Kuliah/Nggak Kuliah


Di atas ketinggian puluhan ribu kaki aku menyadari sesuatu, bahwa sesungguhnya semakin tinggi umur seorang manusia maka semakin besar pula ego yang dimilikinya. Kesadaran itu muncul bukan karena sedang berada di dalam perut burung besi yang udah mengudara selama setengah jam, hello, thats not my first experience with plane but for second time aku naik pesawat dengan lampu tanda sabuk pengaman yang menyala.

Berguncang-guncang tjoy, mendadak adrenalin meningkat tajam.

Yang aku pikirkan saat pesawat bergucang menembus awan adalah fakta bahwa aku belum siap mati, yah emang rada lebay sih parno kambuh padahal cuma guncangan kecil sedangkan di kursi sebelah kakak-adek gue tertidur pulas. Umur seseorang memang tidak bisa ditebak dan aku takut cuma karena masih banyak hal yang belum ku lakukan serta belum ku capai.

Salah satunya, daftar keinginan.

Karena shofwa delapan tahun yang lalu adalah seorang anak berusia 10 tahun yang tidak takut mati karena mengetahui kalau anak yang belum baligh entar masuk surga.

HAHAHA, YAALLAH, PIKIRAN ANAK KECIL:’)

Shofwa 8 tahun yang lalu sudah merasa bahagia dengan pengalaman yang ia punya dan barang yang ia miliki.

Sekarang mah boro-boro. Waktu di pesawat aku mikir banyak hal, “Ya Allah semoga pesawatnya nggak kenapa-napa, aku belum siap mati. Aku belum kuliah, belum nikah, belum punya gelar, belum ketemu temen-temen, belum ngelakuin hal ini, belum beli barang itu, dan belum belum yang lain.”

Makin tua keinginannya makin banyaaaaaaak, entah muncul karena desakan kebutuhan atau karena hasrat pribadi.

Dan waktu itu aku janji, kalau aku selamat, aku bakal langsung nge-post tiga tulisan di bianglala.

Ehehehehe, janji mulu, ehehehe, padahal susah nepatin, ehehehe, DASAR SOK! BISANYA JANJI DOANG!

Dulu, denger orang cerita tentang kematian nggak pernah takut, biasa aja, malah kadang penasaran gimana sih rasanya mati, sempat punya  keinginan terpendam pengen mati suri segala (dasar bocah nggak jelas). Shofwa kecil bisa dikategorikan sebagai anak yang terlalu berani atau bisa juga dianggap sebagai anak yang terlalu malas berpikir panjang. Sedangkan untuk sekarang, bisa bangun pagi aja alhamdulillah:) alhamdulillah masih di kasih kesempatan dalam hidup yang pendek ini.

Makanya aku udah wasting time banget selama SMA, kalau liat ijazah rasanya penget banget ngumpat, “KAMU NGAPAIN AJA DI SEKOLAH?! ITU KENAPA CUMA NILAI BAHASA INGGRIS YANG NAEK? KENAPA YANG LAIN TERJUN PAYUNG??!!!!”

Memang masa-masa suram, ckckck.

Mengutip dari salah satu kalimat di satu postingan kak Rafi (iya, kak Rafi yang ngajar biologi itu) (iya doi punya blog) (nggak banyak, postingannya cuma satu biji) bahwa harapan yang hanya bisa jadi harapan, bikin aku pengen ngomong kalau harapan bisa jadi kenyataan kalau di tambah dengan effort dan kerja keras. Yha sebenarnya agak nggak nyambung sih karena harapan yang di maksud kak Rafi berhubungan dengan cinta yang belum terbalas sedangkan harapan yang aku maksud adalah buah dari impian dan mimpi.

Jangan sampai masa suram ku terulang untuk kedua kali nya. Deuh. Makaseh banyak.

Ketika lulus, ada dua jalan bercabang yang bisa aku pilih. Pertama, daftar kuliah – keterima – ya lanjut kuliah dong ya. Dan yang kedua, daftar kuliah – nggak keterima – mari gap year dengan memperbaiki diri dan memperbanyak hafalan – coba lagi tahun depan – mari berpikiran positif pasti keterima.

Jalan mana yang aku ambil?

Maunya jalan yang menuju kamu tapi sayangnya masih belum tersedia.

Shof. . . . . . . . . . . . . dasar gak jelas. . . . . . . . . . . . . .nggak jelas . . . . . . . . . kalimat tak berfaedah. . . . . . .

greetings from kak Wanda, one of ask.fm user and she lived in Iceland


Daripada ngomong ngalor ngidul tiada guna mending aku langsung cerita aja gimana “perjuangan” ku untuk mendapatkan kursi di bangku kuliah

1       SNMPTN aka Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

                Siapa sih yang nggak tau SNMPTN atau yang lebih beken di sebut senam atau es-en-em untuk mempersingkat penyebutan SNMPTN yang sudah merupakan sebuah singkatan. Tahun ini jatah porsi SNMPTN dikurangi dan sudah berlaku sistem tidak semua murid bisa mendaftar. Sekolah dengan akreditasi A bisa mendaftarkan 75% muridnya, akreditasi B dengan 50% dan akreditasi C atau sekolah belum terakreditasi hanya bisa mengirim 10% dari jumlah muridnya ke pendaftaran SNM.

        Aku lupa persisnya bulan apa, yang jelas ada masa di mana kami jadi rajin membawa buku rapor ke sekolah. Masa di mana ustad Taufik (yang lebih dikenal dengan sebutan pak topik atau pak top-x) menjadi ustad yang paling dicari oleh kami. Pagi dicari, pas istirahat dicari, sebelum makan dicari, abis sholat dicari, kapanpun di mana pun ustad Taufik selalu dicari karena beliau adalah ustad yang bertanggung jawab memasukkan nilai siswa ke website SNM. Emang tinggal daftar nama dan masukin nilai lalu beres, tapi agak ribet waktu masukin nilai sih, kudu teliti dan hati-hati, tapi kami nggak perlu ngeluh karena yang dibutuhin hanyalah nilai rapor.

        Meski ABY (nama panggilannya SMA IT Abu Bakar, Yogyakarta) bisa mengirimkan 75% siswanya ke SNMPTN, aku tetep deg deg an waktu nunggu pengumuman siapa aja yang bisa ikut soalnya aku sadar peluang ku nggak gede gede amat, ditambah dengan rapor semester empat ku yang parah, pokoknya semester empat tuh parah banget. Hih. Jangan sampe keulang lagi.

Alhamdulillah aku bisa ikut SNMPTN :)))

Dan permainan rahasiaku dimulai saat itu juga.

Nggak ada temenku yang tau aku milih fakultas atau pun universitas apa, setiap ditanya aku selalu mengalihkan topik pembicaraan. Terkesan rada sok mungkin, tapi aku nggak suka ber koar-koar atas apa yang belum pasti. Apalagi info aku milih fakultas apa, prodi apa, dan universitas apa tuh juga gak penting penting amat. Bahkan kakak ku aja nggak tau. Meski akhirnya ada satu orang temen yang tau karena ngeprint kartu peserta bareng dan otomatis dia liat kartu peserta ku.

Tenang aja, meski aku nggak bilang apa pilihanku, aku bukan tipe temen yang nusuk dari belakang kok. Yang diem-diem milih fakultas yang sama kayak temen sekelas. Maaf ya aku nggak serendah itu.

#SONGONG

Terus aku keterima nggak?

Ya nggak lah plis aku bukan Ainun yang bisa masuk FMIPA ITB.

Karena SNMPTN udah lama banget, sekarang aku bisa ngasih tau apa pilihan ku.

 Waktu itu aku milih fakultas yang diprediksiin sama beberapa orang kalau aku cocok di situ. Cocok di sini maksudnya mereka nyaranin aku masuk fakultas itu soalnya pas jaman-jaman pendaftaran baru dibuka, pertanyaan "kamu milih apa, shof?" selalu aku jawab dengan, "menurut kamu aku bagusnya milih apa?"

Fakultas apa lagi kalau bukan Psikologi.

Iya. Cuma satu itu doang.

Universitasnya?

Hasanuddin.

Honestly, aku sama sekali nggak tertarik sama big three university in Indonesia (UI, ITB, UGM). Bener-bener nggak punya minat untuk kesana, tertarik aja nggak. Nggak tau deh kenapa cuma tertarik masuk UnHas doang. Mungkin efek dari aku punya temen yang ngincer FK UnHas terus beberapakali nyaranin alias secara tersirat ngajak aku biar ke UnHas gitu supaya bisa nge kost bareng, mungkin gara-gara itu aku jadi tertarik ngelanjutin studi ke Makassar. Gak perlu lah aku sebut nama temen ku itu. Sebut saja Balqis (nama samaran).

WKWKWKWKWKWKWK.

Kalau dipikir-pikir kenapa aku nggak tertarik sama tiga kampus besar itu karena : 1. UI letaknya deket sama Jakarta, macet bukan shofwa banget, bahkan dengan nama besar yang dimilikinya dengan ribuan alumninya, tetep aja nggak memunculkan rasa tertarik dalam diri ini. 2. ITB, emang ada psikologi di ITB? 3. SMP-SMA udah di Jogja nih, masa gak mau ganti suasana. Aku cinta Jogja karena makanan murahnya, ramahnya orang-orang, dan banyak pilihan wisata kuliner. Kalau di Jogja mulu, kapan aku bisa belajar survive dan memperkaya pengalaman hidup.

Kenapa cuma nulis satu pilihan sedangkan ada tiga tempat yang bisa dipilih?

Soalnya aku ikut SNM bukan ngincer lolosnya, ya ngincer lolos sih pasti tapi bukan lolos yang asal pilih fakultas. Apa gunanya milih tiga terus semisal diterima di pilihan kedua lalu galau mau ambil atau nggak soalnya yang di incer tu pilihan pertama terus ujung ujung nya ikut SBM sama UM karena gak sreg sama hasil SNM. Manusia emang suka minta dua dikasih empat maunya delapan. Tapi setidaknya sifat gatau bersyukur itu bisa dikontrol lah ya.

Beda kasusnya kalau permintaan orang tua, kalau udah menyangkut orang tua baiknya sendiko dhawuh wae, mboten sah mbantah opo kata wong tuwa.

Tapi, meski cuma mau UnHas, aku sama sekali nggak googling apa pun tentang UnHas. Bahkan aku sampe sekarang nggak tau Psi nya UnHas itu untuk IPA atau IPS. Kalau namanya udah kecantol di hati mah aku gak bakal peduli begituan.

2       STAN aka Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

        JANGAN KAGET PLIS, 3 dari 5 orang bereaksi tidak percaya begitu tau aku daftar STAN.

Aku juga nggak percaya sama diri sendiri kenapa daftar ke situ.

Sebenernya aku rada gimana gitu menceritakan alasan kenapa aku daftar STAN, tapi okelah, aku bakal cerita.

Jadi waktu itu aku lagi pergi sama Hilma, entah kami lagi jalan jalan atau aku lagi nemenin Hilma. Kami sedang nunggu bus buat pulang di pinggir jalan lalu tiba tiba Hilma nanya.

H : Shof, kamu nggak daftar STAN?
S: Hah? Nggak. Buat apa juga.
H : Kalau kamu masuk STAN, kamu nggak perlu uang transport yang gede buat nonton konser.
S : Emang deket apa STAN sama tempat konser?
H : Tergantung sih konsernya di mana, setidaknya lebih murah daripada kamu berangkat dari Jogja.
S : Waah, boleh juga tuh. Aku mau daftar ah.

( ( NONTON KONSER ) )

Lalu malamnya aku lapor ke ummi kalau mau daftar STAN.

HAHAHAHAHAHAHA SUBHANALLAH SHOFWAAAAAAA

Padahal itu H-5 pendaftaran di tutup dan aku baru kepikiran untuk daftar STAN di saat temen temen yang lain udah selesai beribet-ribet ria dengan dokumen STAN.

Memang absurd, Sangat absurd.

Pantes aja nggak lolos, niatnya aja udah salah.

Besoknya aku bilang ke Ula kan kalau aku tertarik masuk STAN terus dia bilang ada biaya pendaftaran 250.000

Dua ratus lima puluh ribu. . . . . .

Emang jumlah yang wajar tapi untuk aku itu termasuk hal yang wasting money banget, mana aku juga nggak terlalu ngejar kelolosan juga (ini kenapa dari awal gak ngejar lolos mulu). Aku nggak pernah tergiur iming iming pekerjaan tetap kalau masuk sekolah pemerintah. Aku pikir daftar STAN tuh gratis jadi aku mau nyoba daftar, eh nggak taunya bayar.

Niat ku untuk masuk STAN hilang.

Lalu aku lapor ummi.

Sama ummi tetep aja disuruh, aku menyesal seketika pernah bilang mau daftar STAN.

Yaudahlah aku tetap jadi daftar atas permintaan ummi bukan daftar atas kalau lolos bakal deket sama tempat konser.

Aku bener-bener buta sama STAN sama kayak aku buta tentang UnHas, mau googling juga percuma soalnya aku nggak terlalu penasaran dan nggak suka liat simbol % yang nongol di daftar passing grade. Waktu milih jurusan aku cuma asal masukin, aku nggak tau mana yang passing gradenya paling tinggi atau paling rendah, aku nggak tau penilai itu apa, tapi setidaknya aku tau lah perbedaan antara D1 sama D3.

Hehehehe.

Tanggal verifikasi berkas berdekatan dengan rencana jalan-jalan ku sama Maya ke rumahnya Atikah di Tangerang, aku sempet galau mau minta tolong temen aja buat ngurusin berkasku tapi ternyata urusan berkas-berkas ini tidak bisa diwakilkan. Hmm sedih.

Aku denger cerita dari temen temen kalau registrasi berkas STAN tuh lamaaaaaaa banget, bisa berjam-jam sendiri dan panas. Aku dapat jadwal registrasi hari kamis tanggal 21 kalau nggak salah. Aku datang sekitar jam 8 pakai kerudung rabbani biru dongker nasional, kemeja biru, sama rok biru yang sekilas mirip rok jeans, mayoritas para pendaftar makai pakaian hitam putih yang bikin aku jadi kayak manusia salah kostum. Bodo amat. Aku langsung ke meja registrasi mau ngambil nomor antrian.

Dapet antrian 618.

“Sekarang udah antrian berapa pak?”

“Baru seratus-an, paling nanti maksudnya setelah jam makan siang.”

“Oh, oke pak. Terima kasih.”

Akhirnya aku memutuskan buat balik dulu ke asrama, gila aja kalau kudu nunggu lima jam di tempat registrasi, mana kursi yang di bawah tenda udah penuh lagi, masa aku ngemper di trotoar selama lima jam tanpa handphone atau alat hiburan lainnya.

Ba’da dhuhur aku balik lagi ke tempat registrasi dan antriannya baru sampe di angka 560-an, aku nggak bisa membayangkan apa jadinya aku kalau nggak balik ke asrama.

Sekitar setengah jam nunggu akhirnya aku dipanggil juga, masuknya langsung 20 orang. Dan seperti yang bisa ditebak, di antara para calon peserta ujian STAN aku yang paling pendek sendiri.

WAKAKAKAKAKA. FAKTA NGGAK PENTING!!!!

Tapi aku kayak orang hilang beneran, linglung tidak tau kenapa bisa nyasar di sebuah tempat yang ramai dengan peserta ujian masuk STAN.

Aku langsung antri untuk verifikasi berkas, saat giliran ku tiba muncul masalah kecil tentang identitas diri, kartu identitas resmi yang diterima itu KTP, Rapor, dan SIM.

Aku belum punya KTP. . . . . . . Aku bawanya Kartu Pelajar.

“Oh ini nggak bisa. Harus pakai KTP atau nggak rapor.”

“Yaudah pake rapor aja kalau gitu.”

“Nggak bisa juga, ini rapornya nggak ada fotonya. Gini aja, kamu nyetak foto terus ditempel di rapor, besok balik lagi.”

“OGAH AMAT BUK. ITU ANTRIAN DI LUAR PANJANGNYA MACEM ULAR ANAKONDA MAU KAWIN TERUS AKU DISURUH BALIK LAGI GITU?” kata aku. . .

. . . dalam hati.

“Oh, jadi besok kesini lagi? Ngantri lagi gak?”

“Nggak usah. Kamu langsung kesini aja. Jadi ini legalisir rapornya saya ambil dulu ya.”

“Oke.”

Udah bilang oke tapi tetep aja males kalau disuruh balik keesokan harinya. Jadi begitu keluar aku langsung nanya ke orang-orang letak fotocopy-an paling deket di mana. Alhamdulillah yang maha kuasa memberikan kebaikan di hari itu, 10 meter dari tempat pegambilan nomor urut ada tempat fotocopy an, dan alhamdulillah aku bawa flashdisk yang isinya foto resmiku meski backgroundnya warna merah padahal seharusnya background foto ku warna biru karena lahiran tahun ’98.

Aku langsung nge print banyak padahal yang diperluin cuma selembar, mungkin efek lelah, pokoknya aku bisa kelarin urusan verifikasi data hari itu juga, gak peduli background fotoku apa.

Abis ngeprint foto aku langsung balik lagi dan diarahkan ke seorang ibu berkacamata buat verifikasi identitas. Sakjane rada kesel sih waktu ngotot ngotot-an kudu ada foto di rapor. Ya plis loh itu rapor aku, dan aku bawa kartu pelajar jadi setidaknya aku tidak memalsukan identitas. Tapi aku maklum karena yang daftar STAN bejibun jadinya emang gak bakal ada toleransi apalagi statusnya STAN itu sekolah milik pemerintah.

Tapi tetep aja kesel.

Tapi ya maklum.

Cuma ya kesel.

Habis identitasnya terverifikasi aku langsung ke antrian cap tiga jari untuk pengambilan jadwal serta tempat ujian, petugas yang ngecek berkasku untuk terakhir kalinya membunuh waktu dengan nanya asal sekolahku.

Hal yang bikin aku males nyebutin asal sekolah adalah karena sekolahku belum seterkenal itu, bahkan di lingkungannya sendiri. Jadi banyak sekali masyarakat Jogja yang belum tau keberadaan sekolahku itu.

“Sekolah di mana dek?”

“SMA IT Abu Bakar.”

“Di mana itu?”

“Deket perempatan rejowinangun pak.”

“Oohh. . . . .”

Sedetik

Dua detik

Tiga detik

“. . . . Emang ada ya? Saya sering lewat perempatan itu tapi kok ndak tau.”

Semiris itu emang.

Untung sayang sama SMA IT.

Selesai dapat jadwal dan tempat ujian, aku langsung pulang. Temen-temen ku kan banyak yang daftar STAN tapi hari itu cuma aku yang punya jadwal verifikasi pagi, karena emang daftarnya pas hari-hari terakhir. Waktu dapet jadwal ujian tuh rasanya seneng karena mikir pasti adalah temen yang bareng jadi aku nggak sendiri. Nggak enak kalau sendiri, nggak bisa ngomong sama siapa-siapa dan aku pasti bakalan jadi anak ilang.

Taunya pas aku balik ke asrama terus cerita ke temen ku, ternyata tempat ujiannya beda semuaaaaa:(

“Sabar ya wak.”

Ini kalau aku nggak inget uang pendaftaran yang setara dengan tiga buah novel bisa dipastikan aku nggak bakal ikut ujiannya.

Hari H ujian aku dianter ke GOR AMONGRAGA sama Princess of Jungle Room alias pemilik predikat cewek tercantik seangkatan versi BTS yang hingga saat ini belum jadi. Jarak antara verifikasi berkas ke hari ujian tuh sekitar dua pekan kalau nggak salah dan aku nggak belajar apapun. APAPUN. Alasannya karena pertama, aku bingung mau belajar apa, kedua, aku nggak punya buku-buku semacam TPA/SAINTEK untuk latihan.

Pantes aja gak lolos (2)

Papan LJK yang kupakai hari itu merupakan hasil pinjeman, awalnya gak mau bawa tapi temenku maksa minjemin yaudah deh aku bawa. Dan LJK itu sangat berguna sekali soalnya aku ujian di GOR yang artinya gak bakal ada meja, aku baru tau kalau ujiannya gak pake meja waktu udah masuk ke GOR. Aku duduk di tribun penonton, menurutku kalau ujiannya di GOR tuh peluang menyonteknya cukup gede habis tempat duduknya kan bertingkat jadi peserta yang duduk di tingkat atas bisa ngintip lembar jawaban peserta yang duduk di tingkat bawahnya.

WAH SUUDZON.

Selama ngerjain ujian aku cuma stuck sama soal bahasa inggris yang diminta milih satu kata yang bisa dibuang dalam satu kalimat karena gak sesuai dengan grammar. Waktu baca intruksinya aku rada bingung ini disuruh ngapain sih? Habis kalimatnya keliatan bener, dan aku belum terlalu paham sama grammar. Ada kali aku baca intruksi dan soalnya 3-4 kali karena mau mastiin ini soalnya kudu diapain. Sempat bimbang juga mau ngerjain atau nggak, beneran blank sama yang satu itu. Toh akhirnya tetep ku kerjain juga sih meski ya asal-asalan. Bener-bener ngasal.

Pantes aja nggak lolos (3)

Hari itu aku bisa bernapas lega karena satu kewajiban ku udah kelar. Dan pulangnya aku dijemput lagi sama Putri-nya Jungle Room.

Laras emang yang terbaik.

3       SBMPTN aka Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri

Tanggal 28, pagi pertama kakak ku berada di Lampung. Lima belas menit setelah aku bangun tidur.

“Hari ini pengumuman SBMPTN kan?”

“Hah, iya apa?” Aku pura-pura nggak tau.

“Iya kan. Jam berapa?”

“Mbuh.”

“Lu daftar mana aja?”

“Mana-mana bisa lah.”

“STAN lu gimana?”

“Kaga keterima dong, kalau gue keterima berarti ada keajaiban.”

“Kalau si Ula daftar mana?”

Satu kebiasaan kakakku, setiap dia nanya sesuatu hal yang sifatnya bukan terlalu pribadi tentangku pasti dia juga nanyain kabar Ula ke aku. Nggak sesering itu tapi yaa di antara temen-temen ku, yang paling sering ditanya kabarnya tuh Ula. Kadang aku bingung adeknya dia itu siapa sih, aku apa Ula.

“IPB. Tapi gue lupa dia ambil apa aja.”

“Lu ambil apa sih?”

Kakak aku emang gitu. Aku susah boong sama dia. Susah menghindar dari pertaanyaannya. Seperti ada sistem ‘dilarang mengabaikan kakak’ yang udah terprogram otomatis di otak. Kayak kalimatnya tuh gak bertele-tele, emangnya aku, basa-basi dulu 99% baru ke inti pembicaraan.

“Gue kaga ikut SBM.”

“Loh, kenapa?”

“Soalnya gue yakin pasti kaga lolos.”

Bukan berarti mental aku udah mental loser. Prinsip yang aku anut adalah kalau nggak punya persiapan mending nggak usah ikut sekalian. Saat sebelum UN banyak temen ku yang udah beli buku-buku latihan SBM dan sebagian juga ikut les untuk SBM, entah di Nurul Fikri, Ganesha Operation, Neutron, SSCI, atau tempat lainnya. Aku udah sadar kalau les nggak cocok sama aku jadi aku nggak daftar les, aku juga gak beli buku latihan SBM karena aku mau fokus sama UN.

IYA, BILANGNYA MAU FOKUS TAPI NILAINYA GITU. ORANG MACAM APA YANG MAU FOKUS TAPI MALAH DAPET KATEGORI NILAI BAIK, CUKUP, CUKUP, KURANG, KURANG, KURANG DI IJAZAH.

Sontoloyo.

Honestly aku nggak terlalu ngencengin ibadah saat mau UN, misalnya nambah rakaat sholat sunnah jadi dua kali lipat dari biasanya, atau nambah jumlah tilawah, atau memperpanjang doa.

Nggak, aku nggak kayak gitu.

Aku malu sama Allah.

Aku malu sama Allah kalau rajin ibadah cuma karena pengen UNnya dilancarin. Aku malu sama Allah kalau aku mendekatkan diri padaNya ketika ada maunya meski aku tau Allah paham apa yang aku mau, aku tau cinta Allah pada hambanya lebih besar dari cinta seorang hamba padaNya. Soalnya setiap aku rajin, setiap aku menghabiskan banyak waktu dengan ibadah, keinginan ku sering terkabul. Memang keinginan yang sepele namun memberi sensasi tersendiri pada hati. Contohnya waktu aku ikut lomba faber-castell, masa-masa menunggu pengumuman aku habiskan dengan berdoa lebih panjang, bener-bener mohon sama Allah semoga aku menang karena aku ngerti kesempatanku buat menang itu kecil banget. Tau apa yang terjadi? Di hari pengumuman, nama ku ada di daftar pemenang. Meski berada diurutan terakhir alias harapan III tapi tetap aja jauh lebih baik daripada nama ku nggak nongol.

Aku jadi ngeri. Sekaligus takut.

Takut kalau keinginanku yang terwujud malah bikin aku jauh lagi sama Allah. Takut kalau aku punya pemikiran bahwa setiap aku deket sama Allah, keinginan aku bakal terkabul. Mungkin emang benar terkabul, tapi aku nggak mau niatku untuk dekat sama Allah ternodai oleh hal-hal berbau duniawi.

Karena aku pengen deket sama Allah no matter what happen. Makanya ibadahku waktu mau UN bisa dikategorikan biasa biasa aja.

“Kok bisa lu mikir bakal kaga lolos?”

Gue kagak pernah belajar, mending ikut SBM tahun depan biar bisa belajar dulu.”

“Oalah. Kaga mau ikut UM?”

“Ya ntar lah liat sikon, gue belum searching lagi soal UM.”

Saat itu kakak ku masih belum tau kalau aku udah mendaftar di sebuah universitas yang persentaseku untuk keterima cukup tinggi.

Aku emang susah boong sama kakakku, susah boong kalau ditanya.

4       Ujian Mandiri

“Udah daftar mana aja?”

Ada lah pokoknya, hehe. Doakan saja dapat yang terbaik.”

“Ikut UM nggak?”

“Belum tau. Masih nyari-nyari info UM mana aja yang masih dan atau udah buka.”

Itu jawaban standard ketika ada yang nanya tentang status perkuliahan seorang shofwa muhimatunnisa.

Padahal aku sama sekali gak minat ikut UM di mana-mana. Alasannya sama kayak kenapa aku nggak ikut SBMPTN. Aku jawab gitu biar keliatan sopan aja dan biar gak ditanya lebih lanjut tentang hal-hal seperti itu. Malesin tau nggak. Tapi jawaban ku tergantung siapa yang nanya juga. Kalau orangnya serius nanya, pasti aku jawab se-sopan mungkin, tapi kalau nanya nya dengan gaya cuma basa-basi doang biar punya topik pembiaraan ya langsung kualihkan aja dan nggak ku jawab.

Eh aku pernah deng kepikiran mau ikut UM UnHas.

Tapi kemudian pikiran itu kandas.

Udah, segitu aja perjuanganku nyari kursi di perguruan tinggi tahun ini.

Keliatan banget gak sih kalau gak ada perjuangannya.

Soalnya emang tahun ini aku nggak terlalu ngincer untuk dapet status sebagai seorang mahasiswi. Bahkan waktu dapet info kalau aku keterima di sebuah universitas swasta, pikiranku masih bercabang apakah mau ngambil atau nggak. Karena bingung akhirnya aku nanya ke temenku.

EH MALAH DIMARAHIN.

SALAH AKU APA.

Kurang lebih isi chatt ku sama dia kayak gini :

S : Gimana menurut mu kalau aku nggak jadi ke UTS?

U : Nggak boleh wa. Ciyus. Kamu harus di UTS. Kita pasti bisa melewati ini bersama. POKOKNYA KAMU HARUS DI SITU ATAU NGGAK AKU MAU NANGIS.

S : Yah. Kok gitu. Katanya kamu mau ke luar. Tapi kalau cuma nangis mah kayaknya gak papa deh, nangis juga paling beberapa puluh menit doang.

U : Apaan sih lu. Mungkin nggak sekarang. Padahal tadi ayah ku nawarin ke *insert nama negara*. Tapi kutolak demi kamu. Kurang baik apa coba.

S : Bohong bagian kau tolak demi aku. Yaudah, tawarannya belum hangus kan? Ambil aja.

U : Aku serius ini. Mbok kamu mikirin perasaan ku to. Hiss, sumpah aku sebel banget. AYO LAH KAMU EMANG MAUNYA GIMANA.

S : Seriusan? Aku terharu loh ini.

U : Kamu jadinya di UTS apa nggak? Plis ya wa ntar temenku buat jalan-jalan di sana siapa?

S : ASTAGA. MAU KULIAH ATAU MAU HIDUP SANTAI BAHAGIA TANPA BEBAN DI SUMBAWA KAU?! Kamu jadi, aku jadi. Dah gitu aja.

Begitulah cerita singkat bagaimana akhirnya aku memutuskan untuk masuk kuliah meski awalnya agak bimbang. Bimbang bukan karena universitasnya berada di wilayah yang sedang berkembang. Aku bimbang karena apa aku bisa memaksa diriku ini buat jadi pribadi yang menguntungkanku untuk kehidupan yang akan datang jika tahun ini kuliah. Sebenernya aku lebih ingin memperbaiki diri dulu mengingat bagaimana kelakuan seorang shofwa selama SMA, suka ngelanggar peraturan, bolosan, pernah dipanggil guru BK, langganan dipanggil sama Pembina Asrama waktu kelas 10, nggak rajin belajar, tiap hari minimal tidur setengah jam di kelas terkecuali hari sabtu, sholat dhuhur suka nggak ke aula tapi sholat di kelas, bahkan pernah waktu ulangan harian Math, aku baru ngerjain setengah tapi kemudian aku hapus jawabannya dan malah nulis catatan, “ustad, aku dikasih nilai 0 aja. Bukan berarti aku nggak bisa ngerjain tapi aku pengen tau rasanya dapet 0.”

Bodoh sama tolol emang beda tipis.

Soalnya aku penasaran gimana rasanya jadi yang terakhir (bukan berarti aku selalu berada di urutan awal lhoo, kemampuan otakku bisa dikatakan rata-rata lah, rata-rata agak ke bawah), makanya waktu UAS kenaikan kelas 12 aku suka nggak tidur semaleman, bukan buat belajar tapi buat buka youtube. Akhirnya rapor semester 4 ku anjlok beneran dan aku ada di posisi, berapa ya, 26 atau 28 gitu, dari 33 siswi.

Ini berasa lagi buka aib diri sendiri.

Gapapa lah, daripada buka aib temen.

Aku cuma mau membagi pengalaman aja. Sebenernya aku tau kalau aku bisa jika aku mau belajar dan mau latihan (LAH, PEDE BANGET??!) (SEMUA ORANG JUGA GITU KALI), sayangnya aku bukan tipe yang langsung paham kalau diajar guru. Mau minta tolong temen juga mereka udah sibuk belajar, siapa coba yang mau ngajarin temen ketika udah mendekati UAS. Aku juga takut kalau misalnya aku belajar sama A, terus kemudian nilai ku lebih tinggi dari A lalu A jadi enggan ngajarin aku #PedeLv100

Selain gap year untuk memperbaiki diri, aku juga pengen ngurusin hafalan yang udah terlupakan padahal baru dikit banget. Dibandingkan hafalannya Nadia, aku mah apa cuma butiran arang yang sedang berusaha jadi emas. Itungan kasarnya, hafalan aku baru sepersepuluhnya hafalan adekku #riya #gabolehriya #riyadilarang #padahalbukanriya

Kalau sejak awal aku cuma ndaftar sendiri, aku pasti lebih memilih gap year. Hanya saja ada seorang manusia bernama Ula yang juga mendaftar di universitas yang sama. Dan entah kenapa aku nggak tega milih gap year dan membiarkan dia ke UTS sendirian.

Hmm, masa sih aku sebaik itu.

Mungkin beberapa dari kalian mikir kenapa aku lebih mentingin teman atau apalah itu dan malah mengesampingkan keinginan gap year. Padahal bisa jadi teman yang jadi alasanku untuk kuliah suatu hari bakal menemukan teman lain yang lebih baik, atau aku yang menemukan temen yang lebih baik, karena meski nggak ada yang namanya mantan temen, kerenggangan sebuah pertemanan selalu bisa terjadi. Well, idunno why, kalau kalian baca percakapan ku sama dia di atas dan berada di posisi ku saat itu, bukan nggak mungkin kalian bakal melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Serta ada beberapa alasan pribadi yang sebaiknya tidak aku tulis.

Bentar.

Emang Ula temenku apa?

HAHAHAHAHAHAHA.

Apa dah shof. Gak lucu padahal.

Kebimbangan seorang shofwa juga disebabkan oleh fakta kalau aku bakal satu universitas dengan kakak, aku nggak mau ada yang mikir aku ngekor dia karena kami juga berasal dari SMA yang sama. Kesannya kayak aku nggak bisa memilih jalanku sendiri. Makanya aku nggak pernah bilang ke kakakku kalau aku daftar di UTS, waktu udah positif keterima pun aku gak pernah nanya yang macem-macem tentang UTS ke kakakku. Aku se-nggak enak itu, bahkan sama kakak sendiri. Aku sempat cerita ke temen tentang hal itu terus dia bilang, aku lupa kalimat persisnya tapi kurang lebih, “Ngapain ngerasa nggak enak? Kamu kuliah aja yang bener, blablabla, nggak usah mikirin kata orang, blablabla.”

Kalau pun aku gap year dan memutuskan buat hafalan, inceran ku bukan 30 juz kok.

Hidup aku fleksibel, sadar akan kemampuan diri.

Tapi aku punya jumlah hafalan yang ingin aku capai sebelum aku menutup usia, hmm, aku tau nggak mudah tapi juga bukan berarti gak mungkin.

EH EH EH

KOK KAYAKNYA MALAH OUT OF TOPIC YA.

Made by Ula


Jadi, iya, tahun ini aku kuliah.

Di fakultas psikologi, program studi psikologi.

Di Universitas Teknologi Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia Tengah.

Makanya kalian nggak perlu lagi nanya-nanya tentang di mana aku kuliah, nggak usah heran kalau aku ngelak tiap ditanya karena aku semalas itu untuk menjelaskan.

Dan ketika udah memutuskan untuk kuliah, aku juga memutuskan untuk fokus sama studi.
#HAZEK

Aku mau berusaha jadi nggak pasif lagi, mau nyoba bersosialisasi sama sekitar meski aku masih perlu diajak kenalan duluan sebelum bisa sksd. Masih perlu disapa dulu baru balik nyapa. 

Sekalian aku juga mau mencoba bersosialisasi sama para makhluk berkromsom 22XY. Dulu aku paling nggak mau berinteraksi sama makhluk makhluk yang memiliki kromosom 22XY, tapi sekarang, gak mungkin kan kalau aku temenan sama cewek doang di dunia perkuliahan. Karena aku mau fokus sama apa yang menjadi prioritas saat ini, aku nggak mau ngasih banyak waktu untuk #bapertime. Untuk masalah suka sama orang, hmm, bentar ya aku belajar teorinya dulu.

( ( TEORI ) )

Emangnya aku Rex, yang perlu belajar ke pak Plato sama abang Aristoteles buat nyari pengertian cinta. Tapi aku emang masih nggak terlalu peduli sama yang begituan. 

Tapi jikalau di kemudian hari aku ngerasa uncomfortable sama usaha ku, yaa, aku bakal balik ke semula, half introvert half ansos.

Nggak selamanya orang harus keluar dari comfortzone nya. Ada saatnya ia harus kembali untuk menenangkan diri. Namun di sisi lain, terdapat kemungkinan munculnya zona nyaman baru yang bisa jadi lebih berkualitas.

Salam dari tempat yang cepat membuat kulit belang namun memiliki alam yang memesona.

shofwamn

2 komentar

  1. Kita verif stan di hari yang sama lho ._.

    *Memesona, imbuhan (kepunyaan) -ku digabung dengan kata sebelumnya*

    Aku rindu berbincang denganmu, Shofwa. Kangen cuekmu. Cuekmu keren soale wkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa, aku inget kok tapi aku saat ini lagi dalam kondisi miskin kata jadi gak mampu buat ngedit:(
      Awalnya udah mau kutulis memesona lhoo, makasih kakak atas koreksinya^^

      Hapus