“It is July already, astaghfirullah enam
bulan di 2021 aku ngapain aja dah, wkwk.”
- dikutip dari status whatsapp tanggal satu
Juli.
Silakan membaca bagian satunya terlebih dahulu sebelum membaca postingan ini: Setahun Setelah Sarjana (bagian pertama)
|
foto wisuda di parkiran untuk menghindari kerumunan |
Juli
Kisah bulan ketujuh dimulai dengan seorang
anggota keluarga terkonfirmasi positif covid, satu anggota keluarga yang lain
GERD-nya sedang kambuh. Di sisi lain, starter sourdough yang sudah kurawat
dengan hati-hati dari bulan April menunjukkan gejala yang tidak baik.
Apa itu starter sourdough? Nama lain dari
ragi alami. Tau fermipan? Fermipan itu ragi instant siap pakai yang dibuat di
pabrik sedangkan starter itu ragi alami yang dibuat sendiri. Homemade yeast
gitu, lah.
Setiap hari starter sourdough harus rutin
dikasih makan, pake apa? Pake tepung dan air. Tanda dari starter yang hidup
adalah ketika diberi makan, volumenya akan naik minimal double in size. Setelah
naik, volumenya akan turun kembali (kalau udah turun tandanya udah lapar, harus
dikasih makan lagi). Nah, starter sourdoughku tidak double in size padahal udah
dikasih makan, diem aja kayak mati suri. Beberapa hari kemudian, muncul bintik
hitam. Wah, sepertinya udah terkontaminasi karena aku sempat mencuci toples
starter menggunakan sabun cuci dan lupa disterilisasi pake air panas. Maka,
berakhirlah hidup starter sourdoughku yang sudah ada di dunia selama tiga bulan
lamanya.
Dengan situasi tersebut, otomatis aku tidak
bisa membuat sourdough. Pun dengan kondisi dua orang rumah yang tidak sehat
membuat seluruh penghuni rumah langsung isolasi mandiri. Aku menghabiskan tiga
pekan #DiRumahAja tanpa keluar rumah sama sekali, kembali ke rutinitas menonton
anime (update: ada kenalan yang ternyata punya file anime ini dari episode 1
sampai 900-an, jadi sekarang koleksiku sudah lengkap >.<), melanjutklan
utas twitter berisi tangkapan layar yang sempat berhenti sesaat.
Nah, di bulan Juli ini mulai muncul perasaan
useless yang cukup kuat karena merasa sudah membuang waktu dengan kesia-siaan
serta kemalasan yang bikin istighfar. Mungkin karena tiga pekan mendekam di
rumah tanpa kena sinar matahari, ditambah fakta sering menunda-nunda pekerjaan
karena ‘ah, masih bisa dikerjakan besok,’ serta kebutuhan akan
improvisasi diri yang tidak tersalurkan karena tahun 2021 udah jalan tujuh
bulan tapi kok gue masih gini-gini aja.
Sejak awal selalu yakin bisa mendapat
pengalaman yang kuinginkan jika ke luar dari Bacan, di bulan Juli keyakinanku
mulai goyah ‘lah, emang kompetensi diri kamu setinggi itu sampe yakin
banget?’
Benih-benih rasa penat mulai muncul, kadang
cemas diselimuti oleh pikiran negatif, merasa perlu bergerak tapi nggak punya
pemantik. Sampai di titik punya pikiran, “kalau bulan ini Nadia balik ke
Padang untuk kuliah. Apa aku ikut dia aja kali, ya? Ngerantau ke Padang.”
I need escaping from this little island.
Aku tau, tidak banyak kesempatan yang bisa
kulakukan sebagai sarjana psikologi di pulau kecil ini. Kalaupun ada,
kesempatan tersebut pasti bersisian dengan dunia pendidikan; satu dari tiga
bidang konsentrasi di psikologi. Masalahnya adalah, sejak masih duduk di bangku
kuliah, di antara klinis, pendidikan dan PIO (psikologi industri dan
organisasi) jika aku harus mengurutkan dari favorable hingga unfavorable.
Urutannya adalah: Klinis > PIO >>>>>>>>>
Pendidikan.
Sudah terlihat jelas bahwa aku menghindari
berhubungan dengan terlalu banyak orang dan terlalu banyak pihak secara
langsung, wkwk #RealitasINFP
Kesehatan mentalku lagi nggak baik-baik aja
di bulan Juli. Bacan dan slow pace livingnya sungguh membuatku gregetan.
Mendadak aku merindukan kehidupan saat agendaku diisi oleh kuliah seharian,
saat harus begadang mengerjakan tugas, atau gerak cepat untuk urusan
organisasi.
You know, kelamaan duduk di tempat tidak
bagus, kelamaan berlari juga tidak bagus. Life must balance.
Semisal aku mendapat kalimat ‘dasar pengangguran’
atau ‘beban keluarga’ atau ‘ngapain kuliah jurusan psikologi? Kenapa dulu nggak
kuliah di jurusan pendidikan? Habis lulus langsung dapat kerja’ dari orang
lain ketika mentalku lagi nggak baik, aku bisa makin desperate dan feeling useless, untung saja
kalimat-kalimat semacam itu kudapatkan di bulan lain, bukan di bulan Juli~
|
|
Bukan sekali-dua kali aku berpikiran untuk
menumpahkan unek-unek dan kegundahanku to some people I consider as my close
friends (Ya Allah akhirnya gue bisa nyebut orang lain as a close friend T.T) (terharu),
sekali waktu berpikir “Mau nelpon A buat cerita,” lain waktu berpikiran
“Pengen video call B minta advice,” tapi setiap aku memegang smartphone,
aku merasa situasiku it's okay, I can handle it, its not a big thing. Dan saat
aku sedang diselimuti emosi negatif, aku nggak akan deket-deket sama
smartphone, nggak akan kupegang benda berbentuk kotak itu karena merasa
smartphone hanya menyumbang lebih banyak aura negatif. Makanya berakhir jadi
nggak menghubungi siapa-siapa dan tidak berbicara pada siapa-siapa.
Aku mencoba menganalisis kondisi dan
situasiku, menganalisis sebab dan akibat dari kemungkinan-kemungkinan atau
rencana-rencana yang bisa saja terjadi di masa depan, mengingat kembali
tujuanku saat lulus, tujuanku kenapa dulu terburu-buru pulang ke rumah. Bahkan saat sedang berpikir, sampai muncul
pertanyaan, ‘apakah memalukan jobless setelah sepuluh bulan punya gelar?’
muncul pertanyaan ‘inikah yang dinamakan quarter life crisis?’ yang
jawabannya adalah enggak, bukan quarter life crisis, aku nggak panik, situasiku
bukan situasi krisis yang membuat tidur tak nyenyak, makan tak nyaman.
Lalu apa, dong?
Kondisiku persis seperti manusia yang gak
punya tujuan hidup dan rencana masa depan. Padahal sebenernya punya, sebenernya
ada. Tapi memang gloomy July, semuanya terasa salah dan tertutup kabut.
And at the end of July, I got my conclusion.
“Saat
graduated, 3 opsi mainstream nikah/kerja/S2 nggak ada yang kupilih. Kehidupan
pasca lulus aku samakan dengan gap year. 16 tahun sekolah tu long period of
time, istirahat dulu laaa. Batasnya one year, satu tahun do whatever i want
(even hanya leha-leha pun), it's okay. And due to pandemic situation,
keep stay at home (re: Bacan) is the best option for me, for now.” – dikutip
dari utas twitter tertanggal 29 Juli 2021.
Gap
year yang baru kuakui di bulan Juli, toh rencana awalku hanya tiga bulan saja beristirahat,
sampai Desember 2020. Ternyata covid membuatku harus memperpanjang situasi ini
hingga Juli. Sudah Juli, dua bulan lagi tepat setahun, yowes sekalian aja deh
kubuat setahun, kusebut gap year. Banyak orang yang gap year dari kelulusan SMA sebelum lanjut
kuliah. Bukanlah hal yang berdosa untuk gap year dulu sehabis kuliah sebelum
menjalani kehidupan nyata yang penuh sikut, penuh konflik, juga penuh
pembelajaran akan hidup.
Setiap orang punya situasi yang berbeda. Di
situasiku, aku merasa jika harus mengikuti what majority people do, misalnya
setelah lulus harus ‘mendapat pekerjaan dan mulai meniti karier’ supaya
nggak digosipin dan dianggap berhasil, I will feel like I'm losing myself and can't breathe, sagitarius
nggak bisa dikekang (halah) (bawa-bawa zodiak) (wkwk). Atau misalkan harus
menikah, I can’t do that cause I am not ready yet to share the rest of my
life with someone else. Atau kalau segera mencoba untuk S2, sampai saat ini
masih ada hal yang membuatku tidak bisa melakukan itu, something unfinished.
And guess
who got the first dose of vaccine?
Of course, it’s me!
Luka bernama sense of useless feeling
dapet plester berlabel ‘sudah turut berpartisipasi untuk meningkatkan persentase
penerima vaksin di Indonesia’ #simplethingsmatter
Seperti ingin mengobati kegalauan seorang
hamba, di suatu pagi bulan Juli mendadak aku mendapatkan telepon dari kepala
sekolah sebuah SMP Islam Terpadu. Inti dari percakapan telepon pagi itu adalah,
“Guru bahasa Inggris kami saat ini masih
cuti melahirkan sedangkan bulan depan rencananya siswa-siswa sudah sekolah
offline. Kira-kira mbak shofwa bisa menggantikan sementara tidak, ya? Untuk
satu bulan. Meski SMP, tapi materi bahasa Inggrisnya seperti materi anak SD,
kok. Lalu kami juga sedang mencari guru BK, kalau mbak Shofwa berminat, besok
bisa datang ke SMP sambil membawa berkas lamaran.”
Begitu percakapan telepon terputus, beberapa
detik aku termenung, cara Allah dalam menghibur hambaNya kadang melalui jalan
yang tidak terduga. Thank God, is that Your response because I
feel sad? You want me to wake up and shine bright again?
Seandainya percakapan itu berisi tawaran posisi
guru BK saja, akan kutolak saat itu juga (lagi-lagi ini perihal bidang pendidikan yang ada di
urutan ketiga). Selanjutnya bagaimana? Meski masih terdapat sedikit keraguan,
aku memutuskan untuk menerima tawaran itu. Bukan karena butuh pekerjaan, bukan
karena butuh uang. Namun karena aku butuh aktifitas yang mengharuskanku untuk
ke luar rumah agar aktif bergerak.
So, that was my life update on July, I will
be an english teacher, for a month (six weeks to be exact).
Recipes Unlocked: Butter Rolls, Roti Unyil, Noddle
from scratch, Palm Sugar Cookies, Roti Tawar, Bomboloni
|
abaikan cermin yang kotor ;D |
Agustus
Ketika tanggal satu Agustus datang, sudah
satu pekan berlalu sejak aku menjadi bagian dari SMP Islam Terpadu.
Sebelumnya aku pernah sempat ala-ala magang di sekolah ini ketika
kuliahku libur tiga bulan di tahun 2017, jadi aku sudah mengenal sebagian besar
wajah yang kutemui di sekolah, beberapa memang ada yang asing. Di pekan pertama aku sudah mengenal semua
ustazah, masih asing dengan para ustaz. Baru di pekan kedua aku berhasil mengingat wajah
dan nama semua ustaz dan ustazah.
Penyebab yang melatarbelakangi kepala sekolah
mencari guru pengganti sementara adalah karena sekolah akan mengadakan
pembelajaran tatap muka. Memang setahun terakhir dunia pendidikan harus
beradaptasi dengan covid dan membuat segala proses belajar-mengajar bersifat kondisional.
Kalau situasi membaik, anak-anak masuk sekolah. Kalau situasi sedang tidak
baik, anak-anak sekolahnya online. Ternyata ketika aku masuk, sekolah belum
bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka dikarenakan situasi Bacan yang ada di
level tiga. Sekolah baru memulai pembelajaran tatap muka secara bertahap di
pertengahan bulan.
Bagaimana kesanku ketika menjadi guru?
I felt alive.
Seperti beruang yang selesai hibernasi dan
menyapa matahari, seperti tunas-tunas bunga yang akhirnya bisa mekar karena
musimnya telah tiba, aku serasa hidup kembali.
Saking banyaknya hal-hal yang memberiku
insight dan perubahan-perubahan diri yang juga baru kusadari, pengalamanku selama menjadi
guru akan kuceritakan di postingan yang terpisah (kalau sempat) (jangan
ditunggu) (udah kebanyakan utang tulisan) (hehehehe) (#gataumalu), karena kalau
kuceritakan sekarang, bisa-bisa aku harus memperpanjang judul ini hingga part
#3
And I've got
the second dose of vaccine, I am fully vaccinated💖
Di bulan Agustus, aku berhasil level up! skill
masak. Gara-gara nonton Masterchef Indonesia session 8 saat tantangan pasta,
jadi tertantang juga untuk buat pasta. Jenis pasta yang kubuat adalah
fettucini, lalu saosnya tentu saja tidak lain tidak bukan adalah saos Bolognese
(baru bisa bikin itu wkwk). Lima orang yang kerja di dapur, dua jam waktu yang
dibutuhkan untuk membuat fettucini + saus Bolognese. Ketika para amatir bergerak
tanpa berpacu dengan waktu, santai~
But it turns good, yumm!
Recipes Unlocked: Fettucini from scratch, Roti,
Niku Udon from scratch, Bubble Bread
September
Back to #UnemployedLife
Kehidupan bulan Agustus membuatku jarang berteman
dengan oven, makanya ketika sudah kembali memiliki banyak waktu luang, aku udah
punya daftar resep-resep yang hendak kucoba.
Ingat starter sourdougku yang mati di bulan
Juli? Sebenarnya sebelum starter itu mati, aku sempat membuat versi keringnya
sebagai jaminan jika starterku kenapa-napa. Benar aja kan, starterku mati di
bulan Juli. Maka misi pertama di bulan September adalah membangkitkan kembali
starter sourdough.
|
spidol biru batas tinggi starter yang sebenarnya, setelah diberi makan, tingginya naik! |
Bulan September bertepatan dengan kembalinya
bungsu ke pondok untuk belajar setelah hampir setahun melakukan pembelajaran
jarak jauh. Karena di bulan sebelumnya aku mendapat uang *uhuk* membuatku bisa membeli
beberapa barang dan bahan untuk mengeksekusi daftar eksperimen resep yang sudah kubuat.
Rasanya mentalku akan baik-baik saja dalam
menjalani bulan ini, meski fisikku tidak.
Setelah setahun lebih tidak melakukan
tindakan apa-apa terhadap gigi geraham bungsu yang tumbuhnya tidak lurus,
akhirnya gigi geraham bungsuku melakukan pergerakan yang membuatku menderita.
Impaksi molar ketiga.
Molar ketiga atau gigi geraham bungsu memang baru tumbuh ketika manusia menginjak usia 20-an tahun dan tidak bisa dipastikan kapan tumbuhnya. Kalau punya rahang yang sempit, atau memiliki susunan gigi yang tidak rapi, impaksi molar ketiga amat sangat mungkin terjadi. Hingga postingan ini muncul di bianglala, aku
masih mengandalkan rongga mulut bagian kanan untuk mengunyah makanan bertekstur keras, menolak untuk mengunyah dengan geraham bagian kiri karena impaksiku memang bagian kiri. Kunjungan
terakhir ke dokter gigi menghasilkan keputusan aku butuh bertemu dokter
spesialis bedah mulut untuk menyelesaikan permasalahan impaksi ini. Sayangnya,
dokter yang kubutuhkan tidak bertugas di RSUD. Saat ini tidak ada dokter
spesialis bedah mulut di Bacan. Kalau ingin bisa mengunyah dengan nyaman lagi,
tandanya aku harus menyebrang pulau untuk mencari dokter, pilihan yang tidak
bisa diambil dengan gegabah “oke, besok malam berangkat ke Ternate mencari dokter bedah.”
Gak bisa begitu.
Gara-gara impaksi molar, muncul satu prinsip
yang perlu diperhatikan ketika tinggal di wilayah terpencil: milikilah pola
hidup sehat hingga di titik kamu tidak memerlukan dokter spesialis yang tidak
berada di Bacan.
Tahun 2021 sudah berjalan sembilan bulan, di
bulan ini tepat setahun aku menyandang gelar sarjana psikologi. Dari
panjangnya tulisan dari bulan Januari hingga September, justru kejadian yang paling penting belum kutulis karena,
yah, memang mau kutulis untuk epilog.
Apakah itu?
Kesempatan untuk tinggal di rumah dengan personil lengkap.
Aneh? Mungkin bagi orang lain terasa aneh.
Memangnya ada apa dengan hidup serumah dengan keluarga inti?
Keluargaku tidak pernah tinggal di satu atap
sejak kakak pertamaku merantau di tahun 2006. Aku empat bersaudara, punya satu
kakak dan dua adik. Kakakku sudah tidak tinggal di rumah dan hidup bersama mama
piara ketika ia berada di kelas tiga SD karena kala itu sekolah berbasis islam
terpadu hanya ada di ibukota provinsi dan dia cuma pengen sekolah di SDIT.
Kecil-kecil bikin repot, songong bat kudu sekolah di Islam Terpadu.
Adik bungsuku lahir tahun 2007 dan tahun 2010
aku merantau untuk sekolah di SMP yang letaknya jelas bukan di Bacan dengan
alasan yang mungkin terkesan konyol: untuk nyari saingan. Sebenarnya aku
sudah berniat untuk melanjutkan SMP di Bacan aja, gak perlu merantau, sudah sempat
mendaftar di sekolah negeri, ujung-ujungnya malah merantau karena merasa nggak akan
punya saingan yang membuatku termotivasi untuk lebih rajin belajar. Kan mana seru kehidupan sekolah kalau gak ada orang yang
bisa dianggap saingan untuk urusan akademik.
Setelah itu, bisa ditebak kelanjutannya, keluarga
kami hanya bertemu ketika momen idulfitri saja. Idulfitri kan identik sama
liburan dan Ramadan dan lebaran, durasi kami bertemu juga tidak pernah lebih
dari satu bulan. Mana ada sekolah yang durasi libur semesternya satu bulan?
Kakakku tetap merantau hingga kuliah, aku pun
sama, tidak pernah kembali ke Bacan terkecuali untuk liburan, adikku (si anak ketiga) mengikuti
jejak kedua kakaknya dengan merantau pasca lulus SD. Ketika kakakku sudah lulus
kuliah dan bisa pulang ke rumah, ketika aku juga berada di situasi yang sama, si
anak ketiga masih harus merantau karena berkuliah di Sumatera dan giliran si bungsu
untuk merantau karena sudah lulus SD.
Mana bisa bertemu tanpa embel-embel liburan? Mana bisa tinggal serumah
kalau anak-anaknya saling pergi-menetap-pergi-menetap?
Ternyata -qadarullah- bisa lho. Ternyata hal
yang mustahil bisa jadi mungkin. Dan yang menjadikan hal tersebut mungkin
adalah karena pandemi.
Yes. Because of covid-19.
Perkuliahan anak ketiga berubah jadi online,
dia bisa pulang ke rumah karena tidak harus datang ke kampus. Sekolahnya bungsu
juga berjalan secara daring di satu semester pertama, masuk semester genap dia sempat masuk
pondok di bulan Januari, lalu muncul surat edaran santri harus dipulangkan di bulan Februari karena situasi
di Jawa masih belum bisa dikatakan normal. Sepanjang Februari akhir - Agustus bungsu akhirnya bersekolah secara jarak jauh, pilihan yang membuat dia harus tidur larut malam karena dia punya jadwal halaqoh malam yang baru mulai jam 20.00 WIB.
WIB, sedangkan bungsu tinggal di daerah WIT.
Berapa lama rumah ini diisi oleh enam orang? Sebulan?
Dua bulan? Enggak. Kami dapat kesempatan untuk tinggal bersama selama hampir
satu tahun! Kesempatan yang setelah aku pikir-pikir, tidak akan terjadi lagi.
Bahkan jika suatu saat nanti aku punya kekayaan tanpa batas, sudah sukses bin
financial freedom, aku tidak yakin bisa membuat keenam anggota keluarga tinggal
di bawah atap yang sama. Usia tidak ada yang tahu, jodoh tidak ada yang tahu,
masa depan itu misteri.
Siapa yang bisa menjamin si bungsu yang masa
rantaunya masih sekitar 8 tahun lagi akan kembali untuk menetap di Bacan?
Siapa yang bisa menjamin dalam kurun waktu 8
tahun, kakak atau si anak ketiga belum ketemu jodohnya?
Siapa yang bisa menjamin aku masih tinggal di
Bacan 8 tahun lagi?
Nggak ada.
Belum lagi kalau membicarakan kemungkinan
bertemu dengan kematian.
Berhubung love languageku adalah quality time,
what matter to me is I got this opportunity. Sebuah kesempatan yang tidak bisa
terjadi tanpa izin ilahi.
Ada momen-momen ketika aku bersyukur sudah
memilih untuk menghabiskan empat tahunku mempelajari ilmu jiwa, karena ilmu tentang
manusia itu sama sekali tidak akan pernah sia-sia. Ketika aku belum bisa
memanfaatkan ilmu yang kupelajari untuk orang lain, aku bisa mengaplikasikan
ilmuku untuk diriku sendiri. Tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang kujadikan status whatsapp di bulan Juli.
Udah ngapain aja?
Mencoba belasan resep baru, meningkatkan kemampuan dengan membuat makanan-makanan yang bisa dengan mudah dibeli (halo kwetiau, halo saus bolognese, halo pasta), pertamakali menjadi relawan di daerah sendiri dan melihat realita pendidikan di wilayah Timur Indonesia,, berurusan dengan angka-angka saat membuat jurnal umum, bahkan berkesempatan memiliki pengalaman menjadi guru!
Apakah gap yearku beneran selesai dalam satu
tahun? Well, let’s see. I can’t answer that question right now, but I try to fill my life with
value, putting meaning in every situation. I live my life, so do you. Aku
harap kamu juga bisa menjalani hidupmu tanpa perlu membandingkan dengan
kehidupan orang lain yang membuatmu jadi merasa gagal.
Kalau udah terlanjur comparing your life with
others, coba nonton drama korea berjudul Reply 1988.
Karena sosok abangnya Jongpal amat sangat
membantuku dalam menghindari keterpurukan.
Kalimat penutup yang out of nowhere sekali,
bukan. Wkwk.
warm regards.
shofwamn