Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller
Lagi-lagi yang terpikirkan untuk membuka postingan ini adalah istilah yang tidak asing lagi di telinga manusia-manusia yang tengah mencari jati diri atau sedang menghadapi tantangan kehidupan: zona nyaman.

Oke. Sebenarnya judul postingan ini bukan diperuntukkan secara khusus untuk pembahasan mengenai zona nyaman. ayolah, hal tersebut sudah terlalu membosankan, bukan?

Hingga saat ini, istilah 'keluar dari zona nyaman' masih merupakan istilah yang membuatku berada di pihak kontra. Istilah tersebut seakan menyuruh kita untuk pergi meninggalkan zona nyaman yang kita miliki. Kenapa sih harus keluar dari zona nyaman? do SHOULD we go outta our comfort zone?

Banyak orang yang pada akhirnya menjawab dengan kalimat, "Kamu nggak bakal tau kalau nggak nyoba keluar dari zona nyaman."

Nah. Tapi kenapa pula aku harus mencoba hal tersebut? Dan juga, haruskah aku membahas zona nyaman secara spesifik di postingan ini?

Kurasa, tidak.

Mari kita membahas hal lain aja, misalnya membahas tentang perasaan.

cr: pinterest


Nama perasaannya, iri.

Iri /a/ merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain; cemburu; sirik; dengki.

Sederhana, bukan? Siapa coba yang nggak kenal dengan iri? Siapa coba yang tidak pernah merasakan iri?

Perasaan iri  sebenarnya perasaan yang normal dan wajar dirasakan. Kadangkala aku bisa merasa iri untuk hal-hal sepele yang tidak masuk akal. Misalnya ketika melihat seseorang memposting tengah makan di suatu tempat yang enak dan belum pernah kukunjungi. Ketika seorang teman memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah. Aku bisa iri hanya dengan melihat orang lain memposting tangkapan layar percakapannya dengan seseorang. Ini hanya beberapa contoh saja. Namun ini hanyalah perasaan iri yang temporer dan tidak selalu ada, munculnya ketika emang lagi mode mudah merasa sirik.

Nggak bisa dipungkiri, perasaan ingin ‘membagikan’ sesuatu itu sifatnya fluktuatif, kadang pengen menghindari publisitas, terkadang menggebu ingin membagikan sesuatu. Aku nggak menampik bahwa aku juga lumayan sering membagikan cuplikan kehidupan pribadiku ke sosial media. Maka dari itu aku pun sadar bahwa apa yang aku bagikan juga berpotensi menimbulkan rasa iri bagi orang lain.

Memang hidup berdampingan dengan sosial media ini ngeri-ngeri sedap.



Aku tau membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain itu nggak bagus, tapi ada momen di mana mau nggak mau aku harus membandingkan dan perilaku membandingkan tersebut malah bikin aku insecure. Realitanya adalah terdapat hal-hal yang tidak bisa aku lampaui, yang tidak bisa aku miliki dengan mudah namun mampu dimiliki oleh orang lain dengan usaha yang lebih sedikit dan hal tersebut yang bikin suck. 

Pernah nggak sih mikir, “pengen deh jadi orang seperti dia.”

Bukan karena kamu nggak punya sisi baik, lebih karena sisi baikmu tidak bisa melampaui sisi baik dia. Bukan karena kamu tidak punya keistimewaan, namun lebih karena keistimewaan yang kamu punya ternyata merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja bagi dia.

Gue pinter, dia lebih pinter.

Gue rajin, dia lebih rajin.

Gue sering senyum, dia lebih sering.

Gue jago ngomong, dia jarang ngomong. Tapi kalau dia mencoba, dia bakalan lebih jago daripada gue.

cr: pinterest

Pada bulan April tahun ini, aku mengikuti pelatihan konselor, dalam rangkaian kegiatan pelatihan tersebut ada sesi saat peserta diminta untuk menulis satu kata yang mengingatkan pada emosi negatif. Satu kata yang dibenci. Satu kata yang mewakili seluruh emosi negatif. Ketika mendengar instruksi tersebut, asli aku merasa bingung, karena aku sedang dalam kondisi emosi stabil (ceileh) jadi rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili emosi negatif. Aku memandang setengah bagian kertas A4 yang diberikan kepadaku dengan pandangan menerawang “mau nulis apaan?” “kata apa yang bisa aku tulis di kertas kosong ini?”

Kemudian selama beberapa saat, aku seakan teringat akan kunjunganku ke Pojok Curhat jauh sebelum aku mengikuti pelatihan konselor. Pojok Curhat merupakan ruang untuk berbagi keluh kesah yang dijamin kerahasiannya dan dikelola oleh mahasiswi Fakultas Psikologi yang sudah lolos seleksi sebagai konselor Pojok Curhat. Bagiku, keberadaan Pojok Curhat harus dimanfaatkan, apalagi beberapa konselor pojok curhat adalah orang yang sudah aku percaya.

Durasi sesi konseling di Pojok Curhat adalah 45 menit. Dalam 45 menit yang kumiliki, aku mencurahkan isi hatiku (asoy isi hati wkwk), mulanya hanya obrolan biasa, namun secara perlahan aku menceritakan rasa khawatirku akan peristiwa yang akan terjadi di masa depan, pada akhirnya aku mengakui bahwa aku sedang berusaha mengelola perasaan iri.

Bukan perasaan iri karena hal sepele yang contohnya kutulis di awal postingan. Ini adalah perasaan iri yang lebih kompleks. Karena suaraku sempat tercekat dan hampir menangis di sela-sela 45 menit yang aku habiskan bersama salah satu konselor. Rasanya kok perasaan ini sungguh berat, semacam sudah mengakar kuat. Aku khawatir akan rasa iri yang kelak hadir ketika aku bukanlah siapa-siapa. Rasa iri mengingatkanku ketika aku tidak bisa sebermanfaat orang lain. Membuatku termenung oleh kesempatan yang tidak bisa kumiliki. Membuatku kerdil ketika mengingat kemampuan yang dimiliki orang lain.

Ah, buruk sekali dampak dari perasaan iri ini.

Apakah sesi Pojok Curhat membantuku? tentu saja iya.

Apakah kemudian aku tidak merasa iri lagi? haha, impossible zeyeng.

Perasaan hadir bukan untuk dilenyapkan. Bukan untuk ditolak kehadirannya. Perasaan hadir untuk membuat kita belajar mengenai makna perasaan itu sendiri dan menerimanya dengan lapang dada.

Ingatanku tentang Pojok Curhat membuatku menulis kata IRI sebagai kata yang mewakili emosi negatifku. ketika melihat tulisan IRI, napasku langsung tertahan:') aku sadar bahwa aku sudah memilih kata yang tepat. 

Selain menuliskan kata yang mewakili emosi negatif, peserta pelatihan konselor juga diminta untuk menulis kata yang menjadi penetralisirnya. Aku kembali bingung. Memangnya kata apa yang bisa meredakan rasa iriku?

Hingga satu kata muncul di benak: cukup.

Manusia adalah makhluk yang memiliki hawa nafsu, mustahil mudah merasa puas. Cukup menjadi rem bagi diriku untuk tidak terlalu berkontribusi di bidang yang tidak aku senangi dan tidak aku kuasai. Cukup menjadi mantra sakti yang mampu meredam ambisiku (jika ia ada, soalnya aku juga bukan sosok yang ambisius terhadap segala sesuatu). Seringkali, kehadiran kata cukup dapat menenangkanku.

Setelah menuliskan kata 'cukup,' aku langsung menarik napas panjang, kemudian hati terasa sedikit lebih ringan.

cr: pinterest


Sayangnya, rasa iri ini secara kurang ajar tetap awet mengakar ketika pada bulan Juli aku mendengar suatu fakta yang tidak aku ketahui sebelumnya, pun tidak pernah aku bayangkan. Malam itu hanyalah panggilan video (video call) biasa di sela-sela kejenuhan rutinitas KKN, entah apa pemicunya namun panggilan video tersebut berakhir dengan suatu fakta yang baru aku ketahui. Terkadang aku tidak siap dengan informasi yang begitu mendadak. 

Apakah fakta tersebut mengenai diriku? tidak.
Apakah fakta tersebut mengusikku? iya.

Kesel banget di pertengahan KKN malah memikirkan sesuatu yang menurutku kekanakan, secara harfiah aku bukan terusik oleh fakta tersebut, aku terusik karena segala kilas balik yang berhubungan dengan fakta tersebut langsung hadir: dugaan buruk di awal tahun yang menjadi realita, obrolan tengah malam, perasaan inferior yang begitu tinggi, dan emosi negatif yang mendominasi hati. Meskipun kesel, tapi aku menikmatinya (eh, gimana sih) karena momen ketika aku menutup panggilan video dengan perasaan terkejut bersamaan dengan momen ketika mood dalam menjalankan KKN secara penuh semangat jiwa dan raga mengabdikan diri pada masyarakat sedang berada di titik rendah. Intinya, KKN lebih mengesalkan daripada fakta tersebut.

Well, sepertinya mood aku untuk KKN emang selalu di titik rendah akibat dari kehilangan minat melakukan pergerakan. Terkecuali di episode bertemu gadis-gadis cilik pesisir Labuhan Bajo.

Di sisi lain, fakta tersebut membuatku teringat oleh sebuah hubungan yang sudah di taraf komunikasi yang begitu renggang, hingga memunculkan pikiran 'sudah seperti apa sosoknya? seberapa banyak dia berubah? apakah aku masih mengenalnya?'

Di tengah-tengah keterkejutan oleh fakta tersebut, aku kecantol oleh lagu Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti. Auto addicted. Aku juga bingung kenapa liriknya bisa ngena banget?! Apakah efek dari KKN yang begitu nano-nano? Apakah efek dari informasi mendadak yang berisi suatu fakta? Atau karena keduanya?

Sebenernya aku tau bahwa alasannya adalah karena lirik lagu yang relatable dengan kenyataan~ misalnya bait pertama mewakili kejadian A, bait kedua mewakili kejadian B, hmm... akan terlalu banyak kalimat tidak berguna yang tertulis jika aku menjabarkan alasannya dengan panjang lebar.

Semenjak telinga dan hatiku kecantol oleh lirik Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti, sisa waktu KKN aku habiskan dengan memutar lagu itu secara terus menerus.



Jatuh dan tersungkur di tanah aku
Berselimut debu sekujur tubuhku
Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat


Yang ...
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Di mana ada musim yang menunggu?

Meranggas merapuh
Berganti dan luruh
Bayang yang berserah
Terang di ujung sana

Kadangkala aku ingin memaki diriku sendiri yang lebih memilih kabur dari masalah daripada menghadapi masalah tersebut. Lebih memilih diam dan tidak meminta penjelasan, bersikap 'sok nggak tau padahal tau' dan berakhir dengan waktu-waktu penuh perenungan.

September datang dengan sebuah beban pikiran yang sebenarnya bisa tidak kupedulikan, namun pada akhirnya aku mengambil keputusan yang berbeda dari yang sudah-sudah. Tanpa tahu apakah keputusan ini akan berakhir baik atau malah memperburuk keadaan yang sudah ada. 

Ketika aku takut ditinggalkan, namun pada kenyataannya aku malah menjadi pihak yang meninggalkan. Tolong dong seseorang marahin aku akan sifat jelekku ini, sungguh egois!

Lagu Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti milik Banda Neira tidak bertahan lama menduduki posisi lagu yang paling sering diputar, karena ketika Oktober datang, aku nyaris tidak pernah lagi mendengar lagu tersebut terputar di gawai milikku.

Dan ketika aku mencoba mendengarnya lagi ketika sedang mengetik naskah postingan ini pada awal Desember, aku tidak merasakan apapun.
salam sayang,
shofwamn

Facebook tetap menjadi media favorit untuk berekspresi bagi orang dewasa yang tidak terlalu akrab dengan media sosial lain. Meski sudah lama tidak membuat status apa-apa di facebook, bukan berarti aku berhenti menggunakannya. Kadang facebook masih menjadi tempat yang tepat untuk belajar kesederhanaan dari tulisan Tere Liye, stalking masa lalu milik seseorang, atau membaca status yang ditulis oleh orang-orang keren.

Contoh untuk orang keren yang aku maksud misalnya adalah pak Win.

Bernama lengkap Win Ariga Mansur Malonga, kala itu masih menjabat sebagai Wakil Rektor III ketika aku berada dalam kepanitiaan RESPEK. Lebih akrab disapa dengan panggilan pak Win, saat ini beliau bukan lagi Wakil Rektor III, jabatan tersebut sudah beliau tinggalkan beberapa bulan lalu karena beliau mendapatkan scholarship untuk melanjutkan studi di Polandia.

Memiliki public speaking yang apik, rasanya aku belum pernah merasa bosan setiap mendengar pak Win berbicara. Pertamakali bertemu dengan beliau adalah ketika penerimaan mahasiswa baru di asrama UTS. Pak Win memberi kesan pertama yang kuat, dengan wibawa dan ketegasan dalam setiap kalimat yang beliau lontarkan.

Di awal bulan September, aku menemukan status facebook pak Win yang tengah membicarakan tentang program gubernur untuk menguliahkan putra-putri NTB ke luar negeri, aku terkejut begitu membaca kalimat terakhir dari status facebook tersebut.

Kapal Legundi, menuju NTB tercinta, 10 September 2019.

WAIT, PAK WIN KE INDONESIA?!

KE NTB?

KE SUMBAWA DONG?!

“Apakah pak Win akan mampir ke UTS?” adalah pertanyaan yang pertama kali muncul di benak, setengah hati ingin berjumpa dengan beliau untuk mendengar beliau berbicara, setengah hati lagi mikir 'apakah cuma gue yang kangen dengan cuap-cuapnya pak Win?' 

Berasa jadi fans yang gembira berlebihan karena tau idolanya sedang di pulau yang sama.

Wkwkwk. Dasar alay.

Pengen jumpa tapi yang nggak pengen-pengen banget, pengen tapi yang semisal memang tidak ada kesempatan, yaudah.

Dan hatiku senang begitu melihat poster ini



Sebenarnya KAKTUS merupakan nama untuk kajian rutin yang dilaksanakan oleh Lembaga Da’wah Kampus. Sepertinya, karena beberapa waktu terakhir sedang ramai pembahasan mengenai UU/RUU yang -bisa dikatakan- kontroversial, panitia pelaksana memutuskan untuk mengangkat tema yang berunsur politik.

“Kak, nanti sore mau ke kampus nggak?” tanyaku ke salah satu anak kontrakan, dalam rangka mencari temen untuk datang ke KAKTUS.

“Pengen.”

“Yaudah, bareng yuk.”

“Oke.”

Hari Senin adalah hari terakhirku di Sumbawa karena aku harus segera pergi ke pulau Jawa untuk memulai kewajibanku sebagai mahasiswa semester 7: magang. Yang sedikit bikin greget adalah aku memiliki beberapa agenda di hari Senin. Padahal aku adalah #AnakRumahan yang sudah tidak sering berhubungan dengan 'kesibukan' atau 'jadwal padet.'  Agendaku di hari Senin dimulai dengan jadwal syuro pukul 7 pagi (syuro apaan yang pagi banget?! Jam kegiatan outdoorku itu jam 8!), syuronya selesai ketika dhuhur, dilanjut dengan menghadiri seminar proposal seorang kawan, setelah itu kembali ke BTNEnt untuk mengemasi barang barang yang mau dibawa pergi. Well sebenernya tidak penting juga aku menjabarkan hal ini kepada kalian semua.

Honestly, aku tidak terbiasa menghadiri KAKTUS karena aku belum menjadikan datang ke kajian sebagai suatu kebutuhan yang harus aku penuhi. Sempat dilema sejenak, apakah aku harus datang ke KAKTUS atau segera membereskan isi koper (karena aku sama sekali belum siap-siap) agar aku bisa menyisihkan sedikit waktu untuk bertemu seseorang terlebih dahulu sebelum aku pergi dari Sumbawa. Kalau pembicaranya bukan pak Win, sudah pasti aku memilih untuk tidak hadir (lagi) di KAKTUS. Kalau aku tidak menemukan teman untuk datang ke KAKTUS, sepertinya aku akan memilih untuk berjibaku dengan koper.

Selepas sholat Ashar, aku berangkat ke kampus bareng anak kontrakan yang bernama kak Nisa. Kami berdua berniat hadir di KAKTUS.



"Politik bukan tentang mengukir sejarah tapi tentang mewariskan sesuatu. Bukan tentang eksistensi tapi tentang kondisi saat ini." Ujar pak Win yang mengisi kajian dengan menceritakan pengalaman yang beliau alami.

Ngomong-ngomong mengenai politik, selain kondisi politik negeri ini yang sedang ramai diperbincangkan, di UTS juga sedang berlangsung rangkaian kegiatan PEMIRA (Pemilihan Raya) untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden BEM UTS, serta pemilihan anggota DPM UTS. Makanya iklim politik di UTS sedang lumayan bergejolak. 

Dalam sesi tanya jawab, ada peserta kajian yang bertanya, "Figur pemimpin yang ideal itu seperti apa?"

"Wah, apa ya. Setiap pemimpin kan punya style memimpinnya masing masing. Bagi saya, pemimpin itu adalah yang memiliki keteguhan bahwa benar itu benar. Salah itu salah. Tidak memiliki beban terhadap kelompok atau golongan tertentu. Berpikir tentang kemaslahatan bersama. Siap digampar oleh teman sendiri. Siap difitnah oleh lawan lawannya. Sesungguhnya pemimpin itu hidup dalam kesunyian. Namun sesunyi sunyinya manusia, tetep masih ada Tuhan."

“Kak, kalau kekeuh dengan yang dianggap benar, itu artinya dia mempertahankan idealismenya ya?” tanyaku ke kak Nisa begitu mendengar jawaban dari pak Win.

“Iya. Tapi salah/benar kan abu-abu. Yang menurut kamu benar, bisa dianggap salah oleh orang lain.”

“Mungkin maksudnya, benar menurut Allah?”

“Bisa jadi.”



Dampak dari euforia Pemira terkadang bikin aku mikir, sebenernya apa yang kita lakukan itu sama saja dengan apa yang dilakukan para elite politik. Skalanya saja yang beda. Kadang kita mengkritisi politik yang pelaksanaannya tidak luberjurdil, ketika nyatanya kita juga begitu. Kadang kita mengecam suatu sifat politik, eh taunya kita juga melakukannya. Kan lucu. Aku sempat mendengar beberapa drama yang muncul selama Pemira. Lalu, bukan tidak mungkin pula topik ‘pembagian kekuasaan’  menjadi bahan perbincangan. Bacaanku memang bukan Risalah Pergerakan atau Api Sejarah. Diskusiku memang tidak berisi strategi politik atau isu mengenai kelompok tertentu. Jadi, pengamatan dan pemikiranku mungkin masih dangkal.

Siapapun yang akhirnya maju, akan dipoles dengan pencitraan. Sifat politik yang bernama kejujuran itu tidak ada, kalaupun ada, dia amat sangat langka. Ketika aku menulis ini, aku baru saja menonton debat kandidat Capres&Cawapres BEM UTS dan malah makin bingung menentukan pilihan. Iyasih aku nggak bisa menggunakan hak suaraku karena terkendala oleh jarak. Terkadang dalam memilih, kita harus siapkan satu wadah kosong untuk kekecewaan, entah paslon nomor urut satu atau paslon nomor urut dua yang akhirnya melanjutkan estafet perjuangan BEM UTS, pasti ada momen ketika sikap mereka mengecewakanmu. Bukan salah mereka untuk memberikan banyak janji dan kalimat manis di masa kampanye, karena itu adalah salah satu cara dalam berkompetisi.

Mirip seperti Hashirama dan Madara, mereka memiliki impian yang sama, cara mencapai impian yang berbeda. Nah, pertanyaannya adalah, kamu ingin turut serta berkontribusi untuk memakai cara yang mana?

Aku jadi bingung, kenapa saat kelas sepuluh, aku menjawab ‘pengen jadi politisi’ saat ditanya oleh wali kelas tentang cita-citaku. Setelah melihat perangai orang yang berubah karena politik, aku jadi tidak terlalu menyukai politik. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa esok lusa aku akan kembali menyukainya lagi~

"Orang orang bebas kepentingan selalu bergerak, maka InshaAllah negara ini baik baik saja." Tukas pak Win sebagai kalimat penutup dalam KAKTUS di Senin sore.

Mahasiswa seringkali diibaratkan sebagai pihak yang bebas kepentingan, namun di sisi lain, mahasiswa memiliki kepentingan dalam politik kampus, bukan?

salam penuh pertanyaan
shofwamn

ps: pengumuman resmi yang menyatakan wapresma naik jadi presma udah ada belum si? Siapa tahu aku kudet.
“Kurangi begadangnya,” mungkin merupakan kalimat yang hanya akan menambah daftar wacana-wacana kegiatan untuk mencapai healthy lifestyle yang sudah dipikirkan dan diniatkan namun tidak dilaksanakan.

Oh. Bukan tidak, tapi belum.

Aku nggak bisa mengingat kapan pertama kali aku terbiasa dengan rutinitas begadang (alias tidur larut malam). Apakah ketika SMP? Tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan novel Harry Potter kelima yang tebalnya lebih dari seribu halaman gara-gara durasi peminjaman buku di pondok hanya satu hari; hari Jum’at. Atau ketika SMA? Berkutat dengan catatan-catatan rangkuman untuk dipelajari ketika musim ujian datang. Atau ketika sudah berada di bangku kuliah? Ngebut membuat laporan, makalah, dan power point yang hendak dipresentasikan keesokan harinya.

Sebagai manusia yang sudah akrab dengan malam, tidur ketika tengah malam perlahan sudah menjadi kebiasaan dan terlelap di bawah jam sebelas malam adalah sesuatu yang langka. Anehnya, hal langka tersebut justru terjadi ketika aku memulai hari-hari pertama di sebuah rumah yang kusebut posko. Posko KKN.

KKN. Kuliah Kerja Nyata. Salah satu SKS mata kuliah yang harus dipenuhi oleh mahasiswa semester tujuh. Sebagai wadah dalam mengimplementasikan salah satu tridarma perguruan tinggi: pengabdian kepada masyarakat.

Malam itu aku masih terjaga ketika waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dini hari.

Apakah kalian termasuk kelompok para pembenci hari Senin?

Malam itu malam senin, telingaku tersumpal earphone yang tersambung dengan netbook, memutar salah satu lagu di antara kpop playlist songs berdurasi satu jam. Meski mataku fokus terhadap layar microsoft word yang tengah terbuka dan menampilkan tabel berisi daftar program kerja yang harus dilakukan selama bulan Juli, namun pikiranku membayangkan hal lain. Malam itu kerjaanku yang berhubungan dengan dokumen sudah selesai, namun mataku enggan menutup untuk sekadar istirahat.

Malam senin, tandanya ketika matahari pagi muncul, hari senin akan tiba.

Hari senin.

Jadwal aku piket.

Piket masak.

Untuk pertamakalinya dalam hidup, aku benar-benar membenci hari Senin.

Iya. Benci. Tarafnya sudah di tingkat ‘benci,’ bukan lagi sekadar tidak suka yang masih terkesan ‘oh gue nggak suka ini, tapi kayaknya gue nggak papa deh.”

Ini benci. Kata yang menandakan ketidaksukaan yang mendalam sampai tidak ada perasaan suka lagi di dalamnya.

Hari senin pekan pertamaku berakhir dengan tidak terlalu baik (atau setidaknya, itulah yang aku ingat). Rasanya kemampuanku untuk bersyukur seakan mendadak sirna ketika aku berhadapan dengan hari senin, tetapi janji Tuhan selalu benar. Tuhan tidak akan memberi ujian yang melebihi kemampuan hambanya. Aku memang benci sama hari senin, dan kehadiran dua partner piket yang nggak neko-neko seakan bertujuan untuk meminimalisir perasaan benciku pada senin, karena mereka adalah cowok-cowok yang mau kerja dan punya inisiatif dalam urusan memasak.

Salah satu fakta yang baru aku sadari adalah, ternyata memasak adalah kegiatan super sensitif. memasak itu nggak ribet, tapi selera orang-orang yang membuatnya ribet.

Bermodal tidur satu jam, aku bangun dan langsung mencuci seabrek tumpukan alat makan yang kotor. Memikirkan bahwa harus memasak tiga kali makan untuk belasan manusia yang seleranya nggak sama bikin kepalaku pening dan gelisah.

Sejak kapan, sih, mindset bahwa perempuan itu harus bisa masak muncul?

Sejak kapan pekerjaan dapur itu tanggung jawab perempuan?

Ketika faktanya banyak juga perempuan yang tidak bisa membedakan mana lada, mana ketumbar. Mana kunyit, kencur, jahe, lengkuas.



Tiga pikiran yang mendominasiku ketika hari Senin: lauk makan pagi, lauk makan siang, lauk makan malam.

Tiga pikiran itu membuatku tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih sederhana seperti 'hari ini mau apdet status apa?' atau hal yang menyenangkan seperti menjadwalkan kunjungan ke posko temen.

Tapi, semesta seringkali bekerja dengan caranya sendiri.



“ayo kakak-kakak keluar semua, ada adek-adek bawa hadiah,” ujar salah satu anggota kelompokku ketika aku sedang berbaring di dalam kamar –mengumpulkan niat untuk melaksanakan kegiatan sore-

Anak-anak kecil yang tinggal di sekitar poskoku memang unik, beberapa hari sebelumnya mereka juga datang membawa hadiah, nggak tanggung-tanggung, hadiahnya sampai dibungkus kertas kado.

Senin sore mereka membawa kejutan lagi, satu plastik hitam besar tergeletak di ruang tamu. Kuterka ada lebih banyak lagi kado yang mereka siapkan untuk kami.

Aku nggak terlalu bisa berbaur dengan anak kecil, jadi selama salah satu program kelompokku yang konsepnya belajar sembari bermain dan diberi judul Stober Mengabdi berjalan, aku hanya sesekali bergabung dan lebih memilih melakukan hal lain daripada harus berhadapan dengan anak-anak.

“Kakak shofwa juga dapat hadiah, saya nulisnya untuk kakak Barbie.” Celetuk seorang anak ketika aku muncul di ruang tamu.

Wkwkwkw.

Kakak Barbie dong.

Sore itu, untuk sesaat aku melupakan kepenatanku tentang masakan apa yang harus aku buat untuk menu makan malam. Ketika aku mendengar aku juga mendapat hadiah, aku berusaha kalem padahal dalam hati super penasaran, “kok bisa gue dapat hadiah?” “gue dapat hadiah apa ya?” 

Ada satu anak, cowok, meraih plastik besar itu dan membagikan bungkusan hadiah sesuai dengan nama kakak yang tertulis di kertas kadonya. Sampai di bungkusan terakhir, namaku nggak disebut, aku kan jadi skeptis; “beneran ni gue dapat hadiah? Tapi kok gue kaga dapat bungkusan kado?”

Di dalam plastik hitam yang mereka bawa, ada beberapa bungkusan yang sudah dilapisi kertas kado berwarna kuning, di antara bungkusan-bungkusan itu, ada bungkusan yang paling besar, seukuran kardus montea. Ternyata isi dari kardus itu adalah kumpulan hadiah dari banyak anak, mungkin mereka kehabisan kertas kado dan berinisiatif untuk mengkolektifkan hadiah mereka jadi satu. Irit kertas. Nah, hadiahku ada di dalam kardus tersebut.

Kardus tersebut berisi macam-macam barang, ada makanan, biskuit, sabun mandi, sandal, buku tulis, mangga, wafer, dan gelang.



Entah takdir apa yang mampir untuk kelompok KKNku, kami mendapat tempat untuk mengabdi di sebuah desa bernama Stowe Brang yang memiliki lima dusun, tujuh belas RT, dan lebih dari 700 KK. Wilayah desa yang memanjang sekitar delapan kilometer secara otomatis membuat kami tidak bisa melaksanakan program Stober Mengabdi hanya di satu tempat saja. Alhasil bersama dengan empat orang teman kelompokku, kami berlima pergi ke sebuah dusun yang letaknya tiga kilometer dari posko untuk menginisiasi kegiatan Stober Mengabdi di dusun yang berbeda, dusun Batu Rea.

Kami berangkat pukul empat sore, sempat tertahan sebentar dikarenakan anak-anak kecil di posko yang memaksa untuk unboxing hadiah yang sudah mereka bawa.

Begitu kami sampai di masjid tempat kegiatan Stober Mengabdi akan dilakukan.

DEMI APA RAME BANGET?!

 Sudah kubilang aku tidak terlalu bisa berbaur dengan anak kecil, melihat kumpulan anak-anak yang memenuhi masjid langsung memunculkan rasa cemasku. Gimana sih, udah dari pagi kepikiran mulu gara-gara piket, terus ditambah kepikiran juga karena harus ngomong di depan anak-anak.

Aku memandang anak-anak sebagai manusia yang belum memiliki dosa dan masih polos, mereka memiliki gaya belajar modelling yang tinggi. Apalagi aku menghormati parenting style setiap orang tua, makanya aku lebih suka berinteraksi seperlunya dengan mereka tanpa harus memberi nasihat atau memarahi.

Kami hanya mengenalkan diri, menyanyi, menari, serta melakukan kegiatan-kegiatan ringan lain untuk membangun raport antara anggota KKN dengan anak-anak di pertemuan pertama. Pertemuan sore itu ditutup dengan foto bersama, nah, ketika sesi foto ini ada tiga bocah yang tiba-tiba nyamperin aku seperti rebutan pengen duduk di deket aku untuk sesi foto bersama. Wkwkwk gemes.

Di perjalanan balik ke posko, salah satu anggota KKN yang kupanggil kak Laily memberi usulan untuk catching sunset di daerah Labuhan Bajo.

Bukan Labuhan Bajo di NTT yang terkenal sebagai destinasi wisata.

Ini Labuhan Bajo di Sumbawa yang juga merupakan salah satu lokasi pengabdian KKN UTS 2019.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang sedikit dan golden hour sedang berlangsung ketika aku, kak Laily, Shella, dan Iis tiba di pesisir pantai Labuhan Bajo.



Melihat panorama matahari terbenam, rasanya susah membayangkan ada orang yang tidak pernah terpesona akan keindahannya.

Lagi-lagi, garis takdir mempertemukan kami dengan empat gadis kecil yang super ceria.

Aila, Aina, Dena, dan Lena.



Ketika aku mengatakan mereka adalah gadis-gadis kecil yang super ceria, aku tidak mengada-ngada, ketawa muluuuu, they act like their life fulfilled by happiness things. Well, tentu saja selalu merasa bahagia itu tidak baik, tapi, paham nggak sih kalian? Ketika mendengar tawa mereka padahal kamu cuma nanya nama, ketika mereka responsif untuk setiap pertanyaan yang kamu ajukan, rasanya kamu seperti ketularan perasaan ringan tanpa beban.

Meskipun aku memang tidak bisa berbaur dengan anak kecil, tapi prinsip aku adalah 'kalau gue diterima anak-anak, gue juga akan menerima mereka. Kalau gue ditolak anak-anak, gue nggak akan mengerahkan banyak tenaga untuk pedekate sama mereka.'

Nah. Keempat gadis kecil yang aku temui bener-bener friendly. Aku kan jadi seneng berinteraksi dengan mereka .

 “Kalian bisa berenang?”

“BISA!”

“Waaah, kakak kalah sama kalian dong. Kakak nggak jago renang.”

“Kita renang yuk, kak?”

“Kapan?”

“Hari Minggu pagi.”

Aku dan kak Laily bertukar pandang, hari Minggu memang udah disepakati sebagai hari libur posko.

“Okedeh. Hari minggu kalian ngajarin kakak renang, ya.” Ujar kak Laily.

Keempat gadis kecil itu langsung tertawa lepas sembari menganggukkan kepala, sepertinya  senang membayangkan janji yang baru saja dibuat.

“Jam tujuh ya kak, nanti aku pakai kostum mermaid.”

Kami berdua mengangguk meski anggukanku disertai oleh sedikit keraguan karena mengingat satu agenda pribadi yang sudah dijadwalkan di hari Minggu.

Setelah itu kami semua sempat mengobrol sebentar, membuat video pendek, selfie bersama, dan tidak lupa menikmati matahari terbenam.

“Beneran ya kak! Jam tujuh pagi hari minggu.”

 Mereka melepas kepergian kami dengan mengulang sebuah janji.



Aku meninggalkan Labuhan Bajo di tengah perasaan apakah janji yang dibuat akan terwujud atau tidak. Menerka-nerka apakah minggu pagi aku bisa pergi ke pesisi pantai Labuhan Bajo dan bertemu kembali dengan empat gadis kecil itu. Di dunia ini emang banyak banget janji-janji palsu dan ucapan-ucapan yang dilontarkan tanpa niat serius. Sama seperti ketika bertamu ke rumah orang terus dibilang “anggap aja rumah sendiri” padahal itu hanya kalimat basa-basi, atau bercerita hendak melakukan perjalanan lalu ngomong “kamu ikut juga yuk?” ke lawan bicara padahal belum tentu kalimat ajakan itu merupakan ajakan serius. Sayangnya, anak-anak kecil belum paham dengan basa-basi seperti itu, ketika kita janji A, maka ia akan mengingat A sebagai janji yang akan ditepati.

Ketika kami berjanji akan kembali di Minggu pagi, bisa jadi mereka pulang ke rumah dan bercerita dengan semangat ke mamanya, “Ma, hari minggu aku mau renang sama kakak-kakak pake kostum mermaid.”

Ketika kami berjanji akan kembali di Minggu pagi, bisa jadi mereka menghitung hari dan tidak sabar menunggu hari Minggu tiba.

Aku hanya nggak mau mereka mendapatkan omong kosong belaka dari kami, karena memang sudah seharusnya janji dibuat untuk ditepati. Bukan untuk diingkari, dilupakan, atau sekadar basa-basi.

“Kak, kita janji ke anak kecil.” Ujarku.

“Iya Wa, padahal kita nggak punya kontak mereka. Nggak tau juga mereka bakalan inget apa enggak wkwk.”

“Kalau mereka janji ke kita dan nggak ditepati mah gapapa, sapa tau mereka nggak bangun pagi atau nggak diizinkan orang tuanya. Tapi kalau kita yang mengingkari janji, rasanya kok jahat banget.”

Kak Laily mengangguk, “kita mengandalkan kepercayaan yang padahal bisa ingkar.”

Ketika sampai posko, janji pertemuan itu mendadak lenyap dari pikiran karena aku teringat akan satu tugas yang belum aku kerjakan.

MASAK UNTUK MAKAN MALAM!

salam,
shofwamn

"Komidi Putar adalah cinta dalam arti kesederhanaannya. Seperti singgasana dua mempelai dalam fabel hidup ini."
- Andrea H

Belum lama ini aku pergi ke pasar malam, begitu memasuki area pasar malam, aku langsung diterpa oleh perasaan yang asing. Biasanya di pasar malam tuh ada komidi putar, dan di pasar malam yang aku datangi memang ada komidi putarnya. Semakin dekat aku berjalan ke arah komidi putar, semakin kuat pula perasaan asing itu, asing tapi familier, seakan-akan mengajak untuk nostalgia. Ketika aku memperhatikan keramaian pasar malam dan berdiri di dekat komidi putar, ada satu nama yang mendadak muncul di pikiran. Muncul begitu saja, membuka memori lama.

Andrea Hirata.

Novel-novel Andrea Hirata dan beberapa novel Tere Liye punya satu kesamaan: hidup sederhana. Novel mereka memberi makna pada kesederhanaan.

Kalau baca novel-novel Andrea Hirata tuh serasa dibawa ke dunia yang sederhana tapi penuh tawa, yang biasa-biasa aja tapi tetap damai sentosa, dunia dengan hiburan alakadarnya tapi tetep bisa dinikmati. Makanya ketika aku pergi ke pasar malam, rasanya seperti melihat langsung tulisan Andrea Hirata di depan mata, keramaian pasar malam, wahana-wahana bertenaga manusia, penjaja makanan yang dikelilingi pelanggan, hiruk pikuk suara orang.

Dan satu lagi, purnama sedang sempurna di langit Sumbawa.

Malam itu aku naik komidi putar berdua sama Ula karena cuma dia yang mau naik. Anak-anak lain lebih memilih untuk menunggu sambil ngemper di pinggir jalan.

Padahal komidi putar di pasar malam sederhana sekali, seperti sangkar burung versi sedikit lebih besar dengan cat yang sudah terkelupas di banyak tempat dan berkarat, hanya cukup untuk dua orang dewasa yang duduk saling berhadapan, di atas komidi putar aku bisa melihat keseluruhan pasar malam yang tidak terlalu luas. Ini yang aku suka. Pada ketinggian tertentu aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa aku lihat ketika berdiri di atas tanah.



"Tau nggak sih, aku langsung keinget sama Andrea Hirata pas datang ke sini." Ujarku pada Ula ketika komidi putar mulai membawa kami berdua menjauh dari bumi.

"Kalau aku, jadi inget sama bukunya yang Sirkus Pohon."

Aku lupa apa saja yang aku dan Ula bincangkan selama komidi putar melingkar dengan perlahan dengan bunyi genset sebagai musik latar.

Orang-orang yang hidup dengan passion dan bersinggungan langsung dengan kerasnya dunia. Sebelum naik komidi putar, aku dan Ula naik wahana lain yang cukup berbahaya dengan tenaga manusia sebagai penggeraknya, sebuah cara mencari uang tanpa jaminan keselamatan namun mereka masih bisa tertawa.

Mungkin dunia malam dan dunia pasar malam bukan sisi dunia yang aku pahami, meski keberadaannya nyata dengan orang-orang yang mungkin sudah menemukan seni dalam menjalani hidup.

Apalagi penjaga komidi putarnya adalah anak kecil, matanya jenaka dengan pembawaan yang ramah.

"Kuberi tahu Kawan, rahasia romansa komidi putar adalah fisika sederhana: hukum gravitasi! Waktu komidi putar mencapai posisi empat puluh lima derajat dari porosnya, daya tarik bumi membuat mempelai dalam kurungan ayam tadi seperti akan terjungkal. A Ling histeris, takut campur manja, memeluk erat tanganku. Perasaanku melambung, melesat-lesat seperti merecon banting. gadis hokian itu menatapku mohon perlindungan dan aku jatuh cinta, sungguh jatuh cinta untuk pertama kalinya."
—Andrea Hirata (2007: 30)

Di kemudian hari, pada kesempatan lain, aku ingin naik komidi putar lagi.

"Guys, berhubung anak kontrakan ada yang udah mau balik~
Tanggal 21 bisa pada di kontrakan nggak? harus bisa laaaah. 
Tanggal 21 habis Isya' dilarang memiliki agenda selain di BTNEnt🌝
Makan malam bareng gitu sekalian bercakap-cakap akan diapakan BTNEnt selama periode liburan."

Begitu isi pesan yang aku kirim ke grup whatsapp kontrakan.

Semuanya berawal gara-gara es krim, sebenernya aku bukan orang yang ice cream addict, bahkan sampai sekarang aku belum pernah makan magnum, ngerasa sayang aja gitu ngabisin duit belasan ribu untuk makanan yang bikin enek gara-gara kemanisan. Frekuensiku mengonsumsi es krim termasuk super jarang, apalagi untuk es krim sekelas cornetto.

Selalu enek di akhir, terlalu manis.

Tapi di sisi lain, aku orangnya excited dengan varian baru suatu produk, makanya ketika suatu malam aku pergi ke Indomaret dan baru pertamakali melihat cornetto rasa silverqueen, rasa penasaranku langsung meningkat.

Tapi tetep aja nggak beli, sayang duit. Maunya dibeliin aja.

Sebagai gantinya, aku langsung bikin status di whatsapp.

Siapa tahu ada yang berbaik hati membelikan.

Siapa tahu, kaaaan.




Meskipun nggak berharap bakal beneran ada yang beliin karena aku tau para viewers status aku mayoritas adalah orang-orang yang hanya ingin tahu kehidupan orang lain dan sebenernya juga nggak terlalu peduli terhadap status yang seperti itu.

Besoknya, aku menemukan sebuah cornetto silverquee bertengger manis di freezer kulkas.

Kaget? YAIYALAH COY!


Wkwkwkw.

Pasca kemunculan es krim cornetto secara misterius di freezer, beberapa personil BTN Entertainment ikutan membuat status whatsapp bergambar es krim.

Di hari selanjutnya, jumlah es krim di freezer nambah tiga buah.

“Kita tunggu, sapa tau besok es krimnya nambah lagi. Terus bisa dibikin buber hari selasa,” ujar seorang anak kontrakan.

Sesuai dugaan, jumlah es krimnya kembali bertambah, untuk pertamakali aku melihat freezer yang biasanya dipenuhi oleh es batu terisi dengan tumpukan es krim cornetto.

“Gini caranya, kita emang kudu buber!”

BTN Entertainment atau lebih sering disingkat dengan nama BTN Ent merupakan nama kontrakanku, awal mulanya sih nama itu hanya dipakai untuk menamai grup whatsapp namun lama kelamaan para penghuninya sering menyebut dan memperkenalkan kontrakan sebagai BTNEnt. 



Kenapa BTN Ent? Karena kontrakan pertama kita berada di daerah BTN, sekarang sih udah pindah ke daerah Panto Daeng tapi kita mah istiqomah, nggak mau ngubah-ngubah nama, toh, BTN Ent juga udah terkenal.

Cukup banyak lika-liku yang dialami BTN Ent mulai dari pertamakali terbentuk hingga usianya yang sudah mau memasuki dua tahun, mungkin orang-orang mengira kontrakanku adalah kontrakan yang adem ayem penuh dengan kehangatan.

Hahahaha. O tentu saja tidak.

Berantem? Pernah.
Marahan? Pernah.
Diem-dieman? Pernah.
Apatis dan individualis? Pernah.
Saling berbeda pendapat? Sering!

Coba sebutin permasalahan yang pernah kalian alami ketika hidup di kontrakan bersama orang-orang yang sebelumnya tidak saling kenal, bersama orang-orang yang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, bersama orang-orang yang membawa ciri khasnya sendiri.

Aku jamin, BTN Ent juga pernah mengalaminya.

Terus, gimana cara penyelesaiannya?

Seperti yang seharusnya sudah kalian pahami, bahwa... komunikasi adalah koentji.

Komunikasi adalah hal utama, tanpa komunikasi yang baik sebuah hubungan bisa menjadi renggang, komunikasi juga merupakan langkah untuk menyamakan persepsi.

Selain itu, ada juga yang bernama perasaan nyaman.

Bagiku, kontrakan bukan hanya sekadar tempat naruh barang, tempat untuk tidur, atau tempat untuk mandi, tapi kontrakan seharusnya bisa menjadi tempat ‘pulang’ untuk aku yang sedang berada di tanah rantau ini.  Jika udah nyaman, maka ketika dihadapkan oleh sebuah masalah di internal kontrakan, menyerah dan pindah tempat tinggal tidak akan berada di pilihan pertama. Waktu itu BTN Ent pernah melingkar, niatnya sih membahas jadwal piket yang sudah berantakan tapi ujung-ujungnya malah membahas perihal ‘rasa nyaman’ ini, wkwkw.

Ngomong-ngomong, personil BTN Ent merupakan orang-orang sibuk. Edyan. Kadang sibuknya nggak masuk akal. Nggak paham lagi aku tu sama anak kontrakan, kenapa mereka bisa produktif dan sibuk sekali. Padahal kebersamaan juga tak kalah penting.

Makanya ketika melihat tumpukan es krim cornetto di freezer, ditambah fakta bahwa fase mudik personil BTN Ent akan segera dimulai, aku mengajukan opsi untuk makan malam bersama.



Bukan mengajukan opsi, lebih tepatnya menyuruh, dengan mengirimkan pesan ke grup whatsaap seperti yang ada di awal postingan.

Pesan itu aku kirim setelah aku bertanya ke beberapa anak kontrakan, meminta persetujuan terlebih dahulu.

Kalau nggak gitu, biasanya nggak bakal kejadian.

 Kalian harus tahu betapa susahnya mengumpulkan personil BTN Ent di satu waktu pada malam hari.

Alhasil, pada tanggal 21 Mei 2019, untuk pertamakalinya di bulan Ramadan, BTN Ent makan malam di luar! Fullteam!

Rasanya tuh, fabi'ayyi ala'i rabbikuma tukazziban.



Momen makan malam bareng juga kita manfatkan untuk memberi kue ke personil BTN Ent yang ulang tahun di bulan April dan Mei. Ngasih kue itu udah semacam tradisi, tapi ya langsung disatuin biar gak boros, itu pun hanya berlaku untuk tiga personil yang lahir di bulan Desember dan tiga personil yang lahir di bulan April-Mei, karena personil yang lahir di bulan Juni-Agustus nggak pernah dikasih kue gara-gara sedang berada di periode liburan.

Kita memutuskan untuk makan di rumah makan ‘Warung Jogja’. Malam itu Warung Jogja rame banget gile, kita sampai harus nunggu di luar sekitar 15 menit baru bisa dapat tempat duduk. Aku dan Aisyah adalah yang pertamakali nyampe di Warung Jogja, kemudian disusul oleh Umai, kak Fara, Ula, Widi, dan Putri, kemudian Ahda dan kak Neny datang terakhir karena mereka bertugas membeli kue.

Strategi untuk ngasih kuenya kurang perencanaan jadi sedikit awkward, tapi gapapaa, kan yang penting niatnya.

Momen makan malam di luar dengan formasi lengkap itu pokoknya fabi'ayyi ala'i rabbikuma tukazziban.

“Eh ke pasar malam yuk!”

Kalian sudah sering mengalami rencan yang antiwacana karena mendadak? Nah, malam itu BTN Ent juga gitu, ketika satu orang ngusulin untuk ke pasar malam sehabis makan, langsung disetujui sama yang lain.



Kapan lagi gitu, keluar malam dengan formasi lengkap.

Meski Putri dan Aisyah harus mampir ke kontrakan dulu untuk naruh barang, meski aku harus pergi ke suatu tempat dulu untuk menyelesaikan suatu urusan, pada akhirnya kita tetep pergi ke Pasar Malam.

Wah, aku senang.

Apa ceritanya selesai di Pasar Malam?

Iya, dan tidak.

Iya bagi Putri dan Ula yang langsung pergi ke tempat rapat dari lokasi pasar malam.
Iya bagi Umai, kak Fara, dan Aisyah yang begitu sampai langsung masuk ke kontrakan.
Tapi tidak bagi aku, Ahda, Widi, dan kak Neny. Kami leyeh-leyeh dulu di teras, dan mainan kembang api.



Sebenarnya mainan petasan juga, tapi baru berhasil nyalain satu kali, udah ada bapak tetangga yang datang dan memberi teguran.

Main kembang api juga menyenangkan, kok.

Terima kasih untuk waktunya, BTN Ent.

/oke, kalimat epilognya nggak banget/
/kesel sama kemampuan nulis cerita yang malah makin buruk/

see ya on the next post!
xoxo,
 shofwamn

Dulu aku mengganggap semua orang di dunia ini baik.

Semuaaa. Tanpa terkecuali.

Sejahat-jahatnya seseorang, pasti dia memiliki sisi baik.

Sekejam-kejamnya seseorang, pasti dia pernah melakukan hal baik.

Dulu aku mengganggap begitu.

Sekarang?

Masih.

Masih seperti itu.

Sejahat apapun, sekejam apapun, semenyebalkan apapun, sekurangajar apapun, senakal apapun, pasti dia memiliki sisi baik.

Dulu aku pikir, dengan beranggapan bahwa semua manusia itu baik maka aku bisa dekat dengan semua manusia.

Sayangnya, aku salah😂

Semua manusia itu baik, namun aku tidak bisa merasakan kebaikan-kebaikan dari semua manusia.

Aku salah.

Ternyata, meskipun aku mengenal seorang manusia yang baik, belum tentu aku bisa berteman dengannya.

Ada manusia yang baik, bagi orang lain dia ni super duper baiik. Tapi bagiku? Biasa aja.

Baik belum tentu cocok.

Meski semua manusia baik, belum tentu semuanya cocok dengan aku.

Cocok untuk berteman, cocok untuk berinteraksi.

Dinamika kehidupan, aku sedang mencoba menikmatinya.

Sumbawa, May 15th 2019
BTNEnt.


Haiiiii

Apakah kalian di sini baik baik saja?

Apa kabaar? Apa kareba? How are youuuu~

Me?

Ahahaha.

Of course when i choose to write and post something here, it could be something happen in my real life.

Sometimes is bad.

Sometimes is good.

Sometimes it sucks.

Like right now
‍.

Aku paling gak suka berselisih paham sama temen sendiri. Temen deket. Nggak suka nyari masalah.

Karena ketika fase diem-dieman muncul.

Oh my god, pardon me, sagita yang gengsinya ampun-ampunan, i couldn't handle this feeling.

Gengsi tingkat dewi, gak bakal berinisiatif buat ngomong duluan.

Susaaaaaaaaah.

Ntah kenapa susah sekali.

Dan kembali terngiang-ngiang ucapan temen di masa lampau,

Kamu tuh selamanya cuma bisa nyalahin orang. Nggak pernah bisa ngaku salah.

Ah.

Kalau ngomong sama aku, hati-hati.

Apalagi jika ucapannya sudah sampai ke hati.

Menancap.

Hati-hati.

Karena ia bisa abadi.

Ucapan. Ucapan kalian. Ucapannya bisa abadi.

Abadi dalam tulisan yang ku buat.

BTN Ent 01.22 WITa
(isi ganyambung sama judul? Maklumin aja)


01 Februari 2019
sumber foto: pinterest
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  September (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ▼  2019 (36)
    • ▼  Desember (1)
      • Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
    • ►  September (1)
      • Ada pak Win di KAKTUS!
    • ►  Juli (1)
      • Serendipity Pertama di Bulan Juli
    • ►  Mei (3)
      • Naik Komidi Putar
      • Warung Jogja dan Pasar Malam
      • Orang-Orang Baik
    • ►  Februari (28)
      • GoF #27: *Bulan Baru, Februari, Tanggal satu
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes