Menyontek, Mimpi, dan Masa Lalu


Beberapa waktu terakhir aku kayak dibayang bayangi sama bianglala, mau tidur kebayang, lagi nonton random video di hp lalu kebayang, bahkan habis sholat aja kebayang.

“Maafin aku nggak pernah ngupdate kamu lagi. Kalau mau buka kamu lewat Kai artinya aku harus ke kampus bawa Kai tapi kampusku jauh dan Kai tidak seringan itu. Nanti kalau aku tambah pendek, yang mau tanggung jawab siapa?” ujarku bermonolog ketika membayangkan nasib bianglala.

Wow. Kapan coba terakhir kali aku menyebut laptopku dengan nama noraknya, Kai.

Jadi, cerita apa yang akan ada di postingan kali ini?

Kalau Orizuka berkata apa pun selain hujan, cinta dengan apa pun selain benci, anak rantauan dengan apa pun selain rindu, aku cukup dengan apa pun selain menyontek.

A mainstream topic, right? Then just read if you wanna read because I trying to post something new here even i dont know what i have to write.

#halah

Karena banyak dari kalian yang nggak akan ngerti dan juga aku hanya akan membuang-buang kata kalau ngomongin soal TT –mv baru twice- yang gerakannya gampang-gampang susah, ngebedah kenapa Lisa pendiam banget di Weekly Idol, Gary yang udah ninggalin Running Man (episode perpisahannya, love it!), atau Moon Lovers yang endingnya minta diumpat.

Moon Lovers asdfjfjkfec minta diumpat banget emang.


Semua aja mati, matiin aja semua, huh.


Tapi termaafkan karena baekhyun,


dan IU,


dan pangeran-pangeran yang bermuka licin mulus bak porselen,


dan juga OSTnya yang bikin baper (meski nggak paham artinya) (kan biasanya emang gitu) (sudah biasa).


Mari kita persingkat saja.

Sepanjang kehidupanku di dunia yang selalu berubah ini, ujian tengah semester satu setengah bulan yang lalu adalah pengalaman pertamaku sekelas dengan orang-orang yang menyontek ketika ujian, entah karena terpaksa atau biasa.

Bener-bener pengalaman pertama, padahal aku nggak pernah kepikiran akan hal itu. Dunia perkuliahan emang beda dari dunia SMA, tapi yah, menyontek lho, menyontek, ME.NYON.TEK.



Apa faedah dari hal tersebut coba?



Aku nggak bilang kalau aku nggak pernah nyontek, aku sering nyontek kok waktu SMA, khususnya di pelajaran bahasa Jawa, wih, udahlah nggak usah ditanya kalau menyangkut pelajaran satu itu, mau soalnya gampang mau sedengan mau susah, kemungkinan seorang shofwa menyontek adalah sebesar 98,98% emang orangnya tukang menyepelekan tugas pelajaran minor, jadinya ya begitu. Boro-boro minor deh, orang tugas pelajaran mayor juga sering disepelekan kok, hehe.

12,12% kemungkinan shofwa tidak menyontek digunakan ketika ujian tiba. Aku lebih milih capcipcup kembang kuncup atau melafalkan bismilahirrahmanirrahim buat milih jawaban bahasa jawa (yang untungnya setiap ujian selalu berupa pilihan ganda ditambah 5 essay yang mayoritas jawabannya bisa ditemukan di teks pilihan ganda) daripada harus bisik-bisik ke teman samping-belakang-depan.

Karena aku berkeyakinan bahwa hasil yang didapat dengan usaha sendiri tidak akan berbeda jauh dengan hasil dengan usaha bertanya pada teman.

#tsaaaaah

Aku masih nggak paham sama esensi dari menyontek saat ujian. Mungkin alasan dibalik perbuatan itu bermacam-macam dan aku tidak mengetahuinya, but why?

Kenapa kalian memutuskan buat menyontek di saat kalian bisa memaksa diri kalian untuk belajar. Come on guys, if you are not doin’ anything for yourself, the world will punish you down.

Ketika kamu lunak sama diri sendiri, dunia akan keras. Begitu pun dengan sebaliknya.

Menyontek emang bisa berupa macam-macam, bahkan saat ini aku masih kayak gitu kalau ngerjain tugas alias masih copy paste sana-sini. Tapi tiap aku ngerjain makalah (entah di mata kuliah apapun), jauuuuuuuh di lubuk hati yang terdalam selalu terbesit keinginan untuk ngerjainnya pure 100% pakai kata-kataku sendiri. Aku mikirnya kalau aku modal copy paste mulu kapan aku berkembangnya. Search google, copy paste, ngedit seperlunya dan taraaaa, tugasnya selesai.

Meski ngedit juga butuh waktu lama tapi tetep aja ada bagian dalam diriku yang mengatakan bahwa yang aku lakukan tuh salah. Harusnya nggak gini.

Terlepas dari masalah copy paste, sampai saat tulisan ini dibuat aku baru dua kali melakukan apa yang dinamakan menyontek ketika ujian. 

Masih tergambar jelas diingatan tentang kejadian tujuh tahun lalu.

Shofwa, kelas 6 SD, semester satu, UTS pelajaran IPA.

Aku duduk di meja ketiga dari depan yang bersebelahan dengan jendela, jumlah soalnya ada 30 butir dan kesemuanya pilihan ganda. Aku stuck di satu soal, galau antara dua pilihan, kalau nggak salah pertanyaan tentang angin laut angin darat deh, aku sering ketuker sama dua hal itu. Habis capcipcup blablabla akhirnya aku milih jawaban dengan 60% keyakinan kalau bakal bener. Udah kan. Waktu aku beranjak dari tempat duduk pas banget teman di belakangku juga baru mau ngumpulin lembar jawaban. Entah mata dia emang pengennya fokus ke lembar jawabku atau nggak sengaja liat atau gimana dah aku nggak ngerti lagi, dia tiba-tiba nyeletuk,

“Lho shof, bukannya nomor sekian jawabannya D ya?”

Nomor yang dia tanyakan adalah nomor yang aku galaukan. Jawaban yang dia ajukan adalah jawaban yang merupakan opsi keduaku.

“Emang iya?”

“Iya tauuuu.” Udah yakin banget tuh nadanya, kayak dia adalah sang sempurna yang nggak pernah salah, wkwkwk.

Akhirnya aku ganti deh, dari jawabanku yang sebelumnya ke opsi D.

Sebagai murid yang cukup rajin dan berteman dengan anak-anak peraih peringkat atas membuatku lumayan dekat sama guru IPA. Begitu UTS IPA selesai, lembar jawabannya langsung diperiksa sama guru yang bersangkutan. Tau kan ya anak kecil tuh hobi sksd dan hampir nggak punya urat malu, makanya aku sama dua temenku ngerubungi guru IPAku yang sayangnya aku lupa nama beliau siapa buat ngeliat nilai kita.
 
Temenku yang pertama, si langganan juara pertama, dapet 100 dia.

Temenku yang kedua, si fluktuatif kadang juara dua kadang tiga, dapet 100 juga.

Giliranku.


Aku dapet nilai 96.


Gara-gara ada satu jawabanku yang salah.


Salah satu.


Sa. Lah. Sa. Tu


Dan salahnya di soal yang aku ganti jawabannya.

BIAWAK KUDISAN!!!!!!!

Yang lebih menyakitkan hati adalah fakta kalau jawaban yang bener itu jawaban yang aku pilih sebelumnya.

Jadi, kalau aku nggak ngubah jawabanku, aku juga bakal dapat nilai 100. Untung waktu itu aku masih polos dan belum tau kata-kata umpatan jadi ya cuma kesel sambil ngomel-ngomel sendiri. Mana temenku yang ngerasa paling benar itu cuma dapat 87 pula.

Rasa keselnya nggak lama, tapi bisa jadi hal itu termasuk pengalaman traumatis (buktinya aku masih inget setelah tujuh tahun berlalu) yang mengajarkanku untuk nggak usah percaya sama ucapan temen ketika ujian dan itu berarti membuatku jauh-jauh dari perbuatan bernama menyontek.

Tapi toh, ujung-ujungnya aku nyontek lagi, hehe, nyontek dong, hehe.

Kali ini bukan gara-gara ucapan temen.

Jadi gini, setelah naik ke kelas 8 aku memutuskan untuk pindah sekolah dari SMP IT Al-Bina, Ternate ke SMP IT Bina Umat, Yogyakarta. Oppa tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Aku pindah tanggal 29 September 2011, H-7 menjelang pelaksanaan UTS.

Yah, senekat itu.

Meski sama-sama bertitel Islam Terpadu, tapi perbedaannya terlalu jauh. Di AlBina, aku belajar dan membaca bahasa arab hanya ketika pelajaran bahasa arab doang sedangkan di Bina Umat, duh, semuah pelajaran diniyah pakai bahasa arab tjoy. Aing teh ndak paham guru-guru diniyah pada bahas apa di depan kelas.

Bahkan waktu UTS telah tiba, aku tetep nggak tau kudu belajar apa untuk pelajaran diniyah.  Pada bilang kalau aku kudu ngafalin apa yang tertullis di buku paket tapi hati kecilku berkata gak mungkinlah aku kudu ngafalin bahada arab yang super banyak itu.

Eh gataunya emang dihafalin, wakakaka.

Di Bina Umat, ketika UTS tiba, tempat duduknya bakal diatur berdasarkan absen dan saat itu aku dapat tempat duduk di barisan paling belakang karena namaku yang berawalan S #TimAbsenTerakhir #ApaItuAbsenAwal. Beruntungnya lagi, karena masuk jejeran absen terakhir jadinya aku nggak dapet teman semeja alias duduknya sendiri. Seingetku aku belum punya niat menyontek dari awal, kalau ujian gitu kan emang kebiasaan bawa buku paket pelajaran yang akan diujikan untuk sedikit dibaca baca dan di review. Aku bawa buku paket mahfudhot dong (mahfudhot adalah pelajaran diniyah yang mempelajari tentang syair syair syahdu nan indah, tentu saja dengan menggunakan bahasa arab #fyi #cmiiw), gara-gara kecemasan yang berlebihan, hingga pengawasnya tiba aku masih aja buka itu buku padahal ya aku nggak tau syairnya kudu diapain (yang ternyata HARUS dihafal), tasku udah terlanjur kutaruh di depan, akhirnya buku mahfudhotnya kutaruh di laci. Qadratullah, posisi laci mejaku itu normal alias belum dibalik padahal kalau ujian posisi meja kudu dibalik biar lacinya ngadep orang yang didepan untuk meminimalisir terjadinya menyontek.

Nah, pas ngerjain soal, aku blank, blank banget sampai pengen nangis gara-gara liat temen-temenku yang sibuk ngerjain, sedangkan aku cuma bisa natep kertas soal dengan pandangan, “kamu harus kuapakan wahai soal?” mau ngarang juga gimana orang jawabannya pake bahasa arab:(((((( super hopelesss. Ditengah keputusasaan, aku teringat akan buku mahfudhot yang tersimpan di laci.

Allah.

Sekali ini.

Maafin aku karena nggak jujur.

Aku ngebuka buku mahfudhotnya diem-diem dengan adrenalin yang meningkat tajam. Sumpah ya, waktu itu aku deg-deg an banget takut kalau ketahuan soalnya hellooo, baru juga jadi anak pindahan terus udah berani nyontek??!  

Perbuatan jelek tersebut membuatku bisa menyelesaikan satu syair.

Nilainya?

Dih, kaga usah ditanya. Ku lupa tapi yang pasti dibawah 50.

Tapi, diantara -sekitar- 9 pelajaran diniyah, aku cuma nyontek waktu ujian mahfudhot doang. Nggak yang lainnya. Dan itu pertama dan terakhir kali aku nyontek because i have to believe in myself.



Makanya, bagi kalian-kalian yang menyontek, mending berhenti deh daripada kalian nggak berkembang. Mungkin sekarang kalian nggak ngerasa rugi, tapi masa depan kalian dipertaruhkan, masa depan dan harga diri.

Orang yang nggak percaya sama dirinya sendiri belum tentu nyontek tapi orang yang nyontek pasti nggak percaya sama dirinya sendiri.

Wkwkwkwkwkwkwk

I'm serious btw.

Aku selalu serius untuk hal hal semacam itu, but back to my real personality. I just silent like i always did as a INFP person.

Aku cuma bisa diem aja kalau berhadapan langsung sama orang-orang yang nyontek, baru deh ketika dibelakang kayak lagi nulis gini, cerewetnya keluar. Soalnya kalau lagi nulis enak, bisa ngumpat, bisa ngomel, bisa capslock jebol, bisa terlihat baik padahal mah apa, dan bisa yang lainnya. Kekurangannya cuma kadang ekspresi dan nada yang tersampaikan tidak terlalu tepat.

Toh irl juga kadang ekspresi sama nada suaraku nggak terkontrol  dengan baik, so, i love writing more than speaking.

Meski aku sadar kalau aku nggak jago-jago amat dalam menulis, makanya aku nggak tau gimana bahasa yang enak untuk menceritakan (EYAK CERITA) tentang mimpiku di suatu malam yang nohok banget.

Aku pernah baca di sebuah web kalimat yang mengatakan kalau mimpi baik tuh datangnya dari Allah, mimpi buruk dari setan, dan mimpi yang tetap diingat meski udah bangun itu datang dari hati. Terdengar amat sangat tidak ilmiah, bukan? Anggap aja sebuah pengetahuan baru.

Ada beberapa mimpi yang masih kuingat ketika aku terbangun, aku emang selalu membiasakan diri untuk mengingat-ingat apa yang kuimpikan ketika aku udah bangun. Waktu aku bermimpi, nggak jarang aku tau kalau aku lagi mimpi tapi belum sampai tahap lucid dream (PADAHAL PENGEEEEN BISA JADI LUCID DREAMER😢😢) alias belum sampai tahap di mana aku bisa mengendalikan mimpiku. Biasanya ketika lagi mimpi, ada saat-saat di mana aku tau dan sadar kalau aku lagi di dalam mimpi kayak “wah aku kan lagi mimpi,” tapi seringnya beberapa saat setelah aku sadar secara otomatis aku langsung lupa sama pikiran “lagi mimpiku” itu dan malah terbuai sampai akhirnya tersadar di pagi hari.

Pas bangun aku langsung nyesel, bisa-bisanya terbuai sama mimpi sendiri.

Dan mimpi malam itu, ketika aku berhasil mengingat mimpi itu, nohoknya langsung ke hati, bener-bener nohok nggak tau kenapa malah bikin perasaan takut nongol.

Aku mimpi...

Kalau aku lupa sama alfatihah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

HORROR KAN.

ITU HORROR TAU.

HORROR BANGET.

LEBIH HORROR DARIPADA KEJADIAN MIMPI TIGA KALI DIKEJAR POCONG DI TEMPAT YANG SAMA NAMUN DALAM WAKTU YANG BERBEDA.

Aku pernah bilang kalau aku lumayan suka jadi Imam. Imam sholat ya bukan imamnya kamu, makin horror aja kalau aku jadi imamnya kamu:(( di mimpi ku itu aku diminta jadi imam sholat maghrib, baru aja rakaat pertama dan baru mulai baca Alfatihah, tiba-tiba aja bacaanku malah muter muter gitu, sampai dibenerin tiga kali sama orang disampingku dan akhirnya ada yang nyeletuk, “Ganti imam! Baca alfatihah aja nggak bener gimana mau jadi imam!”

Abis itu, bukannya jadi makmum sholat, aku malah ngacir ke kamar terus marah-marah kezel.

(MARAH-MARAH)

UDAH LUPA SAMA SURAH YANG HARUSNYA MENDARAH DAGING, MASIH BISA GITU MARAH-MARAH???!

Kebanyakan mimpi emang cuma bunga tidur semata meski (mungkin) beberapa diantaranya merupakan refleksi dari bawah kesadaran atau juga sebuah teguran dari antah berantah, who knows.

Sedangkan mimpiku yang barusan kuceritain, hmmm, jangan sampai aku lupa sama alfatihah beneran, kalau sampai lupa berarti itu mah udah parah separah parahnya iman. Bisa jadi itu adalah teguran gara-gara aku udah mengabaikan hafalan yang mulai mengabur. Kayak, “kamu tuh udah dikasih kemampuan buat menghafal, udah dikasih waktu untuk menghafal, terus kok malah dilupain?”

Semenjak kuliah, aku mengakui kalau intensitas mengahafalku nyaris nggak ada, dan akhir-akhir ini aku jadi rindu ngerasain sensasi meghafal karena yang kulakukan enam bulan terakhir cuma murajaah dan murajaah dan murajaah meski intensitas murajaah ku juga nggak tinggi alias nggak sering-sering amat. Padahal di sini udah dikasih “hadiah” berupa program tahfidz di asrama dari hari Senin-Jum’at yang artinya pas diri ini lagi males masih ada orang yang negur buat hafalan/murajaah.

Masih ada program tahfidz aja gini, gimana besok kalau udah bener bener ketemu sama dunia. Duh.

Amunisi utama menjadi seorang mahasiswa yang menuntut ilmu psikologi adalah kekuatan untuk bikin persentasi, menuntaskan studi kasus, melakukan observasi, dan bersahabat dengan timbunan materi. Mayoritas diantaranya merupakan hal-hal yang sangat kuhindari karena memulai interaksi dengan orang baru tuh isnt my style banget.

Pokoknya semua hal yang berhubungan dengan interaksi terhadap orang yang tidak dikenal bisa jadi masalah besar bagi aku, benar-benar besar. Mungkin kalian beranggapan,”apa banget sih, alay tau nggak shof. Tinggal kenalan biar bisa observasi, lalu wawancara, dan tugas lu bisa kelar.”

But,



Guys,



Itu tuh,



Bener-bener beraaaaaaaaaaat.


Seperti saat ini, ujian semester untuk mata kuliah psikologi perkembangan dihapus. Sebagai gantinya, kami harus nyari anak terjun ke lapangan untuk studi kasus dan objek penelitiannya adalah anak-anak yang masih dalam proses perkembangan.

Dan tugasnya INDIVIDU.


INDIVIDU!!!!!!!


Abdnjwksialanoxhebwdjtaibsjxjzjanjirnsnxijcnbangkejfdkjfahuhusjdnjaklemmecryahf.


Mikirnya aja udah bikin rasa frustasi tersendiri.


Fakta = tugas psikologi perkembangan

Masalah = bersifat INDIVIDU dan TERJUN LAPANGAN.

Solusi : Mencoba untuk ramah dan supel agar cepat mendapatkan anak yang bisa diobservasi.


 Aku tau masalahnya dan aku tau cara penyelesaiannya, aku paham juga kalau dengan ini aku bisa belajar memaksa diriku buat mengimprove skill sksd. Sedangkan kefrustasian ini hanya bersifat sementara. Tapi ya gimana ya, emang pada dasarnya aku susah ngobrol sama orang yang jarang atau nggak pernah kuajak ngobrol, apalagi kalau face to face. Thats why banyak orang yang bilang kalau aku tuh pencitraan, di luar keliatannya aja kalem padahal aslinya bedugal sering gila kehabisan obat.

Tiap ada yang bilang kalau aku pencitraan rasanya pengen ku bantah habis-habisan tapi nggak bisa, udahlah terserah mereka mau ngomong apa kan aku menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.

Aku bakal kalem sama orang baru tapi kalau udah kenal banget, yassalam, langsung nyesel dah kalian temenan sama aku. Kelakuanku sering malu-maluin soalnya wkwkw. Karena aku lebih pede mengutarakan pikiran jika tidak berbicara langsung, tiap aku natap orang nih ya entah cuma sama satu orang atau di depan banyak orang pasti pikiranku langsung blank. Aku belum bisa natap mata orang lama-lama.

Kunci agar deket sama banyak orang adalah jadi orang yang supel, minimal suka ngomong. Dan aku nggak suka ngomong panjang kali lebar kali tinggi sama orang yang nggak kuangap deket. Karena semakin banyak aku bicara, mereka semakin mendapatkan banyak fakta tentang diriku, semakin banyak aku bicara, bukan tidak mungkin akan ada aib yang terungkap, semakin banyak aku bicara,  akan semakin banyak pula hal nggak penting yang dibicarakan.

Alaaaah, alesan mu kok nggak mutu banget sih shof.

Sebenernya, alasannya utamanya ada dua. Suara dan Pikiran.

Suaraku kecil, aku nggak bisa ngomong dengan keras. And i cant spell right ‘r’ and ‘s’ jadi aku sadar diri  kalau omonganku sering nggak jelas. Udah kecil, nggak jelas pula, mending aku diem aja daripada disuruh ngulang kalimat gara-gara lawan bicaraku nggak denger aku ngomong apa. Capek dan malesi. Itu juga alasan kenapa aku jarang nyapa orang, karena terkacangi ketika udah berniat menyapa hanya karena suara kecilku ini jauh lebih menyakitkan daripada dikacangi dengan sengaja.

Sedangkan alasan yang kedua,

Pikiran.

Pokoknya setiap ngomong sama orang, aku lebih suka mengikuti alurnya mereka, mengikuti jalan pikirnya mereka. Makanya aku adalah orang yang paling nggak cocok untuk diajak debat karena aku lebih suka menyimpan pendapatku dan mendengar pendapat lawan bicaraku entah pendapatnya benar atau salah. Kalau benar ya alhamdulillah dapet ilmu baru sedangkan kalau salah ya alhamdulillah bisa belajar. Aku lebih cocok jadi pendengar yang cuma mendengar, habis aku kadang kesel sama orang yang ketika ada temennya cerita terus dia malah," aku juga gitu kok blablabla malah lebih parah soalnya blablabla."

Minta ditabok.

Kesannya kayak kurang menghormati cerita temennya meski mungkin niatnya baik mau berbagi pengalaman. tapi ya kalau keseringan kan ngeselin.

Cuma di beberapa orang aja aku bisa sedikit “berdebat.”

Jalan pikiranku kadang bisa jadi amat sangat tidak menuntungkan. Misalnya kalau lagi di dalam kelas, dosen nerangin tentang ini tentang itu terus aku cuma iya-iya aja, aku pengen nanya tapi nggak tau mau nanya apa karena aku mengganggap kalau materi yang diterangin dosen udah jelas (dan emang udah) biasanya pertanyaanku baru nongol ketika kelas udah berakhir.

Intinya, kalau dikelas aku susah berpikiran out of the box. Soalnya sebelum bertanya aku bakal menganalisis pertanyaanku, “kira-kira beliau bakal jawab apa ya?” “eh, kalau aku nanya ini bukannya jawabannya bakal gini.” Dan nggak jarang aku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku ketika aku lagi mikir:’) makanya selama hampir satu semester ini aku belum pernah bertanya sekalipun ketika di kelas. Greget sama diri sendiri, tapi aku juga nggak mau ngambil kemungkinan bakal ditatap sama temen-temen kelas kalau aku menanyakan sesuatu yang -misalnya- tidak penting.



TUGAS PSIKOPER GIMANA KABARNYA TERUUUUS!!!

*nangiz di pojokan*

Tujuan utamaku masuk psikologi bukan untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya. Saat ini aku sedang mengingat kalau aku masuk psikologi karena kemauan diriku sendiri. Jadi kalau aku lagi ketimpa masalah nggak boleh nyalahin orang lain, kalau lagi dalam fase jenuh nggak boleh nyalahin orang lain, kalau lagi pengen berontak ditahan aja. Emang masa SMA nggak cukup dijadiin pelajaran? Masih mau diulang? Masih mau bersikap childish? Masih mau berlindung dengan kalimat lagi nyari jati diri?

Sekarang juga masih nyari sih, tapi nggak mau pake metode berontak melanggar peraturan ini idup gue lo nggak usah ganggu.


Nggak. Nggak kayak gitu.


Dan aku masuk psikologi buat. . . . . .


Hmm...


Buat apa ya.


Buat mempersiapkan apa yang akan terjadi di masa depan mungkin/?/



Psikologi kan ntar cabangnya bakal banyak tuh, dan sekarang aku sedikit tertarik pada dua cabang. Emang sih penjurusannya masih agak lama tapi nggak ada salahnya mikir dari sekarang. Dan dalam memilih, aku nggak boleh gamang hanya karena satu dua kabar yang bilang kalau cabang psikologi A tuh gini gini gini, cabang psikologi b tuh tugasnya bikin mampus, cabang psikologi c banyak laporannya. Keder mungin dengernya, tapi (lagi-lagi) aku harus ingat kenapa aku milih fakultas ini.

Padahal mah sebenernya aku juga nggak tau kenapa bisa "nyasar" di fakultasku yang sekarang.

Menurutku, temen yang paling pantas ditakuti adalah orang-orang yang paham akan ilmu psikologi, aku bilang paham loh ya, jadi belum tentu dia anak psikologi. Soalnya setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia hampir pasti dipelajari dalam psikologi. Frustrasi, Stress, Berpikir, Berbahasa, Emosi. Aku mempelajari hal-hal sekecil itu.

Ini aku sok tau banget, baru juga jadi mahasiswi satu semester.

Mahasiswi semester satu yang kesibukannya baru digentayangi sama makalah-makalah, ntar semakin tinggi semestersnya, yang menggentayangi bakal semakin banyak. 

I feel excited and afraid at same time.


regards

me after all this time.


ps : AKU UDAH DAPET SUBJEK BUAT PSIKOPER, HUHU, GATAU KENAPA TAPI AKU SENENG BANGET.

0 komentar