Akhirnya 20


18 Desember  2018 ~ 22 Januari 2019


Sudah tiga puluh lima hari berlalu sejak tanggal ulang tahunku, artinya sudah lima pekan aku resmi berusia dua puluh tahun.

(mendadak berasa tua banget)

Dua tahun terakhir, tulisan spesial edisi ulang tahun diposting tepat tanggal 18 Desember. Tahun ini beda, padahal kemarin udah berencana untuk nulis tepat waktu, tapi akhirnya mengurungkan niat.

Nanti aja deh nulisnya.

Apa-apa yang dipaksakan, terkadang tidak berakhir baik.

Lagipula, aku baru sanggup menulis sekarang.

Well, sebenernya lebih ke bingung aja sih mau nulis tentang apaaan. Kalau dua tahun lalu kan angkanya lagi bagus, 18 di 18, maksudnya berusia 18 tahun di tanggal 18. Kemudian tahun lalu ketika usiaku jadi 19 tahun, aku kembali menulis karena memang sebenernya hal tersebut udah jadi kebiasaan, menulis sesuatu untuk memperingati angka yang berubah dari sisa hidup. Terus, saat menyapa usia 16 dan 17, tulisannya aku posting di google plus. Kalian tau g+? Pokoknya itu salah satu fitur di google yang bisa buat ngeposting tulisan, aku aktif di g+ karena pada masanya kak Muna lumayan sering memposting tulisan di g+. Sekarang aku udah nggak pake g+, cuma sesekali kembali berkunjung dan meninggalkan jejak di situ, biar ndak terlalu berdebu.

Bisa jadi ini tulisan spesial edisi ulang tahun yang terakhir aku posting di blog,

Karena tiba-tiba, banyak sekali hal yang aku pikirkan.

Mostly about my future.

Aku nggak tau apakah ini keajaiban angka 20 apa gimana, tapi aku merasa wawasanku jadi semakin terbuka semenjak aku berusia 20 tahun, aku juga semakin banyak memiliki diskusi-diskusi yang mendalam, baik dari orang-orang yang ada di inner circleku, atau orang-orang yang bahkan aku nggak pernah nyangka bisa ngobrol banyak sama dia.

Rasanya sedikit aneh ketika merasa semakin menutup diri, namun di sisi lain relasi malah semakin banyak.




Aku juga merasa lebih deket dengan Allah, ini aku rasain ketika tempo hari aku menjawab pertanyaan seorang teman tentang kabar Kai dengan kalimat, “diambil lagi sama Allah lewat perantara pencuri”. Padahal bisa aja aku langsung ngomong kalau aku kemalingan, tapi aku sadar kok bahwa sesungguhnya Kai itu bukan milik aku, meski aku yang make dia 24/7, meski aku yang meminang dia dari toko, tapi Kai bukan milik aku.

Ngomong-ngomong, Kai itu nama laptop.

Saat ini aku lagi belajar menata hati, maksudnya bukan menata hati kayak yang buat someone such as my significant other, bukan. Yaelah emang masih jaman ngurus begituan? 

Sedangkan tentang menikah. Hmm... kalau sekarang ini. Maksudku yang bener-bener sekarang, bulan Januari 2019. Aku malah tidak terlalu berpikir tentang hal tersebut. Akhir-akhir ini aku terlalu sering melihat berita pernikahan orang, berita pernikahan orang yang aku kenal, berita pernikahannya kenalan dari orang yang aku kenal. Terlalu sering melihat kata-kata barakallah~ semoga samawa~ dsb dsb, keseringan yang memberikan dampak tersendiri bagi aku. Dan dampaknya tuh agak sedikit kurang baik, ehe.

WAIT WAIT. KENAPA MENDADAK MALAH NGOMONGIN PERIHAL NIKAH SIH.

Saat ini aku sedang mendalami makna ma fii qalbi ghairullah, karena selama ini yang kulakuan untuk  mengisi hati adalah setiap nama memiliki porsi yang sama, dengan tingkatan yang sama. Itu kan nggak boleh, ketika seharusnya Allah berada di urutan pertama, dan utama. Tidak bisa digeser oleh siapapun, apalagi digeser dengan makhluk ciptaannya yang berwujud manusia.

Gile, bijak banget nggak sih gue.

Sejauh ini, mencintai Allah merupakan proses yang paling suliiiit, tapi juga seru. 

Aku menyimpulkan bahwa ketika seseorang sudah terbiasa dengan satu kebiasaan, dia cenderung tidak mempublikasikannya. Kebiasaan yang sudah melekat di kehidupan yang bersangkutan. Sebenernya aku suka dengan sosok yang minim publikasi, tidak melakukan publikasi secara berlebihan (yang kadang masih sering kulakukan). Publikasi-publikasi yang sebenarnya tidak diperlukan. Tapi aku nggak suka kalau orang yang pengen aku tau kabarnya malah sama sekali tidak pernah mempublikasikan apa-apa.

wkwk, paradoks.

Sekarang, aku lebih mencoba untuk menyayangi diriku sendiri, berupaya menjauhkan diri dari emosi-emosi negatif dan memperbanyak energi-energi positif. Mungkin memang perubahannya tidak bisa dilihat secara kasat mata, tapi perubahan yang seperti itu bukan sesuatu yang bisa diukur lewat pandangan semata.

Wah gilak, kenapa bijak sekali.

Harapannya, semoga di usia yang sekarang dan seterusnya, aku bisa lebih baik lagi, lebih bermanfaat (tapi jangan dimanfaatin) untuk orang lain, lebih menambah ilmu dunia dan akhirat.

Semoga selalu dikelilingi oleh orang-orang baik.

-shofwa, yang akhirnya berusia dua puluh.

0 komentar