Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

Lagi-lagi yang terpikirkan untuk membuka postingan ini adalah istilah yang tidak asing lagi di telinga manusia-manusia yang tengah mencari jati diri atau sedang menghadapi tantangan kehidupan: zona nyaman.

Oke. Sebenarnya judul postingan ini bukan diperuntukkan secara khusus untuk pembahasan mengenai zona nyaman. ayolah, hal tersebut sudah terlalu membosankan, bukan?

Hingga saat ini, istilah 'keluar dari zona nyaman' masih merupakan istilah yang membuatku berada di pihak kontra. Istilah tersebut seakan menyuruh kita untuk pergi meninggalkan zona nyaman yang kita miliki. Kenapa sih harus keluar dari zona nyaman? do SHOULD we go outta our comfort zone?

Banyak orang yang pada akhirnya menjawab dengan kalimat, "Kamu nggak bakal tau kalau nggak nyoba keluar dari zona nyaman."

Nah. Tapi kenapa pula aku harus mencoba hal tersebut? Dan juga, haruskah aku membahas zona nyaman secara spesifik di postingan ini?

Kurasa, tidak.

Mari kita membahas hal lain aja, misalnya membahas tentang perasaan.

cr: pinterest


Nama perasaannya, iri.

Iri /a/ merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain; cemburu; sirik; dengki.

Sederhana, bukan? Siapa coba yang nggak kenal dengan iri? Siapa coba yang tidak pernah merasakan iri?

Perasaan iri  sebenarnya perasaan yang normal dan wajar dirasakan. Kadangkala aku bisa merasa iri untuk hal-hal sepele yang tidak masuk akal. Misalnya ketika melihat seseorang memposting tengah makan di suatu tempat yang enak dan belum pernah kukunjungi. Ketika seorang teman memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah. Aku bisa iri hanya dengan melihat orang lain memposting tangkapan layar percakapannya dengan seseorang. Ini hanya beberapa contoh saja. Namun ini hanyalah perasaan iri yang temporer dan tidak selalu ada, munculnya ketika emang lagi mode mudah merasa sirik.

Nggak bisa dipungkiri, perasaan ingin ‘membagikan’ sesuatu itu sifatnya fluktuatif, kadang pengen menghindari publisitas, terkadang menggebu ingin membagikan sesuatu. Aku nggak menampik bahwa aku juga lumayan sering membagikan cuplikan kehidupan pribadiku ke sosial media. Maka dari itu aku pun sadar bahwa apa yang aku bagikan juga berpotensi menimbulkan rasa iri bagi orang lain.

Memang hidup berdampingan dengan sosial media ini ngeri-ngeri sedap.



Aku tau membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain itu nggak bagus, tapi ada momen di mana mau nggak mau aku harus membandingkan dan perilaku membandingkan tersebut malah bikin aku insecure. Realitanya adalah terdapat hal-hal yang tidak bisa aku lampaui, yang tidak bisa aku miliki dengan mudah namun mampu dimiliki oleh orang lain dengan usaha yang lebih sedikit dan hal tersebut yang bikin suck

Pernah nggak sih mikir, “pengen deh jadi orang seperti dia.”

Bukan karena kamu nggak punya sisi baik, lebih karena sisi baikmu tidak bisa melampaui sisi baik dia. Bukan karena kamu tidak punya keistimewaan, namun lebih karena keistimewaan yang kamu punya ternyata merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja bagi dia.

Gue pinter, dia lebih pinter.

Gue rajin, dia lebih rajin.

Gue sering senyum, dia lebih sering.

Gue jago ngomong, dia jarang ngomong. Tapi kalau dia mencoba, dia bakalan lebih jago daripada gue.

cr: pinterest

Pada bulan April tahun ini, aku mengikuti pelatihan konselor, dalam rangkaian kegiatan pelatihan tersebut ada sesi saat peserta diminta untuk menulis satu kata yang mengingatkan pada emosi negatif. Satu kata yang dibenci. Satu kata yang mewakili seluruh emosi negatif. Ketika mendengar instruksi tersebut, asli aku merasa bingung, karena aku sedang dalam kondisi emosi stabil (ceileh) jadi rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili emosi negatif. Aku memandang setengah bagian kertas A4 yang diberikan kepadaku dengan pandangan menerawang “mau nulis apaan?” “kata apa yang bisa aku tulis di kertas kosong ini?”

Kemudian selama beberapa saat, aku seakan teringat akan kunjunganku ke Pojok Curhat jauh sebelum aku mengikuti pelatihan konselor. Pojok Curhat merupakan ruang untuk berbagi keluh kesah yang dijamin kerahasiannya dan dikelola oleh mahasiswi Fakultas Psikologi yang sudah lolos seleksi sebagai konselor Pojok Curhat. Bagiku, keberadaan Pojok Curhat harus dimanfaatkan, apalagi beberapa konselor pojok curhat adalah orang yang sudah aku percaya.

Durasi sesi konseling di Pojok Curhat adalah 45 menit. Dalam 45 menit yang kumiliki, aku mencurahkan isi hatiku (asoy isi hati wkwk), mulanya hanya obrolan biasa, namun secara perlahan aku menceritakan rasa khawatirku akan peristiwa yang akan terjadi di masa depan, pada akhirnya aku mengakui bahwa aku sedang berusaha mengelola perasaan iri.

Bukan perasaan iri karena hal sepele yang contohnya kutulis di awal postingan. Ini adalah perasaan iri yang lebih kompleks. Karena suaraku sempat tercekat dan hampir menangis di sela-sela 45 menit yang aku habiskan bersama salah satu konselor. Rasanya kok perasaan ini sungguh berat, semacam sudah mengakar kuat. Aku khawatir akan rasa iri yang kelak hadir ketika aku bukanlah siapa-siapa. Rasa iri mengingatkanku ketika aku tidak bisa sebermanfaat orang lain. Membuatku termenung oleh kesempatan yang tidak bisa kumiliki. Membuatku kerdil ketika mengingat kemampuan yang dimiliki orang lain.

Ah, buruk sekali dampak dari perasaan iri ini.

Apakah sesi Pojok Curhat membantuku? tentu saja iya.

Apakah kemudian aku tidak merasa iri lagi? haha, impossible zeyeng.

Perasaan hadir bukan untuk dilenyapkan. Bukan untuk ditolak kehadirannya. Perasaan hadir untuk membuat kita belajar mengenai makna perasaan itu sendiri dan menerimanya dengan lapang dada.

Ingatanku tentang Pojok Curhat membuatku menulis kata IRI sebagai kata yang mewakili emosi negatifku. ketika melihat tulisan IRI, napasku langsung tertahan:') aku sadar bahwa aku sudah memilih kata yang tepat. 

Selain menuliskan kata yang mewakili emosi negatif, peserta pelatihan konselor juga diminta untuk menulis kata yang menjadi penetralisirnya. Aku kembali bingung. Memangnya kata apa yang bisa meredakan rasa iriku?

Hingga satu kata muncul di benak: cukup.

Manusia adalah makhluk yang memiliki hawa nafsu, mustahil mudah merasa puas. Cukup menjadi rem bagi diriku untuk tidak terlalu berkontribusi di bidang yang tidak aku senangi dan tidak aku kuasai. Cukup menjadi mantra sakti yang mampu meredam ambisiku (jika ia ada, soalnya aku juga bukan sosok yang ambisius terhadap segala sesuatu). Seringkali, kehadiran kata cukup dapat menenangkanku.

Setelah menuliskan kata 'cukup,' aku langsung menarik napas panjang, kemudian hati terasa sedikit lebih ringan.

cr: pinterest


Sayangnya, rasa iri ini secara kurang ajar tetap awet mengakar ketika pada bulan Juli aku mendengar suatu fakta yang tidak aku ketahui sebelumnya, pun tidak pernah aku bayangkan. Malam itu hanyalah panggilan video (video call) biasa di sela-sela kejenuhan rutinitas KKN, entah apa pemicunya namun panggilan video tersebut berakhir dengan suatu fakta yang baru aku ketahui. Terkadang aku tidak siap dengan informasi yang begitu mendadak. 

Apakah fakta tersebut mengenai diriku? tidak.
Apakah fakta tersebut mengusikku? iya.

Kesel banget di pertengahan KKN malah memikirkan sesuatu yang menurutku kekanakan, secara harfiah aku bukan terusik oleh fakta tersebut, aku terusik karena segala kilas balik yang berhubungan dengan fakta tersebut langsung hadir: dugaan buruk di awal tahun yang menjadi realita, obrolan tengah malam, perasaan inferior yang begitu tinggi, dan emosi negatif yang mendominasi hati. Meskipun kesel, tapi aku menikmatinya (eh, gimana sih) karena momen ketika aku menutup panggilan video dengan perasaan terkejut bersamaan dengan momen ketika mood dalam menjalankan KKN secara penuh semangat jiwa dan raga mengabdikan diri pada masyarakat sedang berada di titik rendah. Intinya, KKN lebih mengesalkan daripada fakta tersebut.

Well, sepertinya mood aku untuk KKN emang selalu di titik rendah akibat dari kehilangan minat melakukan pergerakan. Terkecuali di episode bertemu gadis-gadis cilik pesisir Labuhan Bajo.

Di sisi lain, fakta tersebut membuatku teringat oleh sebuah hubungan yang sudah di taraf komunikasi yang begitu renggang, hingga memunculkan pikiran 'sudah seperti apa sosoknya? seberapa banyak dia berubah? apakah aku masih mengenalnya?'

Di tengah-tengah keterkejutan oleh fakta tersebut, aku kecantol oleh lagu Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti. Auto addicted. Aku juga bingung kenapa liriknya bisa ngena banget?! Apakah efek dari KKN yang begitu nano-nano? Apakah efek dari informasi mendadak yang berisi suatu fakta? Atau karena keduanya?

Sebenernya aku tau bahwa alasannya adalah karena lirik lagu yang relatable dengan kenyataan~ misalnya bait pertama mewakili kejadian A, bait kedua mewakili kejadian B, hmm... akan terlalu banyak kalimat tidak berguna yang tertulis jika aku menjabarkan alasannya dengan panjang lebar.

Semenjak telinga dan hatiku kecantol oleh lirik Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti, sisa waktu KKN aku habiskan dengan memutar lagu itu secara terus menerus.



Jatuh dan tersungkur di tanah aku
Berselimut debu sekujur tubuhku
Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat


Yang ...
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Di mana ada musim yang menunggu?

Meranggas merapuh
Berganti dan luruh
Bayang yang berserah
Terang di ujung sana

Kadangkala aku ingin memaki diriku sendiri yang lebih memilih kabur dari masalah daripada menghadapi masalah tersebut. Lebih memilih diam dan tidak meminta penjelasan, bersikap 'sok nggak tau padahal tau' dan berakhir dengan waktu-waktu penuh perenungan.

September datang dengan sebuah beban pikiran yang sebenarnya bisa tidak kupedulikan, namun pada akhirnya aku mengambil keputusan yang berbeda dari yang sudah-sudah. Tanpa tahu apakah keputusan ini akan berakhir baik atau malah memperburuk keadaan yang sudah ada. 

Ketika aku takut ditinggalkan, namun pada kenyataannya aku malah menjadi pihak yang meninggalkan. Tolong dong seseorang marahin aku akan sifat jelekku ini, sungguh egois!

Lagu Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti milik Banda Neira tidak bertahan lama menduduki posisi lagu yang paling sering diputar, karena ketika Oktober datang, aku nyaris tidak pernah lagi mendengar lagu tersebut terputar di gawai milikku.

Dan ketika aku mencoba mendengarnya lagi ketika sedang mengetik naskah postingan ini pada awal Desember, aku tidak merasakan apapun.
salam sayang,
shofwamn

0 komentar