Kedatangan Masa Lalu

Ketika kita selalu berjalan ke masa depan, selalu membuka mata di pagi hari menyambut hari baru, saat tersenyum menatap birunya langit atau bersiap mengeluh tentang cuaca dan perubahan iklim ketika melihat sebentar sebentar cerah, sebentar sebentar hujan, suasana berganti dengan cepat tanda bumi sedang menghadapi perubahan iklim dan #ClimateChange is real.

Terdapat satu hal yang luput gue pahami.

Bahwa sejauh apapun gue pergi ke masa depan, tidak akan pernah bisa membuat gue terlepas sepenuhnya dari masa lalu.

Sejauh apapun kaki ini melangkah, menginjak tanah yang berbeda, mengunjungi beragam tempat, bertemu orang-orang baru, menorehkan cerita dan kenangan. Masa lalu selalu ada, di sana, di tempat yang seperti bayangan. Kadang terlupakan namun dia tidak menghilang.

sumber: pinterest

Dari beberapa nama cowok yang sempat mampir di hidup gue (jika merujuk kamus pergaulan jaman sekarang mungkin bisa disebut gebetan atau crush), yang memang hadir untuk menorehkan cerita khusus tersendiri dan (beberapa diantaranya) meninggalkan kenangan yang berarti. Gue 99,9% yakin sebagian besar dari mereka tidak akan pernah membaca tulisan-tulisan gue, tidak akan pernah berkunjung ke blog ini, apalagi membaca tulisan yang gue buat sembari mengingat-ingat mereka. Jika pun ternyata terjadi, gue yakin itu adalah ketidaksengajaan dan mereka tidak akan tahu (lebih tepatnya tidak peduli) kalau gue sedang membicarakan mereka. Kenapa gue yakin? Karena mereka bukan orang yang suka membaca. Alasan sederhana yang sering membuat bertanya-tanya 'kenapa selalu berhubungan dengan manusia XY yang minat bacanya tidak tinggi?'. Meski ada juga seseorang yang gue yakin akan selalu membaca apa yang gue tulis, mengingat dia pernah berkunjung ke akun twitter gue (yang sayangnya sekarang sudah digembok) tapi nggak nge-follow, haha.

Eh, keyakinan pun kadang bisa salah.

Kisah yang berhubungan dengan perasaan selalu lucu untuk dikenang (setidaknya dalam kasus pribadi). Dua hari lalu bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa lalu gue belasan tahun lalu. Tidak ada yang spesial. Gue mendadak dihubungi lepas magrib, diberitahu jika ada acara kumpul-kumpul karena ada satu orang yang sedang datang ke pulau kecil ini dan akan segera pergi lagi. Setelah berpikir sekitar sepuluh menit, gue memutuskan untuk datang perkumpulan tersebut, bertemu orang-orang di masa lalu yang tidak pernah memberi kenangan buruk sepertinya bukan masalah. 

Sebenarnya gara-gara satu orang ini (yang sekarang sudah tinggal di daerah lain) akhirnya gue dihubungi untuk ikut ngumpul juga. Hanya karena dulu dia sempat tebar pesona ala bocah, kemudian dibesar-besarkan oleh perilaku orang-orang yang mencocokkan kami berdua. Klise. Tidak ada hubungan istimewa di antara kami selain romansa dua insan manusia yang belum mengerti apa itu cinta (iyuhh??). Sekadar ketertarikan yang muncul dari rasa penasaran. Bahkan kabar tentang dia tidak pernah terdengar lagi selepas kelulusan, ingatan yang membekas hanyalah nama lengkap dia yang terdiri dari empat kata, dia yang maju ke depan kelas untuk praktik menyanyi lagu daerah, dia yang tersenyum memperlihatkan giginya saat waktu istirahat, dan momen perjumpaan tanpa direncanakan saat perlombaan gerak jalan. Itu saja.

Bertahun-tahun tanpa komunikasi, tidak ada momen dimana gue mendadak penasaran akan kabarnya lalu mengubek-ubek facebook atau instagram atau bertanya pada mbah google (karena nama lengkapnya masih melekat kuat di ingatan jadi bisa, lah, kalau mau ala-ala intel). Tapi gue sama sekali nggak pernah mencoba jadi intel untuk dia. Buat apa? Dia adalah masa lalu yang mampir sesaat, meninggalkan bekas namun tidak mendalam. 

Ketika gue datang ke lokasi tempat ngumpul, ternyata dia sudah pergi. Hal tersebut membuat dia menyapa di ruangan obrolan pribadi untuk minta maaf karena sudah pergi lebih dulu. Memang sedikit kesal karena gue mendadak dihubungi untuk ikut ngumpul, saat dihampiri malah sudah pergi. Namun sudahlah, buat apa dipikirkan, gue tanggapi permintaan maaf dia dengan biasa saja.

Masalahnya ada di keesokan harinya, saat dia masih menyapa, bahkan sampai bilang akan kembali lagi dalam waktu dekat agar bisa bertemu.

Gue tau itu hanya basa-basi belaka, makanya gue merespon dengan basa-basi pula. Sayangnya jiwa kekepoan saya mendadak aktif saat melihat gaya ketikannya yang tidak alay. Menemukan cowok dengan gaya ketikan yang tidak membuat ilfeel itu cukup langka, apalagi ada ciri khas dari dia yang belum gue temukan di cowok-cowok yang pernah gue kenal.

Menarik.

Menarik untuk tetap mempertahankan obrolan,

Tergelitik untuk mencari tau lebih jauh, murni rasa penasaran bagaimana dia menjalani hidupnya selama ini, akhirnya gue melemparkan pertanyaan supaya komunikasi kami di ruang obrolan tidak berakhir.

Sebenernya gue udah punya boundaries atau batasan terhadap hubungan dengan lawan jenis. Boundaries yang kemudian ditambah pikiran bahwa di masa depan kelak, teman-teman cowok yang saat ini bisa dibilang cukup dekat (teman cowok, ye, bukan gebetan) (kebanyakan kawan kuliah yang satu organisasi atau satu kepanitiaan atau satu prodi, sih) akan bertemu jodohnya masing-masing. Alih-alih berpikir untuk tetap menjalin komunikasi dengan mereka, terkadang gue berpikir 'nanti apakah harus kenalan sama calon istrinya?' supaya kalau ada urusan bisa lewat si istri aja.

Berurusan sama pasangan orang, apalagi yang cemburuan? Gue nggak butuh menghabiskan energi untuk hal sepele seperti itu. Kita nggak ngapa-ngapain aja bisa dilabrak, hii. Cewek cemburuan yang hobi main labrak tanpa tabayyun itu mengerikan.

Lalu kadang gue juga berpikir untuk tidak terlalu berhubungan dengan teman-teman cowok lagi (tentu saja termasuk eks-gebetan). Jika masih berhubungan pun sewajarnya. Mau ngobrol hayuk kita ngobrol. Tapi secukupnya saja, tidak berlebihan, no hard feelings. Meski gue tahu cukup sulit menjaga komunikasi dengan eks-gebetan, namun ada sisi dalam diri ini yang masih nggak mau memutus tali silaturrahmi, atau lebih tepatnya belum waktunya untuk benar-benar saling asing.

Makanya selepas lulus dari perkuliahan, gue berusaha untuk tidak pernah menghubungi teman cowok kalau sekadar basa-basi doang. Beberapa teman cowok yang asik diajak nongkrong saat kuliah pun hampir tidak pernah lagi muncul kontaknya di percakapan whatsapp. Hubungan gue dengan teman-teman cowok sebatas penonton status sosial media masing-masing. Bahkan gue juga jarang melihat status-status mereka. Jika ingin tahu kabar mereka, biasanya gue tahan dulu sampe keinginan untuk bertanya tidak bisa dibendung lagi, atau nggak gue tunggu momen-momen yang sekiranya bisa dijadikan 'alasan' untuk menyapa temen cowok di ruang obrolan.

Biar bagaimanapun sikap dan keputusan gue dalam berinteraksi dengan cowok, selalu ada keinginan untuk ekspansi menjalin hubungan komunikasi dengan lawan jenis yang tidak sekufu, yang tidak pernah menjadi bagian dari keluarga Islam Terpadu, yang nggak tersentuh pendidikan pondok dan sejenisnya. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah agar mendapatkan wawasan baru, mungkin efek dari program studi yang gue ambil saat kuliah membuat gue selalu penasaran akan cara pandang manusia dalam melihat sesuatu, dalam memaknai dan menjalani hidup. Makanya ketika mendadak gue dihubungkan kembali ke seseorang yang ada di masa lalu gue melalui perjumpaan yang gagal, membuat gue berpikir untuk punya hubungan yang baik dengan dia. Bukan hubungan berbumbu romantisasi, sebatas hubungan kawan lama yang bertemu kembali untuk kadang-kadang ngobrol. Kadang kita butuh juga orang yang seperti itu, bukan? Orang yang bukan inner circle dan bisa dihubungi tanpa ngerasa segan ketika 'pengen ngobrol sama orang tapi bosen kalau ngehubungi temen deket' atau sebatas meluapkan kebutuhan berkomunikasi dengan orang lain supaya tidak lupa cara berinteraksi.

Tentu saja dengan tidak melupakan boundaries yang udah dibuat.

Sudah lebih dari dua puluh empat jam sejak pesan terakhir gue ke dia berstatus ceklis dua tanpa perubahan warna ke biru, sayang sekali, sepertinya gue baru saja kehilangan satu kandidat kawan baru yang (mungkin) nyambung untuk diajak ngobrol dark-side para pegawai negeri yang ada di lingkup tempat tinggal gue.

atau mungkin perlu bersabar sedikit lebih lama?

shofwa.

update: pesan gue akhirnya mendapat respon setelah 50 jam berlalu dan gue pun memutuskan untuk menutup percakapan dengan mendoakan dia wish him a great life! Memang ada perasaan senang karena bisa mengetahui kabarnya lagi namun gue merasa tidak perlu melewati batas karena kami berdua belum bertemu secara langsung. Lagipula cukup sulit mengobservasi seseorang hanya dengan melalui percakapan whatsapp saja.

0 komentar