Serendipity Pertama di Bulan Juli

“Kurangi begadangnya,” mungkin merupakan kalimat yang hanya akan menambah daftar wacana-wacana kegiatan untuk mencapai healthy lifestyle yang sudah dipikirkan dan diniatkan namun tidak dilaksanakan.

Oh. Bukan tidak, tapi belum.

Aku nggak bisa mengingat kapan pertama kali aku terbiasa dengan rutinitas begadang (alias tidur larut malam). Apakah ketika SMP? Tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan novel Harry Potter kelima yang tebalnya lebih dari seribu halaman gara-gara durasi peminjaman buku di pondok hanya satu hari; hari Jum’at. Atau ketika SMA? Berkutat dengan catatan-catatan rangkuman untuk dipelajari ketika musim ujian datang. Atau ketika sudah berada di bangku kuliah? Ngebut membuat laporan, makalah, dan power point yang hendak dipresentasikan keesokan harinya.

Sebagai manusia yang sudah akrab dengan malam, tidur ketika tengah malam perlahan sudah menjadi kebiasaan dan terlelap di bawah jam sebelas malam adalah sesuatu yang langka. Anehnya, hal langka tersebut justru terjadi ketika aku memulai hari-hari pertama di sebuah rumah yang kusebut posko. Posko KKN.

KKN. Kuliah Kerja Nyata. Salah satu SKS mata kuliah yang harus dipenuhi oleh mahasiswa semester tujuh. Sebagai wadah dalam mengimplementasikan salah satu tridarma perguruan tinggi: pengabdian kepada masyarakat.

Malam itu aku masih terjaga ketika waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dini hari.

Apakah kalian termasuk kelompok para pembenci hari Senin?

Malam itu malam senin, telingaku tersumpal earphone yang tersambung dengan netbook, memutar salah satu lagu di antara kpop playlist songs berdurasi satu jam. Meski mataku fokus terhadap layar microsoft word yang tengah terbuka dan menampilkan tabel berisi daftar program kerja yang harus dilakukan selama bulan Juli, namun pikiranku membayangkan hal lain. Malam itu kerjaanku yang berhubungan dengan dokumen sudah selesai, namun mataku enggan menutup untuk sekadar istirahat.

Malam senin, tandanya ketika matahari pagi muncul, hari senin akan tiba.

Hari senin.

Jadwal aku piket.

Piket masak.

Untuk pertamakalinya dalam hidup, aku benar-benar membenci hari Senin.

Iya. Benci. Tarafnya sudah di tingkat ‘benci,’ bukan lagi sekadar tidak suka yang masih terkesan ‘oh gue nggak suka ini, tapi kayaknya gue nggak papa deh.

Ini benci. Kata yang menandakan ketidaksukaan yang mendalam sampai tidak ada perasaan suka lagi di dalamnya.

Hari senin pekan pertamaku berakhir dengan tidak terlalu baik (atau setidaknya, itulah yang aku ingat). Rasanya kemampuanku untuk bersyukur seakan mendadak sirna ketika aku berhadapan dengan hari senin, tetapi janji Tuhan selalu benar. Tuhan tidak akan memberi ujian yang melebihi kemampuan hambanya. Aku memang benci sama hari senin, dan kehadiran dua partner piket yang nggak neko-neko seakan bertujuan untuk meminimalisir perasaan benciku pada senin, karena mereka adalah cowok-cowok yang mau kerja dan punya inisiatif dalam urusan memasak.

Salah satu fakta yang baru aku sadari adalah, ternyata memasak adalah kegiatan super sensitif. memasak itu nggak ribet, tapi selera orang-orang yang membuatnya ribet.

Bermodal tidur satu jam, aku bangun dan langsung mencuci seabrek tumpukan alat makan yang kotor. Memikirkan bahwa harus memasak tiga kali makan untuk belasan manusia yang seleranya nggak sama bikin kepalaku pening dan gelisah.

Sejak kapan, sih, mindset bahwa perempuan itu harus bisa masak muncul?

Sejak kapan pekerjaan dapur itu tanggung jawab perempuan?

Ketika faktanya banyak juga perempuan yang tidak bisa membedakan mana lada, mana ketumbar. Mana kunyit, kencur, jahe, lengkuas.



Tiga pikiran yang mendominasiku ketika hari Senin: lauk makan pagi, lauk makan siang, lauk makan malam.

Tiga pikiran itu membuatku tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih sederhana seperti 'hari ini mau apdet status apa?' atau hal yang menyenangkan seperti menjadwalkan kunjungan ke posko temen.

Tapi, semesta seringkali bekerja dengan caranya sendiri.



“ayo kakak-kakak keluar semua, ada adek-adek bawa hadiah,” ujar salah satu anggota kelompokku ketika aku sedang berbaring di dalam kamar –mengumpulkan niat untuk melaksanakan kegiatan sore-

Anak-anak kecil yang tinggal di sekitar poskoku memang unik, beberapa hari sebelumnya mereka juga datang membawa hadiah, nggak tanggung-tanggung, hadiahnya sampai dibungkus kertas kado.

Senin sore mereka membawa kejutan lagi, satu plastik hitam besar tergeletak di ruang tamu. Kuterka ada lebih banyak lagi kado yang mereka siapkan untuk kami.

Aku nggak terlalu bisa berbaur dengan anak kecil, jadi selama salah satu program kelompokku yang konsepnya belajar sembari bermain dan diberi judul Stober Mengabdi berjalan, aku hanya sesekali bergabung dan lebih memilih melakukan hal lain daripada harus berhadapan dengan anak-anak.

“Kakak shofwa juga dapat hadiah, saya nulisnya untuk kakak Barbie.” Celetuk seorang anak ketika aku muncul di ruang tamu.

Wkwkwkw.

Kakak Barbie dong.

Sore itu, untuk sesaat aku melupakan kepenatanku tentang masakan apa yang harus aku buat untuk menu makan malam. Ketika aku mendengar aku juga mendapat hadiah, aku berusaha kalem padahal dalam hati super penasaran, “kok bisa gue dapat hadiah?” “gue dapat hadiah apa ya?” 

Ada satu anak, cowok, meraih plastik besar itu dan membagikan bungkusan hadiah sesuai dengan nama kakak yang tertulis di kertas kadonya. Sampai di bungkusan terakhir, namaku nggak disebut, aku kan jadi skeptis; “beneran ni gue dapat hadiah? Tapi kok gue kaga dapat bungkusan kado?”

Di dalam plastik hitam yang mereka bawa, ada beberapa bungkusan yang sudah dilapisi kertas kado berwarna kuning, di antara bungkusan-bungkusan itu, ada bungkusan yang paling besar, seukuran kardus montea. Ternyata isi dari kardus itu adalah kumpulan hadiah dari banyak anak, mungkin mereka kehabisan kertas kado dan berinisiatif untuk mengkolektifkan hadiah mereka jadi satu. Irit kertas. Nah, hadiahku ada di dalam kardus tersebut.

Kardus tersebut berisi macam-macam barang, ada makanan, biskuit, sabun mandi, sandal, buku tulis, mangga, wafer, dan gelang.



Entah takdir apa yang mampir untuk kelompok KKNku, kami mendapat tempat untuk mengabdi di sebuah desa bernama Stowe Brang yang memiliki lima dusun, tujuh belas RT, dan lebih dari 700 KK. Wilayah desa yang memanjang sekitar delapan kilometer secara otomatis membuat kami tidak bisa melaksanakan program Stober Mengabdi hanya di satu tempat saja. Alhasil bersama dengan empat orang teman kelompokku, kami berlima pergi ke sebuah dusun yang letaknya tiga kilometer dari posko untuk menginisiasi kegiatan Stober Mengabdi di dusun yang berbeda, dusun Batu Rea.

Kami berangkat pukul empat sore, sempat tertahan sebentar dikarenakan anak-anak kecil di posko yang memaksa untuk unboxing hadiah yang sudah mereka bawa.

Begitu kami sampai di masjid tempat kegiatan Stober Mengabdi akan dilakukan.

DEMI APA RAME BANGET?!

 Sudah kubilang aku tidak terlalu bisa berbaur dengan anak kecil, melihat kumpulan anak-anak yang memenuhi masjid langsung memunculkan rasa cemasku. Gimana sih, udah dari pagi kepikiran mulu gara-gara piket, terus ditambah kepikiran juga karena harus ngomong di depan anak-anak.

Aku memandang anak-anak sebagai manusia yang belum memiliki dosa dan masih polos, mereka memiliki gaya belajar modelling yang tinggi. Apalagi aku menghormati parenting style setiap orang tua, makanya aku lebih suka berinteraksi seperlunya dengan mereka tanpa harus memberi nasihat atau memarahi.

Kami hanya mengenalkan diri, menyanyi, menari, serta melakukan kegiatan-kegiatan ringan lain untuk membangun raport antara anggota KKN dengan anak-anak di pertemuan pertama. Pertemuan sore itu ditutup dengan foto bersama, nah, ketika sesi foto ini ada tiga bocah yang tiba-tiba nyamperin aku seperti rebutan pengen duduk di deket aku untuk sesi foto bersama. Wkwkwk gemes.

Di perjalanan balik ke posko, salah satu anggota KKN yang kupanggil kak Laily memberi usulan untuk catching sunset di daerah Labuhan Bajo.

Bukan Labuhan Bajo di NTT yang terkenal sebagai destinasi wisata.

Ini Labuhan Bajo di Sumbawa yang juga merupakan salah satu lokasi pengabdian KKN UTS 2019.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang sedikit dan golden hour sedang berlangsung ketika aku, kak Laily, Shella, dan Iis tiba di pesisir pantai Labuhan Bajo.



Melihat panorama matahari terbenam, rasanya susah membayangkan ada orang yang tidak pernah terpesona akan keindahannya.

Lagi-lagi, garis takdir mempertemukan kami dengan empat gadis kecil yang super ceria.

Aila, Aina, Dena, dan Lena.



Ketika aku mengatakan mereka adalah gadis-gadis kecil yang super ceria, aku tidak mengada-ngada, ketawa muluuuu, they act like their life fulfilled by happiness things. Well, tentu saja selalu merasa bahagia itu tidak baik, tapi, paham nggak sih kalian? Ketika mendengar tawa mereka padahal kamu cuma nanya nama, ketika mereka responsif untuk setiap pertanyaan yang kamu ajukan, rasanya kamu seperti ketularan perasaan ringan tanpa beban.

Meskipun aku memang tidak bisa berbaur dengan anak kecil, tapi prinsip aku adalah 'kalau gue diterima anak-anak, gue juga akan menerima mereka. Kalau gue ditolak anak-anak, gue nggak akan mengerahkan banyak tenaga untuk pedekate sama mereka.'

Nah. Keempat gadis kecil yang aku temui bener-bener friendly. Aku kan jadi seneng berinteraksi dengan mereka .

 “Kalian bisa berenang?”

“BISA!”

“Waaah, kakak kalah sama kalian dong. Kakak nggak jago renang.”

“Kita renang yuk, kak?”

“Kapan?”

“Hari Minggu pagi.”

Aku dan kak Laily bertukar pandang, hari Minggu memang udah disepakati sebagai hari libur posko.

“Okedeh. Hari minggu kalian ngajarin kakak renang, ya.” Ujar kak Laily.

Keempat gadis kecil itu langsung tertawa lepas sembari menganggukkan kepala, sepertinya  senang membayangkan janji yang baru saja dibuat.

“Jam tujuh ya kak, nanti aku pakai kostum mermaid.”

Kami berdua mengangguk meski anggukanku disertai oleh sedikit keraguan karena mengingat satu agenda pribadi yang sudah dijadwalkan di hari Minggu.

Setelah itu kami semua sempat mengobrol sebentar, membuat video pendek, selfie bersama, dan tidak lupa menikmati matahari terbenam.

“Beneran ya kak! Jam tujuh pagi hari minggu.”

 Mereka melepas kepergian kami dengan mengulang sebuah janji.



Aku meninggalkan Labuhan Bajo di tengah perasaan apakah janji yang dibuat akan terwujud atau tidak. Menerka-nerka apakah minggu pagi aku bisa pergi ke pesisi pantai Labuhan Bajo dan bertemu kembali dengan empat gadis kecil itu. Di dunia ini emang banyak banget janji-janji palsu dan ucapan-ucapan yang dilontarkan tanpa niat serius. Sama seperti ketika bertamu ke rumah orang terus dibilang “anggap aja rumah sendiri” padahal itu hanya kalimat basa-basi, atau bercerita hendak melakukan perjalanan lalu ngomong “kamu ikut juga yuk?” ke lawan bicara padahal belum tentu kalimat ajakan itu merupakan ajakan serius. Sayangnya, anak-anak kecil belum paham dengan basa-basi seperti itu, ketika kita janji A, maka ia akan mengingat A sebagai janji yang akan ditepati.

Ketika kami berjanji akan kembali di Minggu pagi, bisa jadi mereka pulang ke rumah dan bercerita dengan semangat ke mamanya, “Ma, hari minggu aku mau renang sama kakak-kakak pake kostum mermaid.”

Ketika kami berjanji akan kembali di Minggu pagi, bisa jadi mereka menghitung hari dan tidak sabar menunggu hari Minggu tiba.

Aku hanya nggak mau mereka mendapatkan omong kosong belaka dari kami, karena memang sudah seharusnya janji dibuat untuk ditepati. Bukan untuk diingkari, dilupakan, atau sekadar basa-basi.

“Kak, kita janji ke anak kecil.” Ujarku.

“Iya Wa, padahal kita nggak punya kontak mereka. Nggak tau juga mereka bakalan inget apa enggak wkwk.”

“Kalau mereka janji ke kita dan nggak ditepati mah gapapa, sapa tau mereka nggak bangun pagi atau nggak diizinkan orang tuanya. Tapi kalau kita yang mengingkari janji, rasanya kok jahat banget.”

Kak Laily mengangguk, “kita mengandalkan kepercayaan yang padahal bisa ingkar.”

Ketika sampai posko, janji pertemuan itu mendadak lenyap dari pikiran karena aku teringat akan satu tugas yang belum aku kerjakan.

MASAK UNTUK MAKAN MALAM!

salam,
shofwamn

0 komentar