Sebelum membaca dengan postingan ini dan malah kebingungan, bisa mengecek tulisan-tulisan sebelumnya:
Ketika kita selalu berjalan ke masa depan, selalu membuka mata di pagi hari menyambut hari baru, saat tersenyum menatap birunya langit atau bersiap mengeluh tentang cuaca dan perubahan iklim ketika melihat sebentar sebentar cerah, sebentar sebentar hujan, suasana berganti dengan cepat tanda bumi sedang menghadapi perubahan iklim dan #ClimateChange is real.
Terdapat satu hal yang luput gue pahami.
Bahwa sejauh apapun gue pergi ke masa depan, tidak akan pernah bisa membuat gue terlepas sepenuhnya dari masa lalu.
Sejauh apapun kaki ini melangkah, menginjak tanah yang berbeda, mengunjungi beragam tempat, bertemu orang-orang baru, menorehkan cerita dan kenangan. Masa lalu selalu ada, di sana, di tempat yang seperti bayangan. Kadang terlupakan namun dia tidak menghilang.
sumber: pinterest |
Dari beberapa nama cowok yang sempat mampir di hidup gue (jika merujuk kamus pergaulan jaman sekarang mungkin bisa disebut gebetan atau crush), yang memang hadir untuk menorehkan cerita khusus tersendiri dan (beberapa diantaranya) meninggalkan kenangan yang berarti. Gue 99,9% yakin sebagian besar dari mereka tidak akan pernah membaca tulisan-tulisan gue, tidak akan pernah berkunjung ke blog ini, apalagi membaca tulisan yang gue buat sembari mengingat-ingat mereka. Jika pun ternyata terjadi, gue yakin itu adalah ketidaksengajaan dan mereka tidak akan tahu (lebih tepatnya tidak peduli) kalau gue sedang membicarakan mereka. Kenapa gue yakin? Karena mereka bukan orang yang suka membaca. Alasan sederhana yang sering membuat bertanya-tanya 'kenapa selalu berhubungan dengan manusia XY yang minat bacanya tidak tinggi?'. Meski ada juga seseorang yang gue yakin akan selalu membaca apa yang gue tulis, mengingat dia pernah berkunjung ke akun twitter gue (yang sayangnya sekarang sudah digembok) tapi nggak nge-follow, haha.
Eh, keyakinan pun kadang bisa salah.
Kisah yang berhubungan dengan perasaan selalu lucu untuk dikenang (setidaknya dalam kasus pribadi). Dua hari lalu bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa lalu gue belasan tahun lalu. Tidak ada yang spesial. Gue mendadak dihubungi lepas magrib, diberitahu jika ada acara kumpul-kumpul karena ada satu orang yang sedang datang ke pulau kecil ini dan akan segera pergi lagi. Setelah berpikir sekitar sepuluh menit, gue memutuskan untuk datang perkumpulan tersebut, bertemu orang-orang di masa lalu yang tidak pernah memberi kenangan buruk sepertinya bukan masalah.
Sebenarnya gara-gara satu orang ini (yang sekarang sudah tinggal di daerah lain) akhirnya gue dihubungi untuk ikut ngumpul juga. Hanya karena dulu dia sempat tebar pesona ala bocah, kemudian dibesar-besarkan oleh perilaku orang-orang yang mencocokkan kami berdua. Klise. Tidak ada hubungan istimewa di antara kami selain romansa dua insan manusia yang belum mengerti apa itu cinta (iyuhh??). Sekadar ketertarikan yang muncul dari rasa penasaran. Bahkan kabar tentang dia tidak pernah terdengar lagi selepas kelulusan, ingatan yang membekas hanyalah nama lengkap dia yang terdiri dari empat kata, dia yang maju ke depan kelas untuk praktik menyanyi lagu daerah, dia yang tersenyum memperlihatkan giginya saat waktu istirahat, dan momen perjumpaan tanpa direncanakan saat perlombaan gerak jalan. Itu saja.
Bertahun-tahun tanpa komunikasi, tidak ada momen dimana gue mendadak penasaran akan kabarnya lalu mengubek-ubek facebook atau instagram atau bertanya pada mbah google (karena nama lengkapnya masih melekat kuat di ingatan jadi bisa, lah, kalau mau ala-ala intel). Tapi gue sama sekali nggak pernah mencoba jadi intel untuk dia. Buat apa? Dia adalah masa lalu yang mampir sesaat, meninggalkan bekas namun tidak mendalam.
Ketika gue datang ke lokasi tempat ngumpul, ternyata dia sudah pergi. Hal tersebut membuat dia menyapa di ruangan obrolan pribadi untuk minta maaf karena sudah pergi lebih dulu. Memang sedikit kesal karena gue mendadak dihubungi untuk ikut ngumpul, saat dihampiri malah sudah pergi. Namun sudahlah, buat apa dipikirkan, gue tanggapi permintaan maaf dia dengan biasa saja.
Masalahnya ada di keesokan harinya, saat dia masih menyapa, bahkan sampai bilang akan kembali lagi dalam waktu dekat agar bisa bertemu.
Gue tau itu hanya basa-basi belaka, makanya gue merespon dengan basa-basi pula. Sayangnya jiwa kekepoan saya mendadak aktif saat melihat gaya ketikannya yang tidak alay. Menemukan cowok dengan gaya ketikan yang tidak membuat ilfeel itu cukup langka, apalagi ada ciri khas dari dia yang belum gue temukan di cowok-cowok yang pernah gue kenal.
Menarik.
Menarik untuk tetap mempertahankan obrolan,
Tergelitik untuk mencari tau lebih jauh, murni rasa penasaran bagaimana dia menjalani hidupnya selama ini, akhirnya gue melemparkan pertanyaan supaya komunikasi kami di ruang obrolan tidak berakhir.
Sebenernya gue udah punya boundaries atau batasan terhadap hubungan dengan lawan jenis. Boundaries yang kemudian ditambah pikiran bahwa di masa depan kelak, teman-teman cowok yang saat ini bisa dibilang cukup dekat (teman cowok, ye, bukan gebetan) (kebanyakan kawan kuliah yang satu organisasi atau satu kepanitiaan atau satu prodi, sih) akan bertemu jodohnya masing-masing. Alih-alih berpikir untuk tetap menjalin komunikasi dengan mereka, terkadang gue berpikir 'nanti apakah harus kenalan sama calon istrinya?' supaya kalau ada urusan bisa lewat si istri aja.
Berurusan sama pasangan orang, apalagi yang cemburuan? Gue nggak butuh menghabiskan energi untuk hal sepele seperti itu. Kita nggak ngapa-ngapain aja bisa dilabrak, hii. Cewek cemburuan yang hobi main labrak tanpa tabayyun itu mengerikan.
Lalu kadang gue juga berpikir untuk tidak terlalu berhubungan dengan teman-teman cowok lagi (tentu saja termasuk eks-gebetan). Jika masih berhubungan pun sewajarnya. Mau ngobrol hayuk kita ngobrol. Tapi secukupnya saja, tidak berlebihan, no hard feelings. Meski gue tahu cukup sulit menjaga komunikasi dengan eks-gebetan, namun ada sisi dalam diri ini yang masih nggak mau memutus tali silaturrahmi, atau lebih tepatnya belum waktunya untuk benar-benar saling asing.
Makanya selepas lulus dari perkuliahan, gue berusaha untuk tidak pernah menghubungi teman cowok kalau sekadar basa-basi doang. Beberapa teman cowok yang asik diajak nongkrong saat kuliah pun hampir tidak pernah lagi muncul kontaknya di percakapan whatsapp. Hubungan gue dengan teman-teman cowok sebatas penonton status sosial media masing-masing. Bahkan gue juga jarang melihat status-status mereka. Jika ingin tahu kabar mereka, biasanya gue tahan dulu sampe keinginan untuk bertanya tidak bisa dibendung lagi, atau nggak gue tunggu momen-momen yang sekiranya bisa dijadikan 'alasan' untuk menyapa temen cowok di ruang obrolan.
Biar bagaimanapun sikap dan keputusan gue dalam berinteraksi dengan cowok, selalu ada keinginan untuk ekspansi menjalin hubungan komunikasi dengan lawan jenis yang tidak sekufu, yang tidak pernah menjadi bagian dari keluarga Islam Terpadu, yang nggak tersentuh pendidikan pondok dan sejenisnya. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah agar mendapatkan wawasan baru, mungkin efek dari program studi yang gue ambil saat kuliah membuat gue selalu penasaran akan cara pandang manusia dalam melihat sesuatu, dalam memaknai dan menjalani hidup. Makanya ketika mendadak gue dihubungkan kembali ke seseorang yang ada di masa lalu gue melalui perjumpaan yang gagal, membuat gue berpikir untuk punya hubungan yang baik dengan dia. Bukan hubungan berbumbu romantisasi, sebatas hubungan kawan lama yang bertemu kembali untuk kadang-kadang ngobrol. Kadang kita butuh juga orang yang seperti itu, bukan? Orang yang bukan inner circle dan bisa dihubungi tanpa ngerasa segan ketika 'pengen ngobrol sama orang tapi bosen kalau ngehubungi temen deket' atau sebatas meluapkan kebutuhan berkomunikasi dengan orang lain supaya tidak lupa cara berinteraksi.
Tentu saja dengan tidak melupakan boundaries yang udah dibuat.
Sudah lebih dari dua puluh empat jam sejak pesan terakhir gue ke dia berstatus ceklis dua tanpa perubahan warna ke biru, sayang sekali, sepertinya gue baru saja kehilangan satu kandidat kawan baru yang (mungkin) nyambung untuk diajak ngobrol dark-side para pegawai negeri yang ada di lingkup tempat tinggal gue.
atau mungkin perlu bersabar sedikit lebih lama?
shofwa.
update: pesan gue akhirnya mendapat respon setelah 50 jam berlalu dan gue pun memutuskan untuk menutup percakapan dengan mendoakan dia wish him a great life! Memang ada perasaan senang karena bisa mengetahui kabarnya lagi namun gue merasa tidak perlu melewati batas karena kami berdua belum bertemu secara langsung. Lagipula cukup sulit mengobservasi seseorang hanya dengan melalui percakapan whatsapp saja.
Kemarin
sempat buka polling di Instagram karena aku mendadak penasaran tentang pikiran
orang lain terhadap salat wajib, aku memberi dua pilihan untuk dipilih, kedua
pilihan tersebut adalah:
1. Salat tepat waktu karena disuruh
2. Salat nggak tepat waktu karena
keinginan sendiri
Hasilnya?
54% vs 46%
Lebih banyak yang merasa lebih baik
salatnya disuruh tapi tepat waktu daripada salat nggak tepat waktu atas dasar keinginan
sendiri. Dari sekian banyak orang yang ikutan polling, ada beberapa yang
bersedia menjelaskan alasan pilihannya.
"Karena lebih baik melakukan di awal
(karena disuruh) tapi akhirnya punya kebiasaan itu (salat tepat waktu),
ketimbang nunda-nunda salat, memberi ruang pada rasa malas. In case alasan
nunda memang malas, ya. Aku masih percaya dan memegang konsep
dipaksa-terpaksa-terbiasa." - anonim
"Salat emang harus tepat waktu tapi
kalau dilakuinnya 'karena disuruh' agak kurang aja gitu, ya. Makanya kalau aku
mendingan agak ngaret karena keadaan dan keinginan sendiri dan diingatkan oleh
orang 'udah jam berapa ini kok belum salat?' 'oh iyaaa.' Bukan dipaksa atau
disuruh, gitu." -
anonim juga
Tapi kebanyakan respon yang masuk malah
nulis salat tepat waktu tanpa disuruh.
Memang harusnya begitu, idealnya emang
salat tepat waktu atas dasar keinginan sendiri dan lillah. Tapi kan gak ada
pilihan itu. Toh realitasnya malah boro-boro salat nggak tepat waktu karena
keinginan sendiri, malah ada yang salat lima waktunya masih bolong.
#eh
lokasi: Mataram, NTB |
Beberapa saat setelah membuka polling di
Instagram, aku menemukan utas yang berhubungan dengan pollingku di beranda Twitter. Utas dari akun @edgarhamas, isi utasnya seperti ini:
Ada doa istimewa yang pernah diajarkan
Nabi suatu hari, "Ya Allah, Aku berlindung pada-Mu dari shalat
yang tak memberi manfaat." (Sunan Abu Dawud).
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنْ صَلَاةٍ لَا تَنْفَعُ
(أبو داود، كتاب
الوتر، باب في الاستعاذة، برقم 1549، وابن حبان، 3/ 293، والضياء في المختارة، 6/
156، والدعوات الكبير للبيهقي، 1/ 469، وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود، برقم
1370)
Kok bisa ada shalat yang nggak manfaat?
Ada. Yaitu yang tidak penuh rukunnya, tidak ikhlas hatinya dan tak lengkap
syaratnya. Makanya kalau misalnya kamu nemuin orang yang secara zahirnya
melakukan shalat, tapi kok dia tetap berperilaku buruk; sangat mungkin itu
karena shalatnya tidak bermanfaat buatnya. Bukan karena shalatnya salah, tapi
karena cara dan kondisi jiwa ketika melakukannya tak tepat.
-edgarhamas
Jadi teringat kalimat dosen di kelas Agama
saat semester satu, "Manusia itu salat, emang fisiknya salat. Tapi ada
yang pahala salatnya 100%, ada yang 80%, atau bahkan 50% saja."
Bentar... jangan-jangan ada orang yang
salat wajibnya masih bolong lalu baca utasnya kak Edgar kemudian berpikir
"daripada gue salatnya salah, mending sekalian kaga usah salat💀"
BUKAN GITU YA.
Kalau kamu muslim tapi punya pikiran kayak
gitu, atau kamu muslim dan salat wajibnya belum lima waktu, lalu punya kawan
yang kondisinya serupa, kemudian ketika kawanmu salat kamu malah ngomong "Tumben
salat? Lu kesurupan malaikat darimana?" atau "Jiakhhh sobat
nyebat lagi tobat," atau "Ngapain salat? Emang yakin salat
kamu bener?" atau semacamnya.
Maaf, kita tidak sefrekuensi.
Karena salat wajib tidak akan pernah bisa
dinego. Tanpa tawar-menawar. Sekalinya wajib, akan tetap menjadi wajib. Meninggalkan kewajiban
artinya tidak bertanggung jawab. Melaksanakan kewajiban artinya bertanggung
jawab atas keyakinan yang dipilih. Dan individu yang mencoba melaksanakan
kewajiban tidak patut diejek atau diberi komentar yang tidak positif.
Joki Cilik sedang antri wudu untuk salat magrib |
Sejujurnya aku cukup kaget ketika di awal perkuliahan bertemu dengan orang-orang yang kolom agama di KTPnya tertulis Islam
tapi saat azan berkumandang tidak beranjak untuk salat atau saat jum'atan tapi ada laki-laki yang malah makan siang dan
ngerokok.
Eh? Kok berani sekali meninggalkan salat
wajib? Apa tidak takut dosa?
Ok. Gausah bahas dosa dulu. Dosa urusan
Tuhan.
Tapi beneran deh, apakah hatinya tidak
merasa risau nan gundah gulana saat meninggalkan salat wajib dengan sengaja?
Padahal ibadah yang merupakan rukun islam
kedua ini istimewa sekali, Allah langsung mengundang Rasulullah untuk menerima
perintah salat secara langsung. Satu-satunya ibadah yang perintahnya tidak
melalui perantara malaikat. Pun saat perintah salat diberikan, saking sayangnya
Rasulullah dengan ummatnya, khawatir ummatnya kelelahan, Rasulullah sampai
kembali beberapa kali untuk minta keringanan hingga kewajiban untuk salat
menjadi lima kali sehari. Ibadah yang sebenarnya banyak kemudahan di dalamnya,
sedang dalam perjalanan jauh? salat zuhur-asar dan magrib-isya bisa digabung
jadi satu (dari lima kali sehari, bisa jadi tiga kali sehari, loh). Sedang
berada di alam terbuka? Boleh salat pake sepatu. Nggak ada air untuk wudu? Bisa
tayamum pakai debu, pasir, tanah. Nggak bisa datang ke salat jum'at (bagi yang
cowok) karena uzur syar'i? Boleh diganti dengan salat zuhur biasa.
terus... kok... ada... gitu... seorang
muslim... yang... salat wajibnya... masih bolong dengan sengaja?
Eh, ini lagi ngomongin salat tepat waktu
dan nggak tepat waktu, ya? hehe, kembali ke topik~
Aku pernah bertemu orang yang ketika
diajak salat malah nolak karena nggak bawa mukena, posisinya lagi di luar rumah
dan jauh dari masjid, dia kekeuh kalau salat itu harus pake mukena, akhirnya malah
nggak salat karena waktu salat sudah terlewat. Padahal standar kesucian tidak
dilihat dari seberapa wangi sajadah yang kita gunakan, seberapa bagus mukena
atau sarung yang kita pakai.
Tapi ternyata ada orang yang lebih
mementingkan hal tersebut.
Ngomong-ngomong tentang salat tepat waktu,
ada satu ustazah SMA ku yang pernah menceritakan pengalamannya di kelas,
"Saat itu ustazah mau pulang ke
rumah, di jalan denger azan asar tapi nggak berhenti di masjid, nanggung,
bentar lagi sampe rumah. Saat belok di pertigaan, ustazah seperti melihat orang
yang nyebrang sambil lari, biar nggak tabrakan ustazah banting stir lalu jatuh
dari motor. Di pertigaan itu ada warung, beberapa orang lagi duduk di depan
warung. Waktu ustazah jatuh, mereka langsung menghampiri ustazah buat ngasih
pertolongan. Mereka nanya 'kenapa ustazah bisa jatuh?' Ustazah jawab aja karena mau
menghindari orang yang lagi nyebrang. Mereka bingung, mereka udah duduk lama di depan warung dan beberapa saat sebelum ustazah jatuh, nggak ada orang yang nyebrang. Mereka cuma lihat ustazah yang tiba-tiba
jatuh dari motor. Akhirnya ustazah mikir, apa jangan-jangan ini 'teguran'
karena ustazah menunda salat?"
Cerita itu selalu aku inget ketika kuliah, saat kelas perkuliahan selesai di waktu-waktu salat. Sebisa mungkin aku salat dulu sebelum perjalanan ke kontrakan yang jaraknya 14km dari kampus. Daripada ada apa-apa di jalan karena menunda salat. Meski nggak selalu begitu, sih. Kalau selesai kuliah pas hujan deras, mending langsung balik kontrakan (nggak mampir di masjid), atau kalau lagi satu motor sama temen, terkadang langsung pulang ke kontrakan (tentu saja semua itu dilakukan dengan doa yang lebih kenceng semoga perjalanan menuju kontrakan dilalui dengan aman).
suasana masjid di Tanjung Obit |
Sejauh yang aku tau, lebih baik kita sudah
siap salat justru sebelum azan dikumandangkan. Sebelum azan udah wudu, udah gelar sajadah.
Intinya udah siap buat salat. Nah, kalimat pertama azan adalah panggilan untuk
orang-orang yang belum bergerak mengambil air wudu atau untuk mengingatkan orang-orang
yang nggak memperhatikan kalau waktu salat hampir tiba. Allahu Akbar Allahu
Akbar. Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Jauh lebih besar daripada
urusan-urusan di dunia yang hanya sementara ini. Lebih besar dari sekadar video
youtube yang sedang terputar, film yang sedang ditonton, buku yang lagi dibaca,
tumpukan kerjaan yang harus segera diselesaikan, apalagi rasa malas
belaka.
Banyak ilmu yang kita tahu, lebih banyak yang
tidak karena ilmu Allah amat sangat luas. Banyak yang kita pahami, lebih
sedikit yang kita amalkan.
Tahu kalau pacaran itu dilarang, baik
pacaran yang jelas statusnya atau kedekatan yang seperti pacaran, mungkin sudah
hafal mati penggalan ayat fenomenal 'wa laa taqrobuz-zinaa' dan jangan lah kamu
sekali-kali mendekati zina, tapi tetap pacaran. Tahu kalau ghibah itu dilarang,
jangan bergunjing dan mencari-cari keburukan orang lain, levelnya 'seperti memakan daging saudaramu sendiri,' masih aja ghibah jadi kebiasaan. Tahu nggak
boleh makan dan minum sambil berdiri, tetap aja dilakuin. Tahu salat yang baik
adalah salat di awal waktu alias tepat waktu, tapi lebih sering lupa dengan
itu, lalu malah membiasakan menunda-nunda.
Semoga kita semua sedang sama-sama
berproses ke arah yang lebih baik, tetap berada di jalan yang lurus dalam
koridor keimanan.
yang masih berupaya menebalkan tauhid,
shofwa
“It is July already, astaghfirullah enam bulan di 2021 aku ngapain aja dah, wkwk.”
- dikutip dari status whatsapp tanggal satu Juli.
Silakan membaca bagian satunya terlebih dahulu sebelum membaca postingan ini: Setahun Setelah Sarjana (bagian pertama)
foto wisuda di parkiran untuk menghindari kerumunan |
Juli
Kisah bulan ketujuh dimulai dengan seorang
anggota keluarga terkonfirmasi positif covid, satu anggota keluarga yang lain
GERD-nya sedang kambuh. Di sisi lain, starter sourdough yang sudah kurawat
dengan hati-hati dari bulan April menunjukkan gejala yang tidak baik.
Apa itu starter sourdough? Nama lain dari
ragi alami. Tau fermipan? Fermipan itu ragi instant siap pakai yang dibuat di
pabrik sedangkan starter itu ragi alami yang dibuat sendiri. Homemade yeast
gitu, lah.
Setiap hari starter sourdough harus rutin
dikasih makan, pake apa? Pake tepung dan air. Tanda dari starter yang hidup
adalah ketika diberi makan, volumenya akan naik minimal double in size. Setelah
naik, volumenya akan turun kembali (kalau udah turun tandanya udah lapar, harus
dikasih makan lagi). Nah, starter sourdoughku tidak double in size padahal udah
dikasih makan, diem aja kayak mati suri. Beberapa hari kemudian, muncul bintik
hitam. Wah, sepertinya udah terkontaminasi karena aku sempat mencuci toples
starter menggunakan sabun cuci dan lupa disterilisasi pake air panas. Maka,
berakhirlah hidup starter sourdoughku yang sudah ada di dunia selama tiga bulan
lamanya.
Dengan situasi tersebut, otomatis aku tidak
bisa membuat sourdough. Pun dengan kondisi dua orang rumah yang tidak sehat
membuat seluruh penghuni rumah langsung isolasi mandiri. Aku menghabiskan tiga
pekan #DiRumahAja tanpa keluar rumah sama sekali, kembali ke rutinitas menonton
anime (update: ada kenalan yang ternyata punya file anime ini dari episode 1
sampai 900-an, jadi sekarang koleksiku sudah lengkap >.<), melanjutklan
utas twitter berisi tangkapan layar yang sempat berhenti sesaat.
Nah, di bulan Juli ini mulai muncul perasaan useless yang cukup kuat karena merasa sudah membuang waktu dengan kesia-siaan serta kemalasan yang bikin istighfar. Mungkin karena tiga pekan mendekam di rumah tanpa kena sinar matahari, ditambah fakta sering menunda-nunda pekerjaan karena ‘ah, masih bisa dikerjakan besok,’ serta kebutuhan akan improvisasi diri yang tidak tersalurkan karena tahun 2021 udah jalan tujuh bulan tapi kok gue masih gini-gini aja.
Sejak awal selalu yakin bisa mendapat
pengalaman yang kuinginkan jika ke luar dari Bacan, di bulan Juli keyakinanku
mulai goyah ‘lah, emang kompetensi diri kamu setinggi itu sampe yakin
banget?’
Benih-benih rasa penat mulai muncul, kadang
cemas diselimuti oleh pikiran negatif, merasa perlu bergerak tapi nggak punya
pemantik. Sampai di titik punya pikiran, “kalau bulan ini Nadia balik ke
Padang untuk kuliah. Apa aku ikut dia aja kali, ya? Ngerantau ke Padang.”
I need escaping from this little island.
Aku tau, tidak banyak kesempatan yang bisa
kulakukan sebagai sarjana psikologi di pulau kecil ini. Kalaupun ada,
kesempatan tersebut pasti bersisian dengan dunia pendidikan; satu dari tiga
bidang konsentrasi di psikologi. Masalahnya adalah, sejak masih duduk di bangku
kuliah, di antara klinis, pendidikan dan PIO (psikologi industri dan
organisasi) jika aku harus mengurutkan dari favorable hingga unfavorable.
Urutannya adalah: Klinis > PIO >>>>>>>>>
Pendidikan.
Sudah terlihat jelas bahwa aku menghindari
berhubungan dengan terlalu banyak orang dan terlalu banyak pihak secara
langsung, wkwk #RealitasINFP
Kesehatan mentalku lagi nggak baik-baik aja
di bulan Juli. Bacan dan slow pace livingnya sungguh membuatku gregetan.
Mendadak aku merindukan kehidupan saat agendaku diisi oleh kuliah seharian,
saat harus begadang mengerjakan tugas, atau gerak cepat untuk urusan
organisasi.
You know, kelamaan duduk di tempat tidak
bagus, kelamaan berlari juga tidak bagus. Life must balance.
Semisal aku mendapat kalimat ‘dasar pengangguran’
atau ‘beban keluarga’ atau ‘ngapain kuliah jurusan psikologi? Kenapa dulu nggak
kuliah di jurusan pendidikan? Habis lulus langsung dapat kerja’ dari orang
lain ketika mentalku lagi nggak baik, aku bisa makin desperate dan feeling useless, untung saja
kalimat-kalimat semacam itu kudapatkan di bulan lain, bukan di bulan Juli~
Bukan sekali-dua kali aku berpikiran untuk
menumpahkan unek-unek dan kegundahanku to some people I consider as my close
friends (Ya Allah akhirnya gue bisa nyebut orang lain as a close friend T.T) (terharu),
sekali waktu berpikir “Mau nelpon A buat cerita,” lain waktu berpikiran
“Pengen video call B minta advice,” tapi setiap aku memegang smartphone,
aku merasa situasiku it's okay, I can handle it, its not a big thing. Dan saat
aku sedang diselimuti emosi negatif, aku nggak akan deket-deket sama
smartphone, nggak akan kupegang benda berbentuk kotak itu karena merasa
smartphone hanya menyumbang lebih banyak aura negatif. Makanya berakhir jadi
nggak menghubungi siapa-siapa dan tidak berbicara pada siapa-siapa.
Aku mencoba menganalisis kondisi dan situasiku, menganalisis sebab dan akibat dari kemungkinan-kemungkinan atau rencana-rencana yang bisa saja terjadi di masa depan, mengingat kembali tujuanku saat lulus, tujuanku kenapa dulu terburu-buru pulang ke rumah. Bahkan saat sedang berpikir, sampai muncul pertanyaan, ‘apakah memalukan jobless setelah sepuluh bulan punya gelar?’ muncul pertanyaan ‘inikah yang dinamakan quarter life crisis?’ yang jawabannya adalah enggak, bukan quarter life crisis, aku nggak panik, situasiku bukan situasi krisis yang membuat tidur tak nyenyak, makan tak nyaman.
Lalu apa, dong?
Kondisiku persis seperti manusia yang gak
punya tujuan hidup dan rencana masa depan. Padahal sebenernya punya, sebenernya
ada. Tapi memang gloomy July, semuanya terasa salah dan tertutup kabut.
And at the end of July, I got my conclusion.
“Saat
graduated, 3 opsi mainstream nikah/kerja/S2 nggak ada yang kupilih. Kehidupan
pasca lulus aku samakan dengan gap year. 16 tahun sekolah tu long period of
time, istirahat dulu laaa. Batasnya one year, satu tahun do whatever i want
(even hanya leha-leha pun), it's okay. And due to pandemic situation,
keep stay at home (re: Bacan) is the best option for me, for now.” – dikutip
dari utas twitter tertanggal 29 Juli 2021.
Gap
year yang baru kuakui di bulan Juli, toh rencana awalku hanya tiga bulan saja beristirahat,
sampai Desember 2020. Ternyata covid membuatku harus memperpanjang situasi ini
hingga Juli. Sudah Juli, dua bulan lagi tepat setahun, yowes sekalian aja deh
kubuat setahun, kusebut gap year. Banyak orang yang gap year dari kelulusan SMA sebelum lanjut
kuliah. Bukanlah hal yang berdosa untuk gap year dulu sehabis kuliah sebelum
menjalani kehidupan nyata yang penuh sikut, penuh konflik, juga penuh
pembelajaran akan hidup.
Setiap orang punya situasi yang berbeda. Di
situasiku, aku merasa jika harus mengikuti what majority people do, misalnya
setelah lulus harus ‘mendapat pekerjaan dan mulai meniti karier’ supaya
nggak digosipin dan dianggap berhasil, I will feel like I'm losing myself and can't breathe, sagitarius
nggak bisa dikekang (halah) (bawa-bawa zodiak) (wkwk). Atau misalkan harus
menikah, I can’t do that cause I am not ready yet to share the rest of my
life with someone else. Atau kalau segera mencoba untuk S2, sampai saat ini
masih ada hal yang membuatku tidak bisa melakukan itu, something unfinished.
And guess
who got the first dose of vaccine?
Of course, it’s me!
Luka bernama sense of useless feeling
dapet plester berlabel ‘sudah turut berpartisipasi untuk meningkatkan persentase
penerima vaksin di Indonesia’ #simplethingsmatter
Seperti ingin mengobati kegalauan seorang
hamba, di suatu pagi bulan Juli mendadak aku mendapatkan telepon dari kepala
sekolah sebuah SMP Islam Terpadu. Inti dari percakapan telepon pagi itu adalah,
“Guru bahasa Inggris kami saat ini masih
cuti melahirkan sedangkan bulan depan rencananya siswa-siswa sudah sekolah
offline. Kira-kira mbak shofwa bisa menggantikan sementara tidak, ya? Untuk
satu bulan. Meski SMP, tapi materi bahasa Inggrisnya seperti materi anak SD,
kok. Lalu kami juga sedang mencari guru BK, kalau mbak Shofwa berminat, besok
bisa datang ke SMP sambil membawa berkas lamaran.”
Begitu percakapan telepon terputus, beberapa detik aku termenung, cara Allah dalam menghibur hambaNya kadang melalui jalan yang tidak terduga. Thank God, is that Your response because I feel sad? You want me to wake up and shine bright again?
Seandainya percakapan itu berisi tawaran posisi guru BK saja, akan kutolak saat itu juga (lagi-lagi ini perihal bidang pendidikan yang ada di urutan ketiga). Selanjutnya bagaimana? Meski masih terdapat sedikit keraguan, aku memutuskan untuk menerima tawaran itu. Bukan karena butuh pekerjaan, bukan karena butuh uang. Namun karena aku butuh aktifitas yang mengharuskanku untuk ke luar rumah agar aktif bergerak.
So, that was my life update on July, I will
be an english teacher, for a month (six weeks to be exact).
Recipes Unlocked: Butter Rolls, Roti Unyil, Noddle from scratch, Palm Sugar Cookies, Roti Tawar, Bomboloni
abaikan cermin yang kotor ;D |
Agustus
Ketika tanggal satu Agustus datang, sudah
satu pekan berlalu sejak aku menjadi bagian dari SMP Islam Terpadu.
Sebelumnya aku pernah sempat ala-ala magang di sekolah ini ketika
kuliahku libur tiga bulan di tahun 2017, jadi aku sudah mengenal sebagian besar
wajah yang kutemui di sekolah, beberapa memang ada yang asing. Di pekan pertama aku sudah mengenal semua
ustazah, masih asing dengan para ustaz. Baru di pekan kedua aku berhasil mengingat wajah
dan nama semua ustaz dan ustazah.
Penyebab yang melatarbelakangi kepala sekolah
mencari guru pengganti sementara adalah karena sekolah akan mengadakan
pembelajaran tatap muka. Memang setahun terakhir dunia pendidikan harus
beradaptasi dengan covid dan membuat segala proses belajar-mengajar bersifat kondisional.
Kalau situasi membaik, anak-anak masuk sekolah. Kalau situasi sedang tidak
baik, anak-anak sekolahnya online. Ternyata ketika aku masuk, sekolah belum
bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka dikarenakan situasi Bacan yang ada di
level tiga. Sekolah baru memulai pembelajaran tatap muka secara bertahap di
pertengahan bulan.
Bagaimana kesanku ketika menjadi guru?
I felt alive.
Seperti beruang yang selesai hibernasi dan
menyapa matahari, seperti tunas-tunas bunga yang akhirnya bisa mekar karena
musimnya telah tiba, aku serasa hidup kembali.
Saking banyaknya hal-hal yang memberiku
insight dan perubahan-perubahan diri yang juga baru kusadari, pengalamanku selama menjadi
guru akan kuceritakan di postingan yang terpisah (kalau sempat) (jangan
ditunggu) (udah kebanyakan utang tulisan) (hehehehe) (#gataumalu), karena kalau
kuceritakan sekarang, bisa-bisa aku harus memperpanjang judul ini hingga part
#3
And I've got
the second dose of vaccine, I am fully vaccinated💖
Di bulan Agustus, aku berhasil level up! skill
masak. Gara-gara nonton Masterchef Indonesia session 8 saat tantangan pasta,
jadi tertantang juga untuk buat pasta. Jenis pasta yang kubuat adalah
fettucini, lalu saosnya tentu saja tidak lain tidak bukan adalah saos Bolognese
(baru bisa bikin itu wkwk). Lima orang yang kerja di dapur, dua jam waktu yang
dibutuhkan untuk membuat fettucini + saus Bolognese. Ketika para amatir bergerak
tanpa berpacu dengan waktu, santai~
But it turns good, yumm!
Recipes Unlocked: Fettucini from scratch, Roti, Niku Udon from scratch, Bubble Bread
Back to #UnemployedLife
Kehidupan bulan Agustus membuatku jarang berteman
dengan oven, makanya ketika sudah kembali memiliki banyak waktu luang, aku udah
punya daftar resep-resep yang hendak kucoba.
Ingat starter sourdougku yang mati di bulan
Juli? Sebenarnya sebelum starter itu mati, aku sempat membuat versi keringnya
sebagai jaminan jika starterku kenapa-napa. Benar aja kan, starterku mati di
bulan Juli. Maka misi pertama di bulan September adalah membangkitkan kembali
starter sourdough.
spidol biru batas tinggi starter yang sebenarnya, setelah diberi makan, tingginya naik! |
Bulan September bertepatan dengan kembalinya bungsu ke pondok untuk belajar setelah hampir setahun melakukan pembelajaran jarak jauh. Karena di bulan sebelumnya aku mendapat uang *uhuk* membuatku bisa membeli beberapa barang dan bahan untuk mengeksekusi daftar eksperimen resep yang sudah kubuat.
Rasanya mentalku akan baik-baik saja dalam
menjalani bulan ini, meski fisikku tidak.
Setelah setahun lebih tidak melakukan
tindakan apa-apa terhadap gigi geraham bungsu yang tumbuhnya tidak lurus,
akhirnya gigi geraham bungsuku melakukan pergerakan yang membuatku menderita.
Impaksi molar ketiga.
Molar ketiga atau gigi geraham bungsu memang baru tumbuh ketika manusia menginjak usia 20-an tahun dan tidak bisa dipastikan kapan tumbuhnya. Kalau punya rahang yang sempit, atau memiliki susunan gigi yang tidak rapi, impaksi molar ketiga amat sangat mungkin terjadi. Hingga postingan ini muncul di bianglala, aku masih mengandalkan rongga mulut bagian kanan untuk mengunyah makanan bertekstur keras, menolak untuk mengunyah dengan geraham bagian kiri karena impaksiku memang bagian kiri. Kunjungan terakhir ke dokter gigi menghasilkan keputusan aku butuh bertemu dokter spesialis bedah mulut untuk menyelesaikan permasalahan impaksi ini. Sayangnya, dokter yang kubutuhkan tidak bertugas di RSUD. Saat ini tidak ada dokter spesialis bedah mulut di Bacan. Kalau ingin bisa mengunyah dengan nyaman lagi, tandanya aku harus menyebrang pulau untuk mencari dokter, pilihan yang tidak bisa diambil dengan gegabah “oke, besok malam berangkat ke Ternate mencari dokter bedah.”
Gak bisa begitu.
Gara-gara impaksi molar, muncul satu prinsip
yang perlu diperhatikan ketika tinggal di wilayah terpencil: milikilah pola
hidup sehat hingga di titik kamu tidak memerlukan dokter spesialis yang tidak
berada di Bacan.
Tahun 2021 sudah berjalan sembilan bulan, di
bulan ini tepat setahun aku menyandang gelar sarjana psikologi. Dari
panjangnya tulisan dari bulan Januari hingga September, justru kejadian yang paling penting belum kutulis karena,
yah, memang mau kutulis untuk epilog.
Apakah itu?
Kesempatan untuk tinggal di rumah dengan personil lengkap.
Aneh? Mungkin bagi orang lain terasa aneh.
Memangnya ada apa dengan hidup serumah dengan keluarga inti?
Keluargaku tidak pernah tinggal di satu atap
sejak kakak pertamaku merantau di tahun 2006. Aku empat bersaudara, punya satu
kakak dan dua adik. Kakakku sudah tidak tinggal di rumah dan hidup bersama mama
piara ketika ia berada di kelas tiga SD karena kala itu sekolah berbasis islam
terpadu hanya ada di ibukota provinsi dan dia cuma pengen sekolah di SDIT.
Kecil-kecil bikin repot, songong bat kudu sekolah di Islam Terpadu.
Adik bungsuku lahir tahun 2007 dan tahun 2010
aku merantau untuk sekolah di SMP yang letaknya jelas bukan di Bacan dengan
alasan yang mungkin terkesan konyol: untuk nyari saingan. Sebenarnya aku
sudah berniat untuk melanjutkan SMP di Bacan aja, gak perlu merantau, sudah sempat
mendaftar di sekolah negeri, ujung-ujungnya malah merantau karena merasa nggak akan
punya saingan yang membuatku termotivasi untuk lebih rajin belajar. Kan mana seru kehidupan sekolah kalau gak ada orang yang
bisa dianggap saingan untuk urusan akademik.
Setelah itu, bisa ditebak kelanjutannya, keluarga
kami hanya bertemu ketika momen idulfitri saja. Idulfitri kan identik sama
liburan dan Ramadan dan lebaran, durasi kami bertemu juga tidak pernah lebih
dari satu bulan. Mana ada sekolah yang durasi libur semesternya satu bulan?
Kakakku tetap merantau hingga kuliah, aku pun
sama, tidak pernah kembali ke Bacan terkecuali untuk liburan, adikku (si anak ketiga) mengikuti
jejak kedua kakaknya dengan merantau pasca lulus SD. Ketika kakakku sudah lulus
kuliah dan bisa pulang ke rumah, ketika aku juga berada di situasi yang sama, si
anak ketiga masih harus merantau karena berkuliah di Sumatera dan giliran si bungsu
untuk merantau karena sudah lulus SD.
Mana bisa bertemu tanpa embel-embel liburan? Mana bisa tinggal serumah
kalau anak-anaknya saling pergi-menetap-pergi-menetap?
Ternyata -qadarullah- bisa lho. Ternyata hal
yang mustahil bisa jadi mungkin. Dan yang menjadikan hal tersebut mungkin
adalah karena pandemi.
Yes. Because of covid-19.
Perkuliahan anak ketiga berubah jadi online,
dia bisa pulang ke rumah karena tidak harus datang ke kampus. Sekolahnya bungsu
juga berjalan secara daring di satu semester pertama, masuk semester genap dia sempat masuk
pondok di bulan Januari, lalu muncul surat edaran santri harus dipulangkan di bulan Februari karena situasi
di Jawa masih belum bisa dikatakan normal. Sepanjang Februari akhir - Agustus bungsu akhirnya bersekolah secara jarak jauh, pilihan yang membuat dia harus tidur larut malam karena dia punya jadwal halaqoh malam yang baru mulai jam 20.00 WIB.
WIB, sedangkan bungsu tinggal di daerah WIT.
Berapa lama rumah ini diisi oleh enam orang? Sebulan?
Dua bulan? Enggak. Kami dapat kesempatan untuk tinggal bersama selama hampir
satu tahun! Kesempatan yang setelah aku pikir-pikir, tidak akan terjadi lagi.
Bahkan jika suatu saat nanti aku punya kekayaan tanpa batas, sudah sukses bin
financial freedom, aku tidak yakin bisa membuat keenam anggota keluarga tinggal
di bawah atap yang sama. Usia tidak ada yang tahu, jodoh tidak ada yang tahu,
masa depan itu misteri.
Siapa yang bisa menjamin si bungsu yang masa
rantaunya masih sekitar 8 tahun lagi akan kembali untuk menetap di Bacan?
Siapa yang bisa menjamin dalam kurun waktu 8
tahun, kakak atau si anak ketiga belum ketemu jodohnya?
Siapa yang bisa menjamin aku masih tinggal di
Bacan 8 tahun lagi?
Nggak ada.
Belum lagi kalau membicarakan kemungkinan
bertemu dengan kematian.
Berhubung love languageku adalah quality time,
what matter to me is I got this opportunity. Sebuah kesempatan yang tidak bisa
terjadi tanpa izin ilahi.
Ada momen-momen ketika aku bersyukur sudah memilih untuk menghabiskan empat tahunku mempelajari ilmu jiwa, karena ilmu tentang manusia itu sama sekali tidak akan pernah sia-sia. Ketika aku belum bisa memanfaatkan ilmu yang kupelajari untuk orang lain, aku bisa mengaplikasikan ilmuku untuk diriku sendiri. Tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang kujadikan status whatsapp di bulan Juli.
Udah ngapain aja?
Mencoba belasan resep baru, meningkatkan kemampuan dengan membuat makanan-makanan yang bisa dengan mudah dibeli (halo kwetiau, halo saus bolognese, halo pasta), pertamakali menjadi relawan di daerah sendiri dan melihat realita pendidikan di wilayah Timur Indonesia,, berurusan dengan angka-angka saat membuat jurnal umum, bahkan berkesempatan memiliki pengalaman menjadi guru!
Apakah gap yearku beneran selesai dalam satu
tahun? Well, let’s see. I can’t answer that question right now, but I try to fill my life with
value, putting meaning in every situation. I live my life, so do you. Aku
harap kamu juga bisa menjalani hidupmu tanpa perlu membandingkan dengan
kehidupan orang lain yang membuatmu jadi merasa gagal.
Kalau udah terlanjur comparing your life with
others, coba nonton drama korea berjudul Reply 1988.
Karena sosok abangnya Jongpal amat sangat
membantuku dalam menghindari keterpurukan.
Kalimat penutup yang out of nowhere sekali,
bukan. Wkwk.
warm regards.
shofwamn
Ketika sedang menyiapkan bahan materi fase dewasa dini untuk presentasi kelompok di kelas psikologi perkembangan, ada satu ciri fase dewasa dini yang menarik perhatianku, intinya dikatakan dalam buku, “ketika individu melihat cara dunia bekerja, mereka tidak menyukai apa yang mereka lihat dan ingin mengubahnya. Setelah mereka masuk ke dunia itu, banyak yang mengikuti pola yang dulu ingin dirombaknya.”
Menarik, aku mengganggap hal tersebut seperti individu yang idealismenya terkikis oleh kenyataan dunia.
foto di parkiran aja karena di titik lain banyak kerumunan manusia #SocialDistancing |
Jika biasanya ucapan untuk memulai sesuatu adalah dengan basmalah, kali ini aku akan menggunakan ucapan hamdalah untuk
mewakili perasaanku ketika memegang sebuah buku berukuran sebesar majalah,
dengan tebal yang seperti majalah, dan sampul yang terlihat seperti sampul milik sebuah
majalah yang tidak menarik, yang kalau majalah ini ditaruh di rak toko buku,
mustahil ada orang yang ingin membelinya.
Oke, kita mulai saja cerita tentang buku-majalah ini.
Alhamdulillah.
Akhirnya berakhir juga penantian yang tidak pernah direncanakan.
Aku pikir, kenangan yang tersisa dari pembuatan Buku Tahunan Sekolah hanyalah tiga postingan di blog ini yang menceritakan Behind The Scene pemotretan BTS. Tiga postingan yang menjadi bukti bahwa angkatan 11 SMA IT Abu Bakar Yogyakarta pernah akan membuat Buku Tahunan Sekolah.
Buku Tahunan Sekolah, disingkat BTS, istilah lainnya yearbook.
Pikiran yang sebenarnya muncul bukan tanpa dasar.
Sekitar satu tahun setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, aku berkesempatan untuk datang ke Jogja, kedatangan yang membuatku bisa bertemu teman SMA, bahkan nginap di kosannya. Saat sedang menginap, tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan yang tidak terduga,
"Kamu tau nggak e kenapa BTS kita belum jadi?"
"Nggak. Emang kenapa?"
"Jadi ceritanya........"
Seingatku, itu adalah momen pertama aku tau bahwa ada masalah yang terjadi dalam pembuatan Buku Tahunan Sekolah, masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh satu-dua orang (terkecuali ia adalah crazy rich) karena menyangkut dana.
Dana = uang
Uang = sumber segala masalah yang menyangkut ego, tekanan kondisi, dan juga hawa nafsu.
Secara garis besar, yang paling menghambat progres pembuatan BTS memang tentang dana. Setiap aku bertemu alumni satu angkatan dan membahas perihal Buku Tahunan, pasti yang kita obrolkan adalah tentang masalah itu. Sebatas ngobrol aja tanpa memikirkan solusi karena aku merasa itu adalah tugas panitia (untuk memikirkan solusi).
Setahun, dua tahun, tiga tahun, kabar BTS Angkatan 11 masih tidak berubah.
Masuk tahun keempat, BTS yang pernah aku tunggu-tunggu karena akan menjadi BTS pertama dan terakhir yang kumiliki sudah berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah kupikirkan lagi. Sekitar bulan Oktober 2020 aku sempat terlibat obrolan dengan seorang kawan tentang kelanjutan BTS, kami berdua sama-sama bukan panitia, sama-sama nggak pernah dapat update lagi tentang BTS. Kesimpulan obrolan kami adalah kalau memang BTS ini nggak bisa dicetak, mohon sikap tegas panitia, mungkin bisa merilis permintaan maaf, sekaligus kejelasan kabar (karena selama ini aku hanya mendengar cerita BTS melalui teman ke teman), dan akan diapakan uang yang ada. Masukin ke kitabisa? Dijadikan plakat bergilir? Diberikan ke forum alumni sebagai donasi angkatan? I don't mind. Emang udah nggak berharap, lagi pula kasihan juga panitia yang memegang uang BTS selama 4 tahun. Hebat banget bisa sabar megang uang yang tanpa kejelasan selama 4 tahun tanpa ngerasa greget.
/berkaca pada diri sendiri/ /megang uang kontrakan pasca lulus aja cuma bertahan enam bulan/ /auto koar-koar 'ni uang mau diapain?'/
Selang sebulan percakapanku dengan seorang kawan yang tidak akan kusebut namanya, mendadak grup whatsapp yang berpenghuni teman-teman kelas saat SMA rame dengan topik pembahasan BTS.
Ternyata....
Ternyata perkara BTS ini masih diurus oleh panitia.
Banyak teman kelas yang kemudian mengeluarkan opininya terkait BTS, muncul diskusi aktif di dalam grup, setelah saling berbagi pendapat, saling merespon satu sama lain, lalu memastikan file foto BTS masih disimpan oleh pihak percetakan, ujung-ujungnya kami sepakat untuk memakai cara shodaqoh sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah yang ada.
klasik.com/LunaskanTagihanBTS
Solusi sudah ada, pihak-pihak yang ingin memperjuangkan BTS sudah bersuara, relawan yang bersedia membantu panitia untuk mengawal kelanjutan BTS juga sudah menyatakan kesediaannya.
Pada titik ini, rasanya seperti ada harapan lagi. Bahkan dengan penghuni grup kelas yang sudah menyebar, teman-teman yang mungkin ada yang sudah lost contact, ajakan untuk bergotong royong tetap mendapat sambutan baik. Klasik memang keren.
Perlahan-lahan, urusan BTS menunjukkan progress ke arah yang meyakinkan, "bisa nih BTS dicetak, bisaaa." Hampir setiap bulan ada kabar terbaru mengenai BTS.
Masuk tahun kelima pasca kelulusan SMA, di awal bulan Agustus, koordinator yang menjadi perantara komunikasi antara kelas kami dengan panitia BTS mengirimkan pesan di grup yang isi pesannya kurang lebih seperti ini:
"Alhamdulillah setelah beberapa proses, finalisasi BTS kita selesai juga. Udah dicetak dan udah siap kirim ke tempat kalian masing-masing. Untuk itu kita perlu temen-temen ngisi g-form untuk data pengiriman. Pengiriman kita mulai setelah batas waktu pengisian g-form. Semua ongkir pengiriman ditanggung penerima."
AKHIRNYA!!!
AKHIRNYA BERAKHIR JUGA PENANTIAN SELAMA LIMA TAHUN INI.
Karena tempat tinggalku jauh dari rumah panitia yang memegang cetakan BTS, aku harus bersabar menunggu paketku datang karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak masalah. Lima tahun saja bisa menunggu (yaa dengan episode sudah tidak memikirkan lagi), apalagi cuma menunggu beberapa pekan lagi. Apalagi ada kabar baik tambahan, ongkos kirim yang semula ditanggung penerima mendadak dihapuskan karena ada pihak yang bersedia membayar semua tagihan ongkos kirim.
Sembari menunggu paket, aku melihat update-an teman-teman satu angkatan di Instagram ataupun Whatsapp yang sudah menerima BTS di rumah masing-masing.
"Aneh karena far lower than expected, but okay." - ujar seseorang
"Ada thanks card-nya, uwu." - testimoni dari yang lain
Ternyata panitia menyisipkan kartu ucapan terima kasih sekaligus permintaan maaf karena kesalahan yang sudah terjadi selama pembuatan Buku Tahunan Sekolah.
Demi mendengar dua komentar itu, aku langsung menurunkan ekspektasiku dan juga makin tidak sabar melihat bentuk fisik BTS.
Time Space.
Tulisan di halaman sampul BTS.
Ruang Waktu.
Mungkin yang mengusulkan judul itu adalah orang yang semasa sekolah mengagumi ustaz Cahyo (guru Fisika paling cool) jadinya kepikiran judul yang ada sangkut-pautnya dengan Fisika, atau mungkin dilatarbelakangi oleh pengalaman betapa panjangnya perjuangan untuk menyelesaikan BTS hingga rasa-rasanya seperti menembus ruang dan waktu.
Ku buka halaman pertama
Terpampang foto ustaz mapel Kimia sekaligus kepala sekolah pada masanya dengan tulisan ucapan selamat atas kelulusan dan juga terselip doa semoga angkatan 11 senantiasa istiqomah menapaki jalan-Nya.
Kulanjutkan dengan membuka halaman kedua dan ketiga
Berjejer wajah-wajah guru dan staff SMA IT Abu Bakar, beberapa masih kuingat, beberapa menimbulkan tanya "siapakaaaahh beliauuu???"
Lembar per lembar halaman BTS ku buka
Hmm...
Ok.
Akan kututup tulisan ini dengan tema pemotretan KLASIK aka Kelas Alam Asik aka kelas XII IPA 3 untuk Buku Tahunan Sekolah, siapa tau pada lupa
Pada jaman dahulu kala, terdapat 34 wanita Arab berkarakter random yang ingin mencari harta karun. Mereka memutuskan untuk memulai pencarian harta setelah memiliki sebuah peta dengan simbol X yang melegenda. Tanpa lelah mereka mencari dengan berjalan beriringan, mencari di tengah padang pasir yang membuat tangan mereka belang saking panasnya cuaca. Beberapa saat kemudian, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di tengah teriknya matahari yang tidak seberapa dibandingkan panas Neraka. Setelah pencarian panjang penuh perjuangan, mereka pun menemukan simbol X yang berada tepat di atas pasir.
"Ini dia simbolnya," sahut seseorang.
"Tidak bukan, itu."
"Tapi lihat, ini tanda X yang kita cari."
"Apa kamu bodoh? bagaimana bisa ada tanda di atas pasir? Memangnya pasir sama dengan tanah?"
Namun, wanita-wanita tersebut memutuskan untuk tetap menggali. Dan benar, mereka menemukan sebuah peti cokelat yang tidak bertakhtakan batu mulia apapun (jangan tanya bagaimana cara menggali di atas pasir). Setelah mencoba untuk membuka peti tua dengan sedikit susah payah, mereka terkejut begitu melihat apa yang mereka temukan di dalam peti.
HARTA KARUN BERUPA TUMPUKAN KITAB MINHAJUL MUSLIMIN DAN CERMIN KEBANGSAAN KELAS!!!
salam penuh syukur,
shofwamn
Bianglala's Author
Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.
Diberdayakan oleh Blogger.