Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller

Menu makan malam pertama kami bertiga -para relawan perempuan- di Tanjung Obit adalah mie rebus, ikan goreng dan nasi.

“Seadanya saja.” Ujar Mama Hayati yang merupakan mama piara kami.

Di Halmahera Selatan (atau bahkan mungkin di wilayah Indonesia Timur), ketika kita tinggal di rumah orang lain dalam waktu lama (biasanya karena merantau dari rumah untuk sekolah), suami-istri dari pemilik rumah adalah papa piara dan mama piara kita sedangkan kita adalah anak piara mereka. Walaupun kami hanya tinggal di Tanjung Obit selama enam hari, kami memanggil istri dari pemilik rumah yang menampung kami dengan panggilan Mama Hayati. Aku dan Fida sempat memanggil dengan sebutan “Ibu Hayati” tapi Zulfa yang lahir dan besar di Bacan bilang, “Panggil mama aja, orang sini lebih suka dipanggil mama daripada ibu. Kalau manggil ibu kesannya seperti ngasih jarak.”

Selepas Isya, kak Abdul datang ke rumah kami untuk rapat. Tanjung Obit hanya memiliki satu SD sehingga relawan Guru Temanku yang ditempatkan di Tanjung Obit berjumlah 4 orang: tiga pengajar dan satu dokumentator. Sedangkan di Kampung Baru terdapat SD dan SMP, makanya tim Kampung Baru berjumlah 6 orang: lima pengajar dan 1 dokumentator.

“Seperti hasil rapat kita saat di basecamp. Kelas lima dan enam dipegang oleh Fida. Shofwa megang kelas tiga dan empat. Saya sendiri akan mengajar kelas satu dan dua. Zulfa mengambil foto dan video untuk dokumentasi. Tomorrow will be our first day, we going to the school at seven thirty because they start the class at eight o’clock. Don’t be late, okay?”

“Do we need to wait the headmaster or not?”

Sebelum berangkat ke Tanjung Obit, Mr Ady sudah memberi tahu bahwa kepala sekolah SD di Tanjung Obit sedang berada di Bacan dan katanya akan berangkat ke Tanjung Obit hari selasa (yang mana merupakan hari pertama kegiatan Guru Temanku), sayangnya Mr Ady tidak tau kapan kepala sekolah akan tiba di Tanjung Obit dan rasanya kurang etis jika kami memulai kegiatan sebelum bertemu dengan kepala sekolah.

“We’ll see tomorrow.”

Tim Tanjung Obit: Fida - Zulfa - Shofwa - Abdul

Sebenarnya aku skeptis dengan kedatangan kepala sekolah dan sudah siap menjalankan program meski tidak bertemu kepsek di hari pertama. Aku sempat mengobrol dengan papa piara sebelum meeting dimulai untuk menggali informasi mengenai SD yang akan menjadi tempat pengabdian kami selama lima hari ke depan. Menurut cerita papa piara, hanya ada dua guru PNS di sekolah tersebut, dua PNS yang menjabat sebagai kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Papa piara cerita kalau kepala sekolah sudah lama tidak datang ke Tanjung Obit, berbulan-bulan, hampir satu tahun. Di sisi lain, ternyata wakil kepala sekolah tidak tinggal di Tanjung Obit, wakapsek tinggal di desa sebelah bernama Prapakanda, berjarak 30 menit dari Tanjung Obit menggunakan transportasi laut atau dapat ditempuh lewat jalur darat dengan jalan kaki (aku nggak tau berapa kilometer). Cerita lain yang kudengar dari papa piara adalah ternyata para murid SD diliburkan sejak Covid-19 belum lama muncul di Indonesia dan mereka baru masuk sekolah lagi sepekan sebelum kedatangan relawan Guru Temanku. Dengan kata lain, mereka libur lama banget?! Aku agak tidak percaya, nggak masuk akal ada sekolah yang berbulan-bulan meliburkan muridnya.

Pergi mencari kamar mandi

Hari Pertama: Selasa, 30 Maret 2021

Pagiku cerahku, matahari bersinar~

Lirik lagu yang tidak tepat untuk menggambarkan langit mendung di selasa pagi. Kami bertiga pergi ke rumah yang ditinggali kak Abdul untuk numpang mandi dan berkenalan dengan mama Amsia. Selesai mandi, kami balik ke rumah mama Hayati, sarapan dengan segelas teh dan roti goreng lalu siap-siap berangkat ke sekolah.

Jarak sekolah dari rumah mama Hayati sekitar empat ratus meter, begitu tiba di sekolah yang bangunannya langsung menghadap ke pantai, kami menuju kantor dan bertemu seorang guru perempuan yang sedang duduk di kursi.

Iya. Satu. 

Satu guru.

Bangunan kuning adalah ruang kantor

Kak Abdul membuka obrolan dengan guru -yang kemudian aku tau bernama bu Aya- untuk memperkenalkan diri dan berkoordinasi mengenai kegiatan Guru Temanku.

“Iya, kemarin kepala sekolah udah nelpon, udah ngasih tau juga.” Respon bu Aya.

"Bapak kepala sekolah kira-kira kapan datang dari Bacan?"

"Kurang tau juga. Pak kepsek sudah lama nggak ke Tanjung Obit."

Kemudian kami bertanya mengenai jumlah murid (total murid sekitar 60 siswa) dan waktu KBM (dari jam 08.00~10.00 saja). Aku memandang papan informasi sekolah dan menemukan tujuh nama yang tertulis di papan tersebut. Ada tujuh nama di papan, hanya ada satu guru di sekolah.

“Pak wakil kepala sekolah biasa datang jam 8, harusnya sekarang sudah datang. Atau kalian mau langsung masuk ke kelas?”

“Boleh, bu.” Jawab kak Abdul, “minta tolong untuk satuin anak kelas 1-2, 3-4, sama 5-6.”

“Oh, iya, iya.”

Kami berdiri di depan pintu kantor selagi menunggu bu Aya menyatukan murid menjadi tiga kelas.

“Kalian punya ice breaking atau lagu yang gampang dinyanyiin, nggak?” tanyaku ke Zulfa dan Fida.

“Aku punya. Tapi ini lagu sederhana sih,” jawab Zulfa kemudian dia mulai menyanyi, “Good morning, good morning how are you? I am fine, I am fine, I am fine thank you.”

Yes. Dapet satu lagu. Memang aku kurang mempersiapkan ide-ide ice breaking untuk mengajar.

“Okay guys, good luck for your first day. We end the class at nine thirty because Fida has online class to attend,” ujar kak Abdul sebelum kami berpencar menuju kelas masing-masing.

Dan aku mulai berdebar saat mulai melangkahkan kaki menuju ruang kelas yang harus aku pegang.

Makin dekat, makin berdebar, “bentar, ntar aku harus ngapain? Mulai ngajar dari mana? Ngomong apaaaaa?!”

Aku lihat kak Abdul sudah masuk kelas, Fida juga udah masuk kelas bersama Zulfa, tinggal aku sendiri yang masih di luar karena kelasku yang paling jauh.

Tanganku mulai dingin, aku nggak pernah memiliki pengalaman mengajar seorang diri, apalagi mengajar belasan orang sekaligus. Ketika masih menjadi mahasiswa, saat ikut komunitas yang kegiatannya adalah mengajar joki cilik, aku lebih memilih menjadi orang di balik layar, sebagai dokumentator, sebagai pengurus berkas. Tapi bukan ngajar, bukan menjadi pengajar. 

“Serius nih harus masuk kelas?”

Ok. Breathe. Inhale. Exhale.

Bismillah.

Kubuka pintu kelas, hening seketika, tampak belasan pasang mata melirik ke arah pintu dengan penuh rasa ingin tau.

Aku melangkah masuk, “Assalamualaikuummmm.”

“Waalaikumsalammmm.”

Terima kasih pada salam milik ummat Islam, aku bisa masuk kelas dan berjalan ke meja guru tanpa perlu bertingkah awkward di depan murid. Kutaruh totebag di atas kursi, kuatur posisi smartphone karena aku berencana merekam video hari pertamaku. Setelah semuanya siap, aku memandang kelas yang dindingnya berwarna kuning tua, ternyata gabungan murid kelas tiga dan empat terlihat seperti jumlah murid dalam satu kelas.

“Kakak ulang ya, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Waalaikumsalammm warahmatullahi wabarakatuh.”

“Selamat pagi semua.”

“Selamat pagi.”

Tak kenal maka tak kan dikenal. Tentu saja aku harus mengenalkan namaku pada 19 murid yang ada di kelas. Kutulis namaku di papan dan meminta mereka menyebutnya dengan keras, agar di kemudian hari mereka tidak memanggilku kak sofa. Kupastikan mereka memanggil namaku dengan benar, kak shofwa.

“Di sini, hari ini, torang akan belajar bahasa Inggris. Siapa yang mau belajar bahasa Inggris?”

Dua murid mengangkat tangan.

Oke. Baiq.

11% dari populasi kelas mau belajar bahasa Inggris. Lumayan.

Pelajaran bahasa Inggris dimulai dari simple greeting. Greeting without s, karena emang cuma ngajarin satu sapaan saja: good morning. Kujelaskan bahwa good morning berarti selamat pagi, kemudian kunyanyikan lagu good morning yang diberitahu Zulfa beberapa menit yang lalu.

“Ngoni bisa hafal lagunya?”

Terdengar jawaban dari pojok kanan “tara bisa.” Jawaban yang berasal dari seorang murid laki-laki bernama Aditos, tak kuhiraukan jawaban itu. Baru juga kelasnya mulai.

Tiga puluh menit pertama, murid-murid mencatat lirik lagu good morning yang sudah kutulis di papan tulis (tentu saja tidak semua murid melakukannya) kemudian aku menjelaskan berkali-kali arti dari good morning, how are you dan I am fine. 

Saat sedang mengawasi seisi kelas yang sedang menulis, aku mendengar seorang anak bersenandung lagu ‘kalau kau suka hati’. Oke. Berhubung aku perhatikan konsentrasi murid-murid udah terpecah karena ada beberapa anak yang sibuk ngobrol. Aku pura-pura nggak tau lagu ‘kalau kau suka hati’ dan pura-pura request pengen denger mereka nyanyi lagu itu karena mereka semua tau.

Wow, langsung pada semangat banget dong. Apalagi waktu kuminta mereka semua berdiri, makin semangat.

Sekitar dua puluh menit selanjutnya, aku tetap mengulang materi yang sama dengan mendatangi bangku setiap murid, beberapa anak yang berani maju kuminta untuk menyanyikan lagu good morning di depan kelas. Beberapa anak keluar kelas tanpa izin (entah untuk buang ludah, buang air kecil, atau lari ke rumah buat minum air). Murid-murid yang berjenis kelamin laki-laki mulai membuat keributan di kelas, kebetulan aku menemukan sebuah rotan di meja guru. Kupukul rotan ke papan tulis.

Amazing, suara rotan efektif membungkam para murid laki-laki. Meski tidak sampai satu menit.

“Sekarang belajarnya sudah selesai. Nanti, nanti sore abis Asar. Kak Shofwa bakal balik kesini. Kalau misalnya kalian masih mau belajar, torang bermain lagi. Bisa datang nanti sore abis Asar ke sekolah.”

Beberapa menit sebelum pelajaran selesai, kami foto bersama (atas permintaan para murid yang ternyata cukup narsis). Aku mengambil foto murid laki-laki, kemudian murid perempuan, kemudian kami selfie~

sengaja milih yang blur karena suatu alasan

Saat kembali ke kantor, aku melihat dua wajah baru. Pak Wakepsek dan seorang guru bernama pak Gazali. Keduanya tinggal di desa Prapakanda. Bentuk wajah pak wakepsek dan pak Gazali mengingatkanku pada tipikal wajah guru yang ditakuti murid. Alis tebal, punya kumis (kumis pak wakepsek cukup lebat), sorot mata tajam, garis wajah yang tegas, ketika berbicara mengeluarkan suara yang keras dengan intonasi yang jelas. Syarat sempurna untuk menjadi guru yang bertugas menegakkan kedisiplinan dan sebagai sosok guru killer bagi murid.

Kalau nggak ada guru yang seperti itu, murid-murid akan sulit diatur /thumbs up/

Kami ngobrol dengan pak wakepsek, kak Abdul  memberitahu bahwa Guru Temanku juga mengadakan pelatihan bahasa Inggris untuk para guru supaya materi yang diajarkan oleh relawan selama lima hari kepada murid dapat diulang kembali agar para murid tidak lupa. 


Kelas sore dijadwalkan mulai pukul empat, semua muridku datang, 19 anak. Tapi tidak semuanya punya keinginan belajar. Murid perempuan duduk rapi di kursi, sesekali ngobrol dengan teman semejanya, sedangkan murid laki-laki sibuk… salto di belakang kelas.

Bagian belakang kelas memang cukup lapang, para murid laki-laki sibuk unjuk kebolehan dengan melakukan salto. Koprol. Apalah namanya itu. Aku sekali merespon kelakukan mereka, sedikit memberi pujian lalu meminta mereka duduk di tempat duduk.

Beberapa menurut, lebih banyak yang tidak.

“Kakak, dorang bermain di belakang kelas,’ lapor Julaiha.

“Biar sudah.”

Berhubung aku menyadari bahwa aku hanya menghabiskan tenagaku dan malah menelantarkan murid perempuan jika aku memberi perhatian pada murid laki-laki yang jelas-jelas datang tanpa keinginan belajar. Jadi, aku fokus saja pada murid-murid yang mau mendengarku berbicara. Buat apa menghabiskan tenaga pada sesuatu yang tidak sanggup kulakukan~ belum lagi beberapa remaja yang berdiri di depan pintu kelas dan membuat suasana makin tidak kondusif tapi saat diajak belajar bersama malah menolak.

Rasanya kelas sore berjalan jauh lebih lambat dibandingkan kelas pagi, padahal durasinya hanya satu jam. Itu pun sudah terpotong beberapa menit karena kelas tidak mulai tepat waktu. Aku langsung mengucap hamdalah dalam hati saat smartphoneku berbunyi (sebelum mulai kelas, kupasang timer yang akan berbunyi pada pukul 5 sore). Kelas sore ditutup dengan satu sapaan yang baru saja kuajarkan,

Good Afternoon~

Sesuai rencana yang sudah disusun oleh tim Tanjung Obit. Kami mengadakan tiga kelas dalam satu hari. Kelas pagi saat di jam sekolah, kelas sore untuk mengulang materi yang diberikan di kelas pagi dan kelas malam yang (sebetulnya untuk mengulang materi juga) (namun berubah haluan ke) fokus pada pelajaran membaca, kami membawa satu dus penuh buku bacaan hasil kerjasama Guru Temanku dengan Perpustakaan Daerah.

Keahlian membaca anak-anak Tanjung Obit tidak berbanding lurus dengan jenjang pendidikan mereka. Kamu bisa menemukan anak kelas satu yang sudah mampu mengeja kalimat sederhana, di sisi lain, kamu juga bisa menemukan anak kelas empat yang masih perlu berpikir dalam membedakan huruf ‘p’ dengan ‘b’ atau mengeja ‘mo’ dengan ‘mu’ dan beberapa huruf lain. Kami menggunakan ruang tamu mama Hayati sebagai tempat diadakannya kelas malam. Meskipun yang datang hanya belasan orang dari keseluruhan jumlah murid, kelas membaca tidak berjalan dengan kondusif karena murid yang sudah bisa membaca ‘mengganggu’ proses belajar murid yang belum bisa membaca. Ngerecokin temen. Kalau temennya yang lagi belajar salah mengeja, langsung dibenerin. Kalau temennya yang lagi belajar perlu waktu buat mikir, langsung diejain. Sebuah contoh nyata ketika niat ingin membantu digunakan di kondisi yang keliru.

Setelah kelas malam usai, kami mengadakan meeting untuk mengevaluasi kegiatan hari pertama sekaligus mempersiapkan materi untuk hari kedua. Secara garis besar, laporan dari tiap relawan pengajar adalah sebagai berikut

First and second grade: belajar sambil bermain, ada beberapa anak yang menangis karena dijahili temennya.

Third and fourth grade: masalah utama ada pada murid laki-laki.

Fifth and sixth grade: hampir seluruh murid tidak mengetahui perkalian, bahkan sesederhana 1x2. Zulfa turut mengajar para murid.

Kesimpulan: harus memiliki banyak strategi untuk memenangkan hati mereka.

The first day already past and today was the first time experience to teaching for three of us (Fida, Shofwa, Zulfa).

What will happen on our second day?

Bersambung…   

“Hatiku tenang karena mengetahui apa yang yang melewatkanku tidak pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” – Umar ibn Khattab ra

Kalimat bijak dari khalifah kedua yang seharusnya selalu kuingat, apalagi ketika mengharapkan sesuatu. Tidak butuh harapan yang besar, bisa juga saat mengharapkan hal-hal kecil yang terlihat sepele di mata orang lain.

Contohnya, harapan bisa satu kelompok dengan Balqis di penempatan program Guru Temanku.

Wkwkwkwk

#lemah

Bisa dibilang itu bukan harapan yang kecil, setidaknya untukku. Selain agar tidak dihinggapi oleh perasaan kesendirian, berada dalam satu kelompok dengannya merupakan kesempatan yang... langka? Super langka? Kapan lagi bisa?

Oh ya, siapa Balqis? Orang yang paling aku kenal di antara relawan Guru Temanku yang lain wkwk. I need to be with someone I know the most to faced new situation. I think I need it, but I don’t want to force it.

Apa itu Guru Temanku? Udah dijelasin sekilas di postingan sebelumnya (baca: Bertemu Guru Temanku). Nah, Guru Temanku memiliki program turun ke desa untuk mengadakan pelatihan bahasa Inggris. Kali ini aku berstatus sebagai relawan, jadi aku akan ikut turun ke desa dan turut melaksanakan pelatihan tersebut.

Intinya datang ke desa buat ngajar bahasa Inggris biar anak-anak desa gak perlu insekyur dengan ngomong kalimat ga bisa basa enggres.

Satu pekan sebelum jadwal keberangkatan, tim relawan mengadakan pertemuan untuk membicarakan progress persiapan. Di awal rencana, kami menargetkan empat desa sebagai lokasi penempatan: Kampung Baru, Prapakanda, Tanjung Obit dan Batu Taga. Keempat desa tersebut berada di satu kecamatan yang sama bernama Kecamatan Kepulauan Botang Lomang.

Kondisi geografisnya memang seperti namanya: kepulauan. Soalnya terdiri dari beberapa pulau dan terpisah dari pulau Bacan (pulau utama di kabupaten Halmahera Selatan).

Dari empat desa yang ditargetkan, ada satu desa yang belum memberi kepastian apakah kami bisa melakukan kegiatan, belum ada kabar lebih lanjut padahal kami membutuhkan kabar untuk memastikan terpenuhinya akomodasi dan konsumsi selama program berjalan. Jadi, dalam menjalankan kegiatan ini kami membutuhkan kerjasama dari pihak sekolah dan pihak desa. Pihak sekolah sebagai pihak yang mempersiapkan para siswa dan pihak desa sebagai pihak yang menyediakan tempat tinggal serta konsumsi selama kami berada di lokasi penempatan. Karena desa Prapakanda tidak memberi balasan atas surat permohonan yang kami kirim, sehingga kami mencoret desa tersebut dan hanya tersisa tiga desa.

Kampung Baru, Tanjung Obit dan Batu Taga.

Adanya satu desa yang di-cancel menyebabkan perubahan formasi relawan. Selama proses diskusi mengenai perubahan formasi (siapa yang dipindah kemana), aku sedikit menggiring opini agar tujuanku tercapai.

 

Daaannnn… berhasil. Uhuy. Alhamdulillah.

 

Aku dan Balqis berada di Tim desa Batu Taga.

 

relawan GT ready to go~

Ternyata niat baik saja tidak cukup untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Apalagi jika perbuatan yang hendak dilakukan melibatkan banyak pihak.

Niat baik tanpa SDM? Mana bisa jalan.

Punya niat baik, punya SDM, nggak punya dana? Jalan di tempat.

Punya niat baik, punya SDM, udah dapat dana, ternyata pihak yang ingin dilibatkan tidak memberi respon, bahkan menolak? Yowes, apa lagi yang bisa kita lakukan~

Beberapa hari sebelum hari H keberangkatan, terdapat perubahan-perubahan lain yang terjadi. Mulai dari desa yang mendadak menolak karena ternyata akan mengadakan UAS dan pengawas tidak mengizinkan adanya kegiatan lain di sekolah, beberapa relawan yang ternyata tidak bisa turut ikut ke lapangan (alias mengundurkan diri), kepala sekolah dan kepala desa yang tidak bisa dihubungi, hingga kepala sekolah yang sedang tidak berada di desa padahal keberadaan kepala sekolah penting untuk memberi instruksi pada guru dan murid selama Guru Temanku berkegiatan di sekolahnya.

Fakta-fakta tersebut membuat target lokasi penempatan berubah (lagi) yang berimbas pada perubahan formasi relawan.

Dan, yah, tim Batu Taga terpecah, menyebar ke tim-tim desa lain.

Dari empat desa, berubah ke tiga desa, berubah lagi sampai pada keputusan final karena keterbatasan jumlah relawan: Guru Temanku akan turun di desa Kampung Baru dan Tanjung Obit.

Kampung Baru: Afi, Reza, Balqis, Maulina, Najla, Safira.

Tanjung Obit: Abdul, Fida, Shofwa, Zulfa.

Seperti yang kubilang, kalau emang nggak ditakdirkan, nggak bakal kesampaian. Udah pernah berusaha agar berada di tim yang sama, ujung-ujungnya dipisahkan juga.

Malam sebelum keberangkatan, aku sempat dihubungi oleh koordinator utama. Ada kemungkinan aku dipindah ke desa Kampung Baru. Berhubung misi Guru Temanku ini terlalu fleksibel dan amat dipengaruhi oleh faktor X, mendengar kemungkinan itu nggak membuatku berharap lagi, sudah pasrah karena:

“apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”

Sedikit terkesan lebai, pada nyatanya aku hanya sedang mengafirmasi diriku sendiri. Semoga mampu bertahan di Tanjung Obit tanpa perlu merasakan emosi-emosi negatif yang bisa saja muncul.

pemandangan Tanjung Obit dari atas speed boat

Tanggal 29 Maret 2021 sekitar pukul setengah enam sore, Relawan Guru Temanku Bersama Mr Ady akhirnya bertolak dari Bacan menuju desa Tanjung Obit dan desa Kampung Baru menggunakan speed boat.

Terlepas dari di tim mana aku berada, aku ngerasa amat sangat excited (+ nervous, of course!).

Pertama, aku bisa duduk di atas speed boat (oke, ini agak nggak penting) (wkwk). Berhubung seringkali disuruh duduk di dalam speed boat, jadi pas diizinin duduk di atas, gembira bukan kepalang, kunikmati terpaan angin sembari menggenggam erat-erat smartphone karena kalau jatuh bisa wassalam good bye my smartphone.

Kedua, akhirnya aku menjelajah wilayah di luar pulau Bacan! Sekedar informasi, Halmahera Selatan adalah kabupaten kepulauan terbesar di provinsi Maluku Utara. Pulau utamanya adalah pulau Bacan karena di situ letak ibu kota kabupaten, sedangkan Halmahera Selatan memiliki ratusan pulau (tentu saja tidak semua pulau berpenghuni) Selama ini aku tidak pernah keluar dari pulau Bacan, makanya walaupun Tanjung Obit letaknya hanya 8 kilometer dari pulau Bacan dan cuma butuh waktu sekitar 15 menit nyebrang menggunakan speed boat, itu udah cukup sebagai permulaan.

Ketiga, ini adalah aktivitas sosial pertamaku di Halmahera Selatan. Aku bisa melihat langsung kondisi pendidikan di sebuah desa dan merasakan sendiri pengalaman mengajar.

Iya. Pengalaman mengajar. Mengajarkan Bahasa Inggris ke murid-murid. Aku akan cerita tentang ini di part selanjutnya.

Begitu kami tiba di dermaga Tanjung Obit, aku merasakan beberapa pasang mata yang melihat kami dengan raut wajah penasaran. Kami datang menggunakan seragam Guru Temanku, PDH berwarna merah marun. Tampilan kami tidak ada bedanya seperti sekelompok mahasiswa yang hendak melakukan Kuliah Kerja Nyata alias KKN. Beberapa anak dengan senang hati membantu kami membawa perlengkapan tempur seperti spanduk, white board, kontainer berisi peralatan yang kami perlukan dan beberapa barang bawaan lain.  Saat sedang mengurusi barang bawaan Tim Tanjung Obit, aku disamperin koordinator utama, "kak Shof, kakak tetap di Tanjung Obit. Kemarin kak Abdul bilang nggak bisa pergi karena sakit jadi rencananya mau diganti kak Reza terus kak Shof pindah ke Kampung Baru. Tapi ternyata kak Abdul ikut berangkat, jadi formasi relawan nggak berubah."

"Okelaah~"

Kami langsung menuju rumah kepala desa yang berjarak sekitar 200~300 meter dari dermaga. ternyata om Pala -sebutan untuk kepala desa- sedang tidak berada di tempat, Guru Temanku disambut oleh istri om Pala, Mr Ady memberi penjelasan singkat tentang kegiatan Guru Temanku pada istri om Pala, beliau juga memberi sepatah-dua patah kata untuk Tim Tanjung Obit (motivasi dalam menjalankan kegiatan, mengingatkan untuk menggunakan Bahasa Inggris saat berkomunikasi dengan rekan setim) sebelum akhirnya pamit untuk melanjutkan perjalanan ke desa Kampung Baru bersama Tim Kampung Baru karena hari sudah petang dan jarak Kampung Baru cukup jauh dari Tanjung Obit.

Sebagai rekan relawan yang baik, kami sebagai Tim Tanjung Obit mengantarkan Mr Ady dan relawan yang lain ke dermaga dan melepas kepergian mereka. Zulfa dan Fida mengekspresikan kesedihan mereka karena perpisahan singkat ini, kak Abdul tidak menunjukkan emosi apapun dan aku tetap sibuk mengafirmasi diri sendiri all iz well untuk enam hari di Tanjung Obit.

Tim Kampung Baru dan Mr Ady yang melambaikan tangan

Kami kembali ke rumah om Pala, istri om Pala mengatakan bahwa terdapat dua rumah warga yang bisa kami tinggali. Satu rumah untuk dua orang.

“Bu, bisa tidak kalau kami bertiga di satu rumah? Jadi yang cowok sendiri.”

“Oh, mau bertiga? Bisa, bisa. Sebentar.”

Istri om Pala langsung keluar dan berteriak menggunakan bahasa daerah, sepertinya memberitahu tentang permintaan kami. Lagian nggak mungkin juga kalau tim dibagi jadi dua-dua, komposisinya aja satu cowok dan tiga cewek.

Setelah menghabiskan secangkir teh yang sempat tidak kuminum karena masih panas tapi istri om Pala malah ngomong, “Nggak papa, minum aja.” Seakan-akan tau tentang ‘sedikit peringatan’ yang kami dengar sebelum kami berangkat. Peringatan untuk tidak sembarang menerima makanan atau minuman dari orang karena masyarakat desa masih kental dengan budaya mistis.

Ternyata rumah yang akan aku, Zulfa dan Fida tinggali letaknya hanya selemparan batu dari rumah om Pala. Deket banget. Kami disambut oleh ibu pemilik rumah dan ditempatkan di kamar depan. Sebuah kamar berukuran sekitar 3x2,5 meter yang berisi satu ranjang, satu lemari plastik, satu meja kayu dan dua kursi.

“Di rumah ini nggak ada kamar mandi, kalau butuh kamar mandi bisa ke rumah saya.”

“Oh, iya, bu.” Aku terlalu kaget dengan fakta tersebut jadi hanya bisa menggangguk sambil tersenyum sampai istri om Pala keluar kamar.

Apa tadi yang kudengar? Nggak ada kamar mandi?

Artinya nggak ada WC? Toilet?

Satu kesadaran baru langsung muncul di benakku

Selamat datang di desa yang tiap rumah belum tentu memiliki kloset, jangan sampai kebelet di tengah malam!

bersambung...

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ▼  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  September (5)
    • ▼  Mei (2)
      • Bertemu GuruTemanku #3: Murid-Murid Tanjung Obit
      • Bertemu GuruTemanku #2: D-Day
    • ►  April (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2019 (36)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (28)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes