Masih
inget banget pertamakali mencoba bikin instagram story (atau
snapgram?) (atau cerita instagram?) adalah ketika sedang transit di Bandara Internasional Lombok dalam perjalanan pertamakali ke Sumbawa untuk kuliah.
Artinya sekitar akhir Agustus 2016.
Saat itu fitur cerita Instagram (as known as Instagram
story, lemme use Indonesian) belum lama diluncurkan, karena aku transit
semalaman (nyampe lombok sekitar jam 9 malem, penerbangan ke Sumbawa jam 8
pagi) dan tengah malam aku gabut sedangkan BIL ternyata nggak gede-gede amat
sehingga nggak banyak yang bisa dieksplor, akhirnya iseng nyobain fitur barunya
Instagram.
Setelah itu malah keterusan memposting apapun
lewat cerita Instagram, apalagi karena momennya baru aja pindah ke daerah baru
(re: Sumbawa) jadi ngerasa pengen ngebagiin semua hal. Mulai dari cuacanya yang
super panas, vitaminsea yang mudah diakses, keprihatinan anak asrama yang cuma
bisa masak pake ricecooker #ApaItuKompor, sampai daily life ala
mahasiswa baru yang sok sibuk dengan tugas-tugas. Makanya sempet merasa gelisah
ketika smartphone milikku harus diservis karena baterainya
kembung, dua pekan tidak memegang smartphone, dua pekan nggak bisa
memposting apapun, kehidupanku berasa hampa.
sumber: pinterest |
Beberapa
bulan sesudahnya, Instagram meluncurkan filter untuk cerita Instagram. Biasanya
memposting cerita Instagram dengan foto dan caption yang font tulisannya cuma satu
jenis, semenjak ada filter, cerita Instagram yang diposting jadi makin menarik
karena foto yang hendak diposting bisa diedit saat itu juga, entah jadi b/w,
lebih cerah, lebih estetik, lebih vintage, banyak pilihannya. Saat itu aku
masih punya aplikasi snapchat jadi tidak terlalu tertarik menggunakan filter
yang tersedia di Instagram. Hanya saja kebiasaan untuk memposting kehidupan
sehari-hari tetap berjalan, tiada hari tanpa membuat cerita Instagram.
Kemudian aku
tidak ingat perubahan Instagram dari masa ke masa tapi aplikasi Instagram jadi
semakin sering minta diperbarui (terkadang malah memperbarui secara otomatis
ketika lagi nyambung ke wifi) dan setiap pembaharuan, selalu ada yang baru di
fitur cerita Instagram.
For an
example, filter lokasi, hashtag, waktu, gif, stiker, superzoom, dan lain-lain
yang masih bisa dihitung jari. Pada titik ini, aku masih sering memposting
cerita Instagram, pun kadang-kadang iseng mengasah kreatifitas dengan mainan jenis
font yang udah bertambah, mencoret-coret foto yang hendak aku posting dengan tools yang tersedia. Tapi seingetku, aku nggak pernah memposting cerita
Instagram dengan fitur yang kuanggap aneh (seperti superzoom).
Perlahan-lahan, cerita Instagram menggeser snapchat,
pengguna snapchat jadi banyak yang pindah ke Instagram. Instagram yang notabene
udah berada di bawah naungan payung Facebook malah meracuni whatsapp, munculah
fitur cerita Whatsapp. Tapi aku nggak akan ngomongin fitur cerita whatsapp, yang mau
aku omongin adalah kebiasaanku memposting segala mcam kehidupan di cerita
Instagram berangsur-angsur mulai menurun, aku merasa Instagram selalu melakukan
inovasi untuk meningkatkan performa dan layanan aplikasinya (halo Live
Instagram, halo IG TV), dan yang paling kerasa paparan inovasinya adalah filter
cerita Instagram.
Dan pada titik ini, di kondisi saat ini, aku tidak
pernah menggunakan filter-filter yang bisa diunduh dan dipakai untuk cerita Instagram. Thanks to my smartphone,
meski aplikasi Instagram di hapeku sudah diperbarui tapi aku tidak bisa memakai
filter-filter itu. Cuma bisa ngunduh filternya, tapi pas mau dipake malah buffering mulu dan filternya nggak mau
muncul.
I don’t really pay attention for that condition sih
because: firstly, semenjak bulan Desember tahun lalu, aku mulai mengurangi penggunaan Instagram (kalau kamu cek profil
akun IG-ku saat ini, ada keterangan akunnya lagi nggak aktif); secondly, banyak bangeeeeet filter yang bisa
digunakan dan ketika melihat banyak orang yang memakainya, aku jadi gaada niat
untuk mencoba hal yang sama; thirdly, filter instagram tidak sudi muncul di smartphoneku dan aku tidak berpikir untuk mencari tau penyebabnya.
Akun Instagramku emang lagi nggak aktif, aku sering buka Instagram lewat akun kontrakan (go follow @btn_ent to get more information about BTN Ent's trainee :p)
Tapi, kan, rasa penasaran itu pasti ada. Ketika rasa
penasaran bertemu dengan adanya kesempatan, maka kun fayakun. Sekitar sepekan
yang lalu, aku menggenggam hape milik seorang kawan dengan layar yang
sedang membuka aplikasi Instagram.
Aku cobalah selfie pake salah satu filter yang
tersedia di cerita Instagram.
ANJR
NAPA GUE JADI CAKEP?!
Meskipun udah tahu bahwa beberapa filter cerita
Instagram memang bertujuan untuk mempercantik objek foto, tetep aja ngerasa kaget dengan kesenjangan antara
realita vs hasil foto. Aku jadi terkejut kemudian malah mengagumi hasil selfie
yang baru saja aku ambil.
“Ih, cantik kali.” batinku takjub. Mungkin itu
adalah hasil selfie paling cantik yang pernah aku ambil sepanjang karierku
dalam mengambil foto dengan kamera depan. Emang jadi keliatan norak tapi emang
takjub tapi harusnya biasa aja tapi aku tuh emang takjub ternyata aku bisa
looks beautiful without usaha berlebih wkwk.
Cantik memang merupakan istilah yang disandingkan
dengan rupa wanita. Wanita cantik, perempuan cantik, cewek cantik, gadis
cantik. Cantik identik dengan wajah yang sedap dipandang dan bisa menimbulkan
kekaguman. Bahkan sering dianggap, jika kamu memiliki kecantikan maka kamu
sudah memenangkan 50% pertarungan di kehidupan yang keraz ini.
#ngaco
Aku pernah membuka sesi ‘ask me randomly’ di status
whatsaap dan ada seorang yang bertanya “apa kamu cantik?”
Hmm… apa aku (merasa) cantik?
Saat itu aku jawab "Yes. Terkadang.”
Karena faktanya
begitu, kadang aku merasa cantik, kadang aku merasa jelek, lebih sering sih aku
merasa wajahku biasa saja. Hanya saja antara sadar atau tidak sadar,
akhir-akhir ini aku lebih sering mengekpresikan perasaanku dengan omongan
ketika aku sedang dalam kondisi merasa cantik. Kayak pas abis selfie pake
filter di hape temen, aku langsung chatt seseorang dengan mode capslock,
Me: "AKU BARUSAN NYOBA FILTER INSTAGRAM OMEGAT AKU CANTIK BANGET GEWLAK. LU MAU LIAT KAGAK? SOALNYA GUE KAGA PERNAH PAKE FILTER-FILTER KAYAK GITU."
Dia: "KAGAK! ENEK LIAT MUKA LU TERUS."
Sebuah bentuk penolakan eksplisit dengan
ikut-ikutan mode kepslok jebol. Yaelah jaenab, kaga bisa lihat orang seneng
dikit napa.
Selain membuat orang lain tahu bahwa aku sedang
di kondisi ‘gue lagi cantik nih.' Kadang-kadang ketika baru bangun tidur terus mau nyalain air (saklar air deket
sama lemari yang ada cerminnya), aku menyempatkan diri berdiri di depan cermin. Detik pertama natep mata… detik kedua liatin wajah…
detik ketiga ngeliat bekas cacar yang kaga
bakal bisa ilang… detik keempat memperhatikan pantulan di cermin sambil mikir apakah wajah yang gue lihat di cermin adalah wajah gue? Apakah gue melihat wajah gue sama seperti orang lain melihat wajah gue? Apakah penghlihatan semua orang itu sama? Dan mungkin beberapa pertanyaan aneh lainnya sebelum akhirnya menggangguk-anggukkan kepala sembari berkata… “cantik kok.”
Pede banget emang wkwkw.
Before that, i do never admit that I am beautiful and speak to people about beauty-pretty things. Kecantikan
itu fana gaes, dan di atas langit masih ada langit. Tiap aku ngerasa cantik ya aku
bakal diem aja karena emang ngapain gitu koar-koar? Tiap ada orang yang bilang
aku cantik ya aku respon aja sewajarnya tanpa perlu lempar-lemparan pujian “makasih, tapi kamu
lebih cantik," terus dibales "nggak ah, kamu yang lebih cantik.” Gitu aja terus sampe Jakarta
tenggelem di tahun 2050.
Mungkin ini suudzon, ketika aku menyadari betapa
aku bisa terlihat cantik dengan filter instagram. Aku mikir, berapa banyak
perempuan di luar sana yang harus merasa makin tidak pede karena tidak memiliki rupa yang cantik berdasarkan standar sosial? berapa banyak perempuan di luar sana yang qadarullah tidak memiliki rupa yang sempurna dan harus melihat orang-orang cantik mengunakan filter yang membuat mereka keliatan jelek?
Filter yang ada di Instagram (dan mungkin sekarang juga bisa ditemukan di TikTok) kayak membuat perempuan yang cantik
terlihat lebih cantik tapi malah sok merendah. Bisa bikin perempuan yang cantik jadi jelek (tapi hanya sebagai bahan candaan atau hiburan semata). Filter-filter seperti itu siapa tahu bisa membuat yang tidak
cantik menjadi terlihat cantik namun bisa berdampak terhadap self
confidence-nya, atau malah membuat perempuan-perempuan makin tengelam dalam kepalsuan.
Preferensi atau standar kecantikan orang mah emang
beda-beda, mungkin aku melihat si A cantik tapi si A tidak merasa dirinya
cantik karena standar kecantikan si A jauh lebih tinggi dari standar
kecantikanku, atau standar kecantikan milik si A berbeda dengan standar
kecantikan yang aku miliki.
Thats okay. i have my preference, you have yours.
Di agama Islam, ada cerita tentang anak-anak Adam as. Salah satu bagian cerita yang aku ingat adalah ketika Qabil tidak mau dinikahkan dengan Labuda karena paras Labuda tidak secantik Iqlima, saudara kembarnya sendiri. Masalah tersebut berlanjut dengan Qabil dan Habil yang diminta menyediakan persembahan kemudian long story short, Qabil membunuh Habil (google aja kalau mau cerita lengkapnya). Itu adalah kisah pembunuhan yang pertamakali dilakukan oleh manusia di muka bumi menurut Islam, pembunuhan yang diawali oeleh rasa hasad alias dengki karena dijodohkan dengan perempuan yang parasnya kurang cantik, wallahu a'lam bishawab.
Dari kisah itu, aku meng-highlight bahwa sejak awal kecantikan seperti pisau bermata dua. Kecantikan kadang jadi sumber masalah. Kalau kalian suka baca webtoon, coba baca webtoon The Second Marriage. Definisi seorang pelakor, literally pelakor alias bener-bener ngerebut laki orang bisa kalian temukan di webtoon itu. Pelakor yang bernama Raszta dan memanfaatkan kecantikannya untuk bikin seorang Raja jadi laki-laki bucin. Sosok seperti Raszta memang seharusnya kena labrak karena nggak tahu diri sekali.
Kalau baru sebatas minta mangga terus udah dikatain hobi gangguin pacar orang, baru deh dipertanyakan. Masa cuma minta mangga doang dianggap mau caper ke pacar orang. Yakali ah. Kayak laki-laki di dunia ini cuma seorang saja. #MenolakLupa
Toh, Cantik itu Luka.
Judul buku Eka Kurniawan yang aku baca di awal Februari. Menceritakan seorang perempuan bernama Dewi Ayu yang berparas cantik (bisa dibilang, paling cantik di daerah tempat tinggalnya. Nggak ada laki-laki yang nggak mengakui kecantikan Dewi Ayu) dan memiliki tiga anak yang menuruni paras kencatikan milik ibunya. Ketika Dewi Ayu hamil untuk yang keempat kali, dia berdoa agar anaknya berparas jelek. Dewi Ayu bosan melahirkan anak-anak yang cantik.
Karena Cantik itu Luka.
Kecantikan tidak perlu diumbar meskipun aku juga masih sering berusaha agar terlihat cantik jika difoto. Aku juga masih tidak menolak jika diajak foto yang menggunakan filter walaupun aku lebih prefer dengan hasil yang #notiputipu. Kadangkala foto yang #notiputipu bisa menahan diri ini agar tidak terlalu mengumbar foto wajah di sosial media (pardon me, aku bukan orang yang photogenic, jadi kalau foto, lebih banyak yang dijadiin arsip pribadi karena terlalu komuk plus buluq wkwk).
Agak kontradiktif sih, ketika aku bertingkah random di depan cermin seperti yang udah kuceritakan dan juga dengan semangat 45 mengirim pesan ke seseorang hanya untuk memberitahu bahwa aku sedang merasa cantik namun di sisi lain aku juga berupaya meminimalisir mengunggah foto di sosial media yang memperlihatkan wajahku secara keseluruhan.
Gimana sih, ngerasa cantik tapi malu.
Sesuai dengan sabda Nabi,
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)
الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر
“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)
Wadidaw padahal tidak ada rencana untuk menyelipkan hadist.
#BianglalaModeBener #BianglalaSholihah
Selama ini aku tidak pernah benar-benar merasa cantik (bikos of di atas langit masih ada langit), buuuuut... what if there is no one admit that i am pretty? Should i feel not confident? Bukannya aku ingin diakui oleh banyak orang, tapi tuh aku ngerasa kok selama ini sepertinya aku kekurangan self-love dalam aspek fisik. Malah ada momen di mana aku mengeluhkan wajah yang kumiliki, memang sungguh kurang ajar manusia bernama shofwa, diberikan rupa tanpa cacat namun masih saja memiliki moment lupa bersyukur.
Beberapa pembahasan mengenai fisik masih merupakan pembahasan yang membuatku tidak nyaman jika dibahas bersama orang-orang yang tidak memiliki hubungan dekat denganku. Terus sampai saat ini aku masih bertanya-tanya bagaimana perasaan orang-orang yang berani mengunggah sesuatu yang antimainstream dan tidak sesuai dengan standar sosial di dunia maya, melakukan hal tersebut membutuhkan keberanian yang besar sekali.
Aku pernah denger juga seseorang ngomong,"aku tu nggak pernah dibilang cantik sama orang lain, nggak ada yang pernah bilang aku cantik, yaudah aku ngomong aja untuk diriku sendiri, aku memuji diriku sendiri."
Afirmasi positif yang diberikan secara personal untuk diri sendiri.
I stand for myself.
shofwamn
0 komentar