Aksi Kemanusiaan KAMMI #SaveSuriah

Aku nggak tau harus cerita ini atau nggak.

Cerita aja ya, untuk menetralisir postingan sebelumnya yang... yah... begitu.

Senin, 17 April 2017. KAMMI Sumbawa mengadakan aksi kemanusiaan #SaveSuriah dengan tema "Sumbawa Peduli Suriah."

Di sini aku nggak akan membahas atau memberitahu apa yang sedang terjadi di Suriah sekarang ini, pun tidak menulis tentang update terbaru kondisi Suriah.

Orientasiku berada pada aksi kemanusiaan yang terjadi dua hari lalu.

Aku turut berpartisipasi dalam aksi tersebut juga bisa dikatakan ‘mendadak’ karena pas aku tau kalau bakalan ada aksi, aku memutuskan nggak ikut meski masalah transportasi udah menjadi tanggung jawab panitia.

Alasan? Waktunya tabrakan sama seminar pendidikannya kakak tingkat yang bertema ‘Halalkan atau Tinggalkan.’

Pernah kan ngerasa dilema di antara dua pilihan?
Itu yang kemarin aku alami.

Bukannya tertarik banget sama tema seminarnya, aku mau datang ke seminar tersebut gara-gara aku tau kalau pas seminar nanti bakalan diputar video jawaban orang-orang atas pertanyaan, “menurut kalian, pacaran itu apa?” itu aja sih poin paling utamanya, ditambah dengan fakta bahwa di video itu bakalan ada mentor dan dua anggota mentoringku yang nongol, ekekeke~

Soal keinginan ikut aksi, aku penasaran gimana rasanya mengikuti aksi di sumbawa meanwhile aku nggak ingat aksi apa yang terakhir kudatangi.

Ditengah keputusan melepas keikutsertaan aksi untuk mengikuti seminar, tiba-tiba datang ajakan dari seorang teman (yang bernama Na’iim) untuk ikut aksi dan berangkat menggunakan motornya dia.

Wah, kalau naik motor mah bisa ikut aksi bentar habis itu ikut seminar.

Aku menyambut baik ajakan Na’iim. Sempat ada debat yang terjadi di kamar ketika membahas dresscode yang ditentukan panitia.

“Atasnya merah, tengah putih, bawah hitam, emang nyambung?” kata shofwa sembari mengernyitkan dahi. 
“Yaa di sambung-sambungin aja lah.” 
“Agak aneh tauuu. Emang filosofinya tuh apa sih?” 
“Kamu tu sebelum ngoment harus tau arti dari sebuah warna.” Ujar seorang teman.
“Makanya aku nanya filosofinya apaa? Piye sih.” (dongkol) 
“Merah sama hitam tuh warna duka.” 
“Kalau putih?” 
“Tanda suci.” 
“Oalah.”
Masker+Topi banget???

Rencana awal kan aku sama Na’iim cuma ikut sampai ashar yang artinya cuma ikut jalan dari Masjid Jami - Masjid entahapanamanyapokoknyadidepantamanMangga, setelah sholat mau cuss ke tempat seminar, ternyata ba’da ashar tuh beberapa anggota KAMMI hendak menampilkan sesuatu  drama singkat di depan kantor bupati sekaligus menggalang dana.

“Gimana shof? Jadi balik?” tanya Na’iim.

Mau ku-iya-in cuma aku membaca isyarat bahwa dia pun rada ogah buat balik.

“Ikut acara selanjutnya aja deh.”

Terus ujung-ujungnya kita berdua nggak ikut seminar, haha. Tapi pengorbananku nggak ikut seminar setimpal dengan pengalamanku ikut aksi hingga selesai.

Yang kutangkap dari drama yang ditampilin adalah, bahwa di Suriah banyak suami yang dibunuh oleh orang-orang yang membunuh dan istri dari suami yang terbunuh mengadu pada Allah/?/

thumbs up!

Penjelasan yang tidak membantu sekali.

Kurang lebih seperti itu. Jika masih penasaran, hilangin aja rasa penasaran kalian karena aku juga tidak bisa menjawabnya. Selama drama berlangsung, fokusku malah ada di orang-orang yang sedang memegang kardus di pinggir jalan untuk menggalang dana makanya nggak terlalu memperhatikan jalan cerita.

“Syah, kita nggak megangin kardus?” Tanya Shofwa pada Aisyah yang tengah mengemper di pinggir jalan. 
“Kamu mau?” 
“Mau. Aku gabut, males kalau cuma duduk doang.” 
“Yaudah. Tuh ambil kardus itu terus ikut aku.”

Paling cuma sekitar sepuluh menit aku berdiri di pinggir jalan megang kardus sembari tersenyum (senyum untuk kesopanan) (senyum untuk membalas kebaikan hati pengendara yang telah menaruh lembaran rupiah di kardus) (senyum untuk sebuah pengalaman yang menyenangkan!) soalnya pas aku megang kardus, drama singkatnya udah kelar dan tinggal penyampaian sepatah-dua patah kata tentang aksi kemanusian yang sedang dilaksanakan (atau tentang Suriah ya) (aku tidak mendengarkan waktu itu) lalu penutupan.

Ngomong-ngomong, dalam sepuluh menit yang singkat itu aku udah dibuat kagum sama satu pengendara motor, seorang bapak paruh baya dengan wajah adem yang tertutupi oleh helm.

Jadi, beberapa saat setelah aku berdiri di pinggir jalan, ada seorang bapak  yang berhenti di dekat tempatku berdiri ya bapaknya ku samperin lah soalnya beliau hendak menaruh lembaran rupiah ke dalam kardus yang aku pegang.

Nominalnya nggak tanggung-tanggung. Aku -yang secara tidak sadar melanggar etika karena sempat melihat isi dompet beliau- cuma bisa terkagum dalam hati karena beliau memindahkan lembaran dengan nominal paling besar yang beliau punya di dompet ke dalam kardus. 

"Terimakasih paman."

"Iya."

Itu kebiasaan yang baru terbentuk beberapa bulan terakhir karena orang Sumbawa cenderung memakai kata "paman" daripada "bapak" saat hendak menyapa orang yang tidak dikenal.

Setelah bapaknya pergi, kardusku beberapa kali diisi sama pengendara yang lain. Kan durasiku untuk megang kardus nggak lama, jadi begitu aksi udah ditutup aku bersiap untuk bergabung dengan yang lain. Baru juga mau nyebrang, tiba-tiba ada motor berhenti,

Iya. 

Bener.

Kalau kalian nebak, aku yakin tebakan kalian bener.

Pengendara motor itu si bapake:')

Aku sempat speechless soalnya bapaknya emang make helm yang kacanya rada gelap gitu jadi wajahnya nggak begitu keliatan, tapi aku tau kalau itu bapak yang tadi.

Begitu mengucapkan terimakasih (untuk kedua kalinya) aku langsung bergabung sama kak Icha, Talitha, Naiim, Dini (mereka yang megang tulisan Suriah will be free), dan Aisyah (dia megang kardus juga di sisi yang berlainan dari tempatku berdiri).

Ameen:)

"Eh eh tadi kalian liat bapaknya nggak?"

"Iya, aku liat. Yang barusan naruh uang di kardusmu kan."

"Beneeeer. Udah dua kali."

"Tadi sebelum kamu di situ. Bapaknya juga udah lewat kok, berhenti juga naruh uang di dalam kardus."

"Sumpaaaah? Ya ampun aku terharu."

"Baik banget nggak sih."

Ternyata ada gitu orang yang sebaik itu, mungkin alasan beliau kenapa bolak-balik naruh uang biar beliau nggak langsung naruh uang berlembar-lembar, atau mungkin beliau ngambil uang dulu di rumah, atau biar memberi support ke orang-orang yang megang kardus biar kardusnya tidak kosong, wallahu alam~

Selain bapak yang super baik, ada juga pengendara sepeda (seorang bapak paruh baya lagi, ehe) yang ketika hendak melewatiku, aku sempat melihat beliau meraba-raba saku celana, tebakanku sih beliau pengen nyumbang kalau di saku celana beliau ada duit namun sepertinya nihil jadi beliau melewatiku dengan sikap tak acuh, hehe.

Nggak papa pak, niat baik bapak telah tercatat:) semoga bisa menyumbang di lain waktu. Aamiin.

Waktu udah siap-siap mau pulang, kami berenam (aku, kak Icha, Talitha, Na'iim, Dini, sama Aisyah) masih aja ngomongin bapake pengendara motor.

"Tau gak? Barusan aku liat bapaknya lewat lagi lho." Kata salah satu dari enam orang yang kusebutkan di atas (aku lupa siapa yang ngomong).

Kami cuma bisa tekagum-kagum tanpa tahu identitas si Bapak.

Aksi Kemanusiaan #SaveSuriah "Sumbawa Peduli Suriah" hari itu ditutup dengan kebaikan hati pak polisi yang mau mengantar kami pulang ke Asrama menggunakan mobil polisi, karena aku sama Na'iim perlu mengambil motor di Masjid Jami' jadi kami duduk di depan samping bapak sopir biar turunnya gampang.



"Makasih mas."

Kata Shofwa pada pak sopir yang masih terlihat muda dan sedikit mengingatkan akan seorang sosok kakak tingkat.

Wkwkwk.

byebye!

0 komentar