasakan emosi-emosi negatif yang bisa saja muncul.

pemandangan Tanjung Obit dari atas speed boat

Tanggal 29 Maret 2021 sekitar pukul setengah enam sore, Relawan Guru Temanku Bersama Mr Ady akhirnya bertolak dari Bacan menuju desa Tanjung Obit dan desa Kampung Baru menggunakan speed boat.

Terlepas dari di tim mana aku berada, aku ngerasa amat sangat excited (+ nervous, of course!).

Pertama, aku bisa duduk di atas speed boat (oke, ini agak nggak penting) (wkwk). Berhubung seringkali disuruh duduk di dalam speed boat, jadi pas diizinin duduk di atas, gembira bukan kepalang, kunikmati terpaan angin sembari menggenggam erat-erat smartphone karena kalau jatuh bisa wassalam good bye my smartphone.

Kedua, akhirnya aku menjelajah wilayah di luar pulau Bacan! Sekedar informasi, Halmahera Selatan adalah kabupaten kepulauan terbesar di provinsi Maluku Utara. Pulau utamanya adalah pulau Bacan karena di situ letak ibu kota kabupaten, sedangkan Halmahera Selatan memiliki ratusan pulau (tentu saja tidak semua pulau berpenghuni) Selama ini aku tidak pernah keluar dari pulau Bacan, makanya walaupun Tanjung Obit letaknya hanya 8 kilometer dari pulau Bacan dan cuma butuh waktu sekitar 15 menit nyebrang menggunakan speed boat, itu udah cukup sebagai permulaan.

Ketiga, ini adalah aktivitas sosial pertamaku di Halmahera Selatan. Aku bisa melihat langsung kondisi pendidikan di sebuah desa dan merasakan sendiri pengalaman mengajar.

Iya. Pengalaman mengajar. Mengajarkan Bahasa Inggris ke murid-murid. Aku akan cerita tentang ini di part selanjutnya.

Begitu kami tiba di dermaga Tanjung Obit, aku merasakan beberapa pasang mata yang melihat kami dengan raut wajah penasaran. Kami datang menggunakan seragam Guru Temanku, PDH berwarna merah marun. Tampilan kami tidak ada bedanya seperti sekelompok mahasiswa yang hendak melakukan Kuliah Kerja Nyata alias KKN. Beberapa anak dengan senang hati membantu kami membawa perlengkapan tempur seperti spanduk, white board, kontainer berisi peralatan yang kami perlukan dan beberapa barang bawaan lain.  Saat sedang mengurusi barang bawaan Tim Tanjung Obit, aku disamperin koordinator utama, "kak Shof, kakak tetap di Tanjung Obit. Kemarin kak Abdul bilang nggak bisa pergi karena sakit jadi rencananya mau diganti kak Reza terus kak Shof pindah ke Kampung Baru. Tapi ternyata kak Abdul ikut berangkat, jadi formasi relawan nggak berubah."

"Okelaah~"

Kami langsung menuju rumah kepala desa yang berjarak sekitar 200~300 meter dari dermaga. ternyata om Pala -sebutan untuk kepala desa- sedang tidak berada di tempat, Guru Temanku disambut oleh istri om Pala, Mr Ady memberi penjelasan singkat tentang kegiatan Guru Temanku pada istri om Pala, beliau juga memberi sepatah-dua patah kata untuk Tim Tanjung Obit (motivasi dalam menjalankan kegiatan, mengingatkan untuk menggunakan Bahasa Inggris saat berkomunikasi dengan rekan setim) sebelum akhirnya pamit untuk melanjutkan perjalanan ke desa Kampung Baru bersama Tim Kampung Baru karena hari sudah petang dan jarak Kampung Baru cukup jauh dari Tanjung Obit.

Sebagai rekan relawan yang baik, kami sebagai Tim Tanjung Obit mengantarkan Mr Ady dan relawan yang lain ke dermaga dan melepas kepergian mereka. Zulfa dan Fida mengekspresikan kesedihan mereka karena perpisahan singkat ini, kak Abdul tidak menunjukkan emosi apapun dan aku tetap sibuk mengafirmasi diri sendiri all iz well untuk enam hari di Tanjung Obit.

Tim Kampung Baru dan Mr Ady yang melambaikan tangan

Kami kembali ke rumah om Pala, istri om Pala mengatakan bahwa terdapat dua rumah warga yang bisa kami tinggali. Satu rumah untuk dua orang.

“Bu, bisa tidak kalau kami bertiga di satu rumah? Jadi yang cowok sendiri.”

“Oh, mau bertiga? Bisa, bisa. Sebentar.”

Istri om Pala langsung keluar dan berteriak menggunakan bahasa daerah, sepertinya memberitahu tentang permintaan kami. Lagian nggak mungkin juga kalau tim dibagi jadi dua-dua, komposisinya aja satu cowok dan tiga cewek.

Setelah menghabiskan secangkir teh yang sempat tidak kuminum karena masih panas tapi istri om Pala malah ngomong, “Nggak papa, minum aja.” Seakan-akan tau tentang ‘sedikit peringatan’ yang kami dengar sebelum kami berangkat. Peringatan untuk tidak sembarang menerima makanan atau minuman dari orang karena masyarakat desa masih kental dengan budaya mistis.

Ternyata rumah yang akan aku, Zulfa dan Fida tinggali letaknya hanya selemparan batu dari rumah om Pala. Deket banget. Kami disambut oleh ibu pemilik rumah dan ditempatkan di kamar depan. Sebuah kamar berukuran sekitar 3x2,5 meter yang berisi satu ranjang, satu lemari plastik, satu meja kayu dan dua kursi.

Di rumah ini nggak ada kamar mandi, kalau butuh kamar mandi bisa ke rumah saya.

Oh, iya, bu.” Aku terlalu kaget dengan fakta tersebut jadi hanya bisa menggangguk sambil tersenyum sampai istri om Pala keluar kamar.

Apa tadi yang kudengar? Nggak ada kamar mandi?

Artinya nggak ada WC? Toilet?

Satu kesadaran baru langsung muncul di benakku

Selamat datang di desa yang tiap rumah belum tentu memiliki kloset, jangan sampai kebelet di tengah malam!

bersambung...

0 komentar