Ada pak Win di KAKTUS!


Facebook tetap menjadi media favorit untuk berekspresi bagi orang dewasa yang tidak terlalu akrab dengan media sosial lain. Meski sudah lama tidak membuat status apa-apa di facebook, bukan berarti aku berhenti menggunakannya. Kadang facebook masih menjadi tempat yang tepat untuk belajar kesederhanaan dari tulisan Tere Liye, stalking masa lalu milik seseorang, atau membaca status yang ditulis oleh orang-orang keren.

Contoh untuk orang keren yang aku maksud misalnya adalah pak Win.

Bernama lengkap Win Ariga Mansur Malonga, kala itu masih menjabat sebagai Wakil Rektor III ketika aku berada dalam kepanitiaan RESPEK. Lebih akrab disapa dengan panggilan pak Win, saat ini beliau bukan lagi Wakil Rektor III, jabatan tersebut sudah beliau tinggalkan beberapa bulan lalu karena beliau mendapatkan scholarship untuk melanjutkan studi di Polandia.

Memiliki public speaking yang apik, rasanya aku belum pernah merasa bosan setiap mendengar pak Win berbicara. Pertamakali bertemu dengan beliau adalah ketika penerimaan mahasiswa baru di asrama UTS. Pak Win memberi kesan pertama yang kuat, dengan wibawa dan ketegasan dalam setiap kalimat yang beliau lontarkan.

Di awal bulan September, aku menemukan status facebook pak Win yang tengah membicarakan tentang program gubernur untuk menguliahkan putra-putri NTB ke luar negeri, aku terkejut begitu membaca kalimat terakhir dari status facebook tersebut.

Kapal Legundi, menuju NTB tercinta, 10 September 2019.

WAIT, PAK WIN KE INDONESIA?!

KE NTB?

KE SUMBAWA DONG?!

“Apakah pak Win akan mampir ke UTS?” adalah pertanyaan yang pertama kali muncul di benak, setengah hati ingin berjumpa dengan beliau untuk mendengar beliau berbicara, setengah hati lagi mikir 'apakah cuma gue yang kangen dengan cuap-cuapnya pak Win?

Berasa jadi fans yang gembira berlebihan karena tau idolanya sedang di pulau yang sama.

Wkwkwk. Dasar alay.

Pengen jumpa tapi yang nggak pengen-pengen banget, pengen tapi yang semisal memang tidak ada kesempatan, yaudah.

Dan hatiku senang begitu melihat poster ini



Sebenarnya KAKTUS merupakan nama untuk kajian rutin yang dilaksanakan oleh Lembaga Da’wah Kampus. Sepertinya, karena beberapa waktu terakhir sedang ramai pembahasan mengenai UU/RUU yang -bisa dikatakan- kontroversial, panitia pelaksana memutuskan untuk mengangkat tema yang berunsur politik.

“Kak, nanti sore mau ke kampus nggak?” tanyaku ke salah satu anak kontrakan, dalam rangka mencari temen untuk datang ke KAKTUS.

“Pengen.”

“Yaudah, bareng yuk.”

“Oke.”

Hari Senin adalah hari terakhirku di Sumbawa karena aku harus segera pergi ke pulau Jawa untuk memulai kewajibanku sebagai mahasiswa semester 7: magang. Yang sedikit bikin greget adalah aku memiliki beberapa agenda di hari Senin. Padahal aku adalah #AnakRumahan yang sudah tidak sering berhubungan dengan 'kesibukan' atau 'jadwal padet.'  Agendaku di hari Senin dimulai dengan jadwal syuro pukul 7 pagi (syuro apaan yang pagi banget?! Jam kegiatan outdoorku itu jam 8!), syuronya selesai ketika dhuhur, dilanjut dengan menghadiri seminar proposal seorang kawan, setelah itu kembali ke BTNEnt untuk mengemasi barang barang yang mau dibawa pergi. Well sebenernya tidak penting juga aku menjabarkan hal ini kepada kalian semua.

Honestly, aku tidak terbiasa menghadiri KAKTUS karena aku belum menjadikan datang ke kajian sebagai suatu kebutuhan yang harus aku penuhi. Sempat dilema sejenak, apakah aku harus datang ke KAKTUS atau segera membereskan isi koper (karena aku sama sekali belum siap-siap) agar aku bisa menyisihkan sedikit waktu untuk bertemu seseorang terlebih dahulu sebelum aku pergi dari Sumbawa. Kalau pembicaranya bukan pak Win, sudah pasti aku memilih untuk tidak hadir (lagi) di KAKTUS. Kalau aku tidak menemukan teman untuk datang ke KAKTUS, sepertinya aku akan memilih untuk berjibaku dengan koper.

Selepas sholat Ashar, aku berangkat ke kampus bareng anak kontrakan yang bernama kak Nisa. Kami berdua berniat hadir di KAKTUS.



"Politik bukan tentang mengukir sejarah tapi tentang mewariskan sesuatu. Bukan tentang eksistensi tapi tentang kondisi saat ini." Ujar pak Win yang mengisi kajian dengan menceritakan pengalaman yang beliau alami.

Ngomong-ngomong mengenai politik, selain kondisi politik negeri ini yang sedang ramai diperbincangkan, di UTS juga sedang berlangsung rangkaian kegiatan PEMIRA (Pemilihan Raya) untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden BEM UTS, serta pemilihan anggota DPM UTS. Makanya iklim politik di UTS sedang lumayan bergejolak. 

Dalam sesi tanya jawab, ada peserta kajian yang bertanya, "Figur pemimpin yang ideal itu seperti apa?"

"Wah, apa ya. Setiap pemimpin kan punya style memimpinnya masing masing. Bagi saya, pemimpin itu adalah yang memiliki keteguhan bahwa benar itu benar. Salah itu salah. Tidak memiliki beban terhadap kelompok atau golongan tertentu. Berpikir tentang kemaslahatan bersama. Siap digampar oleh teman sendiri. Siap difitnah oleh lawan lawannya. Sesungguhnya pemimpin itu hidup dalam kesunyian. Namun sesunyi sunyinya manusia, tetep masih ada Tuhan."

“Kak, kalau kekeuh dengan yang dianggap benar, itu artinya dia mempertahankan idealismenya ya?” tanyaku ke kak Nisa begitu mendengar jawaban dari pak Win.

“Iya. Tapi salah/benar kan abu-abu. Yang menurut kamu benar, bisa dianggap salah oleh orang lain.”

“Mungkin maksudnya, benar menurut Allah?”

“Bisa jadi.”



Dampak dari euforia Pemira terkadang bikin aku mikir, sebenernya apa yang kita lakukan itu sama saja dengan apa yang dilakukan para elite politik. Skalanya saja yang beda. Kadang kita mengkritisi politik yang pelaksanaannya tidak luberjurdil, ketika nyatanya kita juga begitu. Kadang kita mengecam suatu sifat politik, eh taunya kita juga melakukannya. Kan lucu. Aku sempat mendengar beberapa drama yang muncul selama Pemira. Lalu, bukan tidak mungkin pula topik ‘pembagian kekuasaan’  menjadi bahan perbincangan. Bacaanku memang bukan Risalah Pergerakan atau Api Sejarah. Diskusiku memang tidak berisi strategi politik atau isu mengenai kelompok tertentu. Jadi, pengamatan dan pemikiranku mungkin masih dangkal.

Siapapun yang akhirnya maju, akan dipoles dengan pencitraan. Sifat politik yang bernama kejujuran itu tidak ada, kalaupun ada, dia amat sangat langka. Ketika aku menulis ini, aku baru saja menonton debat kandidat Capres&Cawapres BEM UTS dan malah makin bingung menentukan pilihan. Iyasih aku nggak bisa menggunakan hak suaraku karena terkendala oleh jarak. Terkadang dalam memilih, kita harus siapkan satu wadah kosong untuk kekecewaan, entah paslon nomor urut satu atau paslon nomor urut dua yang akhirnya melanjutkan estafet perjuangan BEM UTS, pasti ada momen ketika sikap mereka mengecewakanmu. Bukan salah mereka untuk memberikan banyak janji dan kalimat manis di masa kampanye, karena itu adalah salah satu cara dalam berkompetisi.

Mirip seperti Hashirama dan Madara, mereka memiliki impian yang sama, cara mencapai impian yang berbeda. Nah, pertanyaannya adalah, kamu ingin turut serta berkontribusi untuk memakai cara yang mana?

Aku jadi bingung, kenapa saat kelas sepuluh, aku menjawab ‘pengen jadi politisi’ saat ditanya oleh wali kelas tentang cita-citaku. Setelah melihat perangai orang yang berubah karena politik, aku jadi tidak terlalu menyukai politik. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa esok lusa aku akan kembali menyukainya lagi~

"Orang orang bebas kepentingan selalu bergerak, maka InshaAllah negara ini baik baik saja." Tukas pak Win sebagai kalimat penutup dalam KAKTUS di Senin sore.

Mahasiswa seringkali diibaratkan sebagai pihak yang bebas kepentingan, namun di sisi lain, mahasiswa memiliki kepentingan dalam politik kampus, bukan?

salam penuh pertanyaan
shofwamn

ps: pengumuman resmi yang menyatakan wapresma naik jadi presma udah ada belum si? Siapa tahu aku kudet.

1 komentar