EVEREST : Now or Never (review film)


Terdapat pertarungan antara pendaki dengan gunung
dan Gunung selalu menjadi pemenang.

Aku merasa September ini banyak film-film bagus dan menarik yang bisa ditonton di Bioskop, bukan sesuatu yang baik mengingat sekarang aku sudah berada di jenjang akhir dalam kehidupanku sebagai siswa yang berarti menghabiskan waktu untuk menonton sama dengan membuat masa depanku menjadi lebih buram.

Eh, nggak juga sih.

Dalam dua pekan terakhir aku dua kali menonton film di bioskop, mungkin bisa dibilang rekor karena frekuensi aku ke bioskop dari pertama kali sampai sekarang masih bisa dihitung dengan jari. Sebut saja Insidious 2, Gravity, dan Assalamualaikum Beijing. Kalau filmnya nggak bagus, atau nggak ada teman, atau sayang duit, aku lebih suka menunggu seseorang mendownload-nya daripada harus ke Bioskop. Tapi untuk film yang terakhir disebut, aku nonton karena emang diamanahi buat nonton, dan selama Assalamualaikum Beijing diputar aku sama teman-teman cuma ngakak serta beberapa kali ilfeel.

Everest memiliki genre yang jauh berbeda dari Maze Runner : Scorch Trial, kedua film tersebut sama sekali nggak bisa dibandingin. Everest dibuat berdasarkan kisah nyata tahun 1996 sedangkan Maze Runner : Scorch Trial murni diangkat dari trilogi novel fantasi karya James Dashner. Secara pribadi aku lebih suka sama Maze Runner : Scorch Trial dengan jalan cerita yang nggak bikin bosen, penuh konflik, terdapat beberapa adegan lucu, bikin terharu dan mupeng, apalagi pemainnya juga enak dipandang.

Oke, aku memang nggak bikin review soal Maze Runner : Scorch Trial karena masih terbayang-bayang ingin nonton lagi, hahaha. Alasan yang aneh, tapi karena aku nggak membuat review soal filmnya yang pertama (The Maze Runner) dan aku belum tahu apakah akan mereview film ketiga nya (mungkin judulnya Maze Runner : Death Cure) jadi aku akan merasa aneh dan seperti nggak berlaku adil jika membuat postingan tersendiri untuk Maze Runner : Scorch Trial

Sebelum membahas Everest, mungkin aku mau cerita dikit soal Maze Runner : Scorch Trial
Aku bareng Ula dan Laras nonton Maze Runner : Scorch Trial hari Jumat pekan lalu saat Ulangan Tengah Semester masih berlangsung. Keputusan kami bertiga buat nonton bukan karena kami sudah merasa pintar hingga seperti menyepelekan UTS, tapi karena jadwal ulangan untuk hari berikutnya adalah Bahasa Inggris yang berarti kami bisa nonton sambil belajar #alesan
Sejak pertama di putar sampai film selesai, kosa kata yang paling banyak aku denger adalah "Shit" dan "What the hell" apalagi ada satu adegan dimana si tokoh utama mengacungkan jari tengahnya. Ketawa? pastinya dong, tapi terlepas dari semua kata-kata kasar yang pernah terlontar, film ini menyuguhkan ketegangan saat para pemain di serang oleh sekumpulan zombie yang memuntahkan cairan hitam, makan tikus, dan memiliki gaya lari yang superjelek.
Untuk kedua kalinya, aku dipuaskan oleh akting Thomas, Teresa, Newt, dan Minho. Ketawa saat Minho disambar petir, tegang setiap mereka diserang zombie, dan terharu sama hubungan persahabatannya mereka.
Ada dua adegan yang jadi favoritku, yang pertama adalah ketika Thomas mengancam untuk meledakkan bom bunuh diri dan teman-temannya berdiri dibelakang Thomas sambil bilang "kami mendukungmu." Apalagi si Teresa udah mengkhianati kelompok Thomas dan malah mendukung W.C.K.D yang membuat pelarian mereka seperti sia-sia belaka ditambah beberapa anggota Right Arm terbunuh. Apa kubilang, persahabatan antara cowok-cewek nggak akan pernah berhasil!
Sedangkan yang kedua adalah saat W.C.K.D udah pergi, Thomas memutuskan untuk nggak bakal kabur lagi dan malah ingin menyerang W.C.K.D untuk membunuh pemimpinnya serta menyelamatkan Minho yang tertangkap, dan (seingetku) Newt nggak terlalu melarang terus bilang "Apa Rencanamu?" kemudian film pun berakhir, menurutku adegan terakhir terlihat kece soalnya Thomas seperti sudah mulai bertambah dewasa, bukan lagi cowok yang suka plinplan. Btw, ku baru sadar kalau Thomas nggak bilang mau nyelamatin Teresa, haha, padahal di awal film Thomas bela-belain nyari Teresa dulu sebelum kabur.

Back to our topic, 

Everest memberikan ketegangan tersendiri dan selama film sedang berlangsung aku seakan lupa kalau film tersebut pernah terjadi di kehidupan nyata.

Film dimulai dengan adegan saat para pendaki akan menuju Kathmandu, Nepal. Ada tiga orang guide yang terdiri atas Rob (leader), Mike, dan Harris serta delapan klien mereka yaitu Beck, Stuart, Lou, Jon, Yasuko, Frank, John, Doug. Mereka semua merupakan tim dari Adventure Consultant (AC)

Setelah sampai di Kathmandu, mereka melanjutkan perjalanan selama beberapa hari hingga sampai di Kamp Markas atau disebut Everest Base Camp (EBC), mereka menetap sebentar di Kamp Markas untuk latihan fisik, cek kesehatan, etc sebelum melakukan pendakian. Ketegangan pertama di film ini terjadi saat Beck lagi melintasi Icefall kemudian ada sedikit lonsoran salju terus si Beck hampir jatuh tapi gak jatuh karena dia meluk tangga, pas ditolong sama Rob dia agak marah terus bilang

"Aku membayarmu $65000 bukan untuk mati di Icefall!"

Seketika itu pula aku langsung nggak menyukai orang bernama Beck ini, terkesan selfish dan pemarah gimana gitu.

Kemudian di suatu malam, Jon yang merupakan seorang jurnalis bertanya "Kenapa kalian ingin mendaki Everest?"

Langsung pada jawab, "Karena gunung itu disana."

Jon menggeleng sambil bilang, "Itu bukan jawaban." dia noleh ke Yasuko,"Kenapa kamu ingin ke puncak Everest?

"Well, sekarang usiaku 47 tahun dan aku sudah mendaki enam puncak (six of the seven summits). Dengan Everest maka akan lengkap."


Aku langsung jadi penggemarnya Yasuko, sayang Jon tetep menggeleng, "Itu masih bukan jawaban, Doug, mengapa kamu ingin mendaki Everest?"

"Aku punya SD di rumah, dan mereka tau bahwa keinginanku ingin mencapai puncak tertinggi jadi mereka membantuku mengumpulkan uang, dan yah, aku ada disini karena mereka dan jika aku bisa mencapai puncak mungkin mereka akan terinspirasi....."
".....untuk mendaki Everest."

Semua orang yang mendengarnya langsung setuju. Seketika itu pula aku juga jadi penggemarnya Doug.


Tim Adventure Consultant menjadwalkan akan tiba di puncak tanggal 10 Mei 1996, waktu itu sedang musim mendaki hingga jalur pendakian padat makanya Rob memutuskan bekerja sama dengan Scott (leader tim Mountain Madness) karena memiliki jadwal yang sama. Awalnya Sherpa antara dua belah pihak kayak berselisih paham sebentar, tapi akhirnya setuju aja kalau mau kerjasama. Sherpa tuh penduduk lokal yang tugasnya memandu, memasang tali, atau menaruh persedian oksigen di titik-titik tertentu.

Malam sebelum tanggal 10 Mei, Camp IV (7300 mdpl) diserang oleh badai angin tapi saat pukul 00.00 badainya udah reda dan langit bener-bener bersih, puncak Everest pun terlihat dekat sekali.

NOW OR NEVER

Menurut perkiraan cuaca, pukul 2 siang bakal ada badai yang menerjang puncak tapi Rob cuma bilang, "Itu hanya perkiraan, gunung ini memiliki cuacanya sendiri."

Akhirnya, para pendaki yang udah berada di Camp IV memulai pendakian sekitar pukul 01.00 dini hari, selama beberapa jam nggak ada hambatan yang berarti.

Tapi...

Saat berada di Hillary Step

Nggak ada tali yang terpasang

KEMANA PARA SHERPA PERGI!!

Karena di Hillary Step Sherpa yang bertugas memasang tali belum nyampe, beberapa pendaki yang merupakan guide memutuskan untuk memasangnya padahal saat itu udah sekitar pukul sebelas lewat dan memasang tali setidaknya membutuhkan waktu minimal setengah jam. Hillary Step berupa semacam tanjakan agak pendek yang merupakan tanjakan terakhir dan akses menuju kesana hanya jalan kecil yang diapit oleh jurang dan tebing. Setelah menaiki Hillary Step nanti tinggal jalan sedikit lagi sebelum akhirnya sampai di puncak.

Di waktu yang sama tapi tempat yang berbeda, Beck terduduk kelelahan dan menuruti perintah Rob untuk istirahat, awalnya dia memaksakan diri untuk terus lanjut biar sampai puncak tapi efek dari operasi mata dua tahun lampau muncul yang membuat penglihatan Beck mengabur, jadi si Beck duduk aja.

Beck, kenapa kamu nggak turun aja kembali ke Camp, kamu tuh kalau duduk disitu hanya akan ngabisin persediaan oksigen.

Tabung oksigen super penting kalau mau menaklukkan Everest, karena tekanan udara akan rendah yang mengakibatkan susahnya bernafas dengan normal, makanya seperti yang kubilang sebelumnya, para Sherpa bertugas menaruh persediaan oksigen soalnya nggak mungkin pendaki menaiki gunung sambil membawa beberapa tabung oksigen sekaligus.

Kembali ke keadaan Hillary Step, setelah tali terpasang maka pendakian berlanjut. Mereka menuju puncak dengan mulus.


Dan ternyata, puncak tertinggi di dunia adalah tumpukan kain yang terlihat seperti kain bekas nggak beguna. Kira-kira yang numpuk kainnya jadi kayak gitu tuh siapa dan dengan motivasi seperti apa.


Yasuko juga berhasil sampai puncak :D dia nangis sambil nancepin bendera jepang kecil. Rob ngasih ucapan selamat karena Yasuko berhasil menaklukkan Seven Summits terus Yasuko cuma bisa bilang "Arigatou, arigatou."

Mereka cuma sebentar di puncak terus turun lagi, Rob agak lamaan soalnya dia nungguin Doug. Sekitar pukul dua atau tiga lewat (lupa) Doug belum muncul juga akhirnya Rob memutuskan buat turun, mendekati Hillary Step tiba-tiba Doug datang.

"Kamu telat, ini sudah berakhir. Waktunya untuk turun." Rob langsung balikin badan Doug.

"Tidak, puncaknya disitu. Aku pasti bisa."

"Maaf teman, ini sudah berakhir."

"Tidak Rob, aku tidak akan kembali lagi kesini. Ini adalah kesempatan terakhir ku."

Fyi, ekspedisi tahun 1996 merupakan kali ketiga Doug mendaki Everest tapi dia belum pernah sampai puncak karena selalu kehabisan tenaga makanya Rob paham betapa pentingnya keinginan Doug, hal tersebut membuat Rob menemani Doug ke puncak.

Doug berhasil sampai puncak, dia berfoto dengan bendera yang sepertinya dibuat oleh anak-anak.

Sayangnya, ternyata persediaan oksigen yang dibawa Doug habis yang membuat Doug mulai kehilangan kesadaran, disisi lain awan hitam mengepul mulai datang. Dan parahnya lagi, persediaan oksigen di titik puncak selatan habis.

Dengan susah payah Rob menurunkan Doug ke dasar Hillary Step menggunakan tali, begitu mereka berdua sampai di bawah Hillary Step badai pun datang, astaghfirullah, bener-bener deh cuma liat aja udah ngeri. Mereka berdua berusaha menyusuri jalan kecil di Hillary Step, aku nggak tau apa emang Doug pikirannya udah mulai aneh atau gimana tapi dia ngelepas pengamannya dari tali lalu yang terjadi adalah

Doug jatuh ke dalam jurang

Rob juga mulai kehabisan oksigen, dia duduk buat istirahat, lewat radio dia minta dibawakan tabung oksigen. Harris yang ndenger permintaan Rob memutuskan buat naik ke tempat Rob.

Harris sampe di tempat Rob sambil membawa tabung oksigen yang terisi setengah, waktu ditanya "Dimana Doug?" Rob cuma bisa jawab "Doug sudah pergi, dia sudah tiada."

Di tempat lain dalam perjalanan menuju Camp IV, pendaki yang tadi berhasil nyampe puncak udah kelelahan dan kehabisan oksigen juga. Beberapa menjatuhkan diri ke es termasuk Yasuko.

Aku lagsung mikir "Ini kalau Yasuko juga ikutan meninggal maleslah aku sama filmnya, masa yang aku suka semuanya nggak ada yang hidup."

Beberapa menit kemudian, pikiranku berubah jadi kenyataan.

Udahlah bete, semuanya aja meninggal di Everest. Karena badai, tekanan udara tambah turun. Harris yang nolong Rob juga meninggal, esok harinya Rob juga menyusul.

Dari film ini aku membuat beberapa kesimpulan :

  • Kalau Doug nggak memaksakan diri untuk sampai ke puncak (mungkin) mereka bakal selamat.
  • Kurangya persediaan oksigen merupakan salah satu penyebab banyaknya pendaki yang tewas.
  • Kalau Harris memutuskan untuk nggak kembali naik, (mungkin) dia bakal selamat.

Adventure Consultant 1996
(kalau gak salah) yang terlihat lebih berwarna yang meninggal
Ternyata bikin review film tuh susah ya, haha. Banyak adegan yang nggak kuceritakan disini seperti bagaimana Scott tewas, percakapan terakhir Rob dengan istrinya, proses penyelamatan Rob yang gagal, peran Helen sebagai manager Camp AC di Kamp Markas dan lain-lain. Jika kalian penasaran, tonton saja filmnya.

Salam
shofwamn

0 komentar