Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller

Kemarin sempat buka polling di Instagram karena aku mendadak penasaran tentang pikiran orang lain terhadap salat wajib, aku memberi dua pilihan untuk dipilih, kedua pilihan tersebut adalah:

1. Salat tepat waktu karena disuruh

2. Salat nggak tepat waktu karena keinginan sendiri

Hasilnya?

54% vs 46%

Lebih banyak yang merasa lebih baik salatnya disuruh tapi tepat waktu daripada salat nggak tepat waktu atas dasar keinginan sendiri. Dari sekian banyak orang yang ikutan polling, ada beberapa yang bersedia menjelaskan alasan pilihannya. 

"Karena lebih baik melakukan di awal (karena disuruh) tapi akhirnya punya kebiasaan itu (salat tepat waktu), ketimbang nunda-nunda salat, memberi ruang pada rasa malas. In case alasan nunda memang malas, ya. Aku masih percaya dan memegang konsep dipaksa-terpaksa-terbiasa." - anonim

"Salat emang harus tepat waktu tapi kalau dilakuinnya 'karena disuruh' agak kurang aja gitu, ya. Makanya kalau aku mendingan agak ngaret karena keadaan dan keinginan sendiri dan diingatkan oleh orang 'udah jam berapa ini kok belum salat?' 'oh iyaaa.' Bukan dipaksa atau disuruh, gitu." - anonim juga

Tapi kebanyakan respon yang masuk malah nulis salat tepat waktu tanpa disuruh.

Memang harusnya begitu, idealnya emang salat tepat waktu atas dasar keinginan sendiri dan lillah. Tapi kan gak ada pilihan itu. Toh realitasnya malah boro-boro salat nggak tepat waktu karena keinginan sendiri, malah ada yang salat lima waktunya masih bolong.

#eh

lokasi: Mataram, NTB

Beberapa saat setelah membuka polling di Instagram, aku menemukan utas yang berhubungan dengan pollingku di beranda Twitter. Utas dari akun @edgarhamas, isi utasnya seperti ini:

Ada doa istimewa yang pernah diajarkan Nabi suatu hari, "Ya Allah, Aku berlindung pada-Mu dari shalat yang tak memberi manfaat." (Sunan Abu Dawud).

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ صَلَاةٍ لَا تَنْفَعُ

(أبو داود، كتاب الوتر، باب في الاستعاذة، برقم 1549، وابن حبان، 3/ 293، والضياء في المختارة، 6/ 156، والدعوات الكبير للبيهقي، 1/ 469، وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود، برقم 1370)

Kok bisa ada shalat yang nggak manfaat? Ada. Yaitu yang tidak penuh rukunnya, tidak ikhlas hatinya dan tak lengkap syaratnya. Makanya kalau misalnya kamu nemuin orang yang secara zahirnya melakukan shalat, tapi kok dia tetap berperilaku buruk; sangat mungkin itu karena shalatnya tidak bermanfaat buatnya. Bukan karena shalatnya salah, tapi karena cara dan kondisi jiwa ketika melakukannya tak tepat.

-edgarhamas

Jadi teringat kalimat dosen di kelas Agama saat semester satu, "Manusia itu salat, emang fisiknya salat. Tapi ada yang pahala salatnya 100%, ada yang 80%, atau bahkan 50% saja."

Bentar... jangan-jangan ada orang yang salat wajibnya masih bolong lalu baca utasnya kak Edgar kemudian berpikir "daripada gue salatnya salah, mending sekalian kaga usah salat💀"

BUKAN GITU YA. 

Kalau kamu muslim tapi punya pikiran kayak gitu, atau kamu muslim dan salat wajibnya belum lima waktu, lalu punya kawan yang kondisinya serupa, kemudian ketika kawanmu salat kamu malah ngomong "Tumben salat? Lu kesurupan malaikat darimana?" atau "Jiakhhh sobat nyebat lagi tobat," atau "Ngapain salat? Emang yakin salat kamu bener?" atau semacamnya.

Maaf, kita tidak sefrekuensi. 

Karena salat wajib tidak akan pernah bisa dinego. Tanpa tawar-menawar. Sekalinya wajib, akan tetap menjadi wajib. Meninggalkan kewajiban artinya tidak bertanggung jawab. Melaksanakan kewajiban artinya bertanggung jawab atas keyakinan yang dipilih. Dan individu yang mencoba melaksanakan kewajiban tidak patut diejek atau diberi komentar yang tidak positif.

Joki Cilik sedang antri wudu untuk salat magrib

Sejujurnya aku cukup kaget ketika di awal perkuliahan bertemu dengan orang-orang yang kolom agama di KTPnya tertulis Islam tapi saat azan berkumandang tidak beranjak untuk salat atau saat jum'atan tapi ada laki-laki yang malah makan siang dan ngerokok.

Eh? Kok berani sekali meninggalkan salat wajib? Apa tidak takut dosa?

Ok. Gausah bahas dosa dulu. Dosa urusan Tuhan.

Tapi beneran deh, apakah hatinya tidak merasa risau nan gundah gulana saat meninggalkan salat wajib dengan sengaja?

Padahal ibadah yang merupakan rukun islam kedua ini istimewa sekali, Allah langsung mengundang Rasulullah untuk menerima perintah salat secara langsung. Satu-satunya ibadah yang perintahnya tidak melalui perantara malaikat. Pun saat perintah salat diberikan, saking sayangnya Rasulullah dengan ummatnya, khawatir ummatnya kelelahan, Rasulullah sampai kembali beberapa kali untuk minta keringanan hingga kewajiban untuk salat menjadi lima kali sehari. Ibadah yang sebenarnya banyak kemudahan di dalamnya, sedang dalam perjalanan jauh? salat zuhur-asar dan magrib-isya bisa digabung jadi satu (dari lima kali sehari, bisa jadi tiga kali sehari, loh). Sedang berada di alam terbuka? Boleh salat pake sepatu. Nggak ada air untuk wudu? Bisa tayamum pakai debu, pasir, tanah. Nggak bisa datang ke salat jum'at (bagi yang cowok) karena uzur syar'i? Boleh diganti dengan salat zuhur biasa. 

terus... kok... ada... gitu... seorang muslim... yang... salat wajibnya... masih bolong dengan sengaja?

Eh, ini lagi ngomongin salat tepat waktu dan nggak tepat waktu, ya? hehe, kembali ke topik~

Aku pernah bertemu orang yang ketika diajak salat malah nolak karena nggak bawa mukena, posisinya lagi di luar rumah dan jauh dari masjid, dia kekeuh kalau salat itu harus pake mukena, akhirnya malah nggak salat karena waktu salat sudah terlewat. Padahal standar kesucian tidak dilihat dari seberapa wangi sajadah yang kita gunakan, seberapa bagus mukena atau sarung yang kita pakai.

Tapi ternyata ada orang yang lebih mementingkan hal tersebut.

Ngomong-ngomong tentang salat tepat waktu, ada satu ustazah SMA ku yang pernah menceritakan pengalamannya di kelas,

"Saat itu ustazah mau pulang ke rumah, di jalan denger azan asar tapi nggak berhenti di masjid, nanggung, bentar lagi sampe rumah. Saat belok di pertigaan, ustazah seperti melihat orang yang nyebrang sambil lari, biar nggak tabrakan ustazah banting stir lalu jatuh dari motor. Di pertigaan itu ada warung, beberapa orang lagi duduk di depan warung. Waktu ustazah jatuh, mereka langsung menghampiri ustazah buat ngasih pertolongan. Mereka nanya 'kenapa ustazah bisa jatuh?' Ustazah jawab aja karena mau menghindari orang yang lagi nyebrang. Mereka bingung, mereka udah duduk lama di depan warung dan beberapa saat sebelum ustazah jatuh, nggak ada orang yang nyebrang. Mereka cuma lihat ustazah yang tiba-tiba jatuh dari motor. Akhirnya ustazah mikir, apa jangan-jangan ini 'teguran' karena ustazah menunda salat?"

Cerita itu selalu aku inget ketika kuliah, saat kelas perkuliahan selesai di waktu-waktu salat. Sebisa mungkin aku salat dulu sebelum perjalanan ke kontrakan yang jaraknya 14km dari kampus. Daripada ada apa-apa di jalan karena menunda salat. Meski nggak selalu begitu, sih. Kalau selesai kuliah pas hujan deras, mending langsung balik kontrakan (nggak mampir di masjid), atau kalau lagi satu motor sama temen, terkadang langsung pulang ke kontrakan (tentu saja semua itu dilakukan dengan doa yang lebih kenceng semoga perjalanan menuju kontrakan dilalui dengan aman).

suasana masjid di Tanjung Obit

Sejauh yang aku tau, lebih baik kita sudah siap salat justru sebelum azan dikumandangkan. Sebelum azan udah wudu, udah gelar sajadah. Intinya udah siap buat salat. Nah, kalimat pertama azan adalah panggilan untuk orang-orang yang belum bergerak mengambil air wudu atau untuk mengingatkan orang-orang yang nggak memperhatikan kalau waktu salat hampir tiba. Allahu Akbar Allahu Akbar. Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Jauh lebih besar daripada urusan-urusan di dunia yang hanya sementara ini. Lebih besar dari sekadar video youtube yang sedang terputar, film yang sedang ditonton, buku yang lagi dibaca, tumpukan kerjaan yang harus segera diselesaikan, apalagi rasa malas belaka. 

Banyak ilmu yang kita tahu, lebih banyak yang tidak karena ilmu Allah amat sangat luas. Banyak yang kita pahami, lebih sedikit yang kita amalkan. 

Tahu kalau pacaran itu dilarang, baik pacaran yang jelas statusnya atau kedekatan yang seperti pacaran, mungkin sudah hafal mati penggalan ayat fenomenal 'wa laa taqrobuz-zinaa' dan jangan lah kamu sekali-kali mendekati zina, tapi tetap pacaran. Tahu kalau ghibah itu dilarang, jangan bergunjing dan mencari-cari keburukan orang lain, levelnya 'seperti memakan daging saudaramu sendiri,' masih aja ghibah jadi kebiasaan. Tahu nggak boleh makan dan minum sambil berdiri, tetap aja dilakuin. Tahu salat yang baik adalah salat di awal waktu alias tepat waktu, tapi lebih sering lupa dengan itu, lalu malah membiasakan menunda-nunda.

Semoga kita semua sedang sama-sama berproses ke arah yang lebih baik, tetap berada di jalan yang lurus dalam koridor keimanan. 

yang masih berupaya menebalkan tauhid,

shofwa

 “It is July already, astaghfirullah enam bulan di 2021 aku ngapain aja dah, wkwk.”

- dikutip dari status whatsapp tanggal satu Juli.

Silakan membaca bagian satunya terlebih dahulu sebelum membaca postingan ini: Setahun Setelah Sarjana (bagian pertama)


foto wisuda di parkiran untuk menghindari kerumunan

Juli

Kisah bulan ketujuh dimulai dengan seorang anggota keluarga terkonfirmasi positif covid, satu anggota keluarga yang lain GERD-nya sedang kambuh. Di sisi lain, starter sourdough yang sudah kurawat dengan hati-hati dari bulan April menunjukkan gejala yang tidak baik.

Apa itu starter sourdough? Nama lain dari ragi alami. Tau fermipan? Fermipan itu ragi instant siap pakai yang dibuat di pabrik sedangkan starter itu ragi alami yang dibuat sendiri. Homemade yeast gitu, lah.

Setiap hari starter sourdough harus rutin dikasih makan, pake apa? Pake tepung dan air. Tanda dari starter yang hidup adalah ketika diberi makan, volumenya akan naik minimal double in size. Setelah naik, volumenya akan turun kembali (kalau udah turun tandanya udah lapar, harus dikasih makan lagi). Nah, starter sourdoughku tidak double in size padahal udah dikasih makan, diem aja kayak mati suri. Beberapa hari kemudian, muncul bintik hitam. Wah, sepertinya udah terkontaminasi karena aku sempat mencuci toples starter menggunakan sabun cuci dan lupa disterilisasi pake air panas. Maka, berakhirlah hidup starter sourdoughku yang sudah ada di dunia selama tiga bulan lamanya.

Dengan situasi tersebut, otomatis aku tidak bisa membuat sourdough. Pun dengan kondisi dua orang rumah yang tidak sehat membuat seluruh penghuni rumah langsung isolasi mandiri. Aku menghabiskan tiga pekan #DiRumahAja tanpa keluar rumah sama sekali, kembali ke rutinitas menonton anime (update: ada kenalan yang ternyata punya file anime ini dari episode 1 sampai 900-an, jadi sekarang koleksiku sudah lengkap >.<), melanjutklan utas twitter berisi tangkapan layar yang sempat berhenti sesaat.

Nah, di bulan Juli ini mulai muncul perasaan useless yang cukup kuat karena merasa sudah membuang waktu dengan kesia-siaan serta kemalasan yang bikin istighfar. Mungkin karena tiga pekan mendekam di rumah tanpa kena sinar matahari, ditambah fakta sering menunda-nunda pekerjaan karena ‘ah, masih bisa dikerjakan besok,’ serta kebutuhan akan improvisasi diri yang tidak tersalurkan karena tahun 2021 udah jalan tujuh bulan tapi kok gue masih gini-gini aja.

Sejak awal selalu yakin bisa mendapat pengalaman yang kuinginkan jika ke luar dari Bacan, di bulan Juli keyakinanku mulai goyah ‘lah, emang kompetensi diri kamu setinggi itu sampe yakin banget?’

Benih-benih rasa penat mulai muncul, kadang cemas diselimuti oleh pikiran negatif, merasa perlu bergerak tapi nggak punya pemantik. Sampai di titik punya pikiran, “kalau bulan ini Nadia balik ke Padang untuk kuliah. Apa aku ikut dia aja kali, ya? Ngerantau ke Padang.”

I need escaping from this little island.

Aku tau, tidak banyak kesempatan yang bisa kulakukan sebagai sarjana psikologi di pulau kecil ini. Kalaupun ada, kesempatan tersebut pasti bersisian dengan dunia pendidikan; satu dari tiga bidang konsentrasi di psikologi. Masalahnya adalah, sejak masih duduk di bangku kuliah, di antara klinis, pendidikan dan PIO (psikologi industri dan organisasi) jika aku harus mengurutkan dari favorable hingga unfavorable. Urutannya adalah: Klinis > PIO >>>>>>>>> Pendidikan.

Sudah terlihat jelas bahwa aku menghindari berhubungan dengan terlalu banyak orang dan terlalu banyak pihak secara langsung, wkwk #RealitasINFP

Kesehatan mentalku lagi nggak baik-baik aja di bulan Juli. Bacan dan slow pace livingnya sungguh membuatku gregetan. Mendadak aku merindukan kehidupan saat agendaku diisi oleh kuliah seharian, saat harus begadang mengerjakan tugas, atau gerak cepat untuk urusan organisasi.

You know, kelamaan duduk di tempat tidak bagus, kelamaan berlari juga tidak bagus. Life must balance.

Semisal aku mendapat kalimat ‘dasar pengangguran’ atau ‘beban keluarga’ atau ‘ngapain kuliah jurusan psikologi? Kenapa dulu nggak kuliah di jurusan pendidikan? Habis lulus langsung dapat kerja’ dari orang lain ketika mentalku lagi nggak baik, aku bisa makin desperate dan feeling useless, untung saja kalimat-kalimat semacam itu kudapatkan di bulan lain, bukan di bulan Juli~

Bukan sekali-dua kali aku berpikiran untuk menumpahkan unek-unek dan kegundahanku to some people I consider as my close friends (Ya Allah akhirnya gue bisa nyebut orang lain as a close friend T.T) (terharu), sekali waktu berpikir “Mau nelpon A buat cerita,” lain waktu berpikiran “Pengen video call B minta advice,” tapi setiap aku memegang smartphone, aku merasa situasiku it's okay, I can handle it, its not a big thing. Dan saat aku sedang diselimuti emosi negatif, aku nggak akan deket-deket sama smartphone, nggak akan kupegang benda berbentuk kotak itu karena merasa smartphone hanya menyumbang lebih banyak aura negatif. Makanya berakhir jadi nggak menghubungi siapa-siapa dan tidak berbicara pada siapa-siapa.

Aku mencoba menganalisis kondisi dan situasiku, menganalisis sebab dan akibat dari kemungkinan-kemungkinan atau rencana-rencana yang bisa saja terjadi di masa depan, mengingat kembali tujuanku saat lulus, tujuanku kenapa dulu terburu-buru pulang ke rumah. Bahkan saat sedang berpikir, sampai muncul pertanyaan, ‘apakah memalukan jobless setelah sepuluh bulan punya gelar?’ muncul pertanyaan ‘inikah yang dinamakan quarter life crisis?’ yang jawabannya adalah enggak, bukan quarter life crisis, aku nggak panik, situasiku bukan situasi krisis yang membuat tidur tak nyenyak, makan tak nyaman.

Lalu apa, dong?

Kondisiku persis seperti manusia yang gak punya tujuan hidup dan rencana masa depan. Padahal sebenernya punya, sebenernya ada. Tapi memang gloomy July, semuanya terasa salah dan tertutup kabut.

And at the end of July, I got my conclusion.

“Saat graduated, 3 opsi mainstream nikah/kerja/S2 nggak ada yang kupilih. Kehidupan pasca lulus aku samakan dengan gap year. 16 tahun sekolah tu long period of time, istirahat dulu laaa. Batasnya one year, satu tahun do whatever i want (even hanya leha-leha pun), it's okay. And due to pandemic situation, keep stay at home (re: Bacan) is the best option for me, for now.” – dikutip dari utas twitter tertanggal 29 Juli 2021.

Gap year yang baru kuakui di bulan Juli, toh rencana awalku hanya tiga bulan saja beristirahat, sampai Desember 2020. Ternyata covid membuatku harus memperpanjang situasi ini hingga Juli. Sudah Juli, dua bulan lagi tepat setahun, yowes sekalian aja deh kubuat setahun, kusebut gap year. Banyak orang yang gap year dari kelulusan SMA sebelum lanjut kuliah. Bukanlah hal yang berdosa untuk gap year dulu sehabis kuliah sebelum menjalani kehidupan nyata yang penuh sikut, penuh konflik, juga penuh pembelajaran akan hidup.

Setiap orang punya situasi yang berbeda. Di situasiku, aku merasa jika harus mengikuti what majority people do, misalnya setelah lulus harus ‘mendapat pekerjaan dan mulai meniti karier’ supaya nggak digosipin dan dianggap berhasil, I will feel like I'm losing myself and can't breathe, sagitarius nggak bisa dikekang (halah) (bawa-bawa zodiak) (wkwk). Atau misalkan harus menikah, I can’t do that cause I am not ready yet to share the rest of my life with someone else. Atau kalau segera mencoba untuk S2, sampai saat ini masih ada hal yang membuatku tidak bisa melakukan itu, something unfinished.

And guess who got the first dose of vaccine?

Of course, it’s me!

Luka bernama sense of useless feeling dapet plester berlabel ‘sudah turut berpartisipasi untuk meningkatkan persentase penerima vaksin di Indonesia’ #simplethingsmatter

Seperti ingin mengobati kegalauan seorang hamba, di suatu pagi bulan Juli mendadak aku mendapatkan telepon dari kepala sekolah sebuah SMP Islam Terpadu. Inti dari percakapan telepon pagi itu adalah,

“Guru bahasa Inggris kami saat ini masih cuti melahirkan sedangkan bulan depan rencananya siswa-siswa sudah sekolah offline. Kira-kira mbak shofwa bisa menggantikan sementara tidak, ya? Untuk satu bulan. Meski SMP, tapi materi bahasa Inggrisnya seperti materi anak SD, kok. Lalu kami juga sedang mencari guru BK, kalau mbak Shofwa berminat, besok bisa datang ke SMP sambil membawa berkas lamaran.”

Begitu percakapan telepon terputus, beberapa detik aku termenung, cara Allah dalam menghibur hambaNya kadang melalui jalan yang tidak terduga. Thank God, is that Your response because I feel sad? You want me to wake up and shine bright again?

Seandainya percakapan itu berisi tawaran posisi guru BK saja, akan kutolak saat itu juga (lagi-lagi  ini perihal bidang pendidikan yang ada di urutan ketiga). Selanjutnya bagaimana? Meski masih terdapat sedikit keraguan, aku memutuskan untuk menerima tawaran itu. Bukan karena butuh pekerjaan, bukan karena butuh uang. Namun karena aku butuh aktifitas yang mengharuskanku untuk ke luar rumah agar aktif bergerak.

So, that was my life update on July, I will be an english teacher, for a month (six weeks to be exact).

Recipes Unlocked: Butter Rolls, Roti Unyil, Noddle from scratch, Palm Sugar Cookies, Roti Tawar, Bomboloni

abaikan cermin yang kotor ;D


Agustus

Ketika tanggal satu Agustus datang, sudah satu pekan berlalu sejak aku menjadi bagian dari SMP Islam Terpadu. Sebelumnya aku pernah sempat ala-ala magang di sekolah ini ketika kuliahku libur tiga bulan di tahun 2017, jadi aku sudah mengenal sebagian besar wajah yang kutemui di sekolah, beberapa memang ada yang asing. Di pekan pertama aku sudah mengenal semua ustazah, masih asing dengan para ustaz. Baru di pekan kedua aku berhasil mengingat wajah dan nama semua ustaz dan ustazah.

Penyebab yang melatarbelakangi kepala sekolah mencari guru pengganti sementara adalah karena sekolah akan mengadakan pembelajaran tatap muka. Memang setahun terakhir dunia pendidikan harus beradaptasi dengan covid dan membuat segala proses belajar-mengajar bersifat kondisional. Kalau situasi membaik, anak-anak masuk sekolah. Kalau situasi sedang tidak baik, anak-anak sekolahnya online. Ternyata ketika aku masuk, sekolah belum bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka dikarenakan situasi Bacan yang ada di level tiga. Sekolah baru memulai pembelajaran tatap muka secara bertahap di pertengahan bulan.


Bagaimana kesanku ketika menjadi guru?

I felt alive.

Seperti beruang yang selesai hibernasi dan menyapa matahari, seperti tunas-tunas bunga yang akhirnya bisa mekar karena musimnya telah tiba, aku serasa hidup kembali.

Saking banyaknya hal-hal yang memberiku insight dan perubahan-perubahan diri yang juga baru kusadari, pengalamanku selama menjadi guru akan kuceritakan di postingan yang terpisah (kalau sempat) (jangan ditunggu) (udah kebanyakan utang tulisan) (hehehehe) (#gataumalu), karena kalau kuceritakan sekarang, bisa-bisa aku harus memperpanjang judul ini hingga part #3


And I've got the second dose of vaccine, I am fully vaccinated💖

Di bulan Agustus, aku berhasil level up! skill masak. Gara-gara nonton Masterchef Indonesia session 8 saat tantangan pasta, jadi tertantang juga untuk buat pasta. Jenis pasta yang kubuat adalah fettucini, lalu saosnya tentu saja tidak lain tidak bukan adalah saos Bolognese (baru bisa bikin itu wkwk). Lima orang yang kerja di dapur, dua jam waktu yang dibutuhkan untuk membuat fettucini + saus Bolognese. Ketika para amatir bergerak tanpa berpacu dengan waktu, santai~

But it turns good, yumm!

Recipes Unlocked: Fettucini from scratch, Roti, Niku Udon from scratch, Bubble Bread


September

Back to #UnemployedLife

Kehidupan bulan Agustus membuatku jarang berteman dengan oven, makanya ketika sudah kembali memiliki banyak waktu luang, aku udah punya daftar resep-resep yang hendak kucoba.

Ingat starter sourdougku yang mati di bulan Juli? Sebenarnya sebelum starter itu mati, aku sempat membuat versi keringnya sebagai jaminan jika starterku kenapa-napa. Benar aja kan, starterku mati di bulan Juli. Maka misi pertama di bulan September adalah membangkitkan kembali starter sourdough.

spidol biru batas tinggi starter yang sebenarnya, setelah diberi makan, tingginya naik!

Bulan September bertepatan dengan kembalinya bungsu ke pondok untuk belajar setelah hampir setahun melakukan pembelajaran jarak jauh. Karena di bulan sebelumnya aku mendapat uang *uhuk* membuatku bisa membeli beberapa barang dan bahan untuk mengeksekusi daftar eksperimen resep yang sudah kubuat.

Rasanya mentalku akan baik-baik saja dalam menjalani bulan ini, meski fisikku tidak.

Setelah setahun lebih tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap gigi geraham bungsu yang tumbuhnya tidak lurus, akhirnya gigi geraham bungsuku melakukan pergerakan yang membuatku menderita.

Impaksi molar ketiga.

Molar ketiga atau gigi geraham bungsu memang baru tumbuh ketika manusia menginjak usia 20-an tahun dan tidak bisa dipastikan kapan tumbuhnya.  Kalau punya rahang yang sempit, atau memiliki susunan gigi yang tidak rapi, impaksi molar ketiga amat sangat mungkin terjadi. Hingga postingan ini muncul di bianglala, aku masih mengandalkan rongga mulut bagian kanan untuk mengunyah makanan bertekstur keras, menolak untuk mengunyah dengan geraham bagian kiri karena impaksiku memang bagian kiri. Kunjungan terakhir ke dokter gigi menghasilkan keputusan aku butuh bertemu dokter spesialis bedah mulut untuk menyelesaikan permasalahan impaksi ini. Sayangnya, dokter yang kubutuhkan tidak bertugas di RSUD. Saat ini tidak ada dokter spesialis bedah mulut di Bacan. Kalau ingin bisa mengunyah dengan nyaman lagi, tandanya aku harus menyebrang pulau untuk mencari dokter, pilihan yang tidak bisa diambil dengan gegabah “oke, besok malam berangkat ke Ternate mencari dokter bedah.” 

Gak bisa begitu.

Gara-gara impaksi molar, muncul satu prinsip yang perlu diperhatikan ketika tinggal di wilayah terpencil: milikilah pola hidup sehat hingga di titik kamu tidak memerlukan dokter spesialis yang tidak berada di Bacan.

Tahun 2021 sudah berjalan sembilan bulan, di bulan ini tepat setahun aku menyandang gelar sarjana psikologi. Dari panjangnya tulisan dari bulan Januari hingga September, justru kejadian yang paling penting belum kutulis karena, yah, memang mau kutulis untuk epilog.

Apakah itu?

Kesempatan untuk tinggal di rumah dengan personil lengkap.

Aneh? Mungkin bagi orang lain terasa aneh. Memangnya ada apa dengan hidup serumah dengan keluarga inti?

Keluargaku tidak pernah tinggal di satu atap sejak kakak pertamaku merantau di tahun 2006. Aku empat bersaudara, punya satu kakak dan dua adik. Kakakku sudah tidak tinggal di rumah dan hidup bersama mama piara ketika ia berada di kelas tiga SD karena kala itu sekolah berbasis islam terpadu hanya ada di ibukota provinsi dan dia cuma pengen sekolah di SDIT. Kecil-kecil bikin repot, songong bat kudu sekolah di Islam Terpadu.

Adik bungsuku lahir tahun 2007 dan tahun 2010 aku merantau untuk sekolah di SMP yang letaknya jelas bukan di Bacan dengan alasan yang mungkin terkesan konyol: untuk nyari saingan. Sebenarnya aku sudah berniat untuk melanjutkan SMP di Bacan aja, gak perlu merantau, sudah sempat mendaftar di sekolah negeri, ujung-ujungnya malah merantau karena merasa nggak akan punya saingan yang membuatku termotivasi untuk lebih rajin belajar. Kan mana seru kehidupan sekolah kalau gak ada orang yang bisa dianggap saingan untuk urusan akademik.

Setelah itu, bisa ditebak kelanjutannya, keluarga kami hanya bertemu ketika momen idulfitri saja. Idulfitri kan identik sama liburan dan Ramadan dan lebaran, durasi kami bertemu juga tidak pernah lebih dari satu bulan. Mana ada sekolah yang durasi libur semesternya satu bulan?

Kakakku tetap merantau hingga kuliah, aku pun sama, tidak pernah kembali ke Bacan terkecuali untuk liburan, adikku (si anak ketiga) mengikuti jejak kedua kakaknya dengan merantau pasca lulus SD. Ketika kakakku sudah lulus kuliah dan bisa pulang ke rumah, ketika aku juga berada di situasi yang sama, si anak ketiga masih harus merantau karena berkuliah di Sumatera dan giliran si bungsu untuk merantau karena sudah lulus SD.

Mana bisa bertemu tanpa embel-embel liburan? Mana bisa tinggal serumah kalau anak-anaknya saling pergi-menetap-pergi-menetap?

Ternyata -qadarullah- bisa lho. Ternyata hal yang mustahil bisa jadi mungkin. Dan yang menjadikan hal tersebut mungkin adalah karena pandemi.

Yes. Because of covid-19.

Perkuliahan anak ketiga berubah jadi online, dia bisa pulang ke rumah karena tidak harus datang ke kampus. Sekolahnya bungsu juga berjalan secara daring di satu semester pertama, masuk semester genap dia sempat masuk pondok di bulan Januari, lalu muncul surat edaran santri harus dipulangkan di bulan Februari karena situasi di Jawa masih belum bisa dikatakan normal. Sepanjang Februari akhir - Agustus bungsu akhirnya bersekolah secara jarak jauh, pilihan yang membuat dia harus tidur larut malam karena dia punya jadwal halaqoh malam yang baru mulai jam 20.00 WIB.

WIB, sedangkan bungsu tinggal di daerah WIT.

Berapa lama rumah ini diisi oleh enam orang? Sebulan? Dua bulan? Enggak. Kami dapat kesempatan untuk tinggal bersama selama hampir satu tahun! Kesempatan yang setelah aku pikir-pikir, tidak akan terjadi lagi. Bahkan jika suatu saat nanti aku punya kekayaan tanpa batas, sudah sukses bin financial freedom, aku tidak yakin bisa membuat keenam anggota keluarga tinggal di bawah atap yang sama. Usia tidak ada yang tahu, jodoh tidak ada yang tahu, masa depan itu misteri.

Siapa yang bisa menjamin si bungsu yang masa rantaunya masih sekitar 8 tahun lagi akan kembali untuk menetap di Bacan?

Siapa yang bisa menjamin dalam kurun waktu 8 tahun, kakak atau si anak ketiga belum ketemu jodohnya?

Siapa yang bisa menjamin aku masih tinggal di Bacan 8 tahun lagi?

Nggak ada.

Belum lagi kalau membicarakan kemungkinan bertemu dengan kematian.

Berhubung love languageku adalah quality time, what matter to me is I got this opportunity. Sebuah kesempatan yang tidak bisa terjadi tanpa izin ilahi.

Ada momen-momen ketika aku bersyukur sudah memilih untuk menghabiskan empat tahunku mempelajari ilmu jiwa, karena ilmu tentang manusia itu sama sekali tidak akan pernah sia-sia. Ketika aku belum bisa memanfaatkan ilmu yang kupelajari untuk orang lain, aku bisa mengaplikasikan ilmuku untuk diriku sendiri.  Tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang kujadikan status whatsapp di bulan Juli.

Udah ngapain aja?

Mencoba belasan resep baru, meningkatkan kemampuan dengan membuat makanan-makanan yang bisa dengan mudah dibeli (halo kwetiau, halo saus bolognese, halo pasta), pertamakali menjadi relawan di daerah sendiri dan melihat realita pendidikan di wilayah Timur Indonesia,, berurusan dengan angka-angka saat membuat jurnal umum, bahkan berkesempatan memiliki pengalaman menjadi guru!

Apakah gap yearku beneran selesai dalam satu tahun? Well, let’s see. I can’t answer that question right now, but I try to fill my life with value, putting meaning in every situation. I live my life, so do you. Aku harap kamu juga bisa menjalani hidupmu tanpa perlu membandingkan dengan kehidupan orang lain yang membuatmu jadi merasa gagal.

Kalau udah terlanjur comparing your life with others, coba nonton drama korea berjudul Reply 1988.

Karena sosok abangnya Jongpal amat sangat membantuku dalam menghindari keterpurukan.

Kalimat penutup yang out of nowhere sekali, bukan. Wkwk.

warm regards.

shofwamn

Ketika sedang menyiapkan bahan materi fase dewasa dini untuk presentasi kelompok di kelas psikologi perkembangan, ada satu ciri fase dewasa dini yang menarik perhatianku, intinya dikatakan dalam buku, “ketika individu melihat cara dunia bekerja, mereka tidak menyukai apa yang mereka lihat dan ingin mengubahnya. Setelah mereka masuk ke dunia itu, banyak yang mengikuti pola yang dulu ingin dirombaknya.”

Menarik, aku mengganggap hal tersebut seperti individu yang idealismenya terkikis oleh kenyataan dunia.

foto di parkiran aja karena di titik lain banyak kerumunan manusia #SocialDistancing

Jika biasanya ucapan untuk memulai sesuatu adalah dengan basmalah, kali ini aku akan menggunakan ucapan hamdalah untuk mewakili perasaanku ketika memegang sebuah buku berukuran sebesar majalah, dengan tebal yang seperti majalah, dan sampul yang terlihat seperti sampul milik sebuah majalah yang tidak menarik, yang kalau majalah ini ditaruh di rak toko buku, mustahil ada orang yang ingin membelinya.

Oke, kita mulai saja cerita tentang buku-majalah ini.

Alhamdulillah.

Akhirnya berakhir juga penantian yang tidak pernah direncanakan.

 

 

Aku pikir, kenangan yang tersisa dari pembuatan Buku Tahunan Sekolah hanyalah tiga postingan di blog ini yang menceritakan Behind The Scene pemotretan BTS. Tiga postingan yang menjadi bukti bahwa angkatan 11 SMA IT Abu Bakar Yogyakarta pernah akan membuat Buku Tahunan Sekolah.

Buku Tahunan Sekolah, disingkat BTS, istilah lainnya yearbook.

Pikiran yang sebenarnya muncul bukan tanpa dasar.

Sekitar satu tahun setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, aku berkesempatan untuk datang ke Jogja, kedatangan yang membuatku bisa bertemu teman SMA, bahkan nginap di kosannya. Saat sedang menginap, tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan yang tidak terduga,

"Kamu tau nggak e kenapa BTS kita belum jadi?"

"Nggak. Emang kenapa?"

"Jadi ceritanya........"

Seingatku, itu adalah momen pertama aku tau bahwa ada masalah yang terjadi dalam pembuatan Buku Tahunan Sekolah, masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh satu-dua orang (terkecuali ia adalah crazy rich) karena menyangkut dana.

Dana = uang

Uang = sumber segala masalah yang menyangkut ego, tekanan kondisi, dan juga hawa nafsu.

Secara garis besar, yang paling menghambat progres pembuatan BTS memang tentang dana. Setiap aku bertemu alumni satu angkatan dan membahas perihal Buku Tahunan, pasti yang kita obrolkan adalah tentang masalah itu. Sebatas ngobrol aja tanpa memikirkan solusi karena aku merasa itu adalah tugas panitia (untuk memikirkan solusi).

Setahun, dua tahun, tiga tahun, kabar BTS Angkatan 11 masih tidak berubah. 

Masuk tahun keempat, BTS yang pernah aku tunggu-tunggu karena akan menjadi BTS pertama dan terakhir yang kumiliki sudah berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah kupikirkan lagi. Sekitar bulan Oktober 2020 aku sempat terlibat obrolan dengan seorang kawan tentang kelanjutan BTS, kami berdua sama-sama bukan panitia, sama-sama nggak pernah dapat update lagi tentang BTS. Kesimpulan obrolan kami adalah kalau memang BTS ini nggak bisa dicetak, mohon sikap tegas panitia, mungkin bisa merilis permintaan maaf, sekaligus kejelasan kabar (karena selama ini aku hanya mendengar cerita BTS melalui teman ke teman), dan akan diapakan uang yang ada. Masukin ke kitabisa? Dijadikan plakat bergilir? Diberikan ke forum alumni sebagai donasi angkatan? I don't mind. Emang udah nggak berharap, lagi pula kasihan juga panitia yang memegang uang BTS selama 4 tahun. Hebat banget bisa sabar megang uang yang tanpa kejelasan selama 4 tahun tanpa ngerasa greget.

/berkaca pada diri sendiri/ /megang uang kontrakan pasca lulus aja cuma bertahan enam bulan/ /auto koar-koar 'ni uang mau diapain?'/

Selang sebulan percakapanku dengan seorang kawan yang tidak akan kusebut namanya, mendadak grup whatsapp yang berpenghuni teman-teman kelas saat SMA rame dengan topik pembahasan BTS.

Ternyata....

Ternyata perkara BTS ini masih diurus oleh panitia.

Banyak teman kelas yang kemudian mengeluarkan opininya terkait BTS, muncul diskusi aktif di dalam grup, setelah saling berbagi pendapat, saling merespon satu sama lain, lalu memastikan file foto BTS masih disimpan oleh pihak percetakan, ujung-ujungnya kami sepakat untuk memakai cara shodaqoh sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah yang ada.

klasik.com/LunaskanTagihanBTS

Solusi sudah ada, pihak-pihak yang ingin memperjuangkan BTS sudah bersuara, relawan yang bersedia membantu panitia untuk mengawal kelanjutan BTS juga sudah menyatakan kesediaannya.

Pada titik ini, rasanya seperti ada harapan lagi. Bahkan dengan penghuni grup kelas yang sudah menyebar, teman-teman yang mungkin ada yang sudah lost contact, ajakan untuk bergotong royong tetap mendapat sambutan baik. Klasik memang keren.

Perlahan-lahan, urusan BTS menunjukkan progress ke arah yang meyakinkan, "bisa nih BTS dicetak, bisaaa." Hampir setiap bulan ada kabar terbaru mengenai BTS.

Masuk tahun kelima pasca kelulusan SMA, di awal bulan Agustus, koordinator yang menjadi perantara komunikasi antara kelas kami dengan panitia BTS mengirimkan pesan di grup yang isi pesannya kurang lebih seperti ini:

"Alhamdulillah setelah beberapa proses, finalisasi BTS kita selesai juga. Udah dicetak dan udah siap kirim ke tempat kalian masing-masing. Untuk itu kita perlu temen-temen ngisi g-form untuk data pengiriman. Pengiriman kita mulai setelah batas waktu pengisian g-form. Semua ongkir pengiriman ditanggung penerima."

 AKHIRNYA!!!

AKHIRNYA BERAKHIR JUGA PENANTIAN SELAMA LIMA TAHUN INI.

Karena tempat tinggalku jauh dari rumah panitia yang memegang cetakan BTS, aku harus bersabar menunggu paketku datang karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak masalah. Lima tahun saja bisa menunggu (yaa dengan episode sudah tidak memikirkan lagi), apalagi cuma menunggu beberapa pekan lagi. Apalagi ada kabar baik tambahan, ongkos kirim yang semula ditanggung penerima mendadak dihapuskan karena ada pihak yang bersedia membayar semua tagihan ongkos kirim.

Sembari menunggu paket, aku melihat update-an teman-teman satu angkatan di Instagram ataupun Whatsapp yang sudah menerima BTS di rumah masing-masing.

"Aneh karena far lower than expected, but okay." - ujar seseorang

"Ada thanks card-nya, uwu." - testimoni dari yang lain

Ternyata panitia menyisipkan kartu ucapan terima kasih sekaligus permintaan maaf karena kesalahan yang sudah terjadi selama pembuatan Buku Tahunan Sekolah.

Demi mendengar dua komentar itu, aku langsung menurunkan ekspektasiku dan juga makin tidak sabar melihat bentuk fisik BTS.

Time Space.

Tulisan di halaman sampul BTS.

Ruang Waktu.

Mungkin yang mengusulkan judul itu adalah orang yang semasa sekolah mengagumi ustaz Cahyo (guru Fisika paling cool) jadinya kepikiran judul yang ada sangkut-pautnya dengan Fisika, atau mungkin dilatarbelakangi oleh pengalaman betapa panjangnya perjuangan untuk menyelesaikan BTS hingga rasa-rasanya seperti menembus ruang dan waktu.

Ku buka halaman pertama

Terpampang foto ustaz mapel Kimia sekaligus kepala sekolah pada masanya dengan tulisan ucapan selamat atas kelulusan dan juga terselip doa semoga angkatan 11 senantiasa istiqomah menapaki jalan-Nya.

Kulanjutkan dengan membuka halaman kedua dan ketiga

Berjejer wajah-wajah guru dan staff SMA IT Abu Bakar, beberapa masih kuingat, beberapa menimbulkan tanya "siapakaaaahh beliauuu???"

Lembar per lembar halaman BTS ku buka

Hmm...

Ok.

Akan kututup tulisan ini dengan tema pemotretan KLASIK aka Kelas Alam Asik aka kelas XII IPA 3 untuk Buku Tahunan Sekolah, siapa tau pada lupa

Pada jaman dahulu kala, terdapat 34 wanita Arab berkarakter random yang ingin mencari harta karun. Mereka memutuskan untuk memulai pencarian harta setelah memiliki sebuah peta dengan simbol X yang melegenda. Tanpa lelah mereka mencari dengan berjalan beriringan, mencari di tengah padang pasir yang membuat tangan mereka belang saking panasnya cuaca. Beberapa saat kemudian, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di tengah teriknya matahari yang tidak seberapa dibandingkan panas Neraka. Setelah pencarian panjang penuh perjuangan, mereka pun menemukan simbol X yang berada tepat di atas pasir. 

"Ini dia simbolnya," sahut seseorang. 

"Tidak bukan, itu." 

"Tapi lihat, ini tanda X yang kita cari."  

"Apa kamu bodoh? bagaimana bisa ada tanda di atas pasir? Memangnya pasir sama dengan tanah?" 

 Namun, wanita-wanita tersebut memutuskan untuk tetap menggali. Dan benar, mereka menemukan sebuah peti cokelat yang tidak bertakhtakan batu mulia apapun (jangan tanya bagaimana cara menggali di atas pasir). Setelah mencoba untuk membuka peti tua dengan sedikit susah payah, mereka terkejut begitu melihat apa yang mereka temukan di dalam peti.

HARTA KARUN BERUPA TUMPUKAN KITAB MINHAJUL MUSLIMIN DAN CERMIN KEBANGSAAN KELAS!!!

salam penuh syukur,

shofwamn

 Selamat datang di Bianglala, blog suka-suka yang semakin lama semakin jarang ada tulisan baru

/berdehem/

Padahal memulai tulisan ini dengan tujuan untuk menyambut 2021, sepertinya tujuan tersebut akan oleng ke arah lain.

BARU JUGA KALIMAT KEDUA SHOF WKWKW, SOK SOK PUNYA TUJUAN.


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ▼  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ▼  September (5)
      • Pengingat #6: Salat Tepat Waktu?
      • Setelah Setahun Sarjana (bagian kedua-selesai)
      • Setelah Setahun Sarjana (bagian pertama)
      • Penjelajahan BTS dalam Ruang Waktu: Setelah 5 Tahun
      • Bianglala Tampilan Baru
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2019 (36)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (28)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes