Target yang Tak Terlihat




"Even those fingers we used to type have their own hisab in mahsyar, so everyone are obligated to make everysingle second of their life be an extraordinary meaningful."
- F.H.I


Postingan 30 TM-nya diskip sama ini dulu ya.

Sebelumnya, aku mau minta maaf kalau entar ada kalimat, kata, frasa, atau bahkan paragraf yang terkesan agak berlebihan atau di dalamnya terkandung -naudzubillah- riya. Semoga postingan kali ini bisa menjadi postingan yang bermanfaat diantara sekian banyak postingan yang tidak berfaedah.

Nggak terasa udah membesarkan bianglala selama sekitar tiga tahun. Dari postingan pertama yang Cuma ‘say Hi!’ doang, terus puisi yang kumenangkan di Bulan Bahasa UGM 2014 (lomba puisi pertamaku ^^), kemudian diisi oleh postingan-postingan lain yang sedikit lebih tertata.

Nggak terasa juga udah melewati satu semester dengan status sebagai mahasiswi.

Rasanya? Mixed feelings.
Cerita soal dunia perkuliahan ada kok, tapi dipostingnya nanti ya, beberapa tahun lagi. Insha Allah.

Ketika menulis ini, aku sedikit nggak nyangka kalau akhirnya bianglala bakal memuat tulisan yang seperti ini.    

Aku yakin semua orang pasti punya target, yang sepele banget kayak selalu sikat gigi sebelum tidur sampai hal besar yang realisasinya membutuhkan waktu bertahun-tahun. Mengobjekkan semua orang berarti aku ada di dalamnya karena alhamdulillah aku adalah manusia, bukan peri yang turun dari kahyangan dan bersuamikan Ooh Sehun, meski aku juga gak bakalan nolak kalau dilamar Ooh Sehun.

Asal doinya udah jadi muslim.

#what

Ada orang yang percaya diri mengemukakan target-targetnya, ada orang yang percaya diri targetnya diketahui orang lain, dan ada juga orang yang lebih suka menyimpan targetnya untuk diri sendiri.

Bagi yang kenal aku pasti tau aku termasuk orang yang mana.

Bukan sebuah kesalahan ketika seseorang mengemukakan target yang ia miliki ke semua orang yang dikenalnya. Karena kita nggak tahu ada berapa banyak doa yang menjuntai ke langit setiap waktu, nggak tahu ada berapa banyak doa yang berisi tentang target kita dan berasal dari orang lain, nggak tahu doanya siapa yang akan dikabulkan.

Meski begitu, aku tidak termasuk orang pertama atau orang kedua.

Aku cuma merasa kalau target yang aku punya seharusnya nggak disebar-sebar, selain menghindari pertanyaan,”gimana kabar target X mu? Target Y masih berjalan? Target Z sukses nggak?” aku juga rada nggak sreg sama misalnya nih ya, aku ngasih tau target aku ke beberapa orang terus tiba-tiba ada orang yang datang ke aku kemudian ngomong, “shof katanya si fulan kamu mau gini gini gini ya?” atau aku lagi di suatu forum lalu tiba-tiba mendengar pembocoran informasi kayak, “wah si abcd belajar bahasa korea? Itu si shofwa katanya juga tertarik belajar bahasa korea.”

Nggak enak, nggak enak menjadi topik pembicaraan (apalagi pembicaraan di belakang alias jadi topik dari gossip retjeh), nggak enak mengelu-elukan kejadian yang belum terjadi. Karena jika gagal, proses pemulihannya akan jauh lebih lama.

Memang aku lebih milih diam dan memberi respon yang baik di saat temen-temen bercerita tentang resolusi mereka tahun ini, impian jangka menengah mereka, atau apa yang akan mereka raih ketika dewasa kelak. Diam bukan berarti aku tidak memikirkannya, lagipula aku bisa mentolerir beberapa targetku yang tidak masalah jika diperbincangkan.

Misalnya, tentang fisik.

*sighs*

Udah pernah sedikit dibahas di sebuah postingan jaman baheula secara tersirat.

Baca : Kehilangan Seni Menikmati Hidup karena Satu Hal.

Aku ngerokemndasiin tulisan itu buat dibaca sama kalian. Harus kalian baca. HARUS. Biar jumlah readersnya nambah wkwkwk. Nggak deng. Pemaksaan isnt my style. Aku cuma habis ngebaca ulang tulisanku yang itu dan malah cengo sendiri, ternyata shofwa sempat jadi manusia yang sedikit bijak.

Contoh yang lain,

Hafalan.

Aku tidak masalah kalau mau ngomongin tentang hafalan, meski ada beberapa poin yang sebaiknya tidak dibicarakan juga. Seperti, udah berapa banyak? Tinggal berapa juz? Dsb dsb.

Dan target hafalan adalah target yang mau kubicarakan di sini karena tahun ini aku membuka 2017 dengan pengalaman baru.

Baru karena emang baru pertama kali ikut.

Baru karena akhirnya dikasih kesempatan sama Allah buat mengalami pengalaman ini.

Pengalaman yang bikin aku sadar, menjadi pihak yang dicintai ternyata nggak semudah yang selama ini aku bayangkan.

Target hafalanku baru terbentuk ketika aku berada di penghujung kelas 11, sebelumnya mah aku ngafal ya ngafal aja karena kan emang program wajib dari sekolah dan alasan aku nggak mematok target tertentu adalah karena aku belum siap dengan konsekuensinya. Konsekuensi yang aku dapat kalau melupakan ayat-ayat yang aku hafal. Emang pikirannya udah salah duluan, makanya sekarang aku punya target berapa juz yang mau aku genggam sebelum bertemu Malaikat Izrail.

Bukan 30 kok, at least belum. Kalau ditanya pengen apa enggak, ya apatah ummat muslim tidak mau jadi keluarganya Allah? Apatah setiap anak tidak mau memberikan hadiah paling mulia untuk orangtuanya?

(trying to use -tah element, cmiiw)

Saat ini, keinginan untuk punya hafalan 30 juz tuh umpanya masih berupa keinginan yang tersembunyi di celah-celah kecil dan belum bisa berbuat banyak alias belum bisa menggerakkan hati ini agar menggapainya. Karena bagi aku, ketika seseorang udah menyelesaikan hafalannya, mungkin itu merupakan akhir dari perjuangan menghafal ribuan ayat-ayat suci, tapi di sisi lain, itu juga baru langkah awal menuju ke sesuatu yang lebih besar. Secara pribadi, mending hafalannya sedikit demi sedikit tapi levelnya udah mutqin daripada banyak tapi kesebar-sebar, tapi itu pilihan kan ya, bebas mau memilih yang mana, toh akan bertemu pada pelabuhan yang sama.

Wow, look who is talking.

Orang si Nadia yang udah di wisuda aja masih belum ku akui kok.

#lah #sapague

Di sini, aku bilang aku punya target menghafal, tentang berapa juz yang hendak ku gapai, silahkan menebak sendiri, hehe. Doakan saja kesampean:)

Menghafal itu bukan sesuatu yang main-main (yaiyalah, pls), waktu aku memutuskan untuk ikut dauroh awal Januari lalu sebenernya aku punya sedikit harapan bisa memperbaiki hobiku yang sering memendekkan yang seharusnya panjang dan memanjangkan yang pendek. Itu adalah masalah terbesarku dan yang menjadi dasar kenapa pas tiap mau ngafal pasti aku mikir dulu, karena sekalinya ngehafal dan ternyata salah, bakal susah benerinnya. Aku juga berharap bisa ketemu pendamping yang nggak cuma terima setoran tapi bener-bener membetulkan bacaan.

Duh, jadi kangen ‘Aisy kan. Dia satu-satunya temen SMA ku yang nggak punya belas kasihan soal setoran, nggak punya belas kasihan yang berkonotasi positif. Siap-siap aja mushafnya penuh sama coretan kalau minta disima’in sama dia. Dan kalau bukan gara-gara dia, aku sampe sekarang bakal masih salah baca antara dza dengan za. I swear.




Tahun 2017 kubuka dengan mengikuti sebuah program yang bertajuk dauroh al-qur'an 30 hari. Pengalaman mengikuti dauroh tuh mengajarkan banyak banget hal-hal baru yang mungkin selama ini belum kusadari atau tidak kuacuhkan. Aku jadi tau sebenarnya kemampuanku tuh seberapa, jadi tau juga kalau lagi nemu ayat yang susah dihafal itu tandanya si ayat lagi jatuh cinta sama aku dan pengen kita bersama lebih lama.

Nah, ini nih alasan kenapa aku bilang menjadi pihak yang dicintai ternyata nggak semudah yang selama ini aku bayangkan.

Selelah itu loh, padahal tau kalau ini adalah cinta yang tidak berujung pada dosa.

Tau juga kalau lelahnya adalah lelah yang disukai Allah.

Pekan pertama dauroh tuh rasanya berat, berat banget. Adaptasi terhadap tempat yang tidak sesuai ekspektasi, tekanan dari anggota lain yang sehari bisa dapet hafalan berlembar-lembar, sampai uring-uringan gegara tau kalau setiap ahad boleh megang hape dan ada chatt yang belum terbalas.

Oke. Yang terakhir itu urusan perasaan.

Pekan pertama juga pekan penuh gossip, ngomongin si a, bicarain si b, ngerumpiin si c. Dasar wanita, nggak lengkap rasanya kalau tidak membahas hal yang tidak penting.

Saat ini, kalau berbicara tentang fakta dan kemampuan, hasil yang aku raih selama 30 hari itu bukan hasil maksimal. Seharusnya bisa dapat lebih banyak. Seharusnya.

Tapi ya gimana, waktu baru mau berangkat niatnya emang udah tercemari sama kebahagiaan-kebahagiaan fana dunia. Bcs, helloooo, its lombok men, pulau seribu masjid yang punya banyak pantai indah and the most important thing is there is a MALL!!! KFC!! GRAMED!!!!

Kebahagiaan yang tidak dapat ditemukan di Sumbawa.

Pekan kedua aku berusaha lebih fokus. Bales chatt udah, minta maaf ke banyak orang juga udah. Ngomong-ngomong soal minta maaf, itu adalah inisiatif yang muncul setelah mendengar ceramah dari si pemilik dauroh,

“Saya punya cerita, ada anggota dauroh yang sulit sekali menghafal, sulit dan lamaaaa sekali, beliau ini progressnya lambat, lima hari ikut dauroh, setengah halaman ar-rahman aja belum dihafal. Setelah muhasabah, beliau ingat kalau beliau pernah marah sama istrinya, akhirnya beliau minta maaf ke istrinya. Setelah itu, subhanallah, beliau ngafalnya lancar bahkan bisa menyalip hafalan anggota lainnya. Makanya, kalau kalian merasa tidak ada kemajuan, coba minta maaf ke orang-orang terdekat. Siapa tau ada kesalahan yang tidak kita sadari.”

Begitu denger cerita itu, aku langsung nge-list ke siapa aja aku akan meminta maaf. Orang-orang yang kumintai maaf nggak ada yang nggak bingung~ yha gimana, anaknya gak pernah minta maaf secara mendadak.

Di pekan kedua juga untuk pertama kalinya aku melihat apa yang seharusnya nggak bisa kulihat. Pengalaman yang cukup bikin deg-deg an sih, deg-degan bukan karena apa yang aku lihat, tapi karena tempat yang ku tinggal selama dauroh cukup hmm. Mana malam jum’at lewat tengah malam lagi. Selamat shofwa, kamu telah menambah daftar pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupmu *applause*

Di penghujung pekan kedua kami pindah tempat tinggal yang jauh lebih kondusif, dekat dengan sawah dan jauh dari keramaian. Jatah dua pekan terakhir dauroh, aku benar-benar ngejar target (yang ku buat sendiri) dan tetap nggak kapok ‘menabung’ hafalan. Kalau peserta dauroh yang lain, begitu selesai ngafal satu halaman mereka langsung setoran ke pendamping, sedangkan aku nggak bakal nyetor kalau nggak ditagih, jadi tiap udah hafal satu halaman bakal kuulangi dulu beberapa kali baru pindah ke halaman lain tapi nggak ku setor, yah palingan minta tolong temen buat di sima’in. Alhamdulillahnya, sepekan sebelum pulang, buku mutabaah ku hilang, artinya, nggak ada yang tau progress hafalanku kecuali aku sendiri.

Begitu lebih baik.

maafkeun kalau fotonya petjah,

Setelah dauroh berakhir, aku semacam punya amunisi baru untuk muraja’ah. Mau nggak mau emang harus muraja’ah soalnya selama dauroh metode hafalannya dimulai dari lembar akhir tiap juz dan berlaku sistem putaran. Misalnya kamu mau ngafal tiga juz, nanti kamu mulai dari halaman terakhir juz satu, lalu halaman akhir juz dua, lalu kalau udah sampai halaman akhir juz 3 berarti udah satu putaran. Setelah itu lanjut deh ke halaman kedua dari terakhir juz satu, lalu juz dua, begitu seterusnya sampai putaran ke 20, kalau kamu udah nyelesein putaran ke 20 berarti kamu udah hafal 3 juz dan yang perlu kamu lakukan adalah menyusun hafalan mu biar tertata. Nggak mudah, nggak ada yang bilang itu mudah.

Itu termasuk salah satu tantangan yang kalau dibawa enjoy, bakalan seru kok^^

Bikin postingan ini tuh sekaligus buat reminder bagi diri sendiri mau dibawa kemana target hafalan yang udah dibikin. Definisi menghafal al-quran menurutku adalah ketika aku udah hafal di luar kepala ayat-ayatnya dan aku mengetahui atau (kalau bisa) memahami artinya. Bukan cuma sekedar hafal-setor-duh lupa. Makanya kalau ditanya jumlah hafalan, aku nggak tau. Begitulah.

Kita cuma bisa membuat target dan mengeksekusinya dengan langkah-langkah yang kita ambil, soal apakah target tersebut sukses atau gagal, tidak usah dirisaukan. Kita tidak bisa melihat akhir dari target yang kita buat sebelum kita mengerahkan ikhtiar terbaik kita. Segalanya yang gelap tidak selamanya berakhir indah tapi yang berakhir indah selalu melewati fase yang berat.

*berhenti sejenak*

*edit sana-sini*

Akhirnya selesai jugaaaaaa, sejujurnya aku selama ini mikir mau menceritakan pengalaman daurohku dengan cara yang kayak gimana. Pengennya sih dari keberangkatan yang ngerusuhin banget sampe berurusan sama pak polisi segala terus cerita apa aja yang terjadi selama dauroh, sampai pas kepulangan kami ke Sumbawa yang cukup hectic. Malah mau dibikin empat post, satu postingan mewakili satu pekan dauroh. Tapi, setelah dipikir-pikir sepertinya versi cerita detailnya cukup disimpan saja di laptop, tidak usah dipublikasikan.


regards
EsHa

0 komentar