Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller
Udah bikin judul postingan yang sedikit menyiratkan kegundahan.

"nggak, nggak, judulnya jangan begini."

Dibilang kangen bianglala nggak? jelas kangen.

Mungkin, mungkin loh ya, mungkin aja aku terlalu serius berpikir untuk mengumpulkan orang agar banyak orang datang ke BTN Entertainment.

Meski sebenarnya aku nggak butuh-butuh banget. Aku nggak butuh banyak orang berkumpul, aku nggak butuh cucian piring yang menumpuk, aku nggak butuh interaksi dengan belasan atau puluhan orang hanya untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi.

Sejak awal tahun 2020, ketika aku masih memiliki pilihan, aku lebih memilih berlebaran di Sumbawa mengingat bahwa bisa jadi tahun ini merupakan tahun terakhirku di Sumbawa (AAMIIN!) daripada harus mudik ke rumah dan berlebaran di Bacan. Lagipula adekku yang berkuliah di Sumatera juga baru bisa pulang pasca Idulfitri karena harus mengikuti Ujian Akhir Semester terlebih dahulu.

Rencananya, aku akan berada di Sumbawa untuk menyelesaikan tanggung jawab yang tersisa sebagai seorang mahasiswi lalu aku akan pulang bertepatan dengan jadwal libur semester adekku.

Hingga datang situasi yang tidak terduga dan mengubah banyak hal dari segala aspek kehidupan.

Tiba-tiba adekku pulang ke rumah di akhir April.

Tiba-tiba aku tidak memiliki pilihan.

Tiba-tiba aku harus menetap di Sumbawa hingga Idulfitri dan entah sampai kapan.

Meskipun tetap di Sumbawa, ada perbedaan yang kurasakan antara 'memilih lebaran di Sumbawa' dan 'harus lebaran di Sumbawa.' Ketika aku bisa memilih artinya memang itu yang aku inginkan karena kita memilih pilihan yang sesuai dengan hati kita, bukan? Sedangkan ketika aku harus menetap di sini, mau tidak mau, suka tidak suka, ingin tidak ingin, harus aku lakukan.

Apalagi fakta bahwa semua anggota keluarga berkumpul di rumah sedangkan terakhir kali kami merayakan Idulfitri di rumah secara full team adalah di tahun 2015. Udah lima tahun lalu dan tahun ini nggak bisa full team karena aku nggak bisa pulang. Nays sekali skenario Yang Maha Kuasa terhadap hambanya yang tidak berdaya di hadapan takdir. Aku butuh beberapa waktu untuk legowo dan mengenyahkan perasaan bersalah karena nggak bisa pulang.

Ouch, bukan perasaan bersalah, tapi perasaan iri dengki karena kedua saudariku bisa pulang lebih cepat dan juga amat sangat mendadak alias hari ini beli tiket lalu beberapa hari kemudian langsung berangkat. Padahal untuk urusan tiket mudik biasanya udah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Aku kan juga ingin #MendadakPulang.

Balik lagi ke kalimat pembuka postingan ini, ide untuk mengumpulkan orang dengan cara mengadakan halalbihalal di BTN Entertainment sudah muncul sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku belum pernah merayakan Idulfitri secara intimate dengan anak kontrakan.

Paham nggak si, kayak... udah cukuplah rame-ramenya, sekarang time for having quality time with inner circle at Eid Fitr alias nggak mau riweuh dengan segala macam persiapan halalbihalal atau menyambut tamu. Mau lebaran sama anak kontrakan aja meski gatau bakal ngapain selama tanggal 1 syawal, yang penting nggak bikin capek.



"buka puasa hari terakhir, menunya yang agak mewah dong."

Request yang terucap dari salah satu anak kontrakan ketika BTN Ent sedang kerja bakti mencabut rumput di halaman depan yang super banyak hingga menghasilkan tumpukan rumput setinggi satu setengah meter bercampur dengan dahan pohon kelor dan dahan pohon belimbing, ntah lah gimana cara buangnya. Ketika aku nulis draft ini, tumpukan rumput masih nangkring dengan setia di halaman depan.

Tahun ini nggak ada acara kajian, tabligh akbar, pawai ramadan, hingga salat tarawih di masjid. Karena kondisi memang tidak memungkinkan. Aku sih santai aja karena emang nggak terlalu hobi datang ke kajian atau tabligh akbar, nggak doyan ikut pawai ramadan, dan nggak sering salat tarawih di masjid (aku lebih sering salat di rumah). Salah satu upaya yang dilakukan BTN Ent untuk memunculkan suasana ramadan di kontrakan adalah dengan membuat jadwal imam untuk salat Isya dan salat tarawih serta jadwal petugas kultum.

Berasa balik lagi jadi anak pondok karena ada sesi kultum segala.

Aku suka program ramadan BTN Ent karena yang jadi imam salat nggak dia lagi-dia lagi, semua anak kontrakan punya kewajiban menjadi imam, ditambah bisa sekalian murajaah hafalan. I like it!

Tahun ini juga nggak ada buka bersama yang terkadang membuat pelaksanaan salat magrib dilakukan di akhir waktu, nggak ada ajakan buka bersama yang bikin bingung karena jadwalnya bertabrakan, nggak ada kegalauan nggak penting, "hari ini buka di mana, ya?" "hari ini beli makan apa, ya?"

Damai.

Aku nggak keberatan dengan ketiadaan semua itu di tahun ini (apalagi untuk kegiatan yang buang-buang waktu ehe). Setelah kupikir ulang, ramadanku tahun lalu dan tahun sekarang nggak terlalu beda. Justru aku merasa lebih sederhana (eciyeh, sederhana wkwk) perihal makanan. Biasanya kalau puasa kan mikir pengen makan ini pengen makan itu trus beli ta'jil dan segala macam makanan.

Tapi ramadan tahun ini tuh hampir nggak pernah kepikiran soal makanan, kalau azan magrib udah berkumandang, langsung minum dan kadang dilanjut makan kurma (alhmadulillah stok kurma di BTN Ent lumayan banyak), abistu kalau ada makanan lain ya dimakan, kalau nggak ada makanan dan belum masak ya santai aja gitu. Nggak pengen yang aneh-aneh.

Ada masa aku nggak makan nasi selama dua atau tiga hari, ada masa anak kontrakan nggak masak lauk sama sekali (ujung-ujungnya kembali lagi ke bikin mie atau goreng telur). Alhamdulillah cukup untuk bikin kenyang.

Santai aja. Seloww.

Supaya tetap ngerasain nikmatnya buka bersama, BTN Ent sempat mengadakan buka bersama internal. Pada dasarnya emang cuma buka bersama anak kontrakan versi lebih serius merencanakan makanan dan minuman yang hendak disantap. Makanya ketika ada yang request agar buka puasa hari terakhir menunya agak mewah, langsung aku setujui karena aku punya kontrol terhadap penggunaan bahan makanan (apalagi kalau bahan makanannya jarang dibeli).

((punya kontrol))

Ckckck.

Setelah 29 hari ramadan dengan menu buka puasa seadanya, hari terakhir dimewahin dikit laaa. Masak ayam wkwk, BTN Ent adalah kontrakan yang setia dengan lauk 3T (tempe tahu telur), jadi ayam merupakan lauk yang super duper jarang tersedia di kulkas.

Mewah loh itu, ayam kecap pakai bawang bombay yang keberadaannya sempat punah di pasar selama berminggu-minggu.

Side dish-nya ada kurma, potato cheese stick, perkedel tahu, cireng, dan seblak kering.

Minumnya? biasa aja, hanya air mineral dan es sirup.



Bagiku, Idulfitri itu identik dengan beberapa hal, tradisi sungkeman pasca salat Ied, silaturrahim ke rumah sanak saudara (kalau lebaran di Lampung atau Jogja), silaturrahim ke rumah kenalan orang tua (kalau lebaran di rumah) yang sebenernya nggak terlalu aku minati mengingat aku nggak mengenal keluarga besar dan aku nggak suka ke rumah orang yang nggak aku kenal secara terpaksa. Idulfitri identik dengan makan banyak, makan mulu, makan teroooooos. Idulfitri identik pula dengan berbagai macam kue kering. Gara-gara urusan kue kering, BTN Ent memutuskan untuk membuat dua jenis kue kering karena lebaran tanpa kue kering rasanya kurang lengkap. Alhamdulillah, beberapa hari sebelum lebaran, kami dapat bingkisan dari tetangga yang isinya empat toples kue kering dan kudapan lebaran. Jadi, ruang tamu BTN Ent udah mirip ruang tamu di rumah alias ada toples-toples berisi makanan yang biasanya ditemui ketika lebaran tiba.

Gimana rasanya Idulfitri di Sumbawa?

Well, biasa aja sih, wkwk.

Idulfitri tahun ini menjadi hari raya yang berbeda bagi banyak orang, terlepas dari kondisi Indonesia yang sedang kurang baik dengan masyarakatnya yang ngeyel sama kebijakan pemerintah, kenapa sih ngotot berkerumun untuk belanja hhhh kesel. Perbedaan perayaan hari raya cukup membuatku penasaran, aku kan sering excited ketika bisa mencoba hal baru apalagi hal baru yang sepertinya hanya bisa dilakukan once in our lifetime.

Salah satunya, salat Ied di kontrakan.

Sekiranya di masjid atau di lapangan sekitar kontrakan mengadakan salat Ied, kayaknya aku bakalan lebih prefer salat di kontrakan (meski sunnahnya memang di tanah lapang), kapan lagi bisa salat Ied di kontrakan karena kondisi tidak memungkinkan untuk salat di luar? kapan lagi ada kesempatan perempuan jadi imam salat Ied?

Dua tahun lalu, tahun 2018, aku lebaran di Sumbawa dan kesiangan datang ke lapangan jadi nggak mendapatkan tempat strategis untuk salat padahal aku datang jam 7 pagi. Makanya tahun ini aku hepi hepi aja salat di kontrakan karena jam 7 pagi masih bisa santai nungguin anak kontrakan mandi lalu sarapan tanpa harus berburu waktu, kami salat Ied jam 8 pagi.



"Setel takbiran dong biar kerasa kalau hari ini lebaran, speaker ada di mana?"

Agenda pertama BTN Ent di tanggal 1 Syawal 1441 H adalah bangun pagi (yaiyalah), kemudian mandi, sarapan, takbiran, salat Ied, takbiran lagi, lalu dandan.

#DiKontrakanAja tidak menghalangi kami untuk memakai baju bagus.

Dan ketika sudah memakai baju bagus serta dandan cantik, tentu saja harus berfoto!



Setelah selesai berfoto yang sebagian hasilnya bisa dilihat di instagram BTN Ent, anak kontrakan sibuk dengan menghubungi orang rumah. Alhamdulillah teknologi udah memungkinkan adanya video call, raga boleh tidak bersama namun kita masih bisa bertatap muka. Ada yang video call di ruang tamu, ruang tengah, kamar, Kontrakan rame sama orang-orang yang lagi video call. Habis rame, terbitlah sepi. Habis video call, terbitlah rebahan.

Kapan lagi bisa leyeh-leyeh ketika idulfitri?

Kontrakan sepi sepanjang siang dan baru terdeteksi adanya aktivitas lepas ashar, hari ini ada satu undangan makan dari dosennya kak Neny, berhubung rumahnya deket sama kontrakan jadi semua anak kontrakan datang ke rumah beliau.

Rumah dosen kak Neny adalah satu-satunya rumah yang dikunjungi ketika lebaran, ternyata di rumah beliau sedang ada tamu yang aku kenal. Ujung-ujungnya kami semua ngobrol sampai azan magrib.


Lepas azan isya, Ahda yang lagi rebahan sembari megang hape tiba-tiba ngomong, "Wa, kamu nggak pengen keluar?"

"Kamu lagi pengen apa?"

"Mie Ayam."

"Mau keluar? yaudah, ayo."

"Kamu nggak makan?"

"Aku masih kenyang, kalau aku makan makanan ringan gimana?" tawarku soalnya aku tau Ahda nggak suka makan sendirian dan dia bakal menolak kalau aku cuma nemenin doang.

"Apaan?"

"Emmm... kacang rebus?"

Mimik Ahda langsung, "ish ngapa kacang rebus-_- pilih makanan lain aja lah."

Wkwkw.



Draft ini berhasil diselesaikan saat aku sudah kembali ke kontrakan setelah makan seporsi bakso tanpa mie dalam rangka menemani Ahda Nabilah yang mendadak ingin makan mie ayam sembari membahas kenapa aku belum nangis juga setelah nonton Hi Bye Mama sampai episode 12, membahas apa saja drama yang sedang kami tonton, dan tentu saja membahas nasib dari skripsi kami berdua.

Happy Eid Mubarak!
shofwamn
Jika pada umumnya banyak orang yang mencari kehangatan untuk membuat diri mereka nyaman, aku justru lebih sering mencari kedinginan.

Misalnya... dengan pergi ke salah satu kamar untuk merasakan hembusan kipas angin.

Semenjak kipas angin di ruang tidurku mogok kerja, aku mendapatkan asupan kedinginan dari: 1. Berbaring di atas lantai tanpa alas; 2. Pergi ke kamar anak kontrakan yang ada kipasnya.

Atau pilihan ketiga yang bisa kulakukan untuk mendapatkan asupan dingin adalah dengan menggelar lapak di ruang tamu kemudian membuka sedikit pintu agar angin malam memiliki akses untuk masuk.

Aku baru satu kali melakukan pilihan ketiga.
#infotidakpenting

Ketika aku sedang berbaring di depan kipas yang berputar, salah satu anak kontrakan (namanya Nisa. Terkadang aku panggil dengan sebutan kak Nisa karena dia lebih tua) mendadak bercerita padaku tentang salah satu video yang diposting oleh akun ODG. Kaga ada pembicaraan sebelumnya trus langsung ngomongin video yutub yang ujung-ujungnya kak Nisa memberikan smartphonenya biar aku menonton video yang lagi dia ceritain.

ODG adalah salah satu akun youtube yang video-videonya bagus untuk ditonton, kontennya menarik minatku sih, gatau ya kalau bagi orang lain. Jadi di video yang kak Nisa ceritain tuh tentang dua orang laki-laki yang bikin Music Video, mereka minta empat anak untuk nonton MV buatan mereka dan ngasih komentar. Semacam MV Reaction gitu.

Bukan video musiknya yang mau kubahas.

Bukan reaksi anak-anaknya yang mau aku tulis.

Ada satu pertanyaan yang diajukan oleh seorang gadis kecil yang membuatku tertegun.

jika selalu bekerja keras seperti yang udah kalian lakukan, semisal terus-terusan gagal, apa kalian nggak takut?

source: @designbyjrs

Dua laki-laki yang denger pertanyaan itu langsung saling pandang, semacam nggak nyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari seorang anak kecil.

Laki-laki pertama langsung menjawab dengan jawaban bahwa dia nggak takut.

Sedangkan jawaban dari laki-laki kedua cukup panjang,

"Terkadang aku takut, terkadang aku tidak takut. Jika menekankan pada ketakutan, aku pikir aku tidak bisa melakukannya (membuat video musik). Of course i do it for myself, but if i think that i am also doing it for others. It gives me courage."

His answer makes me silent for a moment, it hit myself until i couldn't focus anymore watching the rest of the video. Not hit me too hard but be able to bring insight.

Terkadang aku takut, terkadang aku tidak takut.

Terkadang

Sometimes

Sometimes isokey

Isokey

Tidak apa-apa

Tidak apa-apa, shof

Tidak apa-apa memiliki keinginan nyemplungin pala dalam aer dengan harapan bisa menghilangkan rasa pening jadi pikiran mengonsumsi berbutir-butir panadol nggak perlu muncul.

Tidak apa-apa mengakui kamu tidak bisa, tidak mau, tidak suka, ataupun tidak yang lainnya.

Tidak apa-apa berkenalan dengan putus asa.

Tidak apa-apa, kan hanya kadang-kadang saja.

Sumbawa, 23 April 2020
di ruang tengah BTN Entertaiment
Di antara pikiran 'ampun dah, aku kudu piye' setiap melihat rimbunnya rumput yang tumbuh subur di lingkungan kontrakan (alias BTN Ent) dan harus segera dibereskan, di tengah keinginan untuk memangkas dahan-dahan pohon belimbing yang sepertinya lebih baik ditebang karena akan mengganggu area parkiran motor tapi selalu merasa sayang menebang dahan setiap ada kesempatan karena belimbing sedang berbuah lebat (padahal anak kontrakan gak ada yang makan belimbing), dan semenjak tidak pernah nongkrong di halaman depan kontrakan saat pagi untuk berjemur atau saat sore hari sampai adzan maghrib berkumandang sambil sesekali menoleh ke satu pohon cabe yang sampai sekarang masih menghasilkan cabe-cabe (fakta tersebut membuatku senang setiap melihat warna hijau-orange-merah dari pohon cabe), aku jadi semakin terbawa perasaan untuk produktif menghabiskan waktu dalam ketidakproduktifan.

Ngomong-ngomong mengenai isu global yang selalu dibicarakan di mana saja, aku masih gak terlalu pay attention dengan situasi sekarang, melihat konten yang sama secara berulang di waktu yang berdekatan malah bikin enek. Sebagian memang berisi informasi yang diperlukan, sebagian hanya hoax semata, banyak juga yang memanfaatkan situasi saat ini untuk keuntungan pribadi, ada pula yang sekadar ikut-ikutan dan malah terlihat seperti orang yang sok tau di mataku, apalagi kalau udah nyerempet ke ranah politik. Halah. Sorry for saying that, eh, do i need to say sorry?

Paragraf di atas sedang ngomongin cvd19, berasa pantang banget nulis nama virus dan jejeran istilah lainnya karena beneran pengen menghindari kata itu soalnya bosen melihat itu jadi primadona sepanjang quarter pertama tahun 2020.

Tidak pay attention bukan berarti tidak waspada.

#CatetBaikBaik

source: pinterest


Salah satu barang yang masuk ke daftar keinginan 'barang-barang yang ingin dimiliki shofwa selama masih hidup' adalah humidifier, alat yang bisa mengontrol kelembapan ruangan. Sepertinya keberadaan alat itu bisa membuat ruangan jadi lebih segar dan tidak sumpek karena selama ini perputaran udara di ruangan yang aku tempati hanya mengandalkan satu kipas angin saja. Kipas angin yang bulan lalu mogok kerja secara mendadak. Tanpa aba-aba, tanpa pemberitahuan, baling-baling kipasnya berhenti berputar dan tidak sudi memberikan hembusan angin pada raga-raga yang gampang merasa sumpek. Awalnya aku tidak terlalu mempermasalahkan kipas angin yang mengambil cuti kerja secara sepihak, walaupun selama ini selalu tidur dengan hembusan kipas angin tapi aku masih bisa tidur tanpa kipas. Sampai akhirnya ada momen ketika aku terbangun tengah malam karena... gerah.

Sumpah nggak nyaman banget.

Tidur nggak bisa, bangun pun nggak ingin karena masih tengah malam.



Mirip-mirip sama situasi petang tadi, bingung ingin melakukan apa karena mendadak tidak tertarik melakukan apapun.

"Apa aku bikin sesi 'ask me randomly' di status whatsapp? sekarang juga malam minggu." adalah ide yang sempat terlintas, tapi aku sedang nggak mau menjawab pertanyaan yang tidak menarik untuk dijawab.

"Apa aku random ngirim chatt ke orang-orang?" adalah ide lain yang terpikirkan, tapi ketika menggulir kontak whatsapp di smartphone, aku bingung pesan apa yang harus kukirim karena sebenarnya aku sedang tidak minat berbasa-basi dengan orang lain melalui media sosial.

"Apa belajar grammar aja? Atau baca Qur'an abis Isya'? Muraja'ah juga bisa." adalah ide terakhir yang muncul gara-gara liat status seseorang yang berisi kalimat:  Al-Qur'an itu bukan harta karun gratis yang dinikmati siapa saja. Al-Qur'an adalah sesuatu yang mahal. Kamu harus memantaskan diri dulu dan berikan waktumu untuknya.

[memantaskan diri dulu dan berikan waktumu untuknya]

[berikan waktumu untuknya]

kalimat yang sungguh bikin jleb meskipun pada akhirnya ide terakhir itu tetap tidak kujabanin.



Manusia memang rumit, gue kadang nggak paham sama diri sendiri. Padahal banyak yang bisa dilakukan, bahkan salah satu anak kontarakan (namanya Widi) udah ngajakin masak namun kutolak mentah-mentah dengan alasan 'nanti tuh kalau masak, siapa yang mau makaaan. Aku lagi gak nafsu makan apa-apa.' Tentu saja alasan tersebut merupakan omong kosong semata mengingat semua trainee BTN Ent adalah karnivora dapur alias memakan apa saja yang dihasilkan dari dapur BTN Ent. Tidak menyerah dengan ide memasak, Widi mengusulkan ide lain: nonton film. Ide yang langsung kutolak juga karena aku nggak mau menatap layar selama dua jam untuk menonton sesuatu yang belum tentu aku suka ditambah kemungkinan bahwa aku harus mikir untuk memahami jalan cerita film.

Nggak mau berinteraksi sama orang di sosial media. Nggak mau melakukan kegiatan bermanfaat. Nggak mau masak. Nggak mau makan. Nggak mau streaming youtube. Nggak mau rebahan aja. Semua serba nggak mau ckckck.

Setelah ngoceh-ngoceh yang isinya hanya keluh kesah (istighfar, shof, istighfar), beneran bingung mau ngapain, nggak tau juga kenapa bisa bingung. Daripada bingung mulu, akhirnya memutuskan untuk menemani Widi masak di dapur. Literally beneran nemenin doang, sama sekali tidak membantu. Dia bikin cireng, aku nontonin aja sambil menyeruput es kopi susu. Kita berdua emang cuma di dapur, tapi malah ngobrol mengenai suatu masalah dan pembahasan kita jadi meluas. Dia cerita tentang kekhawatiran dia saat baru bergabung dengan BTN Ent (eyak nostalgia), aku berbicara tentang rasa sesal yang kurasakan ketika hubunganku dengan seseorang memburuk dalam kurun waktu lima bulan terakhir.



Terkadang aku menerka bagaimana seseorang bisa mengekspresikan pikirannya dengan baik, bisa mengeluarkan apa yang dia pikirkan dengan rentetan kalimat panjang. Bagaimana seseorang bisa mengekspresikan perasaannya ke dalam ucapan nyata.

Bagiku pribadi, mentransfer suara-suara yang ada dalam pikiran menjadi suara yang bisa didengar adalah hal yang nggak mudah. Apalagi jika menyangkut pikiran negatif dan opini pribadi. Makanya ketika aku berbicara dan ada yang mendengar dengan penuh perhatian, aku merasa dihargai, meski ucapanku hanya satu atau dua kalimat.



Ketika cireng yang dibuat oleh Widi sudah siap santap, di jagad sosial media bernama whatsapp sedang ada isu yang sedang hangat dibicarakan: Surat Edaran Rektor mengenai kebijakan tambahan kedua atas Surat Edaran Rektor no 134.

Tanpa salam pembuka dan pendahuluan, beberapa trainee BTN Ent langsung membuat Forum Group Discussion dengan tema 'Tanggapan Mahasiswa (dan beberapa alumni) UTS mengenai Surat Edaran Rektor yang baru beredar.'

Aku suka ketika BTN Ent udah bikin FGD, apa yang diomongin nggak perlu difilter, ngalir apa adanya, nggak pake kalimat dengan bahasa super tinggi yang susah dipahami, nggak perlu pura-pura setuju atau bermuka dua, bahkan komentar-komentar yang terlontar bukan komentar tong kosong nyaring bunyinya, nggak ada hawa-hawa serius, FGD adalah tempat pertukaran dan penyamarataan informasi antar trainee. Selalu seru.

Tentu saja isi dari FGD BTN Ent tidak akan aku tulis di sini, ogah banget.

Dan semoga situasi 'nggak mau melakukan apapun tapi nggak mau diem doang' tidak sering terjadi pada diri ini.

proud to be BTN ent's trainee
shofwamn
Masih inget banget pertamakali mencoba bikin instagram story (atau snapgram?) (atau cerita instagram?) adalah ketika sedang transit di Bandara Internasional Lombok dalam perjalanan pertamakali ke Sumbawa untuk kuliah.

Artinya sekitar akhir Agustus 2016.

Saat itu fitur cerita Instagram (as known as Instagram story, lemme use Indonesian) belum lama diluncurkan, karena aku transit semalaman (nyampe lombok sekitar jam 9 malem, penerbangan ke Sumbawa jam 8 pagi) dan tengah malam aku gabut sedangkan BIL ternyata nggak gede-gede amat sehingga nggak banyak yang bisa dieksplor, akhirnya iseng nyobain fitur barunya Instagram.

Setelah itu malah keterusan memposting apapun lewat cerita Instagram, apalagi karena momennya baru aja pindah ke daerah baru (re: Sumbawa) jadi ngerasa pengen ngebagiin semua hal. Mulai dari cuacanya yang super panas, vitaminsea yang mudah diakses, keprihatinan anak asrama yang cuma bisa masak pake ricecooker #ApaItuKompor, sampai daily life ala mahasiswa baru yang sok sibuk dengan tugas-tugas. Makanya sempet merasa gelisah ketika smartphone milikku harus diservis karena baterainya kembung, dua pekan tidak memegang smartphone, dua pekan nggak bisa memposting apapun, kehidupanku berasa hampa.

(Baca: Berpisah selama dua pekan dengan Kai)


sumber: pinterest


Beberapa bulan sesudahnya, Instagram meluncurkan filter untuk cerita Instagram. Biasanya memposting cerita Instagram dengan foto dan caption yang font tulisannya cuma satu jenis, semenjak ada filter, cerita Instagram yang diposting jadi makin menarik karena foto yang hendak diposting bisa diedit saat itu juga, entah jadi b/w, lebih cerah, lebih estetik, lebih vintage, banyak pilihannya. Saat itu aku masih punya aplikasi snapchat jadi tidak terlalu tertarik menggunakan filter yang tersedia di Instagram. Hanya saja kebiasaan untuk memposting kehidupan sehari-hari tetap berjalan, tiada hari tanpa membuat cerita Instagram.

salah satu cerita Instagram yang diposting ketika hendak ke Lombok via udara di awal tahun 2017

Kemudian aku tidak ingat perubahan Instagram dari masa ke masa tapi aplikasi Instagram jadi semakin sering minta diperbarui (terkadang malah memperbarui secara otomatis ketika lagi nyambung ke wifi) dan setiap pembaharuan, selalu ada yang baru di fitur cerita Instagram.

For an example, filter lokasi, hashtag, waktu, gif, stiker, superzoom, dan lain-lain yang masih bisa dihitung jari. Pada titik ini, aku masih sering memposting cerita Instagram, pun kadang-kadang iseng mengasah kreatifitas dengan mainan jenis font yang udah bertambah, mencoret-coret foto yang hendak aku posting dengan tools yang tersedia. Tapi seingetku, aku nggak pernah memposting cerita Instagram dengan fitur yang kuanggap aneh (seperti superzoom).

Perlahan-lahan, cerita Instagram menggeser snapchat, pengguna snapchat jadi banyak yang pindah ke Instagram. Instagram yang notabene udah berada di bawah naungan payung Facebook malah meracuni whatsapp, munculah fitur cerita Whatsapp. Tapi aku nggak akan ngomongin fitur cerita whatsapp, yang mau aku omongin adalah kebiasaanku memposting segala mcam kehidupan di cerita Instagram berangsur-angsur mulai menurun, aku merasa Instagram selalu melakukan inovasi untuk meningkatkan performa dan layanan aplikasinya (halo Live Instagram, halo IG TV), dan yang paling kerasa paparan inovasinya adalah filter cerita Instagram.

Selamat datang di masa kamu bisa mendapatkan banyak sekali variasi filter untuk cerita Instagrammu.



Dan pada titik ini, di kondisi saat ini, aku tidak pernah menggunakan filter-filter yang bisa diunduh dan dipakai untuk cerita Instagram. Thanks to my smartphone, meski aplikasi Instagram di hapeku sudah diperbarui tapi aku tidak bisa memakai filter-filter itu. Cuma bisa ngunduh filternya, tapi pas mau dipake malah buffering mulu dan filternya nggak mau muncul.

I don’t really pay attention for that condition sih because: firstly, semenjak bulan Desember tahun lalu, aku mulai mengurangi penggunaan Instagram (kalau kamu cek profil akun IG-ku saat ini, ada keterangan akunnya lagi nggak aktif); secondly, banyak bangeeeeet filter yang bisa digunakan dan ketika melihat banyak orang yang memakainya, aku jadi gaada niat untuk mencoba hal yang sama; thirdly, filter instagram tidak sudi muncul di smartphoneku dan aku tidak berpikir untuk mencari tau penyebabnya.

Akun Instagramku emang lagi nggak aktif, aku sering buka Instagram lewat akun kontrakan (go follow @btn_ent to get more information about BTN Ent's trainee :p)

Tapi, kan, rasa penasaran itu pasti ada. Ketika rasa penasaran bertemu dengan adanya kesempatan, maka kun fayakun. Sekitar sepekan yang lalu, aku menggenggam hape milik seorang kawan dengan layar yang sedang membuka aplikasi Instagram.

Aku cobalah selfie pake salah satu filter yang tersedia di cerita Instagram.

ANJR

NAPA GUE JADI CAKEP?!

Meskipun udah tahu bahwa beberapa filter cerita Instagram memang bertujuan untuk mempercantik objek foto, tetep aja  ngerasa kaget dengan kesenjangan antara realita vs hasil foto. Aku jadi terkejut kemudian malah mengagumi hasil selfie yang baru saja aku ambil.

“Ih, cantik kali.” batinku takjub. Mungkin itu adalah hasil selfie paling cantik yang pernah aku ambil sepanjang karierku dalam mengambil foto dengan kamera depan. Emang jadi keliatan norak tapi emang takjub tapi harusnya biasa aja tapi aku tuh emang takjub ternyata aku bisa looks beautiful without usaha berlebih wkwk.

Cantik memang merupakan istilah yang disandingkan dengan rupa wanita. Wanita cantik, perempuan cantik, cewek cantik, gadis cantik. Cantik identik dengan wajah yang sedap dipandang dan bisa menimbulkan kekaguman. Bahkan sering dianggap, jika kamu memiliki kecantikan maka kamu sudah memenangkan 50% pertarungan di kehidupan yang keraz ini.

#ngaco

Aku pernah membuka sesi ‘ask me randomly’ di status whatsaap dan ada seorang yang bertanya “apa kamu cantik?”

Hmm… apa aku (merasa) cantik?

Saat itu aku jawab "Yes. Terkadang.” 

Karena faktanya begitu, kadang aku merasa cantik, kadang aku merasa jelek, lebih sering sih aku merasa wajahku biasa saja. Hanya saja antara sadar atau tidak sadar, akhir-akhir ini aku lebih sering mengekpresikan perasaanku dengan omongan ketika aku sedang dalam kondisi merasa cantik. Kayak pas abis selfie pake filter di hape temen, aku langsung chatt seseorang dengan mode capslock,

Me: "AKU BARUSAN NYOBA FILTER INSTAGRAM OMEGAT AKU CANTIK BANGET GEWLAK. LU MAU LIAT KAGAK? SOALNYA GUE KAGA PERNAH PAKE FILTER-FILTER KAYAK GITU."

Dia: "KAGAK! ENEK LIAT MUKA LU TERUS." 

Sebuah bentuk penolakan eksplisit dengan ikut-ikutan mode kepslok jebol. Yaelah jaenab, kaga bisa lihat orang seneng dikit napa.

Selain membuat orang lain tahu bahwa aku sedang di kondisi ‘gue lagi cantik nih.' Kadang-kadang ketika baru bangun tidur terus mau nyalain air (saklar air deket sama lemari yang ada cerminnya), aku menyempatkan diri berdiri di depan cermin. Detik pertama natep mata… detik kedua liatin wajah…  detik ketiga ngeliat bekas cacar yang kaga bakal bisa ilang… detik keempat memperhatikan pantulan di cermin sambil mikir apakah wajah yang gue lihat di cermin adalah wajah gue? Apakah gue melihat wajah gue sama seperti orang lain melihat wajah gue? Apakah penghlihatan semua orang itu sama? Dan mungkin beberapa pertanyaan aneh lainnya sebelum akhirnya menggangguk-anggukkan kepala sembari berkata… “cantik kok.” 

Pede banget emang wkwkw.

Before that, i do never admit that I am beautiful and speak to people about beauty-pretty things. Kecantikan itu fana gaes, dan di atas langit masih ada langit. Tiap aku ngerasa cantik ya aku bakal diem aja karena emang ngapain gitu koar-koar? Tiap ada orang yang bilang aku cantik ya aku respon aja sewajarnya tanpa perlu lempar-lemparan pujian “makasih, tapi kamu lebih cantik," terus dibales "nggak ah, kamu yang lebih cantik.” Gitu aja terus sampe Jakarta tenggelem di tahun 2050.

Mungkin ini suudzon, ketika aku menyadari betapa aku bisa terlihat cantik dengan filter instagram. Aku mikir, berapa banyak perempuan di luar sana yang harus merasa makin tidak pede karena tidak memiliki rupa yang cantik berdasarkan standar sosial? berapa banyak perempuan di luar sana yang qadarullah tidak memiliki rupa yang sempurna dan harus melihat orang-orang cantik mengunakan filter yang membuat mereka keliatan jelek?

Filter yang ada di Instagram (dan mungkin sekarang juga bisa ditemukan di TikTok) kayak membuat perempuan yang cantik terlihat lebih cantik tapi malah sok merendah. Bisa bikin perempuan yang cantik jadi jelek (tapi hanya sebagai bahan candaan atau hiburan semata). Filter-filter seperti itu siapa tahu bisa membuat yang tidak cantik menjadi terlihat cantik namun bisa berdampak terhadap self confidence-nya, atau malah membuat perempuan-perempuan makin tengelam dalam kepalsuan.

Preferensi atau standar kecantikan orang mah emang beda-beda, mungkin aku melihat si A cantik tapi si A tidak merasa dirinya cantik karena standar kecantikan si A jauh lebih tinggi dari standar kecantikanku, atau standar kecantikan milik si A berbeda dengan standar kecantikan yang aku miliki.

Thats okay. i have my preference, you have yours. 

Di agama Islam, ada cerita tentang anak-anak Adam as. Salah satu bagian cerita yang aku ingat adalah ketika Qabil tidak mau dinikahkan dengan Labuda karena paras Labuda tidak secantik Iqlima, saudara kembarnya sendiri. Masalah tersebut berlanjut dengan Qabil dan Habil yang diminta menyediakan persembahan kemudian long story short, Qabil membunuh Habil (google aja kalau mau cerita lengkapnya). Itu adalah kisah pembunuhan yang pertamakali dilakukan oleh manusia di muka bumi menurut Islam, pembunuhan yang diawali oeleh rasa hasad alias dengki karena dijodohkan dengan perempuan yang parasnya kurang cantik, wallahu a'lam bishawab.

Dari kisah itu, aku meng-highlight bahwa sejak awal kecantikan seperti pisau bermata dua. Kecantikan kadang jadi sumber masalah. Kalau kalian suka baca webtoon, coba baca webtoon The Second Marriage. Definisi seorang pelakor, literally pelakor alias bener-bener ngerebut laki orang bisa kalian temukan di webtoon itu. Pelakor yang bernama Raszta dan memanfaatkan kecantikannya untuk bikin seorang Raja jadi laki-laki bucin. Sosok seperti Raszta memang seharusnya kena labrak karena nggak tahu diri sekali.

Kalau baru sebatas minta mangga terus udah dikatain hobi gangguin pacar orang, baru deh dipertanyakan. Masa cuma minta mangga doang dianggap mau caper ke pacar orang. Yakali ah. Kayak laki-laki di dunia ini cuma seorang saja. #MenolakLupa

Toh, Cantik itu Luka.

Judul buku Eka Kurniawan yang aku baca di awal Februari. Menceritakan seorang perempuan bernama Dewi Ayu yang berparas cantik (bisa dibilang, paling cantik di daerah tempat tinggalnya. Nggak ada laki-laki yang nggak mengakui kecantikan Dewi Ayu) dan memiliki tiga anak yang menuruni paras kencatikan milik ibunya. Ketika Dewi Ayu hamil untuk yang keempat kali, dia berdoa agar anaknya berparas jelek. Dewi Ayu bosan melahirkan anak-anak yang cantik.

Karena Cantik itu Luka.

sumber: pinterest

Kecantikan tidak perlu diumbar meskipun aku juga masih sering berusaha agar terlihat cantik jika difoto. Aku juga masih tidak menolak jika diajak foto yang menggunakan filter walaupun aku lebih prefer dengan hasil yang #notiputipu. Kadangkala foto yang #notiputipu bisa menahan diri ini agar tidak terlalu mengumbar foto wajah di sosial media (pardon me, aku bukan orang yang photogenic, jadi kalau foto, lebih banyak yang dijadiin arsip pribadi karena terlalu komuk plus buluq wkwk).

Agak kontradiktif sih, ketika aku bertingkah random di depan cermin seperti yang udah kuceritakan dan juga dengan semangat 45 mengirim pesan ke seseorang hanya untuk memberitahu bahwa aku sedang merasa cantik namun di sisi lain aku juga berupaya meminimalisir mengunggah foto di sosial media yang memperlihatkan wajahku secara keseluruhan.

Gimana sih, ngerasa cantik tapi malu.

Sesuai dengan sabda Nabi,

إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء

“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)


الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر

“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)


Wadidaw padahal tidak ada rencana untuk menyelipkan hadist.

#BianglalaModeBener #BianglalaSholihah

Selama ini aku tidak pernah benar-benar merasa cantik (bikos of di atas langit masih ada langit), buuuuut... what if there is no one admit that i am pretty? Should i feel not confident? Bukannya aku ingin diakui oleh banyak orang, tapi tuh aku ngerasa kok selama ini sepertinya aku kekurangan self-love dalam aspek fisik. Malah ada momen di mana aku mengeluhkan wajah yang kumiliki, memang sungguh kurang ajar manusia bernama shofwa, diberikan rupa tanpa cacat namun masih saja memiliki moment lupa bersyukur.

Beberapa pembahasan mengenai fisik masih merupakan pembahasan yang membuatku tidak nyaman jika dibahas bersama orang-orang yang tidak memiliki hubungan dekat denganku. Terus sampai saat ini aku masih bertanya-tanya bagaimana perasaan orang-orang yang berani mengunggah sesuatu yang antimainstream dan tidak sesuai dengan standar sosial di dunia maya, melakukan hal tersebut membutuhkan keberanian yang besar sekali.

Aku pernah denger juga seseorang ngomong,"aku tu nggak pernah dibilang cantik sama orang lain, nggak ada yang pernah bilang aku cantik, yaudah aku ngomong aja untuk diriku sendiri, aku memuji diriku sendiri."

Afirmasi positif yang diberikan secara personal untuk diri sendiri.

I stand for myself.
shofwamn
kamu lebih memilih melakukan lalu menyesal atau memilih tidak melakukan lalu menyesal?

Sebuah pertanyaan yang muncul secara mendadak ketika tengah membonceng Ahda, di bulan Januari 2019.

Iya. 2019.

Setahun lalu.

Kok masih inget pertanyaan satu tahun lalu?

Tentu saja udah nggak inget, itulah fungsinya membuat memo di gawai. Ternyata tahun lalu aku membuat catatan dengan tajuk Pengingat #5: Menyesal. Sebenernya aku juga udah lupa pernah membuat memo tersebut, memonya kutemukan ketika sedang iseng bacain memo di gawai.

Catatan di memo isinya cuma judul dan sebaris pertanyaan doang. Nggak ada tulisan apa-apa lagi.

Pas banget aku lagi kangen sama Bianglala, kangen meninggalkan jejak tulisan di sini.



Penyesalan selalu datang terlambat, muncul ketika kenyataan ternyata menjadi lebih buruk dan tidak sesuai harap.

Aku bertanya seperti itu ke Ahda karena terusik oleh pikiran "apa iya lebih baik menyesal karena sudah memilih untuk melakukan sesuatu daripada nggak sama sekali?'

Kata orang-orang,"kamu nggak bakal tau sebelum mencoba."

Lantas, harus mencoba berapa kali?

Kata orang-orang. "kamu harus mencoba terus. Lama-lama akan terbiasa."

Bukannya sesuatu yang dipaksakan justru sudah memiliki akhir yang jelas? Yakni berakhir dengan tidak baik.

Ada beberapa ingatan yang ketika ingatan itu muncul secara mendadak, langsung membuatku ingin mengenyahkan ingatan tersebut. Kalau Pusat Penghapusan Memori benar-benar ada di muka bumi ini, mungkin aku sudah menjadi salah satu pasien tetapnya.

Ingatan tentang kejadian yang sebenernya memberiku dua pilihan, antara melakukannya atau tidak melakukannya.

Ingatan tentang kejadian yang menurutku memalukan, dan itu terjadi karena aku memilih pilihan "aku akan melakukannya!"

Terkadang rasanya seperti sebuah mimpi buruk yang terjadi di masa lalu.

(untuk kebaikanku sendiri, aku nggak bisa menceritakan dengan spesifik tentang kejadian yang aku alami).



Seringkali, munculnya  'penyesalan' identik dengan 'terjadi karena kamu memilih untuk melakukan sesuatu.'

Sedangkan 'memilih untuk tidak melakukan sesuatu' kadangkala mendapat stigma seakan-akan kamu tidak mau bergerak, tidak mau berubah, tidak mau mendapat tantangan.

Meskipun tidak selalu seperti itu.

Merupakan hal bodoh ketika aku menyesal setelah memilih untuk melakukan sesuatu, kemudian aku mendapatkan kesempatan lagi sehingga aku bisa memilih iya/tidak, dan aku tetap memilih untuk melakukannya, lalu kembali merasa menyesal.

Bodoh sekali.

Manusia memang tempat salah dan khilaf, tapi kalau melakukan kesalahan dan kekhilafan yang sama berkali-kali, namanya bodoh.

Tidak semua kesempatan yang kita terima merupakan ujian (yang mana tentu saja tidak melebihi kapasitas hambanya), kadang sebagian kesempatan itu adalah teguran.

Ujian diberikan, untuk menempa manusia.
Teguran datang, untuk mengingatkan manusia.

Artinya apa? Tidak semua kesempatan harus diambil dan dilakukan.

Gimana cara membedakannya?

Entahlah. Aku belum menemukan jawaban yang tepat. Namun ketika kesempatan itu adalah ujian, maka hubungan dengan Allah akan semakin dekat. Pun ketika kesempatan itu ternyata adalah teguran, hati merasa tidak tenang karena hubungan dengan Allah menjadi renggang.

Belajar sebagai seorang hamba yang peka terhadap pemberian Rabb-nya.

Sebenarnya ini perihal kadar penyesalan sih, kira-kira bakalan lebih nyesel karena memilih untuk melakukan atau memilih untuk tidak melakukan?

Dan untuk beberapa kondisi, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya.

Sehingga aku tidak perlu menyesal, tidak perlu berpikir 'seandainya...,'

Yang paling penting, aku tidak perlu membenci diriku sendiri walaupun hanya sesaat.

Sumbawa, 15 Februari 2020
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  September (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
  • ▼  2020 (6)
    • ▼  Agustus (1)
      • Sesekali Nggak Jelas
    • ►  Mei (1)
      • Ramadan dan Idulfitri 1441 H
    • ►  April (2)
      • Terkadang Isokey
      • Once I'm Bored, I Don't Really Care
    • ►  Maret (1)
      • Filter Instagram
    • ►  Februari (1)
      • Pengingat #5: Menyesal
  • ►  2019 (36)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (28)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes