Seseorang pernah bertanya padaku,
“menurutmu dewasa itu apa?” yang kujawab dengan “saat prefrontral cortex sudah
berkembang secara sempurna,” karena aku baru tahu itu adalah bagian otak yang
paling terakhir matang, perkembangannya baru selesai saat manusia sudah berusia
pertengahan dua puluhan. Bagian yang bertanggung jawab atas pengambilan
keputusan. Sehingga terjawab sudah mengapa remaja terkenal dengan sifat
labilnya, sesederhana mereka masih belajar memikirkan konsekuensi dari pilihan
mereka karena bagian prefrontal cortexnya masih dalam tahap perkembangan.
Seseorang pernah kuberi
pertanyaan tentang betapa aku merasa bahwa aku memiliki cukup banyak
pengetahuan namun tidak bisa menyambungkannya antara satu dengan lain. “Karena
kamu membangun pagar di sekelilingmu dan kamu melihat dunia melalui celah dari
balik pagar. Bagimu hanya ada hitam dan putih, padahal ada area abu-abu. Prinsip
yang kamu punya terlalu tegak berdiri, saran saya, bengkokkan sedikit.”
“Nanti patah, dong?”
“Bengkokkan, bukan patahkan. Be
flexible, you get what i mean?”
Walaupun masih tetap
bertanya-tanya apa makna ‘membengkokkan’ yang beliau maksud, aku sedikit
membenarkan ucapannya. Aku tahu dunia ini memiliki area abu-abu, namun
barangkali aku tidak menerapkannya pada diriku sendiri. Aku bisa mengerti
manusia yang hidup di area itu, namun bagiku area itu adalah paradoks yang
kuhindari. Aku nggak bisa bohong tanpa merasa bersalah, aku bisa menolak
mentah-mentah tawaran yang mempertaruhkan integritasku. Apakah maksud beliau be
flexible adalah dengan menerima di dunia ini ada yang namanya white lies and it
is okay to lie about something? Apakah maksud beliau adalah terkadang kita harus
melalui jalan yang buruk untuk hasil yang baik sehingga it is okay to lower our
integrity level so that we could achieve greater impact?
Jika dewasa adalah kata benda,
jelas artinya diperuntukkan bagi manusia yang telah menginjak usia tertentu. Bila
dewasa adalah kata kerja, terdapat banyak penjabaran yang dapat diuraikan dan
usaha yang perlu dikerahkan agar dapat menjadi dewasa. Salah satunya barangkali
dengan melewati sesuatu yang tidak kita suka, untuk mencapai tujuan yang kita
inginkan.
Pada akhirnya hidup adalah
akumulasi dari beragam keputusan, dari pilihan-pilihan yang tidak semuanya kita
sukai namun harus kita hadapi, dari opsi yang kita ambil lantas kita sambut
segala konsekuensinya. Bila hidup hanya berisi hal yang menyenangkan, bagaimana
kita bisa berjumpa dengan versi terbaik kita?
Makanya aku harus berhadapan
dengan bahasa Inggris.
Cepat atau lambat, aku tahu bahwa
aku harus bisa menaklukkan bahasa itu.
Apalagi saat sudah berada pada
kesimpulan bahwa kuliah di luar negeri adalah satu-satunya opsi yang bisa
kuperjuangkan untuk bisa mendapatkan pengalaman tinggal di negara lain, aku
tahu kalau aku tidak bisa mengandalkan kemampuan bahasa Inggris level turis.
Aku perlu meningkatkan
kemampuanku di level akademik, memikirkannya saja sudah bikin mual karena BISA
NGGAK GUE MINUM JUS KERTAS ENGLISH BOOK SAJA TERUS SIMSALABIM PINTER DALAM SATU
MALAM???! *emoji nangis*
Ini pelajaran yang tidak aku
sukai dari SD sampai SMA, saat kuliah pun dapat C+.
I used to be dislike you
@EnglishLanguage, I totally understand why lots of people say ga bisa basaa
enggressss because I was like that too.
Kontradiksi, ya, bikin pernyataan
nggak suka bahasa Inggris tapi nulisnya pakai bahasa Inggris, huft.
Aku rasa kalau aku harus mengasah
kemampuan bahasa asingku supaya bisa daftar beasiswa reguler LPDP, aku nggak
akan pernah mencoba LPDP. Kolaborasi dari bahasa asing yang tidak kusuka +
modal yang besar untuk belajar + bayar test IELTS = mundur alon-alon. Perihal beasiswa, aku adalah kaum mendang mending yang sangat oportunis: mau dapat
beasiswa dengan modal seminim mungkin.
Namun peluang kesempatan selalu
ada bagi mereka yang sudah memutuskan untuk berusaha, bukan? (yeuh) (sotoy)
(wkwk). Alhamdulillah aku bisa mendaftar melalui skema beasiswa daerah Afirmasi
karena tinggal di daerah 3T, sehingga aku boleh mendaftar menggunakan
sertifikat TOEFL ITP. Aku beruntung mendapatkan skor TOEFL yang cukup di percobaan
pertama. Rangkaian kemudahan dan privilese yang terbentang membuatku memberanikan
diri untuk mencoba LPDP.
Percobaan pertama, kegagalan yang
kudapatkan. Gugur di tahap terakhir.
Percobaan kedua, keberhasilan
yang menyambutku, lolos dengan skor wawancara yang hanya beberapa poin di atas
passing grade.
Keberhasilan yang membawaku ke
privilese selanjutnya: belajar bahasa Inggris melalui program Pengayaan Bahasa.
(baca: Pengayaan Bahasa LPDP xInlingua)
Dari proses pengumpulan informasi
yang kulakukan, durasi program PB terbagi menjadi 3 bulan dan 6 bulan. Saat
masih menunggu pengumuman kira-kira aku mendapatkan durasi yang mana, kalau
dapat 3 bulan maka aku akan belajar dengan super serius (meski gasuka bahasa
Inggris) (bagaimana caranya?) (nggak tahu), aku berdoa supaya tidak dapat
durasi 6 bulan.
Qadarullah, dapat program IELTS 6
bulan.
“Sebodoh itu kah aku?” adalah
pikiran pertama yang muncul begitu tahu kebagian belajar 6 bulan.
Enam bulan untuk belajar bahasa
Inggris, berarti aku bodoh banget,ya?
Memang betul itu adalah bahasa
yang tidak aku suka, tapi kayaknya 3 bulan sudah cukup?
#denial
Dengan mengonversi nilai TOEFL
yang kudapat, aku menaksir kemampuan IELTS ku ada di angka 5 – 5.5, rata-rata
kenaikan skor adalah 0.5/bulan sehingga aku berpikir periode tiga bulan cukup
untuk mengejar skor 7.0 kalau belajar keras.
WOW PIKIRAN NAIF WKWKWKW
(menertawakan keluguan diri di
masa lalu)
Optimisme yang langsung jatuh
begitu melihat angka 4.5 untuk skor placement test.
Nggak nanggung-nanggung, skor
writingku jeblok di 2.5
Kena mental pas tahu kemampuanku
di bawah yang kubayangkan, double attack begitu tahu skill yang dianggap
lumayan aku kuasai ((menulis)) ternyata malah paling parah nilainya.
Sebelum memulai kehidupan Pengayaan Bahasa di Jakarta, aku sudah berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh terlepas dari betapa aku ingin menghindari level akademik dari bahasa Inggris. Dimulai dari tanggal 29 Agustus 2023, agenda wajibku adalah menghadiri kelas dari jam 08.00 – 16.30 dari Senin sampai Jum-at.
Enam jam terpapar bahasa Inggris
setelah dipotong waktu istirahat.
Tidak cukup sampai situ, selepas Magrib
atau Isya, aku akan pergi ke rooftop atau ruang kelas untuk melakukan sesi
belajar mandiri hingga jam 22.00. Barangkali dari keseluruhan malam-malam di
asrama, 70% nya ku habiskan untuk belajar malam, baik sendirian atau bersama
teman. Masih ingat suatu hari kami belajar tentang noun phrase dan aku
kebingungan, kuhabiskan sesi belajar mandiri dengan merangkum materi noun
phrase dari berbagai sumber, pun keesokan paginya abis salat subuh, aku kembali
berkutat dengan rangkumanku. Semalam penuh mencoba mengerti apa itu noun phrase
yang ternyata dalam bahasa Indonesia disebut frasa nomina.
Tidak semua malam isinya belajar
meski aku ke rooftop wkwkw. Kadang nonton anime, kadang main gawai, kadang
melakukan sesi forum group discussion dengan teman kelas bertema topik hangat
yang terjadi di asrama. Aku merasa harus menulis ini karena di paragraf
sebelumnya terkesan saya rajin sekali berhawa-hawa si murid teladan.
Selain fasilitas tempat tinggal di asrama, kami
juga mendapat makan 3x sehari. Sesuatu yang aku syukuri tapi membuat pola
makanku berantakan. Waktu sarapan masih terlalu dini untukku yang biasanya baru
makan di atas jam 9 pagi, akan tetapi menunggu waktu makan siang juga kelamaan.
Kalau ambil menu sarapan, perutku masih kenyang di jam makan siang, sedangkan
terkadang menu makan siang cukup menggiurkan dengan tambahan buah. Kalau
mengambil makan pagi dan makan siang, maka aku nggak ngambil makan malam karena
aku butuh dua kali waktu makan untuk menghabiskan porsi nasi di satu kotak
katering. Aku bisa kenyang hanya dengan makan lauk pauk dan buah saja.
Terkadang kalau menu makan malamnya enak, akan kuambil untuk dimakan tapi
nasinya kusimpan di dalam freezer untuk dihangatkan kembali saat akhir pekan.
Permasalahan yang terjadi karena
nggak bisa mubazir membuang makanan sisa tapi kapasitas lambungku kecil tapi
gampang tergoda dengan makanan enak.
Huft.
Belum lagi snack yang didapat
sepanjang kegiatan belajar, dalam sehari kami mendapatkan empat buah snack: dua
asin dan dua manis. Ini juga bisa mengganjal perut karena bisa dimakan saat jam
pembelajaran, iya, barangkali ini pertamakalinya aku belajar di kelas yang
gurunya nggak marah kalau ada banyak makanan tergeletak di atas meja.
Intensitas belajar IELTS kujalani
dalam periode 18 September 2023 – 12 Januari 2024. Bila dipotong libur akhir
pekan dan nataru, total belajar IELTS-ku hanya 3 bulan, meski program yang
kuikuti adalah 6 bulan.
Cara Allah untuk memberiku apa
yang ku harapkan >>3 bulan belajar<< namun ditambah bonus
mendapat pengalaman lain adalah satu dari sekian banyaaaak hal baik yang aku
syukuri sepanjang kehidupanku di ibu kota.
Secara mengejutkan, ternyata aku
menikmati proses belajarku.
Bertemu tutor-tutor yang sangat
berdedikasi dengan berbagai metode belajar: menyanyi, main kuis, debat. Aku
tidak merasakan beban ekspektasi dari tutor untuk progress yang harus ku kejar.
Ini adalah ekosistem pembelajaran yang belum pernah kualami sebelumnya. Karena
sebelumnya, pasti selalu ada sesi aku tidur di kelas saat materi yang diberikan
membosankan. Tidur di kelas sudah menjadi hal wajib yang tidak afdol kalau
tidak kulakukan(?).
Tapi bagaimana bisa aku tidur
jika hanya ada 12 orang di dalam kelas, pun ada waktu-waktu saat beberapa orang
izin karena punya urusan yang perlu dikerjakan. Sempat beberapakali kepikiran
untuk bolos ketika lagi bosan dengan asupan materi di kelas tapi ada teman yang
mengingatkan, “jangan bolos, itu uang negaraaa.”
OHIYAAA. AKU BELAJAR PAKAI UANG
NEGARA.
#lupa
Buku latihan IELTS keluaran
cambridge sepertinya sudah merupakan kitab suci para pengincar skor IELTS. Tapi
aku menghindar untuk belajar dengan buku soal itu karena beberapa soalnya akan
dipakai untuk bahan practice test yang dijadwalkan setiap dua pekan. Practice
test atau test simulasi IELTS diadakan dengan tujuan supaya kami semakin familier
dengan suasana IELTS, namun di sisi lain juga sukses bikin dag dig dug ser. Semua
sesi punya kesulitannya masing-masing dan speaking test memberikan
kegugupan tersendiri untuk manusia minim bicara seperti aku.
Berbicara selama dua menit, maka
aku merasakan otakku berhenti berpikir yang membuatku berbicara secara spontan. Butuh bicara di atas lima menit, maka
akan kudengar degup jantung yang berlebihan. Berbicara lebih dari sepuluh
menit? Serta merta telingaku hanya bisa mendengar suaraku sendiri dan mataku menjadi nggak fokus ntah menatap apa.
Dalam 15 menit sesi speaking, ada
tiga tahap yang perlu kulewati: Part I menjawab pertanyaan umum, part II
berbicara tentang suatu topik selama dua menit (diberi kesempatan 1 menit untuk
menyusun konsep narasi), dan part III berisi diskusi tanya-jawab yang lebih
intens.
Maka targetku hanya untuk
mencapai ambang batas bawah alias nilai 6.0. Angka ini sempat stabil sampai aku
melakukan simulasi test speaking di mana aku harus menjelaskan tentang Program
TV yang menarik bertopik ilmu pengetahuan untuk part II.
Apaaaa? Program TV? Aku sudah
lama nggak nonton TV. Apalagi yang berhubungan tentang ilmu pengetahuan? Mana
ada program yang sangat mengedukasi seperti itu di jaman sekarang? Untuk urusan
test speaking, aku termasuk ke dalam tim #JanganNgarang karena mengarang
jawaban yang tidak nyata membuat otak bekerja lebih keras. Dalam satu menit
persiapan yang singkat, aku teringat sebuah tips “kita bisa memberikan
jawaban sesuai dengan persepsi kita. Kalau disuruh menjelaskan tentang ‘arts’
lantas kita bisa aja berbicara tentang puisi, karena seni bukan hanya seputar
patung atau lukisan. Bahasa juga merupakan seni.”
Lantas muncul sebuah ide di
benakku.
Aku memulai narasi 2 menit dengan
pernyataan bahwa sudah lama tidak menonton TV tapi akhir-akhir ini menonton
serial Netflix tentang... penemuan kubur Mesir kuno.
Apa hubungannya penemuan kubur
sama ilmu pengetahuan? Karena arkeologi juga termasuk ilmu pengetahuan (aku
merasa arkeologi juga ada sisi science nya karena harus hati-hati meneliti artefak berusia ribuan tahun yang mungkin menyimpan bakteri/virus berbahaya).
Tapi aku lupa satu hal: AKU NGGAK TAHU BANYAK KOSA KATA ARKEOLOGI
Itu kebodohan pertama.
Kebodohan kedua adalah aku tidak
menjelaskan tentang “menurut saya penemuan kuburan ini adalah topik
pengetahuan yang menarik karena saya jadi tahu bagaimana cara kerja arkeolog di
lokasi penggalian,” sehingga membuat omonganku berputar-putar nggak jelas.
Skorku turun 0.5
Di sesi practice test selanjutnya,
penguji sesi speaking adalah tutor yang sangat teliti urusan grammar dan
penekanan bunyi (HUHU SUSAH BATS), aku mendapat banyak pertanyaan yang kujawab
dengan banyak kegagapan (mikirin pelafalan) (asli) (bebanmental is real). Namun
ketika sudah selesai, beliau bertanya “what happend with you? I know you can
do better than this.”
HUHU MONANGES. Thank you for your
concern, mam.
"I do not know. I just feel that I
need more time to think about the answer."
"You have to read more so that you
can gain your knowledge. Do not worry, your score is not that bad."
Beliau bilang “don’t worry don’t
worry” tapi skorku turun lagi sebanyak 0.5
Hadeh puyeng. Dari stabil di 6.0 lantas terjun ke 5.0
Penguji untuk semua practice test
adalah tutor-tutor yang mengajar kami di kelas, setiap tutor punya
karakteristiknya sendiri. Ada yang membangun atmosfir simulasi seperti test IELTS
beneran, ada yang sangat memperhatikan pelafalan setiap kata, ada yang
menyesuaikan jumlah pertanyaan sesuai dengan cara kami menjawab (jika jawabannya
bagus maka pertanyaannya makin rumit, jika biasa saja maka dapat pertanyaan
yang banyak), ada juga yang santai tidak saklek dengan aturan real test. Di
practice test terakhir, sesi speakingku berjalan sangat informal karena
mendapat penguji yang cuma pingin tahu kemampuan penggunaan struktur kalimat
past-present-future dan pemilihan kata.
Di part II, aku mendapat topik:
Describe an unusual job you think you would be good at.
You should say:
what the job is
what kind of works it involves
what type of people do this job
and explain why you think you would be good at it.
Topik yang nggak pernah aku latih
jadi dalam waktu satu menit aku mencoba menyusun narasi untuk berbicara selama
dua menit di task 2
“Well, many people do not think of this as a job because it is common in my country. However, I think I could be good as a housewife.”
“You will, i know you will.”
“Oh, really?”
“Absolutely.”
Sesi yang harusnya diisi narasi
dua menit malah jadi percakapan wkwkwk, lantas aku lanjutin sedikit penjelasan
kemudian dibalas lagi sama pengujiku.
“Marriage is complicated and
difficult.”
“Yeah i know.”
“No. you don't.”
“I know.”
“Have you married?”
“Not yet.”
“So, you do not know.”
“I know,” balasku lagi, aku tahu
pernikahaan bukan sesuatu yang sederhana dan mudah dilakukan
“Do you have husband? Have you
married?”
“No.”
“Then you do not know.”
Begitu saja terus sampai aku
mengiyakan bahwa aku tidak tau karena baru sadar beliau bilang aku nggak tahu
apa-apa karena memang belum punya pengalaman.
Berhubung aku adalah orang terakhir yang test speaking, setelah simulasi selesai aku memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bertanya
“Mr, kenapa ya, saya merasa saya
punya cukup pengetahuan dalam mangkuk-mangkuk yang berbeda tapi tidak bisa
menghubungkan antara satu dengan yang lain. Saya tidak bisa mengolaborasikan wawasan
yang saya miliki.”
“Karena kamu membangun pagar di
sekelilingmu dan kamu melihat dunia melalui celah dari balik pagar. Bagimu
hanya ada hitam dan putih, padahal ada area abu-abu. Prinsip yang kamu punya
terlalu tegak berdiri, saran saya, bengkokkan sedikit.”
“Nanti patah, dong?”
“Bengkokkan, bukan patahkan. Be
flexible, you get what i mean?”
Suatu waktu beliau pernah berpesan di dalam kelas agar kami jangan jaga diri tapi bawa diri.
Bila jaga diri membuatmu terkukung dan menghindari hal-hal yang dirasa
menyeramkan, bawa diri artinya kamu bisa menerapkan prinsip-prinsip yang sudah dimiliki terlepas dari lingkungan
seperti apa yang dihadapi. Bukan mewarnai, bukan diwarnai, namun bertahan
dengan warna yang dimiliki.
Bila dibutuhkan, jangan dipatahkan prinsip yang sudah ada namun bengkokkan sedikit, dunia ini tidak kaku.
Aku masih nggak ngerti bagaimana cara melakukan itu atau apakah aku harus menelan mentah-mentah ucapan itu. Setelah melalui 6 bulan kehidupan di Jakarta, berkutat dalam perputaran aktivitas makan, belajar dan tidur, kemudian diselingi oleh beberapa petuah nasihat kehidupan dari orang-orang yang sudah hidup lebih lama daripada aku. Ternyata memang waktu yang kita lalui setiap detik adalah sarana dalam melakukan percobaan.
Eksperimen untuk mengonsumsi
makanan yang baik.
Eskperimen untuk menemukan cara
belajar yang tepat.
Eksperimen untuk memiliki pola
tidur tanpa insomnia.
Eksperimen untuk tetap mencoba
menjadi dewasa, hingga suatu hari nanti dewasa bukanlah kata yang butuh dicari
definisinya, namun kata yang sudah melebur dalam diri sehingga tidak perlu
sibuk mencari-cari maknanya.
Begitulah.
Xx,
shofwamn.
0 komentar