Bianglala

  • Home
  • Kaleidoskop
    • BTN Entertainment
    • 128 Kata
    • 30 Tema Menulis
  • Seri Pengingat
    • #1 Paman Pelukis
    • #2 Memaknai Temu
    • #3 Don't Talk to Me About Muhammad
    • #4 Koreksi Niat
    • #5 Menyesal
    • #6 Salat Tepat Waktu?
  • Sosial Media
    • Instagram
    • Steller
Kamis, 20 Juli 2017 : 20.14 WIT

Secara nggak sadar aku memahami kalau skill menulis aku ini udah mengabur, bukan berarti dulu tulisannya bagus, well, setidaknya dulu terlihat lebih bagus dari ini, dulu yang sekitar satu setengah tahun lalu. Salah sendiri nggak pernah di-improve lagi. Salah sendiri nggak pernah baca buku lagi. Salah sendiri jadi cewek kok magerannya naudzubillah.

Salah shof, salah. 

Boleh nggak sih curcol di postingan yang harusnya lebih tertata isinya dengan bahasa yang sopan nan santun?

Untuk kali ini aku perlu hati-hati menceritakan beberapa peristiwa, perlu penyusunan kata dan kalimat yang baik agar tidak meninggalkan citra buruk. Soalnya ada beberapa hal yang (mungkin) akan memunculkan kesalahpahaman kalau ditulis memakai bahasa andalanku yang plinplan tanpa tahu tata krama.

Aidaaaaaaaa, berasa nulis hal penting saja kau ni.

Ahad, 23 Juli 2017 : 15.37 WIT

Selamat Hari Anak Nasional!!

Aku mengaku salah ketika mengatakan akan bercerita tentang Sekolah Komunitas Joki Cilik tapi sama sekali tidak berusaha untuk menyelesaikannya yang bahkan belum dimulai sama sekali akibat dari ingatan yang mulai tumpang tindih dan kebingungan yang tidak profitabel.

(profitabel)

Cih. Sok pake bahasa tingkat tinggi.

Rasanya ingin sujud syukur ketika akhirnya bisa mulai bercerita tentang kegiatan yang terjadi di bulan Mei kemarin, tapi bakal terlihat agak lebay jadi yasudah sepertinya tetap menggerakkan jari-jari di atas tuts keyboard sudah lebih dari cukup tanpa harus sujud syukur segala.

Ayo kita nostalgia~




Senin, 08 Mei 2017 21.31 WITA

Mbak Fau ziyah created grup “Komunitas Jokcil”

Mbak Fau ziyah added you.

Hah? Komunitas Jokcil? Ngapain aku dimasukin di grup ini?

Pertama kali melihat grup tersebut muncul dengan dihimpit oleh grup-grup whatsapp lainnya membuatku agak nggak ngeh ini grup apaan sih, apakah hanya grup abal-abal yang dibuat untuk saling curcol dan chatt nggak jelas. 

Pikiranku kala itu sedang tidak bisa memproses informasi dengan cepat, perlu bengong dulu liatin grup yang notifikasinya udah 100-an dan terus bertambah, menandakan sedang terjadi interaksi maya antar anggota.

“Ini grup apaan?” 

“Ya baca aja.”

Ya-baca-aja terkadang bisa menjadi jawaban yang menciptakan helaan nafas panjang, ya-baca-aja untuk sebuah grup dengan ratusan chatt yang perlu dibaca itu bisa bikin wasting time jika ternyata obrolannya nggak jelas.

“Penting nggak?”

“Ya baca aja. Ntar juga tau.”

Dalam kondisi normal seharusnya nama ‘Komunitas Jokcil’ sudah mampu memberi gambaran tentang grup apa itu, tapi emang otaknya lagi gak bener habis melewati hari yang melelahkan jadi aku masih mikir palingan ini grup rada gajelas. Soalnya anggotanya lagi aktif ngirim chatt (yang mana merupakan teman-teman psikologiku tercinteh). Tau kan sebuah grup kalau lagi rame kayak gimana, ping! ping! ping! ping! tanpa henti. Dan kalau ping-ping-ping-ping nya cepet masuk menandakan chatt yang dikirim sama anggota palingan cuma sekata, dua kata, atau paling nggak satu kalimat lah, dan itu memiliki kemungkinan yang sangat tinggi bahwa mereka sedang berngalor ngidul.

Karena malam itu memang sedang memiliki banyak sekali waktu luang yang dapat dipakai, dengan penuh kemantapan hati aku membuka grup tersebut dalam posisi sedang memakai masker yang disponsori oleh Putri.

Baru juga dibuka, rasa penasaranku soal alasan dibalik kemunculan grup whatsapp bertajuk 'Komunitas Jokcil' langsung terjawab.

“Jadi, gini, beberapa (dari anak) angkatan satu dan bu Yossy sepakat untuk peningkatan kemampuan mahasiswa psikologi, salah satu caranya adalah (dengan) pemerataan kesempatan untuk ikut dan aktif dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Jadi sebisa mungkin setiap mahasiswa punya satu kegiatan yang diikuti, diharapkan tidak mengikuti banyak kegiatan yang nantinya akan mengganggu kuliah. (Komunitas JokCil dapat diikuti oleh) mahasiswa 2016 yang mau dan belum tergabung dalam kegiatan apapun di fakultas saat ini.”


Aduh jadi ingin tersenyum tapi lagi maskeran.

Ibu Yossy adalah dekan yang sangat perhatian:) tidak salah lagi ibu adalah dekan paling cantik se-UTS.

Setelah tahu tujuan pembentukan grup, aku tetep membaca percakapan yang ada, siapa tahu ada info penting lainnya, mana Putri yang ada di sampingku dan juga sedang membuka grup whatsapp yang sama tiba-tiba ketawa. Bukan ketawa yang cuma, 'hahaha,' doang. Ketawanya udah kayak lagi nonton Running Man di adegan yang paling lucu (meski kalau Running Man, bagian yang bikin ketawa itu ketika KwangSoo dibully atau bertingkah nggak manusiawi sih).

Singkatnya, selain memberitahu tujuan dibuatnya grup 'Komunitas Jokcil' yang mana merupakan langkah awal dari keputusan bu dekan dalam pemerataan kegiatan mahasiswa Psikologi sekaligus persiapan untuk melanjutkan Sekolah Komunitas Joki Cilik, mbak Fau yang merupakan penanggung jawab juga memberi kabar terbaru kalau anak-anak yang merupakan anggota DPM dan anggota BEM (yang mana baru saja dilantik sore harinya) tidak diperkenankan untuk bergabung dalam Komunitas Jokcil meski jika ingin berkontribusi secara kasat mata juga tidak dilarang.

Aku sempat abai kalau grup tersebut isinya anak psikologi semua. Para mahasiswa yang sering ngaku sakit jiwa makanya masuk fakultas ilmu jiwa dengan tujuan ngobatin diri sendiri. Makanya begitu mendengar kabar kalau yang sudah berada di satu organisasi fakultas nggak boleh menjadi bagian dari sekomjokcil, kabar yang seharusnya menimbulkan keprihatinan karena banyak mahasiswa berkualitas berada di BEM atau DPM. Tapi, boror-boro prihatin, keprihatinan tersebut tenggelam entah kemana karena obrolan kami langsung penuh dengan drama-comedy dalam menanggapi kabar tersebut, toh, lagian kami menanggapi dengan santai tanpa perlu mengeluarkan urat tegang.

Apalagi ketika mbak Fau mulai nge-kick anak-anak DPM dan BEM. Sooo dramatic.



Rabu, 10 Mei 2017 : 17.00 WITA

“Mbak Fau, kak Surya masih lama?”

Pertanyaan yang terlontar setelah tiga puluh menit lebih hanya menghabiskan waktu dengan duduk kalem di lantai satu rektorat yang jaringan WiFinya tengah stabil.

“Kak Surya tadi sms, katanya beliau masih ada urusan. Kalian mau tetep nunggu atau reschedule jadwal meeting?”

“Nunggu aja mbak. Sudah biasa menunggu.”

Karena harapan memiliki bibit bernama kekecewaan, aku belajar untuk merendahkan ekspektasi dari menunggu sekaligus meyakini bahwa menunggu itu jauh lebih baik daripada ditunggu. Meski di beberapa kondisi, menunggu juga bisa membuat kata kata kasar terlontar. Apalagi kalau yang ditunggu nggak tahu diri. Misalnya, menunggu orang indonesia yang berprinsip hidup, ngaret is lyfe ngaret is no problem. Penantian sore hari itu terbayarkan ketika Kak Surya yang merupakan mahasiswa angkatan satu Fakultas Psikologi menunjukkan keberadaannya pada pukul 17.20 WITA sembari membawa sekresek pisang aroma dan pisang molen.

“Maaf ya saya terlambat, tadi ada meeting dengan orang-orang penting. Sebenarnya belum selesai tapi karena listrik mati jadi AC-nya juga ikut mati makanya cepat diakhiri.”

Orang yang datang terlambat dengan membawa makanan gratis dan ketulusan meminta maaf adalah orang baik.

Dibalik diskusi mengenai jokcil, aku bersyukur kak Surya datangnya mendekati maghrib jadi aku tidak menyia-nyiakan makanan yang dibawa. 

Menolak makanan gratis (yang enak) adalah suatu bentuk nyata dari kerugian.

Dan kehopeless-anku yang hilang terguyur oleh kalimat, 

“Ini perihal mau-nggak mau, bukan bisa-nggak bisa. Yang paling dibutuhkan adalah komitmen untuk menjalankan Sekolah Komunitas Joki Cilik.”

Banyak hal yang dibahas oleh kak Surya, dari yang penting hingga yang umum, tanya-jawab seputar posisi Sekolah Komunitas, dan rencana terbaru yang disampaikan dengan pertanyaan :

“Jadi gimana? Saya mendengar hari senin ada pacuan di Penyaring. Kalian siap turun?”

Edan!

Edyan edyan edyan.

September tahun lalu aku berada dalam kepanitiaan kegiatan serupa yang dilaksanakan oleh BEM Fakultas. Kala itu, kepanitiaan baru dibentuk ketika H-10 dan aku sudah omaigat nekat betul. 

Lha ini, h-4.

Tiada yang tidak mungkin~ selama itu bukan nikah sama oppa, berekspektasi tanpa usaha, ingin tidak berakhir madesu namun do nothing, atau berpasrah pada takdir padahal ikhtiar aja belum dilakukan.

“Siap kak!”

Jawaban spontan dari mbak Fau, Riris, kak Syifa, dan anak-anak yang ikut berkumpul membuatku kagum. Keoptimisan yang patut diteladani.

Entah kenapa aku excited banget ketika dapat berpartisipasi di kegiatan kali ini, mungkin kegagalan yang kualami tidak lama sebelum keikutsertaanku dalam sekomjokcil juga turut memberi andil, haha, siapa yang menyangka sebuah kegagalan sederhana dapat membuat seorang shofwa sedikit menghindari waktu luang dan mencoba untuk mendapatkan sedikit kesibukan.


Minggu, 15 Mei 2017 10.14 WITA

Biasanya, joki-joki cilik yang berasal dari daerah luar Sumbawa akan mendirikan tenda di sekitar area pacuan sebagai hunian sementara selama pacuan kuda berlansung yang membuat mereka otomatis tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah masing-masing. Maka dari itu ibu dekan sebelumnya ‘menantang’ para mahasiswa Psikologi angkatan satu untuk membuat Sekolah Komunitas Joki Cilik agar para joki cilik tetap menerima pendidikan di tengah kesibukan mereka berlaga di pacuan.

Meskipun inti dari diadakannya Sekolah Komunitas Joki Cilik tidak terletak pada hal tersebut sih, perihal memberi-menerima ilmu hanyalah tujuan sampingan.

Sekolah Komunitas Joki Cilik atau disingkat sekomjokcil sudah menjadi kegiatan rutin fakultas psikologi, diprakasai oleh angkatan pertama seperti yang telah disebutkan di atas, kegiatan ini sempat dipegang oleh BEM pada tahun 2016 sebelum akhirnya kembali menjadi kegiatan yang dinaungi oleh fakultas. 

Bahasanya bener nggak tuh. 

Aku nggak mau ngasih info langsung bejibun, biarlah step by step saja.


Pertemuan pada hari Minggu menjelang siang dimulai dengan ice breaking dari kak Surya yang ingin memberitahu kami bahwa sesederhana apapun ice breaking yang diciptakan, value of life adalah komponen penting yang tidak boleh terlupa. Dan jangan mau dirempongin ketika hendak membuat ice breaking karena kita bisa memanfaatkan anggota tubuh kita tanpa harus dibantu oleh properti lain.

Kemudian kami saling berbagi cerita, lebih tepatnya kakak-kakak angkatan satu bercerita tentang pengalaman mereka ketika mengadakan sekomjokcil untuk pertama kalinya. Ada enam orang yang datang dan mereka memiliki ceritanya masing-masing yang memiliki kesamaan pesan : joki cilik itu tidak mudah ditaklukkan.


Setelah sholat dhuhur dan istirahat makan, kami dibagi menjadi dua kelompok lalu diberi challenge untuk menyusun semua hal yang berkaitan dengan sekolah komunitas. Mulai dari divisi apa saja yang diperlukan, kebutuhan per divisi, kendala (yang mungkin akan) dihadapi, rundown kegiatan, tema yang hendak digunakan sebagai materi pembelajaran, alokasi dana, hingga jumlah peserta. Semua itu kami diskusikan hingga adzan ashar berkumandang 

“Sekarang sholat ashar dulu setelah itu kita akan melakukan simulasi sesuai dengan hasil dari diskusi yang teman-teman telah lakukan.”


Kak Surya memutuskan bahwa hasil diskusi dari kelompokku -kelompok 2- yang akan dipakai untuk simulasi sedangkan kelompok satu akan berperan sebagai joki cilik. keputusan yang sempat menuai penolakan dari beberapa anggota kelompok 2, alasannya simple, karena memerankan joki cilik dengan keaktifan dan kelincahan serta kewatadosan ala anak kecil itu jauuuuh lebih mudah dibandingkan menjadi relawan.

Dan bener aja, kelompok 1 terlalu mendalami peran mereka. Akting mereka bukan sekelas joki cilik lagi, tapi udah kayak anak autis...


Kalau hendak 'memburu' joki, usahakan jangan memakai kata belajar, tapi pakailah kata bermain:)


 it was fun, super fuuun~ because thats my first time did a simulation.


Malamnya, dengan beralasankan spanduk (atau banner?) milik fakultas tetangga, kami berembug kembali membahas detail pelaksanakan sekolah komunitas di samping asrama akhwat agar hari selasa kami sudah bisa terjun ke lapangan untuk bertemu dengan adik-adik joki cilik. Sayangnya, karena aturan jam malam sedang diawasi dengan ketat oleh pembina asrama (yang baru dan belum dikenalkan secara resmi #ehem), kami harus mengakhiri pertemuan dengan lebih cepat.

Kamis, 27 Juli 2017 12.29 WIT

Selesai deh akhirnya.

Memang belum masuk ke bagian rangkaian kegiatan, walakin Alhamdulillah 'ala kulli hal.


Jika love at first sight dijabarkan sebagai keadaan ketika kita langsung merasa ‘klop’ pada pandangan pertama lalu memikirkannya sepanjang waktu dan terkadang terbesit rasa rindu untuk melihatnya yang jika dilakukan akan memberikan efek positif dan kehangatan dalam dada.

Maka, iya, aku jatuh cinta.

Jatuh cinta sama status whatsappku yang sekarang.

Wkwkwkw.

Pun aku jatuh cinta juga sama status whatsappku yang sebelumnya.

#lemahpendirian.

cr to : dhila yang super baeeeek<3


Aku tipe orang yang agak nggak suka memajang foto sendiri (foto yang wajahnya kelihatan yaps) sebagai foto profil di akun sosmed. Mending kalau fotonya bagus jadi ya nggak perlu lah malu, wk. Sebelas bulan lalu saat bersiap memasuki dunia perkuliahan, aku memutuskan untuk nggak memakai wajahku sendiri sebagai foto profil whatsapp. Salah satu faktornya adalah ketika itu ada seseorang yang tiba-tiba megirimiku foto skrinsutan sebuah folder dalam galeri hp bertajuk, “shof,” dan isi folder tersebut fotoku semua, dan beberapa foto di folder tersebut merupakan foto profil whatsapp.

Horror.

Bukan deng. Bukan horror.

Tapi iyuh kutu kupret langsung bikin ilfeel.

Emang sih ketika kita ngupload foto ke media sosial kita juga perlu sadar akan konsekuensi kalau foto kita bakal disimpen tanpa izin. Itu sesuatu yang tidak bisa dihandle.

Tapi, foto gue saat masih kelas 10 aja disimpen sama dia.

Pake acara bikin folder tersendiri pula.

Karena itu, aku memilih untuk nggak memakai foto sendiri sebagai foto profil.

Sayang, kenyataan berkata lain.

Sebagai salah satu media sosial yang paling sering dipakai, banyak komunikasi yang terjalin di whatsapp. Dari yang penting, biasa aja, nggak penting, sampai nggak penting banget. Nah, aku hanya menyimpan nomor hp orang-orang yang emang ingin kusimpan atau pernah kuhubungi untuk suatu keperluan atau yang (sekiranya) akan aku hubungi di kemudian hari. Banyak orang yang aku kenal irl tapi nomornya nggak kusimpan Aku masuk grup HIMARA Akhwat doesnt mean aku nyimpen semua nomor anggota grup itu, bahkan aku nggak nyimpen semua nomornya anak kelas yang cuma tiga puluh sekian jadi ketika ada perlu dengan orang yang nggak aku kenal atau nggak aku ketahui wajahnya, hal berguna yang bisa kulakukan adalah melihat foto profile whatsapp yang bersangkutan.

Kadang itu membantu. Sangat membantu.

Misalnya aku ada perlu sama Putri dan mau nge chatt di whatsapp padahal nggak kenal dia.

“Eh, Putri tuh yang mana sih?”
“Itu lho, yang (ngaku) cantik seasrama murid kelas keanggunan dan (katanya) nggak mau hitz padahal udah terkenal.”
“Hah? Emang ada orang kayak gitu?”

Kemudian aku liat foto profil whatsapp Putri (yang memang menunjukkan muka dia, bukan sekadar foto pemandangan, quotes, atau wajah oppa oppa koriya) dan kutunjukkan ke temen untuk mengonfirmasi,

“Ini Putri?”
“Nah iya. Bener.”

Gitu kan enak.

Mengindari rasa malu sekiranya salah kirim.

Di sisi lain, mengindari untuk tidak dikenali juga. Soalnya aku pernah ngechatt orang dengan panjang lebar terus dijawab pake tiga kata yang membuatku menelan ludah,

“Ini siapa ya?”

Merasa aneh kalau telat memperkenalkan diri.

Awalnya ndak suka masang foto sendiri, tapi sedang membiasakan untuk biasa aja.

Palingan aku mejengin wajah juga cuma di akun yang memiliki banyak interaksi dengan orang yang tidak kita saling kenal (kayak whatsapp dan facebook) sedangkan selebihnya (Twitter, Ask.fm, Tumblr, Line, dan lain sebagainya aku lupa apa aja akun sosmed yang kupunya) perubahan untuk foto profil masih bisa diitung jari, malah ada yang nggak kuganti sejak pertamakali dibuat.

Status juga jarang diganti, apakabar status Line yang nggak berubah sejak tiga tahun lalu dan pake bahasa latin sehingga membuat shofwa berasa pinter. Wkwk.
Padahal cuma copy paste dari novel ‘Inferno’ doang.

Aku sempat mengalami problem internal di mana aku mengambil keputusan untuk menghapus setengah dari total keseluruhan aplikasi yang terdapat di hp, aplikasi yang dihapus adalah aplikasi-aplikasi yang paling sering digunakan. Saat itu adalah saat di mana aku tidak ingin berinteraksi dengan siapapun atau membaca tulisan apapun. Problem internal yang jika kuceritakan kenapa dapat terjadi hanya akan berujung sebagai pembenaran terhadap diri sendiri. Problem internal yang cukup menyita waktu makanya sampai sekarang tulisan part 1 tentang Sekolah Komunitas belum dirilis juga.

Seberapa sering pikiran tentang Sekolah Komunitas muncul dalam rentang waktu problem internal yang tengah kuhadapi #ceileh, aku nggak bisa memaksa diriku untuk mengetik karena aku berkeyakinan bahwa mengetik dalam keadaan mood yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidakpuasan di kemudian hari. Karena ketika aku membaca ulang tulisan tersebut, aku juga akan mengingat perasaanku ketika menulisnya, dan akhirnya membiarkan kenangan tidak baik kembali hadir.

#ntaps

Makanya ketika aku menginstall ulang kembali whatsapp, statusnya juga sekalian aku ganti dengan kalimat yang selalu membayangiku ketika sedang berusaha menyelesaikan problem internal.



Fattaqullaha Mastatho’tum.

Maka bertakwalah dalam kadar kesanggupanmu.

KBBI :
Tak.wa n terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya; keinsafan diri yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.

Lho,

Kenapa artinya dalam bener.

Sebelumnya, ketika terbayangi oleh kalimat ‘fattaqullaha mastatho`tum’ yang aku ingat hanya bagian dalam kadar kesanggupanmu doang. Aku tidak ingat kadar kesanggupan yang seperti apa atau yang bagaimana. Apakah kesanggupan menabung agar dapat membeli tiket konser kpop, kesanggupan menghamburkan uang demi membeli paket internet untuk nge-download drama, kesanggupan niat yang berujung pada realisasi fana, atau kesanggupan memakan berbagai macam hidangan di pernikahan orang.  Menemukan dua kata itu untuk pertama kalinya dan hanya ingat di bagian dalam kadar kesanggupanmu cuma menghasilkan kesimpulan subjektif kalau kita kudu usaha semampu kita dalam mengerjakan pekerjaan dan menyelesaikan tanggung jawab yang dimiliki. Beri effort yang terbaik, nggak usah memaksakan diri.

Namun, ternyata kesanggupan dalam bertakwa.

Makna tersebut baru aku ketahui dari hasil googling ketika sedang menyusun tulisan ini. Iya aku baru aja googling hehe. Begitu tau maknanya sedalam itu aku jadi takut, rasanya ingin dibatalkan saja cerita tentang fattaqullaha mastatho'tum lalu mengganti judul postingan jadi ‘sekelumit kisah whatsapp` misalnya agar sinkron dengan fakta kalau aku dan status whatsapp memiliki kenangan yang hanya diketahui oleh kami berdua.

Kok jijik.

(sekelumit kisah whatsapp)


JUDUL POSTINGAN ATAU JUDUL FTV?

LEBAY KALI!

Namun sudah nulis sepanjang ini yang kalau versi microsoft word menunjukkan empat halaman dengan 927 kata.
#dibuangsayang

Source : webtoon


Yosh! Pada kesempatan kali ini marilah kita membahas tentang fattaqullaha mastatho’tum. Sebenarnya keberanian untuk menulis dengan pembahasan tentang agama belum juga nongol meski aku sudah memiliki lingkaran halaqoh (eciyeh halaqoh) yang rutin. Ilmunya belum nyampe tjoy~ masih terlalu sedikit~~

Namun ndak ada salahnya mencoba.

Kalian yang membaca ini boleh banget, serius, BOLEH BANGET menginterupsi jika ada kalimatku yang salah atau tidak sesuai dengan fakta.

Fattaqullaha mastatho'tum merupakan penggalan ayat dari surah At-Taghaabun (yang ternyata udah pernah aku hafal namun qadratullah sudah tidak menempel di ingatan dan hampir terlupakan) (sejujurnya sih memang sudah lupa #plak #tertampar), tepatnya ayat ke-16. Asbabun nuzulnya kurang lebih seperti ini :

Said bin Jubir r.a menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kecemasan kaum muslim tatkala surah Ali Imran ayat 102 diturunkan. Kaum muslim beramal sekuat-kuatnya, mereka terus-menerus mengerjakan qiyam (sholat sunnah) hingga tumit mereka berngkak dan kening mereka bernanah. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk meringankan mereka.
(HR Ibnu Abi Hatim. Lihat Ibnu Katsir 6/112 dan Qurthubi : 10/6869)

Masha Allah:’) kaum muslim yang hidup bersamaan dengan waktu di mana wahyu masih diturunkan ayat per ayat memang luar biasa.

Menurut tafsir yang terdapat di aplikasi Ayat (tafsirnya versi bahasa Inggris weh aku ndak terlalu paham) (efek dari tafsir versi Indonesia yang cuma kayak terjemahan doang).

Apikasi itu memberitahu jika terdapat ayat yang similar dalam al-Qur’an yaitu, “Fear Allah as he should actually be feared.” (Ali Imran : 102), “Allah decides not burden any one with a responsibility heavier than he can bear.” (Al Baqarah : 286). And the last is, “Fear Allah as far as you can.” (At Taghaabun : 16)

Nah, ketika makna ketiga ayat dibaca bersamaan bakal menunjukkan kalau ayat yang pertama menetapkan aspek ideal bagi setiap umat muslim yang harus mencoba untuk mencapai tingkat takwa yang sebenarnya. Ayat kedua mendobrak prinsip bahwa tidak ada seorang pun yang udah terkualifikasi perlu untuk mendesak dirinya di luar batas kekuatan dan kemampuannya. Ayat terakhir memerintahkan supaya setiap muslim untuk dengan penuh kesadaran mencoba agar mencapai ketakwaan kepada Allah dalam batas kesanggupannya. 

Kalian bingung nggak dengan paragraf di atas yang bahasanya baku baku ndak jadi?

Soalnya aku agak bingung. Itu paragraf adalah hasil usahaku dalam nge-translate yang ternyata masih hampir selevel kayak hasil dari google translate.

Fattaqullaha mastatho’tum = fear Allah as far as you can = bertakwalah dalam kadar kesanggupanmu.

Nah, sanggup yang seperti apa yang dimaksud oleh ayat tersebut?

Kalian tahu kan bahwa manusia tidak dibebani dan diberikan ujian yang sama, kita diberi ujian kehidupan yang memang sesuai dengan kemampuan kita makanya nggak perlu mendesak diri sampe ke luar batas seperti yang tertera pada ayat kedua tafsir di atas atau ayat ke 286-nya surah Al Baqarah. Sebagai seorang manusia, kita sama-sama diberi ujian, sama-sama memiliki misi, sama-sama diwajibkan untuk menyebar kebaikan. Yang membedakan hanya takarannya, seberapa banyak fulan harus berkorban, seberapa besar fulanah perlu berjuang, seberapa tangguh seorang manusia dapat bertahan.

Sanggup bukan ditentukan oleh kita (manusia) yang terlalu sering terperangkap dalam telur kemalasan dengan buaian akan kehangatan dan kenyamanan yang membuat kita menciptakan batasan atas kemampuan yang dimiliki. Ngaku aja deh, berapa kali kalian nge-underestimate diri sendiri padahal belum mencoba untuk memberi yang terbaik, atau mungkin menurut kalian memang sudah maksimal meski nyatanya belum.

اسْتَطَعْتُمْ، وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ"
Apabila kuperintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah hal itu olehmu menurut kesanggupanmu; dan apa saja yang aku larang kalian mengerjakannya, tinggalkanlah. (dari Rasulullah melalui Abu Hurairah r.a dalam kitab Sahihain)


Mungkin contohnya seperti aku yang belum pernah puas dengan hasil makalah yang kubuat tapi malah berpikir, “udah rela kaga tidur semalaman, ternyata segini doang batas kemampuan gue bikin makalah bagus.”

Padahal mah, aku baru mulai ngerjain saat deadline sudah menunjukkan h-1 dan justru berleha-leha ketika aku punya lebih banyak waktu untuk berkutat dengan laptop.

#good

Sedangkan ’batas’ kesanggupan yang ingin disampaikan oleh ayat ini mungkin bisa disamakan dengan keadaan ketika lu mau menghindari anjing dan air liurnya tapi malah jatuh ketimpa tangga ketumpahan cat dijatuhin tai burung nginjek kotoran kuda plus kaga ada yang nolongin. Alias sudah berusaha mengindar dari yang dilarang namun ternyata tidak berjalan lancar, alhamdulillah setidaknya masih hidup.

Hmm, analogi yang aneh.

Intinya mah, jadi manusia yang tunduk patuh kepada perintah Allah, tidak mengerjakan apa yang dilarang, dan nggak menyimpang dari jalan agama #eaak. Jangan mendahului dunia dan utamakan Allah dan Rasul-Nya #eaak(2) melakukan hal tersebut semaksimal mungkin, sampai titik darah penghabisan, hingga tarikan nafas terakhir.

For in Allah’s Religion one has been responsible only for what is within one’s power ability. He should carry out His Commands and avoid His disobedience as best as he possibly can. For if he shows laxity in this regard, he will not be able to escape punishment. However, one will not be held accountable for what was beyond one's power. Only Allah alone can decide best what was really beyond a person’s power and ability.

Terpaksa mode bilingual because karena why kenapa not tidak.

Bukan begitu deng.

Aku tuh bingung kalau kudu ngetranslate lagi jadi semoga kalian dapat mengerti sepenggal paragraf berbahasa Inggris itu ya.

Omonaa, I was sounds like ustadzah. 

Oh, no.

(merinding merinding cemas)



Siapa yang menyangka kecintaanku pada penggalan ayat surah At-Taghaabun ke 16 membawa seorang shofwa ke tahap ngesearch asbabun nuzul dan juga tafsir.

#tepuktangan

Well, sebenarnya aku merasa kalimat pembuka postingan ini berkesan apa banget. Lagi-lagi cinta. Cinta mulu kaga kelar-kelar. Namun itu adalah kalimat yang sudah terbentuk bahkan sebelum aku membuka microsoft word jadi kalau mau diubah maka aku perlu mengubah kalimat-kalimat selanjutnya juga which means mengubah hampir seluruh tulisan. Banyak jeda yang tercipta selama menulis ini, jeda yang memunculkan pikiran ‘siapa aja ya yang mengunjungi bianglala.’ Pikiran tersebut lahir akibat dari masa transisi dari SMA ke dunia perkuliahan. Ketika SMA palingan pembacaku hanya seputar teman kelas doang dan beberapa kenalan, sedangkan saat kuliah aku sama sekali tidak dapat memprediksi siapa saja yang ditakdirkan untuk ‘nyasar’ ke blog ini. Aku khawatir karena terkadang aku tidak dapat mengontrol tulisanku sendiri. Kekhawatiran yang tidak perlu namun tidak dapat dihilangkan. Greget juga sih. Kayak khawatir Lay didiskriminasi sama kedelapan member EXO karena sering nggak mengikuti jadwal kegiatan grup padahal ya ngapain juga dipikir orang aku nggak pernah update apa-apa soal EXO terkecuali ketika mereka mau comeback doang. #TheWar

Ditambah pula lokasi aku mengetik persis berada di samping tv yang menampilkan tontonan si bungsu padahal aku membutuhkan ketenangan. Bagi kalian yang masih merupakan penulis pemula (sepertiku) dan membutuhkan ketenangan berpikir, pasti pernah merasakan kondisi di mana kamu udah duduk di hadapan layar laptop yang menyala tapi tidak bisa merangkai satu kalimat sederhana atau membuat paragraf baru yang masih berkorelasi dengan paragraf sebelumnya.

Dan menyelesaikan ini membutuhkan waktu tiga hari, iyes, selama itu.

Hasilnya juga nggak panjang-panjang amat T.T

Epilog kali ini ternyata diisi oleh curhatan mendadak yha (padahal pembahasannya lagi lumayan bener wkwk).

Yasudah, ndak papa.

Regards,

shofwamn.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Bianglala's Author

Shofwa. Manusia yang lebih senang berbicara dalam pikiran, punya kebiasaan bersikap skeptis terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jatuh cinta dengan makna nama yang dimiliki: keikhlasan dalam cinta.

My Post

  • ►  2025 (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2024 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2021 (10)
    • ►  November (2)
    • ►  September (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2019 (36)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (28)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (18)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
  • ▼  2017 (41)
    • ►  Desember (2)
    • ▼  Juli (2)
      • SeKomJokCil 2017 : Permulaan
      • Fattaqullaha Mastatho'tum
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (13)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (13)
  • ►  2016 (21)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (33)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Bianglala. Designed by OddThemes