Setelah Setahun Sarjana (bagian pertama)

Ketika sedang menyiapkan bahan materi fase dewasa dini untuk presentasi kelompok di kelas psikologi perkembangan, ada satu ciri fase dewasa dini yang menarik perhatianku, intinya dikatakan dalam buku, “ketika individu melihat cara dunia bekerja, mereka tidak menyukai apa yang mereka lihat dan ingin mengubahnya. Setelah mereka masuk ke dunia itu, banyak yang mengikuti pola yang dulu ingin dirombaknya.

Menarik, aku mengganggap hal tersebut seperti individu yang idealismenya terkikis oleh kenyataan dunia.

foto di parkiran aja karena di titik lain banyak kerumunan manusia #SocialDistancing

Ketika berhasil menyelesaikan tanggung jawab terakhir mahasiswa strata satu yang bernama skripsi, saat sudah dinyatakan lulus di sidang, saat secara resmi memiliki gelar setelah nama, ada tiga opsi yang paling sering aku dengar sebagai pilihan untuk orang yang baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya.

Kerja. Sekolah lagi. Menikah.

Tiga pilihan yang sama sekali tidak kupilih ataupun aku pertimbangkan. Satu-satunya hal yang aku pikirkan setelah ijazah berada di tangan adalah: akhirnya bisa pulang.

Pulang. Pulang ke rumah.

Semenjak bulan Maret 2020, kontrakanku semasa kuliah yang bernama BTN Entertainment punya jadwal kumpul tiap senin malam, kegiatan rutin anak-anak kontrakan yang diisi oleh saling bertukar cerita atau membicarakan urusan internal kontrakan, kadangkala diisi juga oleh obrolan tentang rencana masa depan. Aku masih ingat perkataanku ketika ditanya apa yang akan kulakukan setelah lulus.

“Mau di rumah dulu sampe akhir tahun.”

I do what I say. Ketika sudah sampai rumah di akhir bulan September, aku benar-benar menjadi anak rumahan. Bukan orang yang mendadak jadi job hunter, bukan pula orang yang mendadak survey kampus-kampus untuk melanjutkan studi, apalagi ta’aruf dengan lawan jenis. Nggak.

Aku pikir 3 bulan adalah waktu yang cukup untuk istirahat. Begitu sudah pergantian tahun, sudah saatnya bergerak sesuai target yang sudah dibuat. Well, aku nulis ini pun sebenernya masih sedikit kebingungan gimana cara menyambungkan paragraf ini dengan konten tulisan yang ingin kutulis karena sebenarnya aku ingin merangkum tentang apa saja yang sudah kulakukan sejak awal tahun 2021, kenapa tidak bercerita dari awal tiba di rumah? Yaa karena bulan Oktober-November-Desember 2020 memang kudedikasikan untuk leyeh-leyeh. Memang ada yang tertarik membaca cerita bertema rebahan?

latar tempat: Ternate; latar waktu: akhir tahun

Januari

Malam tahun baru kulalui di atas kapal yang tengah berlayar dalam perjalanan dari Ternate menuju Bacan. Tidak ada kembang api, tidak ada selebrasi, aku tidur di tanggal 31 Desember, tidur yang nyenyak, kemudian terbangun pada subuh 1 Januari.

Happy New Year!

Dua bulan terakhir sebelum tahun baru, didorong oleh kebutuhan bersosialisasi, aku masuk ke sebuah rumah tahfidz sebagai staff administrasi. Sebenarnya hanya berniat bantu-bantu saja selama bulan November hingga Desember karena aku udah punya rencana yang ingin kulakukan ketika tahun baru datang.

Ternyata, rencana tahun baru yang kususun harus gagal karena pandemi. Aku berencana untuk merantau lagi, namun setelah melihat situasi yang tidak kondusif jika aku pergi ke daerah yang hobi kena PPKM, rencana tersebut ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Di sisi lain, aku sempat mendaftar pekerjaan yang berlokasi di luar daerah juga, sudah sampai tahap wawancara, namun karena satu dan lain hal, aku tidak mendapatkan pekerjaan itu. Ngomong-ngomong tentang bantu-bantu di rumah tahfidz, ternyata aku masih diterima di instansi tersebut. Lima jam sehari, lima hari sepekan, aku datang ke rumah tahfidz tersebut untuk merapikan berkas dan membuat jurnal umum keuangan sembari mendengar ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan oleh anak-anak.

Tidak jadi menjadi bagian dari corporate system, aku justru tiba-tiba ingin menonton anime yang diadaptasi dari komik favoritku. Iya, nggak nyambung. Padahal sebelumnya aku nggak tertarik menonton versi animenya, udah setia jadi pembaca sejak komik cetaknya masih volume 50-an, sekarang volume komiknya udah di angka 100.

Mengisi hari-hari dengan mengunduh anime ketika sedang berada di tempat yang menyediakan jaringan wifi, mulanya menonton bagian cerita yang aku suka, satu episode… dua episode… tiga episode… tau-tau aku sudah mengunduh puluhan episode.

Titik mula seorang shofwa muhimatunnisa mengoleksi anime.

Februari

Tidak pernah terpikirkan, keinginan yang muncul tiba-tiba di bulan Januari akan membuahkan utas di akun twitter pribadi yang berisi tangkapan layar dari momen-momen yang menurutku epic dari anime asal Jepang yang dibuat oleh Toei Animation. Tentu saja rutinitas menonton anime masih berlanjut, file episode yang sebelumnya masih puluhan sudah berubah jadi ratusan. Biasanya aku akan mulai nonton di sore hari atau malam selepas Isya lalu berhenti sebelum jam menunjukkan tengah malam, kalau ceritanya nanggung terkadang bablas sampai jam satu dini hari.

Di bulan Februari pula akhirnya aku menyentuh oven karena ada satu resep kue yang ingin kucoba, namanya Madelaine, kue tradisional asal perancis berbentuk kerang yang identik dengan wangi lemon dan butter.

Selain Madeleine, tontonan animeku sedang berada di cerita salah satu tokoh ngidam croquembouche sampe ngamuk-ngamuk hilang kesadaran. Berhubung penasaran, ‘apasih croquembouche itu?’ oh ternyata kue sus mini yang ditumpuk berbentuk kerucut lalu dililit oleh saus karamel. Coba buat dan gagal. Gagal yang bisa dimakan.

Membuat croquembouche karena terinspirasi oleh anime yang kutonton, eh malah chapter terbaru versi komiknya berjudul nama makanan: Kibi Dango. Kue Jepang berbentuk bulat seperti bola kecil, terbuat dari tepung beras dan dimatangkan dengan cara dikukus atau durebus dalam air, teksturnya mirip mochi. Habis croquembouche, terbitlah kibi dango.

Ini yang biasa disebut dengan ambil hal baik dalam setiap sesuatu, wkwk #alesan. Urusan akan berhasil atau tidak resep yang dicoba, yang penting bisa dimakan.

Kalau Januari jadi titik mula aku menonton anime, maka Februari menjadi titik mula aku berteman dengan oven rumah.

Recipes Unlocked: Madeleine, Croquembouche, Kibi Dango

Maret

Guess who got her new smartphone?

Me! *angkat tangan*

Sudah berbulan-bulan smartphone yang kugunakan dari awal perkuliahan menunjukkan gelagat minta pensiun, puncaknya adalah ketika aplikasi whatsapp mendadak error dan mereset semua pesan yang ada. Hilang. Terhapus tanpa bekas. Sebagai orang yang selalu menyimpan history chatt percakapan, kejadian tersebut bikin bete banget, sih. Bete tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Kejadian whatsapp mendadak error terjadi berkali-kali, bahkan ketika aku sudah di rumah, mendadak whatsapp memberi kesulitan baru, APLIKASINYA NGGAK BISA KEBUKA! ternyata kalau ketersediaan memori internal smartphone di bawah 10mb, aplikasi whatsapp sama sekali nggak bisa dibuka. Mengesalkan.

Aku pertamakali memiliki smartphone ketika masuk SMA, bertahan tiga tahun, lalu mati total. Saat diterima di Universitas Teknologi Sumbawa, aku membeli smartphone baru, bertahan empat tahun sampai kelulusan, kemudian bermasalah hingga di titik menyulitkan komunikasiku dengan teman-teman padahal posisiku sedang LDR dengan semua temanku.

Berbekal pengalaman itu, rasanya seperti new smartphone new era of my life. Smartphone pertama untuk masa SMA, smartphone kedua untuk masa saat menjadi mahasiswa, akhirnya aku memutuskan membeli smartphone untuk memulai masa dunia pasca kampus. Keputusan sulit mengingat sebenarnya aku tidak pernah menabung dengan tujuan khusus untuk membeli hp, keputusan sulit melihat dana yang kupunya belum mencukupi untuk membeli hp incaranku yang membuatku mengulang kembali kejadian 2016 saat aku membeli hp sebelum kuliah: pinjam uang ke kakak~ daripada menyesal beli hp dengan spek yang tidak sreg di hati padahal prinsip yang kuterapkan untuk barang elektronik adalah pakailah barang hingga kondisinya butuh diganti.



Dengan adanya hp baru, aku bisa mengakses banyak hal yang sebelumnya tidak bisa kulakukan. Suatu hari aku menemukan salah satu video youtube yang isinya cara membuat roti, di video itu lah untuk pertama kalinya aku mendengar istilah starter sourdough

“Campur air dan tepung pake ratio 1:1, diamkan 24 jam, lalu tambahkan tepung dan air dengan ratio 1:1, diamkan lagi 24 jam. Lakukan selama satu minggu hingga starter siap digunakan.”

Mudah, nih. Cuma tepung dan air doang. Berhubung aku memiliki banyak waktu luang, maka misi membuat starter sourdough pun dimulai.

Selain mengenal starter sourdough, dalam aspek bersosialisasi dengan sesama manusia, aku berkenalan dengan komunitas Guru Temanku. Komunitas di bidang pendidikan yang berfokus pada meningkatkan awareness tentang pentingnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris di jaman sekarang. Guru Temanku akan mengadakan kegiatan turun ke desa dari akhir Maret sampai awal April, aku berpartisipasi sebagai volunteer. Karena kegiatan Guru Temanku dan juga beberapa pertimbangan lain (yang mungkin akan kuceritakan kapan-kapan), aku memutuskan untuk berhenti dari rumah tahfidz setelah lima bulan menjadi bagian dari instansi tersebut.

Recipes unlocked: Shokupan, Roti Kepang (butterzopft), Pizza, Risol Mayo

 

2018 vs 2021.
Saat kusadari efek angka timbangan yang turun bisa dibuat before-after wkwk

April

Memulai awal April dengan kegiatan relawan di sebuah desa bernama Tanjung Obit (baca: cerita Tanjung Obit). Sepulang dari Tanjung Obit, Guru Temanku mendapat undangan kamping di tebing Tawa dari dinas pariwisata dalam rangka mengenalkan Generasi Pesona Indonesia alias Genpi sekaligus mempromosikan tempat wisata.

Kamping? Di tebing dekat pantai? That’s cool!

Aku bersama dengan tiga relawan Guru Temanku mengikuti kegiatan kamping tersebut.


Pertengahan bulan bertepatan dengan awal Ramadan, terakhir kali anggota keluarga berkumpul di rumah dengan formasi lengkap adalah tahun 2015, itupun bukan dari hari pertama puasa karena biasanya baru bisa mudik di dua pekan terakhir Ramadan. Jadi Ramadan tahun ini adalah Ramadan yang berbeda, hari pertama puasa, full team di rumah semua.

Selain full team, yang membuat Ramadan tahun ini tidak seperti Ramadan-Ramadan sebelumnya adalah aku merasa lebih… hmm… apa ya istilahnya, making connection with this holy month? Lalu aku sempat membuat ringkasan materi mengenai nabi Muhammad SAW meski pada akhirnya ringkasan tersebut tidak kulanjutkan hingga selesai. Menjelang akhir April, aku berkesempatan mengunjungi salah satu desa di kecamatan Bacan Selatan yang lokasinya jauh dari ibu kota karena harus menyusuri jalanan yang kanan-kiri hutan.

Aku juga masih berteman baik dengan oven. Oh iya! Ngomong-ngomong soal starter sourdough, aku berhasil membuat starter setelah dua kali gagal dan langsung ku uji coba untuk membuat sourdough bread.

Recipes unlocked: Sourdough Starter, Pancake, Kombucha starter (tidak berhasil), Gyoza, Choco Chip Cookies, Cinnamon Rolls, 1st Sourdough Bread

pemandangan dari kecamatan Bacan Selatan

Mei

Apalah arti Ramadan tanpa adanya mabit di 10 hari terakhir dalam rangka mengejar Lailatul Qadr, ya nggak?

Realita yang harus kudapati karena aku merantau sejak lulus sekolah dasar adalah saat aku di rumah, orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai teman main atau teman nongkrong masih bisa dihitung pakai dua tangan, bahkan teman yang sebaya bisa dihitung pake satu tangan karena hanya dua orang. Iya, dua. Balqis dan Ifah. Udahlah cuma dua orang, tidak setiap tahun kami bisa ketemu karena kami sama-sama merantau ke luar Bacan untuk belajar, keluarga kami sama-sama bukan berasal dari Bacan dan untuk urusan mudik, kami memiliki tujuan mudik yang tidak sama. Kalau Balqis dan Ifah lebaran di Bacan, aku lagi lebaran di Lampung. Kalau aku dan Ifah lebaran di Bacan, gantian Balqis lebaran di Bogor. Kalau aku dan Balqis di Bacan, Ifah lebaran di Ambon. Namanya belum jodoh, nggak pernah ketemu.

Tapi tahun 2021 berbeda.

Tahun ini Balqis datang ke Bacan karena koasnya online, Ifah juga mudik ke Bacan setelah berhasil mengejar sidang skripsi sebelum lebaran. Demi memanfaatkan momen langka ini, kami membuat rencana untuk mabit di salah satu malam ganjil.

Sekali aja mabitnya, kan masih pandemi, cukup sekali aja.

one in million years, lebay tapi beneran.

Cukup banyak resep baru yang aku jadikan eksperimen di bulan Mei, paling mengesankan dan membuat ‘I am proud of myself’ adalah ketika mencoba membuat kwetiau dan saus Bolognese.

BIKIN. KWETIAU. DARI. NOL!

BIKIN. SAUS. BOLOGNESE. HOMEMADE!

Sebagai manusia yang selalu membeli kwetiau instant di supermarket atau kwetiau di warung Jawa, berhasil membuat kwetiau dari tepung merupakan level up skill! Sebagai manusia yang selalu mengandalkan saus Bolognese dari alfamart atau indomaret, terkaget-kaget saat tau bahwa saus Bolognese bisa dibuat sendiri dan caranya pun gampang sekali.

Yah, rasa kwetiawnya masih punya residu rasa tepung beras dan bentuknya belum cantik, tapi udah level up!!! Cause I know new knowledge.

Di akhir bulan, aku mengunjungi sebuah website yang menyediakan free online course, dari sekian banyak topik online course yang tersedia, aku mendaftar di kelas Prepare TOEFL (ujung-ujungnya nggak kuselesaikan kelasnya #huft). Kursus yang kujalani punya kolom diskusi, saat aku baca-baca ternyata banyak peserta kursus yang berinisiatif membuat grup telegram atau grup whatsapp supaya para peserta bisa latihan bersama, beberapa bahkan meninggalkan nomor whatsappnya di kolom diskusi. Aku mencoba untuk mengontak salah satu nomor yang ada and voila! I am joining to whatsapp grup yang pesertanya punya nomor telepon dengan kode negara yang beragam.

Recipes Unlocked: Cireng isi Ayam Pedaz, Kwetiau from the scratch, Bagel, Siomay, Bolognese Sauce, Cuanki, Terong Katsu, Pempek, Cakwe (tidak berhasil)

hestek #ExploreTidore

Juni

Tinggal di daerah yang termasuk provinsi kepulauan membuat keinginan untuk mengeksplorasi semua kabupaten dan kota yang ada sulit untuk terealisasi.

Di sini laut, di sana laut, kemana-mana harus menyeberangi lautan biru.

Well, keinginan tersebut bisa lebih mudah dilaksanakan jikalau aku tinggal di salah satu bagian di pulau Halmahera, bisa road trip dari atas pulau hingga bawah pulau, melewati kabupaten Halmahera Utara, Tengah, Barat dan Timur sekaligus. Sayangnya tidak, aku tinggal di sebuah pulau yang terpisah dari pulau Halmahera. Bisa dibilang kabupaten Halmahera Selatan adalah kabupaten kepulauan terbesar di provinsi Maluku Utara karena terdiri dari 23% daratan dan 77% laut.

Namun keberuntungan bisa datang kapan saja, setelah lebih dari satu dekade naik kapal hanya untuk rute Ternate-Bacan-Ternate-Bacan-repeat, akhirnya aku bisa mengekplorasi tempat lain, datang ke kota lain.

Tidore dan Maitara, simbol yang ada di lembaran uang seribu lama!

Sebenarnya Tidore ni dekat sekali dengan Ternate, naik speed boat cuma butuh waktu setengah jam. Ternate-Tidore udah seperti anak kembar, sama-sama punya satu gunung, sama-sama dipimpin oleh walikota, sama-sama punya sejarah kesultanan. Cuma memang tidak pernah jadi tujuan bepergian karena emang nggak pernah punya urusan di Tidore, selalu ke Ternate, Ternate, dan Ternate. Makanya ketika dapat kesempatan untuk datang ke Tidore kepulauan, yeay finally!

Sudah sampai Juni, ada satu hal yang luput kuceritakan. Aku dapat amanah sebagai mentor untuk kelompok mentoring berisi anak-anak SMP. Kalau baru kuceritakan di bulan ini, berarti kelompok mentoringku sudah jalan tiga bulan. Di pertemuan kesekian, aku memutuskan membuat sesi debat untuk para mentee dengan topic that I am concern with, bahkan kujadikan landasan dalam membuat skripsi.

Apalagi kalau bukan sex edu.

Sex edu alias sex education alias pendidikan seksual.

Mosinya sederhana saja, “Pendidikan seksual diajarkan di sekolah.

Debat berlangsung dengan pasif wkwk, aku paham, mentee-menteeku belum familiar dengan aturan debat, baru pertamakali melakukannya. Setelah debat selesai, aku menanyakan pendapat pribadi mereka, dari 8 mentee, 6 orang tidak setuju pendidikan seksual masuk ke sekolah dan 2 orang setuju. Sebagai orang yang merasa sex education is very very important, pendapat mereka cukup bikin kaget, sih.

dua mentee paling rajin, sekarang mereka berdua sudah masuk pondok.

Sebenarnya di bulan Juni aku mendapatkan tawaran pekerjaan, tawaran yang membuat dilema karena membutuhkan komitmen sekitar enam bulan. Walaupun aku tidak punya rencana untuk keluar dari Bacan dalam waktru dekat, 6 bulan melakukan tawaran itu rasanya bukanlah sesuatu yang aku inginkan. Satu sisi ingin menerima karena statusku nothing to lose, tidak ada salahnya mencoba hal baru. Di sisi lain ingin menolak karena pekerjaan tersebut mengharuskanku berinteraksi dengan banyak orang asing selama enam bulan. Pada akhirnya, komunikasi mengenai tawaran tersebut tidak berlanjut lagi karena diriku yang tidak bisa memberi kepastian dengan tegas.

Recipes Unlocked: Mochi Bread, Pizza Rolls, Cheese Cake, Sourdough, Hotteok, Lukumades, Tteokbokki, Cuka Apel, Bomboloni.

-Coto Makassar-

Juli

It is July already, astaghfirullah enam bulan di 2021 aku ngapain aja dah, wkwk.

- dikutip dari status whatsapp tanggal satu Juli.

 

bersambung …

0 komentar