Nama Kelasnya Austen

Setelah kupikir, sepertinya aku tidak pernah konsisten dalam memberi dukungan atau penolakan. Semenjak aku sadar bahwa mengekspresikan perasaan ternyata merupakan hal yang sulit kulakukan, aku hanya berputar-putar di perasaan-perasaan yang sama.

Dan ketika aku tidak bisa mengidentifikasikan perasaanku sendiri, aku hanya akan memakai satu kata... aneh.

Aku merasakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Seperti ada yang salah, tapi aku tidak yakin. Ada yang tidak beres tanpa bisa kujelaskan.

Ada yang bilang, dewasa adalah ketika kamu tidak mempertanyakan pikiran orang lain. Ketika kamu memahami pola pikir orang lain yang berbeda denganmu.

Namun semakin banyak menemukan kejadian baru, semakin aku tidak mengerti pikiran manusia.

Terlalu kompleks, terlalu bertabrakan, terlalu unik.

Pun di sisi lain terlalu biasa, terlalu seragam, terlalu monoton.

Dan bila aku tidak bisa memahami kenapa seorang manusia memiliki suatu pemikiran tertentu, biasanya aku akan cukup dengan aku paham bahwa aku tidak paham.

#loh # gimana

Berhubung berpikir merupakan suatu aktivitas yang lumayan menguras energi, penting untuk bisa memiliki orang-orang yang satu frekuensi.

Agar penjelasan yang panjang dapat dipersingkat.

Agar bisa mengerti tanpa perlu menjelaskan.

Agar bisa berinteraksi dengan penuh pengertian.


Hasil pra-test IELTS di program Pengayaan Bahasa yang membuatku meringis malu pada diri sendiri karena di bawah perkiraan ternyata merupakan nilai rata-rata (agak bawah dikit) yang didapat oleh para peserta PB, nilai itu membuatku tergabung ke kelas berisi 12 orang yang terletak di lantai bawah tanah, kelas yang diberi nama dari seorang penulis sastra terkenal pada jamannya, kelas yang ketika mati listrik masih mendapat sedikit cahaya mentari dari luar, kelas bernama Austen.

Perasaanku berdebar-debar menghadiri hari pertama, ruangan kelasku tidak besar, aku melihat meja-kursi yang biasanya dimiliki oleh sekolah-sekolah bagus, dengan proyektor yang tergantung di dinding dan seperangkat sound system di atas meja guru. Sarana dan prasarana yang saat ini tidak mungkin ditemukan di sekolah negeri tempatku tinggal.

So classy, so professional, so intelligent.

Hari pertama, hari ketika sesi perkenalan pasti dilakukan, ada 11 murid yang datang hari ini, aku duduk semeja dengan teman kamarku (ALHAMDULILLAH KAMI SATU KELAS). Saat sesi perkenalan berlangsung, otomatis aku membuka buku catatanku untuk menuliskan informasi yang kudengar: Vanie, Yuna, Vivi, Jo, Jeje, Jannah, Dewi, Tami, Ina, Okta.

Ada perasaan excited yang menyeruak ketika bertemu atmosfir kelas, ini akan menjadi kelas pertamaku di mana aku menjadi minoritas. Dari 11 orang, hanya ada 3 orang muslimah berhijab.

Aku juga menulis universitas tujuan mereka: Sussex, Sorbonne, UNSW, UWA, Unimelb, Exceeter, Victoria, Adelaide, Göttingen, Sydney.

Melihat catatan yang kutulis, rasanya keren sekali membayangkan orang-orang yang sedang berada di kelas yang sama denganku kelak akan pergi belajar ke kampus-kampus terkenal.

Indeed they are cool people.

Dari 11 orang yang datang pada hari pertama, sekitar sepekan kemudian kami mendapat satu murid lagi yang baru datang: Ikun. Otomatis dipanggil kak Ikun karena beliau dosen, terus aku langsung wow kewren pol karena kak Ikun adalah dosen Psikologi TwT.

Pada pekan-pekan pertama, kebanggaan yang nggak pernah kusebut adalah aku bisa satu kelas dengan bu Lurah (kak Dewi), bisa satu kamar dengan ketua kelas (Vie), dan bisa satu kelas dengan psikolog (kak Ikun).

I think i am the luckiest.

Eaa self-proclaim wkwkwk.

Bila harus menceritakan tiap kisah dengan Austen selama PB berlangsung, nggak cukup hanya satu postingan saja jadi akan aku bagi kenanganku bersama Austen dalam poin-poin. Kalau di film inside out, bisa disebut core memories, kurasa inilah faktor kerekatan Austen dalam enam bulan kebersamaan kami di program Pengayaan Bahasa Inlingua.


1. Senin Berbatik

Sumbu keceriaan kelas Austen dipantik oleh kak Jannah, kak Dewi, Tami, dan Okta. Setidaknya keempat orang ini yang aktif bertanya di kelas dan sering nyeplos menanggapi ucapan tutor makanya kegiatan belajar-mengajar di Austen lebih hidup dengan kehadiran empat orang tersebut. Belum lagi keindahan pita suara orang-orang timur yang benar adanya, Ina akan menyetel lagu saat jam istirahat lantas mereka nyanyi bersama.

Iya, mereka. Bukan kita.

Soalnya aku nggak ikutan. Aku nggak bisa bernyanyi merdu.

Guys, senin depan kita pakai batik atau tenun yuk.

AKU GAK PUNYA BATIK. AKU NGGAK PUNYA TENUN.

Tapi kuy.

Ini Jakarta, ada martketplace. Butuh batik tinggal checkout.

Bukan hari batik, bukan hari pendidikan, bukan hari tenun nasional, bukan hari peringatan apapun. Pertamakalinya Austen berbusana dengan dresscode dan foto bersama.

Kok bisa? Kok bisa semua orang langsung bersepakat memakai batik?

Malam harinya mayoritas dari kami pergi ke bioskop untuk nonton Petualangan Sherina.

Random sekali alur kehidupan.


2. Kebun Raya Bogor

Bila batik masih belum cukup membuat heran, di pekan ketiga Pengayaan Bahasa. Austen jalan-jalan kelas ke Kebun Raya Bogor.

Baru tiga pekan bertemu, tiga pekan belajar di kelas yang sama, tapi sudah pergi jalan-jalan naik KRL ke Bogor. Hanya dua orang yang absen dari #TriptoKRB: aku dan Vi. Alasan kami serupa: ada urusan keluarga.

Dalam kisah Umar ra, khalifah kedua setelah Rasulullah saw. wafat. Beliau pernah berkata bahwa untuk mengetahui karakter seseorang maka lakukanlah perjalanan bersama-sama. Dalam perjalanan ada rintangan yang harus dihadapi bersamaan. pergi bersepuluh dengan style perjalanan yang berbeda bersama orang baru. Berapa budget yang perlu dipersiapkan? Makanan apa yang akan disantap? Transportasi apa saja yang digunakan?

Aku memang nggak ikut ke Bogor jadi harusnya poin ini nggak masuk core memories ku, tetapi kurasa trip ini juga yang membuat Austenian lebih mengenal sifat masing-masing.

3. Malam Barbeku

Gedung asrama yang kami tempati sekaligus tempat kami belajar. Lantai bawah tanah dan lantai satu difungsikan untuk ruang kelas, ruang akademik, lobby, dan ruang laundry. Lantai 2 dan 3 adalah kamar sedangkan lantai 4 berupa aula yang biasa kami sebut rooftop.

Setiap lantai kamar terdiri dari dua lorong, ndilalahnya pada lantai 3 lorong sebelah kanan dihuni oleh mayoritas anak Austen. Jadi kalau mau bikin sesi FGD tinggal pergi ke kamar sebelah, atau kalau liat ada banyak alas kaki berkumpul di depan pintu sebuah kamar, tandanya di dalam sedang banyak orang wkwk.

Aku lupa ide dari siapa, kalau tidak salah ide awalnya adalah mau nyobain all you can eat, kemudian idenya berubah jadi barbekuan saja di asrama. Aku tidak tahu urusan persiapannya (tim hanya setor uang patungan wkwk), yang jelas ada yang pergi ke pasar beli daging, beli sayur mayur, beli bahan-bahan yang diperlukan, ada juga yang bertugas nyewa kompor gas beserta peralatan barbeku, ada pula yang diminta untuk mengajukan izin ke ibu asrama agar kami bisa menggunakan area rooftop (diizinkan! Dengan batas waktu pukul 10 malam), maka tanggal 30 September, makan-makan Austen dilakukan.

4. Jalan-Jalan Impulsif

Ada sebuah taman hijau yang terletak di samping gedung asrama, hanya dipisahkan oleh sungai, bisa kami akses dengan berjalan kaki lima menit. Beberapa tutor memberi tahu kami bahwa ruang hijau di Jakarta adalah hal yang jarang, sehingga bisa tinggal sedekat itu dengan akses taman merupakan keistimewaan tersendiri yang nggak akan kami sadari bila nggak dikasih tahu, karena tempat tinggal kami semua adalah tanah yang masih banyak hutan dengan udara segar.

Pernah Austen jalan-jalan sore (SEKELAS) ke Taman Cattleya, lantas mengabadikan momen tersebut ke dalam sebuah konten video yang TIDAK AKAN AKU COBA LAGI KONTEN KAYAK BEGITU.

Pernah aku dan Tami menemani Ina yang jalan-jalan sore dan Vie yang olahraga lari, lantas mendadak kami memutuskan untuk pergi ke GBK yang kemudian berujung naik MRT ke blok M dan balik lagi ke asrama menggunakan halte TJ jalur malam.

Pernah pula di suatu sore yang tanpa pertanda apapun, Tami mengajak makan tteokbokki di area Jakarta Selatan. Ajakan yang disambut olehku, oleh Ina, dan oleh Vie. Kami berempat jalan kali ke Halte Harapan Kita arah Selatan untuk naik TransJakarta jalur 10H hingga blok M, lantas lanjut menggunakan bus jalur 6M menuju Jakarta Selatan, dua jam perjalanan untuk makan malam di tempat makan korea. Menu-menunya enak, kami semua kenyang. “Kenyang alhamdulillah,” kata Tami karena rasa lapar telah hilang tapi nggak begah.


5. Ulang Tahun

Suatu pagi di bulan Oktober, mendadak aku dimasukkan ke grup whatsapp yang ternyata punya misi untuk memberi kejutan ulang tahun ke Okta, si member kelas yang paling muda.

Pertama kalinya kami membeli kue ulang tahun dan sushi, pertama kalinya ada yang berulang tahun di kelas, pertama dan terakhir kalinya acara ulang tahun yang sukses dikonsep sebagai kejutan. Setelah Okta, nggak ada kejutan yang berhasil karena tiap orang yang berulang tahun sudah tahu kalau ada sesi makan-makan begitu kelas berakhir. Dari 12 orang member Austen, 8 orang dirayakan hari lahirnya. Nggak nyangka mayoritas Austenian berulang tahun saat periode Pengayaan Bahasa berlangsung.

Selain ulang tahun, kami punya #SnackCorner di bagian belakang kelas yang nggak pernah sepi. Ada beberapa jenis kopi, dari kopi arabica asal Papua yang mahal harganya hingga kopi bubuk dari salah satu kedai kopi terkenal. Ada beragam makanan oleh-oleh dari member yang pergi ke luar kota atau pulang ke rumah. Ada jajanan yang dibeli via marketplace. Perut kenyang, hati senang, belajar pun gampang.

#ApaIya #IELTSisnotEASY

6. Tahun Baru

Di bulan Desember, beberapa anak Austen memutuskan menghabiskan malam terakhir tahun 2023 di rumah kak Ikun. Aku salah satunya. Salah empatnya ada Kak Jannah, kak Yuna, Tami, dan Ina.

Kami berangkat dari asrama menjelang siang, ternyata kak Ikun kedatangan sepupunya dari Kupang yang sedang menginap karena ada jadwal kegiatan yang harus dihadiri.

Sore harinya pergi ke toko buah karena kak Jannah sudah lama ngidam makan rujak, setelah itu mengantar kak Yuna ke gereja sebelum pergi ke AEON untuk belanja bahan masakan. Pulang dari AEON menjemput kak Yuna, lantas balik ke rumah kak Ikun.

Kami menggelar tikar di ruang tengah lantas meletakkan panci berisi shabu-shabu, sushi yang dibeli, buah-buahan dengan saus rujak buatan kak Jannah sebagai menu makan malam terakhir tahun 2023. Sehabis makan sempat mengobrol sebentar tapi aku masuk ke kamar karena sudah ngantuk, bahkan tidak berpikir untuk bangun tengah malam saking capeknya ingin rebahan. Namun menjelang pergantian tahun mendengar letusan kembang api berkali-kali yang membuatku terjaga, ternyata semua orang masih terjaga lantas pergi ke luar rumah untuk merasakan sensasi tahun baru. Alhasil kami menghitung mundur 3...2...1 Selamat datang 2024! Di jalanan perumahan kak Ikun.

Sa tidak nyangka akan tahun baruan dengan orang yang baru tiga bulan kenal,” komentar kak Yuna saat kami masih berada di tengah jalan yang sepi mencari spot terbaik untuk melihat kembang api.

Iya, ya, kenapa bisa begitu?

Baru tiga bulan kenal tapi sudah menginap bersama.

Baru tiga bulan kenal tapi rasanya sudah mengenal lama.

7. Support System

Aku sama sekali nggak pernah mengira program Pengayaan Bahasa yang aku ikuti akan berbonus mendapatkan teman-teman yang baik hati dan satu frekuensi. Memang dari 12 orang Austenian, tidak semuanya memiliki level kedekatan yang sama, namun tetap saja rasanya menakjubkan memiliki beberapa nama tambahan yang bisa masuk ke lingkaran pertemanan yang lebih dalam.

Meskipun sudah memiliki beberapa pengalaman tinggal bersama banyak orang di bawah atap yang sama, ada suatu hal yang baru kurasakan: ekosistem yang saling mendukung pada satu tujuan utama.

Saat masih bersekolah, setiap orang punya dorongan yang berbeda, ada yang serius belajar, ada yang mengincar nilai bagus, ada yang pengennya main-main saja, ada yang lebih suka memikirkan masalah percintaan. Saat masih berkuliah, setiap orang punya fokus yang berbeda, ada yang sibuk kuliah, ada yang menghabiskan waktu dengan organisasi, ada yang melakukan pekerjaan sampingan, ada yang menunda-nunda membuat skripsi. Saat di PB, setiap orang memiliki satu tujuan yang jelas: mendapatkan skor IELTS yang dibutuhkan untuk masuk ke universitas incaran.

Austen memperlihatkanku bagaimana yang terjadi ketika sebuah kelas diisi oleh orang-orang yang memiliki target yang sama tanpa adanya kompetisi. Austen memberikanku perasaan bahagia ketika melihat orang lain berhasil mengatasi kesulitannya dan mampu mencapai target tanpa membandingkan dengan hasil yang kumiliki.

Aku yang tidak senang berbicara, namun harus berbicara untuk sesi speaking. Aku yang buta grammar, namun harus memperhatikan grammar ketika sesi speaking karena nggak bisa berkonsep “as long as I understand, you understand, we understand, no need grammar.” Perlahan-lahan punya kepercayaan diri untuk berbicara, punya dorongan untuk meminta tolong ke teman agar membantuku latihan tanpa harus khawatir ditertawakan, punya semangat untuk belajar bersama di malam hari tanpa perlu mendengar ucapan berbumbu sarkas “ciyee belajar, rajin amat, pasti nanti nilainya bagus.”

Hari-hari terakhir menjelang penutupan Pengayaan Bahasa, Austen memiliki basecamp di sebuah kamar yang ukurannya cukup luas untuk menampung semua orang. Hampir setiap malam kami berkumpul, memang tidak lengkap, yang penting kumpul. Alasannya sederhana, berkumpul untuk makan bersama, untuk bercengkrama, untuk main kartu, untuk mendadak ngidam ngemil malam berujung GoFood.

Hari penutupan program Pengayaan Bahasa, salah satu tutor mengajak pergi, ajakan yang disambut oleh semua anak kelas karena tutornya termasuk tutor kesayangan. Kami pergi ke sebuah kafe, berniat makan malam bersama namun berujung saling memberi kesan-pesan untuk program yang telah kami lewati. Nuansa sedih yang tidak bisa dibendung lagi, tangisan-tangisan yang hadir dari perasaan tulus, dan sebuah janji yang terucap dari tutor. “kalau nanti kalian selesai studi, saya adalah orang pertama yang menyambut kalian di bandara.”

Sumpah aku penasaran, siapa yang kelak di masa depan nanti beneran akan dijemput oleh daddy Yos di bandara.


Sampai sekarang, aku tetap tertawa terbahak kalau melihat video anak-anak Austen yang konyol, random, kocak, adaaa aja tingkah lakunya. Tertawa geli mengingat bagaimana topik-topik sederhana bisa jadi bahasan panas di dalam forum group discussion. Tertawa malu bila teringat beberapa tingkahku yang kekanakan dan mudah sebal ke orang lain dengan masalah sepele.

Banyak sekali kenangan bersama kelas ini yang tidak bisa aku tulis semuanya, seperti aktivitas main pingpong di sela jam istirahat, mencari makan ke warteg di akhir pekan, bertahan hidup saat aliran air mendadak terputus karena mesin rusak, janjian menentukan tema warna untuk busana ke kelas selama satu pekan penuh, nonton film di kelas, belajar di rooftop, banyaaak sekali.

Sebuah kebersamaan yang cukup singkat, berdurasi hampir satu semester, di bawah naungan Inlingua. Sebuah kebersamaan yang tidak akan terulang kembali, tidak ada alasan untuk melakukannya. Sebuah kebersamaan yang, semoga, layak dianggap sebagai memori jangka panjang.

Untuk orang-orang yang mengajarkanku cara berteman.

Untuk orang yang memberiku pengalaman menjaga batasan hubungan pertemanan.

Terima kasih.

Salam hangat,
shofwamn.

0 komentar