Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller

Dua hari lalu aku menamatkan webtoon berjudul Muse on Fame, komik yang terasa seperti narasi sebuah film alih-alih cerita bergambar. Plotnya terlalu jauh dari realita dengan alur fluktuatif yang terlalu bergelombang dan jedar jeder bikin kaget.

Beberapa hari terakhir aku sibuk bertanya-tanya, apa mimpi orang-orang? Seperti apa hidup yang dijalani oleh orang-orang? Bagaimana mereka mengenyahkan perasaan kebas? Apakah mereka memiliki hasrat untuk terus bergerak? Ataukah menjalani hari seumpama cangkang kosong?

Banyak cuitan berterbangan di sebuah platform yang pernah disebut Twitter, cuitan-cuitan berisi pesan tentang milikilah hobi. Hobi yang akan menyelamatkan dari aktivitas monoton yang menjemukan. Di sisi lain, sebuah postingan berkata bahwa sebuah hobi, setidaknya, harus berkontribusi pada: menambah otot, menambah uang, atau menambah relasi.

Aku pusing.

Aku bingung.

Kepalaku berdenyut-denyut.

Perasaanku berkedut-kedut.

Hampa, hengkanglah.

Ini bukan tempatmu.


Menangis adalah bentuk dari luapan perasaan yang tidak cukup tersampaikan dengan kata-kata semata. Misalnya ketika kamu terlalu senang, kamu hanya bisa menangis, tangisan bahagia. Begitupula ketika kamu sedih dan mulutmu tidak mampu mengeluarkan suara, kamu hanya bisa menangis, tangisan lara.

Ada banyak jenis tangisan di dunia ini, tangisan bahagia, lara, menyayat hati, kebersamaan, kebencian, kemarahan, bahkan kehilangan.

Dan aku tidak tahu jenis tangisan apa yang sedang kulakukan.

Pada layar gawai yang tengah menampilkan wajah yang kumiliki, dengan penunjuk waktu menandakan rekaman telah dimulai. Aku berbicara, aku tercekat, aku menangis.

Sebuah cermin berdiri setia merefleksikan bayangan seorang gadis muda, di sebuah kamar kecil yang tidak kedap suara. Bersama dengan pantulannya yang tidak menghakimi, gadis itu tersenyum lemah, rapuh, seiring dengan air mata yang luruh.

Ia kalah, pada dirinya sendiri.


 

Hatiku membuncah tatkala melihat birunya langit, aliran sungai, lalu lalang kendaraan, gedung-gedung menjulang, pemandangan yang menuntut biaya tinggi bila keluar dari kantong pribadi. Brisbane dan daya tariknya yang indah membuatku terpesona, membuatku nyaman, membuatku termenung tidak percaya, kakiku telah menginjak tanah selain Indonesia. Betapa kagumnya Shofwa usia belasan tahun ketika melihat Shofwa saat ini.

Dalam upayaku untuk terus menjalani jalan hidup yang telah dipilih, di tengah gempuran sindrom impostor karena merasa ada banyak individu yang lebih layak berada di posisiku saat ini, di tengah rasa malu karena belum bisa menjadi mahasiswa yang baik, di tengah kebingungan akan implementasi dari ilmu-ilmu yang masuk dalam kepala, di tengah kesendirian yang perlu dihadapi seorang diri, mulai bersemi benih tawakkal bahwa aku, diriku, hanya perlu menyerahkan urusanku pada Allah, sang Maha Tahu.

Setelah kupikir, sepertinya aku tidak pernah konsisten dalam memberi dukungan atau penolakan. Semenjak aku sadar bahwa mengekspresikan perasaan ternyata merupakan hal yang sulit kulakukan, aku hanya berputar-putar di perasaan-perasaan yang sama.

Dan ketika aku tidak bisa mengidentifikasikan perasaanku sendiri, aku hanya akan memakai satu kata... aneh.

Aku merasakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Seperti ada yang salah, tapi aku tidak yakin. Ada yang tidak beres tanpa bisa kujelaskan.

Ada yang bilang, dewasa adalah ketika kamu tidak mempertanyakan pikiran orang lain. Ketika kamu memahami pola pikir orang lain yang berbeda denganmu.

Namun semakin banyak menemukan kejadian baru, semakin aku tidak mengerti pikiran manusia.

Terlalu kompleks, terlalu bertabrakan, terlalu unik.

Pun di sisi lain terlalu biasa, terlalu seragam, terlalu monoton.

Dan bila aku tidak bisa memahami kenapa seorang manusia memiliki suatu pemikiran tertentu, biasanya aku akan cukup dengan aku paham bahwa aku tidak paham.

#loh # gimana

Berhubung berpikir merupakan suatu aktivitas yang lumayan menguras energi, penting untuk bisa memiliki orang-orang yang satu frekuensi.

Agar penjelasan yang panjang dapat dipersingkat.

Agar bisa mengerti tanpa perlu menjelaskan.

Agar bisa berinteraksi dengan penuh pengertian.


Hasil pra-test IELTS di program Pengayaan Bahasa yang membuatku meringis malu pada diri sendiri karena di bawah perkiraan ternyata merupakan nilai rata-rata (agak bawah dikit) yang didapat oleh para peserta PB, nilai itu membuatku tergabung ke kelas berisi 12 orang yang terletak di lantai bawah tanah, kelas yang diberi nama dari seorang penulis sastra terkenal pada jamannya, kelas yang ketika mati listrik masih mendapat sedikit cahaya mentari dari luar, kelas bernama Austen.

Perasaanku berdebar-debar menghadiri hari pertama, ruangan kelasku tidak besar, aku melihat meja-kursi yang biasanya dimiliki oleh sekolah-sekolah bagus, dengan proyektor yang tergantung di dinding dan seperangkat sound system di atas meja guru. Sarana dan prasarana yang saat ini tidak mungkin ditemukan di sekolah negeri tempatku tinggal.

So classy, so professional, so intelligent.

Hari pertama, hari ketika sesi perkenalan pasti dilakukan, ada 11 murid yang datang hari ini, aku duduk semeja dengan teman kamarku (ALHAMDULILLAH KAMI SATU KELAS). Saat sesi perkenalan berlangsung, otomatis aku membuka buku catatanku untuk menuliskan informasi yang kudengar: Vanie, Yuna, Vivi, Jo, Jeje, Jannah, Dewi, Tami, Ina, Okta.

Ada perasaan excited yang menyeruak ketika bertemu atmosfir kelas, ini akan menjadi kelas pertamaku di mana aku menjadi minoritas. Dari 11 orang, hanya ada 3 orang muslimah berhijab.

Aku juga menulis universitas tujuan mereka: Sussex, Sorbonne, UNSW, UWA, Unimelb, Exceeter, Victoria, Adelaide, Göttingen, Sydney.

Melihat catatan yang kutulis, rasanya keren sekali membayangkan orang-orang yang sedang berada di kelas yang sama denganku kelak akan pergi belajar ke kampus-kampus terkenal.

Indeed they are cool people.

Dari 11 orang yang datang pada hari pertama, sekitar sepekan kemudian kami mendapat satu murid lagi yang baru datang: Ikun. Otomatis dipanggil kak Ikun karena beliau dosen, terus aku langsung wow kewren pol karena kak Ikun adalah dosen Psikologi TwT.

Pada pekan-pekan pertama, kebanggaan yang nggak pernah kusebut adalah aku bisa satu kelas dengan bu Lurah (kak Dewi), bisa satu kamar dengan ketua kelas (Vie), dan bisa satu kelas dengan psikolog (kak Ikun).

I think i am the luckiest.

Eaa self-proclaim wkwkwk.

Bila harus menceritakan tiap kisah dengan Austen selama PB berlangsung, nggak cukup hanya satu postingan saja jadi akan aku bagi kenanganku bersama Austen dalam poin-poin. Kalau di film inside out, bisa disebut core memories, kurasa inilah faktor kerekatan Austen dalam enam bulan kebersamaan kami di program Pengayaan Bahasa Inlingua.


1. Senin Berbatik

Sumbu keceriaan kelas Austen dipantik oleh kak Jannah, kak Dewi, Tami, dan Okta. Setidaknya keempat orang ini yang aktif bertanya di kelas dan sering nyeplos menanggapi ucapan tutor makanya kegiatan belajar-mengajar di Austen lebih hidup dengan kehadiran empat orang tersebut. Belum lagi keindahan pita suara orang-orang timur yang benar adanya, Ina akan menyetel lagu saat jam istirahat lantas mereka nyanyi bersama.

Iya, mereka. Bukan kita.

Soalnya aku nggak ikutan. Aku nggak bisa bernyanyi merdu.

“Guys, senin depan kita pakai batik atau tenun yuk.”

AKU GAK PUNYA BATIK. AKU NGGAK PUNYA TENUN.

Tapi kuy.

Ini Jakarta, ada martketplace. Butuh batik tinggal checkout.

Bukan hari batik, bukan hari pendidikan, bukan hari tenun nasional, bukan hari peringatan apapun. Pertamakalinya Austen berbusana dengan dresscode dan foto bersama.

Kok bisa? Kok bisa semua orang langsung bersepakat memakai batik?

Malam harinya mayoritas dari kami pergi ke bioskop untuk nonton Petualangan Sherina.

Random sekali alur kehidupan.


2. Kebun Raya Bogor

Bila batik masih belum cukup membuat heran, di pekan ketiga Pengayaan Bahasa. Austen jalan-jalan kelas ke Kebun Raya Bogor.

Baru tiga pekan bertemu, tiga pekan belajar di kelas yang sama, tapi sudah pergi jalan-jalan naik KRL ke Bogor. Hanya dua orang yang absen dari #TriptoKRB: aku dan Vi. Alasan kami serupa: ada urusan keluarga.

Dalam kisah Umar ra, khalifah kedua setelah Rasulullah saw. wafat. Beliau pernah berkata bahwa untuk mengetahui karakter seseorang maka lakukanlah perjalanan bersama-sama. Dalam perjalanan ada rintangan yang harus dihadapi bersamaan. pergi bersepuluh dengan style perjalanan yang berbeda bersama orang baru. Berapa budget yang perlu dipersiapkan? Makanan apa yang akan disantap? Transportasi apa saja yang digunakan?

Aku memang nggak ikut ke Bogor jadi harusnya poin ini nggak masuk core memories ku, tetapi kurasa trip ini juga yang membuat Austenian lebih mengenal sifat masing-masing.

3. Malam Barbeku

Gedung asrama yang kami tempati sekaligus tempat kami belajar. Lantai bawah tanah dan lantai satu difungsikan untuk ruang kelas, ruang akademik, lobby, dan ruang laundry. Lantai 2 dan 3 adalah kamar sedangkan lantai 4 berupa aula yang biasa kami sebut rooftop.

Setiap lantai kamar terdiri dari dua lorong, ndilalahnya pada lantai 3 lorong sebelah kanan dihuni oleh mayoritas anak Austen. Jadi kalau mau bikin sesi FGD tinggal pergi ke kamar sebelah, atau kalau liat ada banyak alas kaki berkumpul di depan pintu sebuah kamar, tandanya di dalam sedang banyak orang wkwk.

Aku lupa ide dari siapa, kalau tidak salah ide awalnya adalah mau nyobain all you can eat, kemudian idenya berubah jadi barbekuan saja di asrama. Aku tidak tahu urusan persiapannya (tim hanya setor uang patungan wkwk), yang jelas ada yang pergi ke pasar beli daging, beli sayur mayur, beli bahan-bahan yang diperlukan, ada juga yang bertugas nyewa kompor gas beserta peralatan barbeku, ada pula yang diminta untuk mengajukan izin ke ibu asrama agar kami bisa menggunakan area rooftop (diizinkan! Dengan batas waktu pukul 10 malam), maka tanggal 30 September, makan-makan Austen dilakukan.

4. Jalan-Jalan Impulsif

Ada sebuah taman hijau yang terletak di samping gedung asrama, hanya dipisahkan oleh sungai, bisa kami akses dengan berjalan kaki lima menit. Beberapa tutor memberi tahu kami bahwa ruang hijau di Jakarta adalah hal yang jarang, sehingga bisa tinggal sedekat itu dengan akses taman merupakan keistimewaan tersendiri yang nggak akan kami sadari bila nggak dikasih tahu, karena tempat tinggal kami semua adalah tanah yang masih banyak hutan dengan udara segar.

Pernah Austen jalan-jalan sore (SEKELAS) ke Taman Cattleya, lantas mengabadikan momen tersebut ke dalam sebuah konten video yang TIDAK AKAN AKU COBA LAGI KONTEN KAYAK BEGITU.

Pernah aku dan Tami menemani Ina yang jalan-jalan sore dan Vie yang olahraga lari, lantas mendadak kami memutuskan untuk pergi ke GBK yang kemudian berujung naik MRT ke blok M dan balik lagi ke asrama menggunakan halte TJ jalur malam.

Pernah pula di suatu sore yang tanpa pertanda apapun, Tami mengajak makan tteokbokki di area Jakarta Selatan. Ajakan yang disambut olehku, oleh Ina, dan oleh Vie. Kami berempat jalan kali ke Halte Harapan Kita arah Selatan untuk naik TransJakarta jalur 10H hingga blok M, lantas lanjut menggunakan bus jalur 6M menuju Jakarta Selatan, dua jam perjalanan untuk makan malam di tempat makan korea. Menu-menunya enak, kami semua kenyang. “Kenyang alhamdulillah,” kata Tami karena rasa lapar telah hilang tapi nggak begah.


5. Ulang Tahun

Suatu pagi di bulan Oktober, mendadak aku dimasukkan ke grup whatsapp yang ternyata punya misi untuk memberi kejutan ulang tahun ke Okta, si member kelas yang paling muda.

Pertama kalinya kami membeli kue ulang tahun dan sushi, pertama kalinya ada yang berulang tahun di kelas, pertama dan terakhir kalinya acara ulang tahun yang sukses dikonsep sebagai kejutan. Setelah Okta, nggak ada kejutan yang berhasil karena tiap orang yang berulang tahun sudah tahu kalau ada sesi makan-makan begitu kelas berakhir. Dari 12 orang member Austen, 8 orang dirayakan hari lahirnya. Nggak nyangka mayoritas Austenian berulang tahun saat periode Pengayaan Bahasa berlangsung.

Selain ulang tahun, kami punya #SnackCorner di bagian belakang kelas yang nggak pernah sepi. Ada beberapa jenis kopi, dari kopi arabica asal Papua yang mahal harganya hingga kopi bubuk dari salah satu kedai kopi terkenal. Ada beragam makanan oleh-oleh dari member yang pergi ke luar kota atau pulang ke rumah. Ada jajanan yang dibeli via marketplace. Perut kenyang, hati senang, belajar pun gampang.

#ApaIya #IELTSisnotEASY

6. Tahun Baru

Di bulan Desember, beberapa anak Austen memutuskan menghabiskan malam terakhir tahun 2023 di rumah kak Ikun. Aku salah satunya. Salah empatnya ada Kak Jannah, kak Yuna, Tami, dan Ina.

Kami berangkat dari asrama menjelang siang, ternyata kak Ikun kedatangan sepupunya dari Kupang yang sedang menginap karena ada jadwal kegiatan yang harus dihadiri.

Sore harinya pergi ke toko buah karena kak Jannah sudah lama ngidam makan rujak, setelah itu mengantar kak Yuna ke gereja sebelum pergi ke AEON untuk belanja bahan masakan. Pulang dari AEON menjemput kak Yuna, lantas balik ke rumah kak Ikun.

Kami menggelar tikar di ruang tengah lantas meletakkan panci berisi shabu-shabu, sushi yang dibeli, buah-buahan dengan saus rujak buatan kak Jannah sebagai menu makan malam terakhir tahun 2023. Sehabis makan sempat mengobrol sebentar tapi aku masuk ke kamar karena sudah ngantuk, bahkan tidak berpikir untuk bangun tengah malam saking capeknya ingin rebahan. Namun menjelang pergantian tahun mendengar letusan kembang api berkali-kali yang membuatku terjaga, ternyata semua orang masih terjaga lantas pergi ke luar rumah untuk merasakan sensasi tahun baru. Alhasil kami menghitung mundur 3...2...1 Selamat datang 2024! Di jalanan perumahan kak Ikun.

“Sa tidak nyangka akan tahun baruan dengan orang yang baru tiga bulan kenal,” komentar kak Yuna saat kami masih berada di tengah jalan yang sepi mencari spot terbaik untuk melihat kembang api.

Iya, ya, kenapa bisa begitu?

Baru tiga bulan kenal tapi sudah menginap bersama.

Baru tiga bulan kenal tapi rasanya sudah mengenal lama.

7. Support System

Aku sama sekali nggak pernah mengira program Pengayaan Bahasa yang aku ikuti akan berbonus mendapatkan teman-teman yang baik hati dan satu frekuensi. Memang dari 12 orang Austenian, tidak semuanya memiliki level kedekatan yang sama, namun tetap saja rasanya menakjubkan memiliki beberapa nama tambahan yang bisa masuk ke lingkaran pertemanan yang lebih dalam.

Meskipun sudah memiliki beberapa pengalaman tinggal bersama banyak orang di bawah atap yang sama, ada suatu hal yang baru kurasakan: ekosistem yang saling mendukung pada satu tujuan utama.

Saat masih bersekolah, setiap orang punya dorongan yang berbeda, ada yang serius belajar, ada yang mengincar nilai bagus, ada yang pengennya main-main saja, ada yang lebih suka memikirkan masalah percintaan. Saat masih berkuliah, setiap orang punya fokus yang berbeda, ada yang sibuk kuliah, ada yang menghabiskan waktu dengan organisasi, ada yang melakukan pekerjaan sampingan, ada yang menunda-nunda membuat skripsi. Saat di PB, setiap orang memiliki satu tujuan yang jelas: mendapatkan skor IELTS yang dibutuhkan untuk masuk ke universitas incaran.

Austen memperlihatkanku bagaimana yang terjadi ketika sebuah kelas diisi oleh orang-orang yang memiliki target yang sama tanpa adanya kompetisi. Austen memberikanku perasaan bahagia ketika melihat orang lain berhasil mengatasi kesulitannya dan mampu mencapai target tanpa membandingkan dengan hasil yang kumiliki.

Aku yang tidak senang berbicara, namun harus berbicara untuk sesi speaking. Aku yang buta grammar, namun harus memperhatikan grammar ketika sesi speaking karena nggak bisa berkonsep “as long as I understand, you understand, we understand, no need grammar.” Perlahan-lahan punya kepercayaan diri untuk berbicara, punya dorongan untuk meminta tolong ke teman agar membantuku latihan tanpa harus khawatir ditertawakan, punya semangat untuk belajar bersama di malam hari tanpa perlu mendengar ucapan berbumbu sarkas “ciyee belajar, rajin amat, pasti nanti nilainya bagus.”

Hari-hari terakhir menjelang penutupan Pengayaan Bahasa, Austen memiliki basecamp di sebuah kamar yang ukurannya cukup luas untuk menampung semua orang. Hampir setiap malam kami berkumpul, memang tidak lengkap, yang penting kumpul. Alasannya sederhana, berkumpul untuk makan bersama, untuk bercengkrama, untuk main kartu, untuk mendadak ngidam ngemil malam berujung GoFood.

Hari penutupan program Pengayaan Bahasa, salah satu tutor mengajak pergi, ajakan yang disambut oleh semua anak kelas karena tutornya termasuk tutor kesayangan. Kami pergi ke sebuah kafe, berniat makan malam bersama namun berujung saling memberi kesan-pesan untuk program yang telah kami lewati. Nuansa sedih yang tidak bisa dibendung lagi, tangisan-tangisan yang hadir dari perasaan tulus, dan sebuah janji yang terucap dari tutor. “kalau nanti kalian selesai studi, saya adalah orang pertama yang menyambut kalian di bandara.”

Sumpah aku penasaran, siapa yang kelak di masa depan nanti beneran akan dijemput oleh daddy Yos di bandara.


Sampai sekarang, aku tetap tertawa terbahak kalau melihat video anak-anak Austen yang konyol, random, kocak, adaaa aja tingkah lakunya. Tertawa geli mengingat bagaimana topik-topik sederhana bisa jadi bahasan panas di dalam forum group discussion. Tertawa malu bila teringat beberapa tingkahku yang kekanakan dan mudah sebal ke orang lain dengan masalah sepele.

Banyak sekali kenangan bersama kelas ini yang tidak bisa aku tulis semuanya, seperti aktivitas main pingpong di sela jam istirahat, mencari makan ke warteg di akhir pekan, bertahan hidup saat aliran air mendadak terputus karena mesin rusak, janjian menentukan tema warna untuk busana ke kelas selama satu pekan penuh, nonton film di kelas, belajar di rooftop, banyaaak sekali.

Sebuah kebersamaan yang cukup singkat, berdurasi hampir satu semester, di bawah naungan Inlingua. Sebuah kebersamaan yang tidak akan terulang kembali, tidak ada alasan untuk melakukannya. Sebuah kebersamaan yang, semoga, layak dianggap sebagai memori jangka panjang.

Untuk orang-orang yang mengajarkanku cara berteman.

Untuk orang yang memberiku pengalaman menjaga batasan hubungan pertemanan.

Terima kasih.

Salam hangat,
shofwamn.

Seseorang pernah bertanya padaku, “menurutmu dewasa itu apa?” yang kujawab dengan “saat prefrontral cortex sudah berkembang secara sempurna,” karena aku baru tahu itu adalah bagian otak yang paling terakhir matang, perkembangannya baru selesai saat manusia sudah berusia pertengahan dua puluhan. Bagian yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan. Sehingga terjawab sudah mengapa remaja terkenal dengan sifat labilnya, sesederhana mereka masih belajar memikirkan konsekuensi dari pilihan mereka karena bagian prefrontal cortexnya masih dalam tahap perkembangan.

Seseorang pernah kuberi pertanyaan tentang betapa aku merasa bahwa aku memiliki cukup banyak pengetahuan namun tidak bisa menyambungkannya antara satu dengan lain. “Karena kamu membangun pagar di sekelilingmu dan kamu melihat dunia melalui celah dari balik pagar. Bagimu hanya ada hitam dan putih, padahal ada area abu-abu. Prinsip yang kamu punya terlalu tegak berdiri, saran saya, bengkokkan sedikit.”

“Nanti patah, dong?”

“Bengkokkan, bukan patahkan. Be flexible, you get what i mean?”

Walaupun masih tetap bertanya-tanya apa makna ‘membengkokkan’ yang beliau maksud, aku sedikit membenarkan ucapannya. Aku tahu dunia ini memiliki area abu-abu, namun barangkali aku tidak menerapkannya pada diriku sendiri. Aku bisa mengerti manusia yang hidup di area itu, namun bagiku area itu adalah paradoks yang kuhindari. Aku nggak bisa bohong tanpa merasa bersalah, aku bisa menolak mentah-mentah tawaran yang mempertaruhkan integritasku. Apakah maksud beliau be flexible adalah dengan menerima di dunia ini ada yang namanya white lies and it is okay to lie about something? Apakah maksud beliau adalah terkadang kita harus melalui jalan yang buruk untuk hasil yang baik sehingga it is okay to lower our integrity level so that we could achieve greater impact?

Jika dewasa adalah kata benda, jelas artinya diperuntukkan bagi manusia yang telah menginjak usia tertentu. Bila dewasa adalah kata kerja, terdapat banyak penjabaran yang dapat diuraikan dan usaha yang perlu dikerahkan agar dapat menjadi dewasa. Salah satunya barangkali dengan melewati sesuatu yang tidak kita suka, untuk mencapai tujuan yang kita inginkan.

Pada akhirnya hidup adalah akumulasi dari beragam keputusan, dari pilihan-pilihan yang tidak semuanya kita sukai namun harus kita hadapi, dari opsi yang kita ambil lantas kita sambut segala konsekuensinya. Bila hidup hanya berisi hal yang menyenangkan, bagaimana kita bisa berjumpa dengan versi terbaik kita?

Makanya aku harus berhadapan dengan bahasa Inggris.

Cepat atau lambat, aku tahu bahwa aku harus bisa menaklukkan bahasa itu.

Apalagi saat sudah berada pada kesimpulan bahwa kuliah di luar negeri adalah satu-satunya opsi yang bisa kuperjuangkan untuk bisa mendapatkan pengalaman tinggal di negara lain, aku tahu kalau aku tidak bisa mengandalkan kemampuan bahasa Inggris level turis.


Bahasa Inggris masih cukup menyenangkan di level membaca komik atau menonton variety show dengan engsub. Tapi akademik itu level yang beda, jauuuuuuh berbeda.

Aku perlu meningkatkan kemampuanku di level akademik, memikirkannya saja sudah bikin mual karena BISA NGGAK GUE MINUM JUS KERTAS ENGLISH BOOK SAJA TERUS SIMSALABIM PINTER DALAM SATU MALAM???! *emoji nangis*

Ini pelajaran yang tidak aku sukai dari SD sampai SMA, saat kuliah pun dapat C+.

I used to be dislike you @EnglishLanguage, I totally understand why lots of people say ga bisa basaa enggressss because I was like that too.

Kontradiksi, ya, bikin pernyataan nggak suka bahasa Inggris tapi nulisnya pakai bahasa Inggris, huft.

Aku rasa kalau aku harus mengasah kemampuan bahasa asingku supaya bisa daftar beasiswa reguler LPDP, aku nggak akan pernah mencoba LPDP. Kolaborasi dari bahasa asing yang tidak kusuka + modal yang besar untuk belajar + bayar test IELTS = mundur alon-alon. Perihal beasiswa, aku adalah kaum mendang mending yang sangat oportunis: mau dapat beasiswa dengan modal seminim mungkin.

Namun peluang kesempatan selalu ada bagi mereka yang sudah memutuskan untuk berusaha, bukan? (yeuh) (sotoy) (wkwk). Alhamdulillah aku bisa mendaftar melalui skema beasiswa daerah Afirmasi karena tinggal di daerah 3T, sehingga aku boleh mendaftar menggunakan sertifikat TOEFL ITP. Aku beruntung mendapatkan skor TOEFL yang cukup di percobaan pertama. Rangkaian kemudahan dan privilese yang terbentang membuatku memberanikan diri untuk mencoba LPDP.

Percobaan pertama, kegagalan yang kudapatkan. Gugur di tahap terakhir.

Percobaan kedua, keberhasilan yang menyambutku, lolos dengan skor wawancara yang hanya beberapa poin di atas passing grade.

Keberhasilan yang membawaku ke privilese selanjutnya: belajar bahasa Inggris melalui program Pengayaan Bahasa.

(baca: Pengayaan Bahasa LPDP xInlingua)

Dari proses pengumpulan informasi yang kulakukan, durasi program PB terbagi menjadi 3 bulan dan 6 bulan. Saat masih menunggu pengumuman kira-kira aku mendapatkan durasi yang mana, kalau dapat 3 bulan maka aku akan belajar dengan super serius (meski gasuka bahasa Inggris) (bagaimana caranya?) (nggak tahu), aku berdoa supaya tidak dapat durasi 6 bulan.

Qadarullah, dapat program IELTS 6 bulan.

“Sebodoh itu kah aku?” adalah pikiran pertama yang muncul begitu tahu kebagian belajar 6 bulan.

Enam bulan untuk belajar bahasa Inggris, berarti aku bodoh banget,ya?

Memang betul itu adalah bahasa yang tidak aku suka, tapi kayaknya 3 bulan sudah cukup?

#denial

Dengan mengonversi nilai TOEFL yang kudapat, aku menaksir kemampuan IELTS ku ada di angka 5 – 5.5, rata-rata kenaikan skor adalah 0.5/bulan sehingga aku berpikir periode tiga bulan cukup untuk mengejar skor 7.0 kalau belajar keras.

WOW PIKIRAN NAIF WKWKWKW

(menertawakan keluguan diri di masa lalu)

Optimisme yang langsung jatuh begitu melihat angka 4.5 untuk skor placement test.

Nggak nanggung-nanggung, skor writingku jeblok di 2.5

Kena mental pas tahu kemampuanku di bawah yang kubayangkan, double attack begitu tahu skill yang dianggap lumayan aku kuasai ((menulis)) ternyata malah paling parah nilainya.

Sebelum memulai kehidupan Pengayaan Bahasa di Jakarta, aku sudah berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh terlepas dari betapa aku ingin menghindari level akademik dari bahasa Inggris. Dimulai dari tanggal 29 Agustus 2023, agenda wajibku adalah menghadiri kelas dari jam 08.00 – 16.30 dari Senin sampai Jum-at.

Enam jam terpapar bahasa Inggris setelah dipotong waktu istirahat.

Tidak cukup sampai situ, selepas Magrib atau Isya, aku akan pergi ke rooftop atau ruang kelas untuk melakukan sesi belajar mandiri hingga jam 22.00. Barangkali dari keseluruhan malam-malam di asrama, 70% nya ku habiskan untuk belajar malam, baik sendirian atau bersama teman. Masih ingat suatu hari kami belajar tentang noun phrase dan aku kebingungan, kuhabiskan sesi belajar mandiri dengan merangkum materi noun phrase dari berbagai sumber, pun keesokan paginya abis salat subuh, aku kembali berkutat dengan rangkumanku. Semalam penuh mencoba mengerti apa itu noun phrase yang ternyata dalam bahasa Indonesia disebut frasa nomina.

Tidak semua malam isinya belajar meski aku ke rooftop wkwkw. Kadang nonton anime, kadang main gawai, kadang melakukan sesi forum group discussion dengan teman kelas bertema topik hangat yang terjadi di asrama. Aku merasa harus menulis ini karena di paragraf sebelumnya terkesan saya rajin sekali berhawa-hawa si murid teladan.

Selain fasilitas tempat tinggal di asrama, kami juga mendapat makan 3x sehari. Sesuatu yang aku syukuri tapi membuat pola makanku berantakan. Waktu sarapan masih terlalu dini untukku yang biasanya baru makan di atas jam 9 pagi, akan tetapi menunggu waktu makan siang juga kelamaan. Kalau ambil menu sarapan, perutku masih kenyang di jam makan siang, sedangkan terkadang menu makan siang cukup menggiurkan dengan tambahan buah. Kalau mengambil makan pagi dan makan siang, maka aku nggak ngambil makan malam karena aku butuh dua kali waktu makan untuk menghabiskan porsi nasi di satu kotak katering. Aku bisa kenyang hanya dengan makan lauk pauk dan buah saja. Terkadang kalau menu makan malamnya enak, akan kuambil untuk dimakan tapi nasinya kusimpan di dalam freezer untuk dihangatkan kembali saat akhir pekan.

Permasalahan yang terjadi karena nggak bisa mubazir membuang makanan sisa tapi kapasitas lambungku kecil tapi gampang tergoda dengan makanan enak.

Huft.

Belum lagi snack yang didapat sepanjang kegiatan belajar, dalam sehari kami mendapatkan empat buah snack: dua asin dan dua manis. Ini juga bisa mengganjal perut karena bisa dimakan saat jam pembelajaran, iya, barangkali ini pertamakalinya aku belajar di kelas yang gurunya nggak marah kalau ada banyak makanan tergeletak di atas meja.

Intensitas belajar IELTS kujalani dalam periode 18 September 2023 – 12 Januari 2024. Bila dipotong libur akhir pekan dan nataru, total belajar IELTS-ku hanya 3 bulan, meski program yang kuikuti adalah 6 bulan.

Cara Allah untuk memberiku apa yang ku harapkan >>3 bulan belajar<< namun ditambah bonus mendapat pengalaman lain adalah satu dari sekian banyaaaak hal baik yang aku syukuri sepanjang kehidupanku di ibu kota.

Secara mengejutkan, ternyata aku menikmati proses belajarku.

Bertemu tutor-tutor yang sangat berdedikasi dengan berbagai metode belajar: menyanyi, main kuis, debat. Aku tidak merasakan beban ekspektasi dari tutor untuk progress yang harus ku kejar. Ini adalah ekosistem pembelajaran yang belum pernah kualami sebelumnya. Karena sebelumnya, pasti selalu ada sesi aku tidur di kelas saat materi yang diberikan membosankan. Tidur di kelas sudah menjadi hal wajib yang tidak afdol kalau tidak kulakukan(?).

Tapi bagaimana bisa aku tidur jika hanya ada 12 orang di dalam kelas, pun ada waktu-waktu saat beberapa orang izin karena punya urusan yang perlu dikerjakan. Sempat beberapakali kepikiran untuk bolos ketika lagi bosan dengan asupan materi di kelas tapi ada teman yang mengingatkan, “jangan bolos, itu uang negaraaa.”

OHIYAAA. AKU BELAJAR PAKAI UANG NEGARA.

#lupa

Buku latihan IELTS keluaran cambridge sepertinya sudah merupakan kitab suci para pengincar skor IELTS. Tapi aku menghindar untuk belajar dengan buku soal itu karena beberapa soalnya akan dipakai untuk bahan practice test yang dijadwalkan setiap dua pekan. Practice test atau test simulasi IELTS diadakan dengan tujuan supaya kami semakin familier dengan suasana IELTS, namun di sisi lain juga sukses bikin dag dig dug ser. Semua sesi punya kesulitannya masing-masing dan speaking test memberikan kegugupan tersendiri untuk manusia minim bicara seperti aku.

Berbicara selama dua menit, maka aku merasakan otakku berhenti berpikir yang membuatku berbicara secara spontan. Butuh bicara di atas lima menit, maka akan kudengar degup jantung yang berlebihan. Berbicara lebih dari sepuluh menit? Serta merta telingaku hanya bisa mendengar suaraku sendiri dan mataku menjadi nggak fokus ntah menatap apa.

Dalam 15 menit sesi speaking, ada tiga tahap yang perlu kulewati: Part I menjawab pertanyaan umum, part II berbicara tentang suatu topik selama dua menit (diberi kesempatan 1 menit untuk menyusun konsep narasi), dan part III berisi diskusi tanya-jawab yang lebih intens.

Maka targetku hanya untuk mencapai ambang batas bawah alias nilai 6.0. Angka ini sempat stabil sampai aku melakukan simulasi test speaking di mana aku harus menjelaskan tentang Program TV yang menarik bertopik ilmu pengetahuan untuk part II.

Apaaaa? Program TV? Aku sudah lama nggak nonton TV. Apalagi yang berhubungan tentang ilmu pengetahuan? Mana ada program yang sangat mengedukasi seperti itu di jaman sekarang? Untuk urusan test speaking, aku termasuk ke dalam tim #JanganNgarang karena mengarang jawaban yang tidak nyata membuat otak bekerja lebih keras. Dalam satu menit persiapan yang singkat, aku teringat sebuah tips “kita bisa memberikan jawaban sesuai dengan persepsi kita. Kalau disuruh menjelaskan tentang ‘arts’ lantas kita bisa aja berbicara tentang puisi, karena seni bukan hanya seputar patung atau lukisan. Bahasa juga merupakan seni.”

Lantas muncul sebuah ide di benakku.

Aku memulai narasi 2 menit dengan pernyataan bahwa sudah lama tidak menonton TV tapi akhir-akhir ini menonton serial Netflix tentang... penemuan kubur Mesir kuno.

Apa hubungannya penemuan kubur sama ilmu pengetahuan? Karena arkeologi juga termasuk ilmu pengetahuan (aku merasa arkeologi juga ada sisi science nya karena harus hati-hati meneliti artefak berusia ribuan tahun yang mungkin menyimpan bakteri/virus berbahaya). Tapi aku lupa satu hal: AKU NGGAK TAHU BANYAK KOSA KATA ARKEOLOGI

Itu kebodohan pertama.

Kebodohan kedua adalah aku tidak menjelaskan tentang “menurut saya penemuan kuburan ini adalah topik pengetahuan yang menarik karena saya jadi tahu bagaimana cara kerja arkeolog di lokasi penggalian,” sehingga membuat omonganku berputar-putar nggak jelas.

Skorku turun 0.5

Di sesi practice test selanjutnya, penguji sesi speaking adalah tutor yang sangat teliti urusan grammar dan penekanan bunyi (HUHU SUSAH BATS), aku mendapat banyak pertanyaan yang kujawab dengan banyak kegagapan (mikirin pelafalan) (asli) (bebanmental is real). Namun ketika sudah selesai, beliau bertanya “what happend with you? I know you can do better than this.”

HUHU MONANGES. Thank you for your concern, mam.

"I do not know. I just feel that I need more time to think about the answer."

"You have to read more so that you can gain your knowledge. Do not worry, your score is not that bad."

Beliau bilang “don’t worry don’t worry” tapi skorku turun lagi sebanyak 0.5

Hadeh puyeng. Dari stabil di 6.0 lantas terjun ke 5.0

Penguji untuk semua practice test adalah tutor-tutor yang mengajar kami di kelas, setiap tutor punya karakteristiknya sendiri. Ada yang membangun atmosfir simulasi seperti test IELTS beneran, ada yang sangat memperhatikan pelafalan setiap kata, ada yang menyesuaikan jumlah pertanyaan sesuai dengan cara kami menjawab (jika jawabannya bagus maka pertanyaannya makin rumit, jika biasa saja maka dapat pertanyaan yang banyak), ada juga yang santai tidak saklek dengan aturan real test. Di practice test terakhir, sesi speakingku berjalan sangat informal karena mendapat penguji yang cuma pingin tahu kemampuan penggunaan struktur kalimat past-present-future dan pemilihan kata.

Di part II, aku mendapat topik:

Describe an unusual job you think you would be good at.

You should say:

what the job is

what kind of works it involves

what type of people do this job

and explain why you think you would be good at it.

Topik yang nggak pernah aku latih jadi dalam waktu satu menit aku mencoba menyusun narasi untuk berbicara selama dua menit di task 2

“Well, many people do not think of this as a job because it is common in my country. However, I think I could be good as a housewife.”

“You will, i know you will.”

“Oh, really?”

“Absolutely.”

Sesi yang harusnya diisi narasi dua menit malah jadi percakapan wkwkwk, lantas aku lanjutin sedikit penjelasan kemudian dibalas lagi sama pengujiku.

“Marriage is complicated and difficult.”

“Yeah i know.”

“No. you don't.”

“I know.”

“Have you married?”

“Not yet.”

“So, you do not know.”

“I know,” balasku lagi, aku tahu pernikahaan bukan sesuatu yang sederhana dan mudah dilakukan

“Do you have husband? Have you married?”

“No.”

“Then you do not know.”

Begitu saja terus sampai aku mengiyakan bahwa aku tidak tau karena baru sadar beliau bilang aku nggak tahu apa-apa karena memang belum punya pengalaman.

Berhubung aku adalah orang terakhir yang test speaking, setelah simulasi selesai aku memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bertanya

“Mr, kenapa ya, saya merasa saya punya cukup pengetahuan dalam mangkuk-mangkuk yang berbeda tapi tidak bisa menghubungkan antara satu dengan yang lain. Saya tidak bisa mengolaborasikan wawasan yang saya miliki.”

“Karena kamu membangun pagar di sekelilingmu dan kamu melihat dunia melalui celah dari balik pagar. Bagimu hanya ada hitam dan putih, padahal ada area abu-abu. Prinsip yang kamu punya terlalu tegak berdiri, saran saya, bengkokkan sedikit.”

“Nanti patah, dong?”

“Bengkokkan, bukan patahkan. Be flexible, you get what i mean?”

Suatu waktu beliau pernah berpesan di dalam kelas agar kami jangan jaga diri tapi bawa diri. Bila jaga diri membuatmu terkukung dan menghindari hal-hal yang dirasa menyeramkan, bawa diri artinya kamu bisa menerapkan prinsip-prinsip yang sudah dimiliki terlepas dari lingkungan seperti apa yang dihadapi. Bukan mewarnai, bukan diwarnai, namun bertahan dengan warna yang dimiliki.

Bila dibutuhkan, jangan dipatahkan prinsip yang sudah ada namun bengkokkan sedikit, dunia ini tidak kaku.

Aku masih nggak ngerti bagaimana cara melakukan itu atau apakah aku harus menelan mentah-mentah ucapan itu. Setelah melalui 6 bulan kehidupan di Jakarta, berkutat dalam perputaran aktivitas makan, belajar dan tidur, kemudian diselingi oleh beberapa petuah nasihat kehidupan dari orang-orang yang sudah hidup lebih lama daripada aku. Ternyata memang waktu yang kita lalui setiap detik adalah sarana dalam melakukan percobaan.

Eksperimen untuk mengonsumsi makanan yang baik.

Eskperimen untuk menemukan cara belajar yang tepat.

Eksperimen untuk memiliki pola tidur tanpa insomnia.

Eksperimen untuk tetap mencoba menjadi dewasa, hingga suatu hari nanti dewasa bukanlah kata yang butuh dicari definisinya, namun kata yang sudah melebur dalam diri sehingga tidak perlu sibuk mencari-cari maknanya.

Begitulah.

Xx,

shofwamn.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ▼  2024 (5)
    • ▼  November (1)
      • Hampa yang Hengkang
    • ►  Oktober (1)
      • Mencari Matahari
    • ►  September (1)
      • Benih yang Bersemi
    • ►  Juni (1)
      • Nama Kelasnya Austen
    • ►  April (1)
      • Repetisi Makan, Tidur, Belajar
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  September (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2019 (36)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (28)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes