Fattaqullaha Mastatho'tum

Jika love at first sight dijabarkan sebagai keadaan ketika kita langsung merasa ‘klop’ pada pandangan pertama lalu memikirkannya sepanjang waktu dan terkadang terbesit rasa rindu untuk melihatnya yang jika dilakukan akan memberikan efek positif dan kehangatan dalam dada.

Maka, iya, aku jatuh cinta.

Jatuh cinta sama status whatsappku yang sekarang.

Wkwkwkw.

Pun aku jatuh cinta juga sama status whatsappku yang sebelumnya.

#lemahpendirian.

cr to : dhila yang super baeeeek<3


Aku tipe orang yang agak nggak suka memajang foto sendiri (foto yang wajahnya kelihatan yaps) sebagai foto profil di akun sosmed. Mending kalau fotonya bagus jadi ya nggak perlu lah malu, wk. Sebelas bulan lalu saat bersiap memasuki dunia perkuliahan, aku memutuskan untuk nggak memakai wajahku sendiri sebagai foto profil whatsapp. Salah satu faktornya adalah ketika itu ada seseorang yang tiba-tiba megirimiku foto skrinsutan sebuah folder dalam galeri hp bertajuk, “shof,” dan isi folder tersebut fotoku semua, dan beberapa foto di folder tersebut merupakan foto profil whatsapp.

Horror.

Bukan deng. Bukan horror.

Tapi iyuh kutu kupret langsung bikin ilfeel.

Emang sih ketika kita ngupload foto ke media sosial kita juga perlu sadar akan konsekuensi kalau foto kita bakal disimpen tanpa izin. Itu sesuatu yang tidak bisa dihandle.

Tapi, foto gue saat masih kelas 10 aja disimpen sama dia.

Pake acara bikin folder tersendiri pula.

Karena itu, aku memilih untuk nggak memakai foto sendiri sebagai foto profil.

Sayang, kenyataan berkata lain.

Sebagai salah satu media sosial yang paling sering dipakai, banyak komunikasi yang terjalin di whatsapp. Dari yang penting, biasa aja, nggak penting, sampai nggak penting banget. Nah, aku hanya menyimpan nomor hp orang-orang yang emang ingin kusimpan atau pernah kuhubungi untuk suatu keperluan atau yang (sekiranya) akan aku hubungi di kemudian hari. Banyak orang yang aku kenal irl tapi nomornya nggak kusimpan Aku masuk grup HIMARA Akhwat doesnt mean aku nyimpen semua nomor anggota grup itu, bahkan aku nggak nyimpen semua nomornya anak kelas yang cuma tiga puluh sekian jadi ketika ada perlu dengan orang yang nggak aku kenal atau nggak aku ketahui wajahnya, hal berguna yang bisa kulakukan adalah melihat foto profile whatsapp yang bersangkutan.

Kadang itu membantu. Sangat membantu.

Misalnya aku ada perlu sama Putri dan mau nge chatt di whatsapp padahal nggak kenal dia.

“Eh, Putri tuh yang mana sih?”
“Itu lho, yang (ngaku) cantik seasrama murid kelas keanggunan dan (katanya) nggak mau hitz padahal udah terkenal.”
“Hah? Emang ada orang kayak gitu?”

Kemudian aku liat foto profil whatsapp Putri (yang memang menunjukkan muka dia, bukan sekadar foto pemandangan, quotes, atau wajah oppa oppa koriya) dan kutunjukkan ke temen untuk mengonfirmasi,

“Ini Putri?”
“Nah iya. Bener.”

Gitu kan enak.

Mengindari rasa malu sekiranya salah kirim.

Di sisi lain, mengindari untuk tidak dikenali juga. Soalnya aku pernah ngechatt orang dengan panjang lebar terus dijawab pake tiga kata yang membuatku menelan ludah,

“Ini siapa ya?”

Merasa aneh kalau telat memperkenalkan diri.

Awalnya ndak suka masang foto sendiri, tapi sedang membiasakan untuk biasa aja.

Palingan aku mejengin wajah juga cuma di akun yang memiliki banyak interaksi dengan orang yang tidak kita saling kenal (kayak whatsapp dan facebook) sedangkan selebihnya (Twitter, Ask.fm, Tumblr, Line, dan lain sebagainya aku lupa apa aja akun sosmed yang kupunya) perubahan untuk foto profil masih bisa diitung jari, malah ada yang nggak kuganti sejak pertamakali dibuat.

Status juga jarang diganti, apakabar status Line yang nggak berubah sejak tiga tahun lalu dan pake bahasa latin sehingga membuat shofwa berasa pinter. Wkwk.
Padahal cuma copy paste dari novel ‘Inferno’ doang.

Aku sempat mengalami problem internal di mana aku mengambil keputusan untuk menghapus setengah dari total keseluruhan aplikasi yang terdapat di hp, aplikasi yang dihapus adalah aplikasi-aplikasi yang paling sering digunakan. Saat itu adalah saat di mana aku tidak ingin berinteraksi dengan siapapun atau membaca tulisan apapun. Problem internal yang jika kuceritakan kenapa dapat terjadi hanya akan berujung sebagai pembenaran terhadap diri sendiri. Problem internal yang cukup menyita waktu makanya sampai sekarang tulisan part 1 tentang Sekolah Komunitas belum dirilis juga.

Seberapa sering pikiran tentang Sekolah Komunitas muncul dalam rentang waktu problem internal yang tengah kuhadapi #ceileh, aku nggak bisa memaksa diriku untuk mengetik karena aku berkeyakinan bahwa mengetik dalam keadaan mood yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidakpuasan di kemudian hari. Karena ketika aku membaca ulang tulisan tersebut, aku juga akan mengingat perasaanku ketika menulisnya, dan akhirnya membiarkan kenangan tidak baik kembali hadir.

#ntaps

Makanya ketika aku menginstall ulang kembali whatsapp, statusnya juga sekalian aku ganti dengan kalimat yang selalu membayangiku ketika sedang berusaha menyelesaikan problem internal.



Fattaqullaha Mastatho’tum.

Maka bertakwalah dalam kadar kesanggupanmu.

KBBI :
Tak.wa n terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya; keinsafan diri yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.

Lho,

Kenapa artinya dalam bener.

Sebelumnya, ketika terbayangi oleh kalimat ‘fattaqullaha mastatho`tum’ yang aku ingat hanya bagian dalam kadar kesanggupanmu doang. Aku tidak ingat kadar kesanggupan yang seperti apa atau yang bagaimana. Apakah kesanggupan menabung agar dapat membeli tiket konser kpop, kesanggupan menghamburkan uang demi membeli paket internet untuk nge-download drama, kesanggupan niat yang berujung pada realisasi fana, atau kesanggupan memakan berbagai macam hidangan di pernikahan orang.  Menemukan dua kata itu untuk pertama kalinya dan hanya ingat di bagian dalam kadar kesanggupanmu cuma menghasilkan kesimpulan subjektif kalau kita kudu usaha semampu kita dalam mengerjakan pekerjaan dan menyelesaikan tanggung jawab yang dimiliki. Beri effort yang terbaik, nggak usah memaksakan diri.

Namun, ternyata kesanggupan dalam bertakwa.

Makna tersebut baru aku ketahui dari hasil googling ketika sedang menyusun tulisan ini. Iya aku baru aja googling hehe. Begitu tau maknanya sedalam itu aku jadi takut, rasanya ingin dibatalkan saja cerita tentang fattaqullaha mastatho'tum lalu mengganti judul postingan jadi ‘sekelumit kisah whatsapp` misalnya agar sinkron dengan fakta kalau aku dan status whatsapp memiliki kenangan yang hanya diketahui oleh kami berdua.

Kok jijik.

(sekelumit kisah whatsapp)


JUDUL POSTINGAN ATAU JUDUL FTV?

LEBAY KALI!

Namun sudah nulis sepanjang ini yang kalau versi microsoft word menunjukkan empat halaman dengan 927 kata.
#dibuangsayang

Source : webtoon


Yosh! Pada kesempatan kali ini marilah kita membahas tentang fattaqullaha mastatho’tum. Sebenarnya keberanian untuk menulis dengan pembahasan tentang agama belum juga nongol meski aku sudah memiliki lingkaran halaqoh (eciyeh halaqoh) yang rutin. Ilmunya belum nyampe tjoy~ masih terlalu sedikit~~

Namun ndak ada salahnya mencoba.

Kalian yang membaca ini boleh banget, serius, BOLEH BANGET menginterupsi jika ada kalimatku yang salah atau tidak sesuai dengan fakta.

Fattaqullaha mastatho'tum merupakan penggalan ayat dari surah At-Taghaabun (yang ternyata udah pernah aku hafal namun qadratullah sudah tidak menempel di ingatan dan hampir terlupakan) (sejujurnya sih memang sudah lupa #plak #tertampar), tepatnya ayat ke-16. Asbabun nuzulnya kurang lebih seperti ini :

Said bin Jubir r.a menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kecemasan kaum muslim tatkala surah Ali Imran ayat 102 diturunkan. Kaum muslim beramal sekuat-kuatnya, mereka terus-menerus mengerjakan qiyam (sholat sunnah) hingga tumit mereka berngkak dan kening mereka bernanah. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk meringankan mereka.
(HR Ibnu Abi Hatim. Lihat Ibnu Katsir 6/112 dan Qurthubi : 10/6869)

Masha Allah:’) kaum muslim yang hidup bersamaan dengan waktu di mana wahyu masih diturunkan ayat per ayat memang luar biasa.

Menurut tafsir yang terdapat di aplikasi Ayat (tafsirnya versi bahasa Inggris weh aku ndak terlalu paham) (efek dari tafsir versi Indonesia yang cuma kayak terjemahan doang).

Apikasi itu memberitahu jika terdapat ayat yang similar dalam al-Qur’an yaitu, “Fear Allah as he should actually be feared.” (Ali Imran : 102), “Allah decides not burden any one with a responsibility heavier than he can bear.” (Al Baqarah : 286). And the last is, “Fear Allah as far as you can.” (At Taghaabun : 16)

Nah, ketika makna ketiga ayat dibaca bersamaan bakal menunjukkan kalau ayat yang pertama menetapkan aspek ideal bagi setiap umat muslim yang harus mencoba untuk mencapai tingkat takwa yang sebenarnya. Ayat kedua mendobrak prinsip bahwa tidak ada seorang pun yang udah terkualifikasi perlu untuk mendesak dirinya di luar batas kekuatan dan kemampuannya. Ayat terakhir memerintahkan supaya setiap muslim untuk dengan penuh kesadaran mencoba agar mencapai ketakwaan kepada Allah dalam batas kesanggupannya. 

Kalian bingung nggak dengan paragraf di atas yang bahasanya baku baku ndak jadi?

Soalnya aku agak bingung. Itu paragraf adalah hasil usahaku dalam nge-translate yang ternyata masih hampir selevel kayak hasil dari google translate.

Fattaqullaha mastatho’tum = fear Allah as far as you can = bertakwalah dalam kadar kesanggupanmu.

Nah, sanggup yang seperti apa yang dimaksud oleh ayat tersebut?

Kalian tahu kan bahwa manusia tidak dibebani dan diberikan ujian yang sama, kita diberi ujian kehidupan yang memang sesuai dengan kemampuan kita makanya nggak perlu mendesak diri sampe ke luar batas seperti yang tertera pada ayat kedua tafsir di atas atau ayat ke 286-nya surah Al Baqarah. Sebagai seorang manusia, kita sama-sama diberi ujian, sama-sama memiliki misi, sama-sama diwajibkan untuk menyebar kebaikan. Yang membedakan hanya takarannya, seberapa banyak fulan harus berkorban, seberapa besar fulanah perlu berjuang, seberapa tangguh seorang manusia dapat bertahan.

Sanggup bukan ditentukan oleh kita (manusia) yang terlalu sering terperangkap dalam telur kemalasan dengan buaian akan kehangatan dan kenyamanan yang membuat kita menciptakan batasan atas kemampuan yang dimiliki. Ngaku aja deh, berapa kali kalian nge-underestimate diri sendiri padahal belum mencoba untuk memberi yang terbaik, atau mungkin menurut kalian memang sudah maksimal meski nyatanya belum.

اسْتَطَعْتُمْ، وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ"
Apabila kuperintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah hal itu olehmu menurut kesanggupanmu; dan apa saja yang aku larang kalian mengerjakannya, tinggalkanlah. (dari Rasulullah melalui Abu Hurairah r.a dalam kitab Sahihain)


Mungkin contohnya seperti aku yang belum pernah puas dengan hasil makalah yang kubuat tapi malah berpikir, “udah rela kaga tidur semalaman, ternyata segini doang batas kemampuan gue bikin makalah bagus.”

Padahal mah, aku baru mulai ngerjain saat deadline sudah menunjukkan h-1 dan justru berleha-leha ketika aku punya lebih banyak waktu untuk berkutat dengan laptop.

#good

Sedangkan ’batas’ kesanggupan yang ingin disampaikan oleh ayat ini mungkin bisa disamakan dengan keadaan ketika lu mau menghindari anjing dan air liurnya tapi malah jatuh ketimpa tangga ketumpahan cat dijatuhin tai burung nginjek kotoran kuda plus kaga ada yang nolongin. Alias sudah berusaha mengindar dari yang dilarang namun ternyata tidak berjalan lancar, alhamdulillah setidaknya masih hidup.

Hmm, analogi yang aneh.

Intinya mah, jadi manusia yang tunduk patuh kepada perintah Allah, tidak mengerjakan apa yang dilarang, dan nggak menyimpang dari jalan agama #eaak. Jangan mendahului dunia dan utamakan Allah dan Rasul-Nya #eaak(2) melakukan hal tersebut semaksimal mungkin, sampai titik darah penghabisan, hingga tarikan nafas terakhir.

For in Allah’s Religion one has been responsible only for what is within one’s power ability. He should carry out His Commands and avoid His disobedience as best as he possibly can. For if he shows laxity in this regard, he will not be able to escape punishment. However, one will not be held accountable for what was beyond one's power. Only Allah alone can decide best what was really beyond a person’s power and ability.

Terpaksa mode bilingual because karena why kenapa not tidak.

Bukan begitu deng.

Aku tuh bingung kalau kudu ngetranslate lagi jadi semoga kalian dapat mengerti sepenggal paragraf berbahasa Inggris itu ya.

Omonaa, I was sounds like ustadzah. 

Oh, no.

(merinding merinding cemas)



Siapa yang menyangka kecintaanku pada penggalan ayat surah At-Taghaabun ke 16 membawa seorang shofwa ke tahap ngesearch asbabun nuzul dan juga tafsir.

#tepuktangan

Well, sebenarnya aku merasa kalimat pembuka postingan ini berkesan apa banget. Lagi-lagi cinta. Cinta mulu kaga kelar-kelar. Namun itu adalah kalimat yang sudah terbentuk bahkan sebelum aku membuka microsoft word jadi kalau mau diubah maka aku perlu mengubah kalimat-kalimat selanjutnya juga which means mengubah hampir seluruh tulisan. Banyak jeda yang tercipta selama menulis ini, jeda yang memunculkan pikiran ‘siapa aja ya yang mengunjungi bianglala.’ Pikiran tersebut lahir akibat dari masa transisi dari SMA ke dunia perkuliahan. Ketika SMA palingan pembacaku hanya seputar teman kelas doang dan beberapa kenalan, sedangkan saat kuliah aku sama sekali tidak dapat memprediksi siapa saja yang ditakdirkan untuk ‘nyasar’ ke blog ini. Aku khawatir karena terkadang aku tidak dapat mengontrol tulisanku sendiri. Kekhawatiran yang tidak perlu namun tidak dapat dihilangkan. Greget juga sih. Kayak khawatir Lay didiskriminasi sama kedelapan member EXO karena sering nggak mengikuti jadwal kegiatan grup padahal ya ngapain juga dipikir orang aku nggak pernah update apa-apa soal EXO terkecuali ketika mereka mau comeback doang. #TheWar

Ditambah pula lokasi aku mengetik persis berada di samping tv yang menampilkan tontonan si bungsu padahal aku membutuhkan ketenangan. Bagi kalian yang masih merupakan penulis pemula (sepertiku) dan membutuhkan ketenangan berpikir, pasti pernah merasakan kondisi di mana kamu udah duduk di hadapan layar laptop yang menyala tapi tidak bisa merangkai satu kalimat sederhana atau membuat paragraf baru yang masih berkorelasi dengan paragraf sebelumnya.

Dan menyelesaikan ini membutuhkan waktu tiga hari, iyes, selama itu.

Hasilnya juga nggak panjang-panjang amat T.T

Epilog kali ini ternyata diisi oleh curhatan mendadak yha (padahal pembahasannya lagi lumayan bener wkwk).

Yasudah, ndak papa.

Regards,

shofwamn.

2 komentar

  1. Assalamualaikum Shofwan, aku minta izin share gambar yang bertuliskan fattaqullah mastato'tum ya... terimakasih banget, jazakumullah, entah, dalem banget menurutku. Semangat buat terus berkarya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaaaah, baru baca komentarnya. Silahkeun kalau mau dishare^^ Makasih juga buat supportnya yaaa:) hehe

      Hapus