Seperti biasa, jika sudah lama tidak memperbarui bianglala
maka prolog akan menjabarkan sekian alasan kenapa blog ini tidak pernah
diupdate. Alasan-alasan yang kelak akan menjadi basi karena sesungguhnya tidak
perlu diceritakan. Kali ini merupakan rekor terlama bianglala
ditinggalkan oleh pemiliknya, bahkan di lomba-lomba nulis aja kadang ngasih
persyaratan “memiliki blog yang aktif paling lama tiga bulan terakhir.” Syarat
yang tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh bianglala, enam bulan itu termasuk
suatu kemunduran yang super signifikan, yang bikin aku miris melihat archive
blog tahun 2018 yang masih nol.
Basic question, kenapa lama tidak update?
Inginnya sih berlindung dibalik kata laporan, ada waktu di
mana kata “laporan” merupakan kata yang haram diucapkan, dan kata yang enggan
didengar, kata yang membuat telinga langsung bereaksi negatif dan otak menolak dalam memproses yang menyebabkan pening di kepala. Rasanya pingin kurutuk semua
tumpukan laporan yang secara otomatis telah mengubah kemampuan kognitifku
dengan segala macam istilah baru.
(( kognitif ))
Lebay. Tapi memang benar.
Pantas disayangkan kejadian seperti itu terjadi justru di
tengah euforia tahun baru, harusnya tahun baru identik dengan libur dan
menikmati hidup. Rehat sejenak dari kewajiban yang saat ini tengah dijalani;
seorang mahasiswa. Boro-boro rehat, laporan membuat hari-hari awal bulan
Januari terasa lebih berat. Bahkan setelah enam bulan berlalu, laporan masih
menjadi beban tersendiri meski sudah bisa sedikit ditolerir dengan tidak
terlalu bertingkah lebay seperti saat pertamakali mendapatkan tumpukan laporan
yang harus dikerjakan. Istilah singkatnya, adaptasi lumayan berhasil!
Kambing hitam kedua yang ingin digunakan adalah tidak ada
yang bisa diceritakan dalam rentang kehidupan selama enam bulan ini, kehidupan
yang biasa, rutinitas yang biasa, kesibukan yang biasa, semua serba biasa bagi
kalian. Nah, ini sih salahnya. Padahal, perjalanan touring ke Lombok berdelapan
saat libur semester ganjil, atau touring nekat Sumbawa-Surabaya-Sumbawa
menggunakan motor bareng Ula untuk menghadiri acara pernikahan seorang teman
SMA, bahkan peristiwa sesepele shofwa kembali mengikuti lomba menulis dan
mendapatkan hasil yang tidak terlalu mengecewakan sebenarnya cukup untuk
dijadikan bahan update. Tapi semuanya tersimpan rapi dalam jajaran daftar
draft, semuanya terhenti di tengah jalan. Terhenti karena apa? karena dibayangi
oleh kata biasa.
Setelah dipikir-pikir, sepertinya berada dalam lingkup
sosial yang lebih luas dari lingkup sosial SMA masih merupakan sesuatu yang belum
bisa diterima oleh bianglala #hah lingkup sosial yang lebih besar berarti
readers yang semakin beragam, pernah disebut di postingan yang lalu tentang
kegundahanku (KEGUNDAHAN, wkwk, kosa kata apaan) terhadap orang-orang yang
ditakdirkan untuk ‘nyasar’ ke blog ini, yang ditakdirkan untuk mengunjungi bianglala,
agak serem aja gitu ngebayangin ada stranger nyasar kesini terus membaca
tulisanku yang memang isinya tentang hidup aku (yaiyalah?! ngapa pula nulis
kehidupannya orang lain) padahal mah konsekuensi memposting sesuatu di dunia
maya kan memang harus siap di-kepo-in sama stranger. Terkecuali bianglala di-hack atau tidak
sengaja terhapus, maka tulisan yang aku buat akan tetap ada dan bisa kalian
baca dengan bebas karena aku bukan tipe orang yang suka menghapus postingan-postingan lama. Makanya aku
jadi tidak bisa sembarangan bercerita dengan disadari oleh kenyataan jika
tulisan bisa menjadi pisau bermata dua bagi penulisnya, karena secara nggak
sadar ada sesuatu yang sedang dibangun dan perlu penjagaan, sesuatu yang sering
dinamakan sebagai..... personal branding! Ewh banget gak sih seorang shofwa ternyata jadi peduli sekali dengan yang namanya personal branding, ckck.
Sekarang aku merasa bahwa makin
banyak rahasia-rahasia kecil yang tidak ingin aku tulis, makin banyak
pikiran-pikiran yang bisa jadi tidak tertampung dengan baik jika ditaruh di
bianglala sehingga masih tersimpan sendiri. Terkadang, ada hal-hal yang ingin
aku tulis namun tidak ingin dijadikan obrolan di dunia nyata dan pengennya terendap
aja di dunia maya tanpa diungkit-ungkit lagi meski itu merupakan sesuatu yang hampir mustahil,
soalnya takut tulisan tersebut tercampur dengan emosi sesaat, udah nulis pake
emosi terus nggak dihapus, kacau! Aku tidak mau merusak hubungan
interpersonalku hanya karena tulisan yang dibuat dengan emosi. Beberapa
kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang membuat tulisanku tidak pernah selesai,
tulisan tidak selesai sama dengan makin banyak draft yang menumpuk.
Draft yang menumpuk = kumpulan sampah-sampah kenangan.
Semua
alasan di atas mungkin terpatahkan setelah aku mengobrol dengan kak Ipeh, kak
Ipeh ini salah satu teman yang sekarang jadi mahasiswi Ilmu Komunikasi UTS, dia
menjadi penghuni sementara BTN Ent untuk beberapa waktu selama periode libur
Ramadaan. Keberadaan kak Ipeh sedikit banyak memberiku dorongan untuk
meng-update bianglala dalam waktu dekat, apapun yang terjadi harus di-update,
enam bulan udah terlalu lama dan kalau dibiarkan bisa-bisa blog aku tutup usia
di umurnya yang masih muda. Dua malam sebelum Eid Fitr, aku sedang berada di
depan Kai dengan tampilan layar halaman microsoft word yang telah terisi
setengah, kak Ipeh juga di depan laptopnya. Jari-jari dia lincah banget di
atas keyboard, menulis dengan lancar jaya untuk keberlangsungan hidup wordpress miliknya sedangkan aku
sudah beberapa menit menghentikan gerakan jari, membaca ulang tulisan yang
telah terketik namun merasa buntu sehingga melontarkan sebuah pertanyaan,
“Kak, biasanya apa yang kak Ipeh tulis di wordpress?”
Dia berhenti seketika begitu mendengar pertanyaanku , "kenapa?"
"Pernah nggak sih kakak kalau nulis di wordpress tapi sebenernya buat seseorang? Atau nggak kakak nulis postingan nih terus ada bagian yang ditulis untuk seseorang tapi kayak tersirat gitu?"
"Maksudmu gimana?"
"Kakak nulis tapi sambil mikirin seseorang. Misalnya nih, aku sama kak Ipeh berantem hebat kan terus nggak lama kemudian aku nulis di blog, di tulisanku ada kalimat yang aku tujuin ke kakak -entah kalimat nyindir entah kalimat apa- tapi itu untuk kakak cuma nggak ditulis secara gamblang."
"Oh aku sih nggak pernah. Soalnya aku kalau nulis ya nulis sesuatu yang pengen aku bagiin."
"Tapi bukan ditujukan juga, hmm apa ya. Kayak kalimat yang dibikin tuh muncul karena terinspirasi oleh seseorang? Nulisnya sambil mikirin seseorang?" ralatku, ngerasa analogi yang aku buat sama sekali tidak menjelaskan poin dari pertanyaanku.
“Oh! Pernah-pernah, aku punya temen yang sesama blogger juga terus...”
Jawaban
kak Ipeh waktu itu agak panjang dan butuh aku cerna perlahan, kemudian
membandingkan jawaban itu dengan kondisiku sambil menatap layar Kai, membaca
tulisan yang sudah setengah jadi.
Malam itu dugaan baru muncul bersamaan dengan kenyataan yang baru aku sadari,
bisa jadi aku memang vakum lumayan lama dari bianglala karena jika nulis,
takutnya akan ada kalimat-kalimat tidak jelas dengan tujuan yang ambigu.
Mending kalau masih kalimat, yang parah itu kalau a whole postingan
memang ditujukan untuk satu orang tapi malah ditaruh di blog ini.
Sungguh
perbuatan yang ceroboh.
Ternyata
rentetan laporan yang terus membayangi, privasi pribadi yang tidak ingin sembarangan
dibagi, atau objek bianglala yang masih belum terdeteksi bukan alasan terbesar
kenapa aku pergi selama enam bulan. Ternyata selama ini vakum karena secara
tidak sadar khawatir akan membuat tulisan yang bidikannya tidak pasti.
#ditempelengmassa
souce: webtoon |
Selama enam bulan terakhir, aku sama sekali tidak mencari usaha agar bianglala bisa
di-apdet lebih cepat, misalnya berusaha berbaur dengan orang-orang yang
juga aktif menulis agar termotivasi dan tersemangati, dalam kasusku hal tersebut tidak akan banyak membantu
karena sudah lama sekali aku tidak memiliki ketertarikan dengan
forum-forum menulis online, terakhir kali mengikuti forum menulis itu saat
kelas 10 kalau tidak salah, tidak bertahan lama dan alhamdulillah ada dua puisi
yang tercipta dan sampai sekarang masih suka dibaca. Kalau selama ini kalian
menemukan aku tertarik dengan forum menulis online, itu nggak lebih dari rasa
penasaran, keinginan untuk mendukung, ataupun hanya sopan santun belaka, bukan
semata-mata didasarkan oleh perasaan ingin menjadi bagian di dalamnya.
Rata-rata, forum menulis online yang aku tahu merupakan forum tempat
berkumpulnya banyak sekali gaya menulis dengan penggunaan diksi yang rame oleh
kata-kata kiasan serta tulisan-tulisan yang maknanya masih perlu diterawang
terlebih dahulu.
Ngerasa
nggak sih, hidup udah kebanyakan mikir, mending gak usah nambah-nambah pikiran
dengan membaca tulisan yang diksinya rame oleh kata kiasan wkwk. Apalagi kalau
udah disandingkan juga dengan istilah-istilah yang tidak diperuntukkan bagi
orang awam, wassalam, tulisan-tulisan semacam itu enaknya dibaca temporary
ketika memang ingin berpikir lebih jauh, lebih dalam, lebih luas. Atau dibacanya
pas emang lagi pengen bergalau ria, banyak kan tulisan begitu yang memuat
unsur-unsur galau. Tidak cocok dibaca ketika sedang ingin membaca
tulisan yang ringan-ringan aja.
Itu sebabnya aku enggan mengikuti forum menulis online daripada terdistraksi oleh berbagai macam gaya menulis
yang kelak bisa mencemari blog ini. Untuk
menulis, terutama menulis blog, lebih ingin improvisasi sendiri. Mau
membesarkan bianglala tanpa perlu mendapatkan motivasi motivasi maya dari
anggota forum yang tatap muka secara langsung aja belum pernah. Jika
butuh panutan, cukup dengan kak Ron dan kak Nadi saja.
#Teteup #HidupLoyalty
Ngomong-ngomong,
sebulan terakhir aku jadi sering memakai dan merenungi kata denial semenjak
seorang teman memberi nasehat sebagai tanggapan dia terhadap peristiwa yang
menurutnya tidak patut terjadi, dia memberi banyak masukan dan pemahaman bukan
cuma tentang peristiwa itu aja. Salah satu kalimat yang dikatakannya dan masih
terngiang-ngiang sampai sekarang adalah,
"Shof, menurutku kamu udah denial."
Wkwk denial katanya, wkwk, gue diberi justifikasi kalau udah denial.
"Hmm, bentar. Denial yang kayak gimana nih maksud kamu?"
"Dengan kamu menolak kenyataan bahwa memang seharusnya kamu nggak begini tapi kamu malah seperti menyalahkan keadaan."
Membantah bahwa aku sedang denial bukankah sama saja seperti mengakui jika aku
memang denial?
Setiap
orang pasti punya caranya masing-masing dalam menghadapi keadaan baru, pun
punya problem solving-nya masing-masing dalam menangani masalah yang
muncul akibat dari keadaan baru tersebut. Basically, ada dua respon yang
saling bertolak belakang yang akan aku tunjukkan dalam menghadapi keadaan baru: 1) excited, 2)
cemas. Dalam hal ini, aku sempat menghadapi keadaan yang belum pernah aku alami
sebelumnya dan aku merasa excited terhadap hal tersebut. Masalahnya,
sebenarnya aku paham bahwa perasaan excited yang kumiliki ini bisa
bermakna ganda jika dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Misalnya permasalahan KPOP deh, dari kacamata para kpop fans, menjadi penggemar dari musik-musik Korea bukan sesuatu yang salah ataupun sesuatu yang buruk. Namun dari kacamata lain, menjadi kpop fans itu tidak baik dan tidak memberikan banyak manfaaat apalagi jika sudah fanatik.
Contoh lainnya kayak seorang anak gadis kecil yang diajak orang tuanya main ke hutan untuk pertama kalinya, gadis kecil tersebut excited banget dan melakukan banyak hal, salah satunya dengan mencoba memanjat pohon. Ayahnya menganggap tingkah tersebut biasa, biarkan gadis kecil itu bermain dengan bebas. Sedangkan Ibunya beranggapan bahwa itu bahaya, tidak pantas dilakukan oleh anak perempuan.
Perasaan
dari tadi bikin analogi kenapa nggak bener mulu dah.
Kondisi yang aku alami bisa dinilai salah, bisa dinilai benar, tergantung kamu melihatnya menggunakan kacamata apa.
Waktu itu rasanya pengen menyangkal kalau aku nggak denial hanya saja aku tau dia sedang memakai sudut pandang yang mana. Ada rasa syukur yang mendadak muncul karena setidaknya aku tahu sudut pandang yang dia pakai itu tidak akan membuatku menjadi pribadi yang lebih buruk lagi (semoga).
source: webtoon |
Di dalam habluminannas (halah), alias di dalam hubungan manusia dengan manusia, kebenaran dan kesalahan yang absolut itu tidak ada, kebaikan dan keburukan yang absolut juga tidak ada.
Mungkin kamu anggap sesuatu itu benar, namun bisa jadi salah bagi orang lain. Mungkin juga yang menurut orang
lain buruk, bisa jadi menurutmu baik. Inget, ini konteksnya hubungan manusia
dengan manusia, tidak pake campur tangan dari sisi spiritual.
Sepertinya aku sudah sering sekali menulis tentang ini di segala platform online yang aku punya, temen-temenku yang suka menyempatkan waktu untuk membaca tulisanku juga mungkin tahu seberapa seringnya aku nulis ini, tentang sikap skeptisku terhadap makna pertemanan.. Aku nggak pernah meminta harus dilakukan seperti apa, aku mencoba untuk tidak membuat mereka terbebani karena sudah berteman denganku. Dulu aku memang punya harapan tentang satu sosok teman yang ingin aku capai, namun makin kesini harapanku buat punya sesosok temen yang sesuai dengan bayanganku makin
menghilang. Aku punya banyak temen yang bikin aku nyaman dan aku sayang sama
mereka tapi nyaman dan sayang aja nggak cukup untuk membuat harapanku tercapai
#ehgimana
Dan aku pun tidak peduli jika harapan tersebut benar-benar menghilang.
Makanya aku
belajar untuk bahagia dan sedih hanya dengan diri sendiri.
So, when i think i finally found someone who can be my reminder, i felt so relieved because finally I end up to not having keep the secret just for myself. But, not long left, someone who i thougt that could be my reminder, someone who judged me that I was denial said, "Oke, aku akan tidak peduli lagi, It’s whatever you want, whatever you will, and whatever you do."
Sebulan
yang lalu dia memberikan justifikasi denial padaku, sebulan yang lalu aku
senang karena ada yang mau peduli sama aku dan mungkin dosa-dosa yang
aku buat.
But,
the whatever-thing has came.
A
friend of mine said whatever.
Terserah kamu ingin apa, terserah kamu mau apa, terserah kamu mau ngapain.
Terserah, kata dia terserah.
Haha, ketawa miris dulu boleh nggak sih.
Serius. Words can be so harsh if we didnt put it in a good time with a good feeling.
Gampang banget loh bikin aku pesimistis terhadap masalah yang penyelesaiannya
masih membuatku gamang (gamang karena aku terlalu keras kepala, udah tahu mana
yang baik, tapi yang baik tidak selamanya ‘baik,’ makanya masih gamang), gampang
juga bikin aku membuat sekat baru, sekat yang menciptakan batasan-batasan terhadap cerita seperti apa yang sebaiknya aku berikan kepada teman-temanku, dan cerita seperti apa yang sebaiknya kusimpan sendiri.
Meski sempat tertegun sejenak dengan kalimatnya tapi aku nggak marah
karena kalimat tersebut kembali menyadarkan bahwa pada akhirnya juga bakalan
sendiri, pada akhirnya juga berjuang untuk diri sendiri.
Orang lain ada untuk menjadi pendorong sementara yang tidak
bisa diandalkan setiap saat, sebagai support system yang pasti membutuhkan
timbal balik, sebagai perwujudan dari peduli yang memiliki batas. Terkadang, keberadaan
orang lain di kehidupan kita dapat dijadikan tolak ukur, sudah seberapa mampu
kita berjuang untuk diri sendiri.
Kita berjuang untuk hidup yang tidak kita minta (ehiya nggak
sih? atau sebelum ruh ditiupkan di hari ke-120, di lauhul mahfudz sana udah ditanya apakah kita mau hidup atau enggak?),
kita berjuang untuk menerima kehidupan yang kita punya, kita juga berjuang
untuk memiliki akhir yang menurut kita baik, kita berjuang untuk akhir cerita
yang membuat kita tidak merasa menyesal karena sudah menjadi manusia.
Wow, Didnt imagine that i could make a too deep sentence.
Keberadaan
seseorang juga bisa menjadi suatu momentum untuk mencoba merasakan sebuah perubahan. Pernah nggak sih
kalian berubah demi seseorang? Atau berubah untuk seseorang?
Pernah nggak sih kalian melakukan sesuatu yang tidak pernah kalian lakukan
sebelumnya, dan itu karena seseorang?
Jika
pernah, selamat. Kalian masih memiliki jiwa sosial sebagai makhluk sosial.
Kalian masih memiliki jiwa peduli dan kesadaran untuk berbenah diri.
Aku? Apakah aku pernah?
Nggak mungkin lah aku nanya begitu kalau tidak mengalaminya sendiri, ngapain
membuat pertanyaan seperti itu kalau tidak pernah mengalaminya, mau ngasih ceramah?
Buang-buang waktu amat yak, ngasih ceramah ke orang yang belum tentu mau
diceramahi.
Temenku yang membuatku untuk mengambil sebuah keputusan dalam perubahan ini bukan temenku
yang bilang whatever. Jadi postingan ini emang isinya ghibahin temen sendiri
wkwk, ndak perlulah aku sebut nama kedua temenku, salah satu alasan kenapa
aku nggak mau sebut nama kalau sedang bercerita tentang teman sedetail sekarang
karena aku ndak mau membuat kalian-kalian memiliki prasangka ke temenku,
mungkin kalian mengenalnya tapi gak deket, mungkin kalian tau tapi hanya
sebatas tau, atau bahkan mungkin kalian sama sekali tidak tahu mereka. Nda mau aku tu
membuat temenku diprasangkai oleh kalian-kalian yang aku tak tahu siapa, oleh
kalian-kalian yang bisa aja lebih cepat suudzon daripada husnudzon tujuh puluh
kali. Soalnya kalau prasangka yang muncul malah prasangka buruk, bisa-bisa jadi
dosa jariyah. Kalian mau nebak? Ya boleh boleh saja walaupun aku tidak
akan melakukannya jika jadi kalian, terkecuali memang kalian memiliki banyak
waktu yang bisa dibuang untuk sesuatu yang tidak berguna.
Daripada menebak-nebak, mending nanya langsung ke aku, bukankah begitu?
Tentu saja tidak akan aku jawab wkwkw.
Temenku yang kedua dan tidak perlu kusebut namanya ini, dia tidak pernah
memberikan saran apapun, tidak pernah memberi advice apapun, tidak
pernah mengatakan "shof mending kamu..." "shof kayaknya kamu
bagus kalau...." "shof kenapa kamu nggak mencoba...". Tidak
pernah memberi tahu pendapat dia tentang harus seperti apa aku.
I love the freedom!
Wkwkw.
Ok. Kebanyakan tawa. Lanjut.
Justru biasanya kita bisa memikirkan sebuah perubahan karena orang-orang yang hanya
lewat di kehidupan kita, yang mungkin hanya mampir sejenak, yang mungkin hanya
datang memberi kesan. Sesimpel chatt aku dibalas oleh kak Ron di akun Line
official lalu bikin aku semangat dengan bianglala, sesimpel membaca tulisan kak Nadi yang
menjadi agen muslimah di negara orang dan membuatku ingin lebih mengenal agamaku sendiri, temenku dengan perilaku tidakpernahnya membuat aku
mengambil sebuah keputusan untuk mencoba sesuatu baru, sesuatu yang sama sekali
tidak ter-setting sebagai goals yang ingin aku raih.
Keputusan untuk mengambil sebuah perubahan adalah karena aku melihat dia nyaman
berada di suatu tempat, lalu aku penasaran, apakah jika aku kesana aku juga
akan merasa nyaman? Mungkin bakalan seru kalau aku bisa mengobrol sama dia di
tempat yang membuatnya nyaman tersebut.
Kalian pasti
punya temen yang akrab karena satu kesamaan, entah itu hobi, kebiasaan, tingkah
laku, masa lalu, cita-cita apapun itu yang membuat kalian merasa bisa berteman
dengan seseorang.
Ya gitu, niatnya mau nyusul tapi sepertinya nggak kesampaian deh hehe.
Dia udah kayak member tetap di tempat tersebut sedangkan gue mau masuk aja kudu
ngehadepin para penjaga dulu.
Untungnya aku berubah tanpa dia tahu kalau perubahanku terjadi karena dia
sehingga aku tidak perlu memiliki tekanan untuk mencapai tingkat perubahan
tertentu, tapi kayaknya temenku ini udah tahu deh soalnya aku udah pernah
bilang, beberapa bulan lalu, ya bilangnya secara tersirat sih, tapi dia lumayan
jago mengartikan hal-hal semacam itu, kayaknya wkwk.
Lagian kalau temenku tau dari awal, itu tidak akan mengubah
fakta bahwa aku tidak memiliki tekanan untuk mencapai tingkat perubahan
tertentu. Semisal dia memberikan saran, tentu saja tidak akan kutelan
mentah-mentah. Aku yang memutuskan berubah, aku yang tahu sampai sejauh mana
perubahan yang aku inginkan.
Aku nggak sebodoh kerbau dicocok hidungnya yang bakalan
manut begitu aja.
Niat berubah yang paling mulia memang yang lillahitaala,
niat itu bisa diperbarui seiring berjalannya perubahan yang telah terjadi pada
diri sendiri tanpa perlu menghabiskan banyak waktu. Tetapi, perilaku yang
berubah? kebiasaan yang berubah? proses yang mereka butuhkan tidak sesingkat
merubah niat. Sah-sah aja kalau mau berubah demi seseorang, karena seseorang,
untuk seseorang, selama perubahan itu bisa membawa kamu mendapatkan lebih
banyak kebaikan #asiq
Yang nggak boleh tuh berubah menjadi yang bukan kamu demi
seseorang. Berubah menjadi kamu yang tidak bisa kamu kendalikan demi seseorang.
Berubah agar kamu bisa mencapai harapannya seseorang padahal harapan manusia
itu sifatnya dinamis.
Jangan sampai kehilangan jati diri mbakyu lan kangmas.
Setelah hampir satu tahun hidup dengan perubahan ini, aku
mencapai pemahaman kalau aku akan berubah (lagi). Bentar.. bentar, dari tadi
kalian tidak aku kasih tahu ya perubahan apa yang udah aku alami? HAHAHA, itu nggak penting
lah. Intinya, perubahan setahun ini sudah
banyak memberikan pengalaman-pengalaman berharga dan juga momen-momen yang
berkesan, tapi aku sama sekali tidak mau mengulangi pengalaman dan momen
tersebut meskipun bisa saja pengalaman dan momen yang terbentuk di masa depan
akan berbeda dengan yang aku alami setahun ini, aku sudah merasa cukup.
Terkecuali jika ada situasi atau kondisi tertentu yang membuatku harus kembali
hidup seperti sekarang.
source: seorang selebask yang baik hati namun tak ku kenal |
Selama menulis ini, aku juga memikirkan bagaimana cara untuk
membuat titik temu antara isi dengan judul postingan. Kalian semua harus tahu
bahwa membuat judul postingan kadang mampu menimbulkan problematika tersendiri.
Sebenernya bikin judul itu simpel, akunya aja yang ribet,
kekeuh pake judul ini karena suka sama padanan katanya wkwk. Tiga kata yang
menjadi judul postingan ini berasal dari status whatsaap seorang teman lawasku
yang kalem, yang sedang belajar di Sastra Indonesia makanya aku suka
bercakap-cakap sama dia (suka tapi udah nggak sering), supaya bisa dikoreksi
saat kalimatku nggak bener, dan supaya bisa mendapatkan kosa kata baru, ataupun
ilmu baru.
Ketika aku menanyakan maknanya, dia menjawab “kalau yang aku buat kan nggak pake tanda koma Shof, jadi: angan ingin angin. Aku berangan ingin punya angin. Pemaknaanmu gimana?”
“Setelah ngubek kbbi, untuk sementara ini aku memaknainya sebagai: khayalanku yang menginginkan sebuah kesempatan.”
Siapa sih yang nggak punya khayalan? Tiap orang pasti
memilikinya, tiap orang juga pasti pernah melakukannya; berkhayal.
Tentang denial, sekarang masih dalam proses kok (doakan
ya!) proses memastikan apakah denial ini
nyata ataukah opiniku yang nyata (meski sebenarnya aku udah tahu) (wkwk) (lantas
apakah memang benar denial) (hmm). Poin utamanya bukan menghapus justifikasi
denial, tapi menyelesaikan masalah penyebab justifikasi tersebut muncul.
Nah, bingung nggak lo.
Aku yakin aku membutuhkan banyak waktu untuk memulai perubahan yang akan aku lakukan, dan mencapainya akan membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi, banyak langkah-langkah yang harus dilalui satu
per satu, prosesnya tidak sebentar, godaannya juga pasti tidak sedikit. Eh
kenapa jadi berlebihan gini padahal mah perubahan tersebut bukan merupakan
sesuatu yang spesial (bagi kalian) (kalau bagiku, tentu aja spesial because i
love freedom!).
Khayalanku yang kadang-kadang absurd sedang menginginkan
kesempatan, kesempatan berubah menjadi yang aku inginkan.
Karena hidup ini kenapa suka sekali minta diumpat padahal
kan harusnya disyukuri.
Hehe.
waving
shofwamn.
ps: terimakasih Tyas untuk Angan Ingin Angin-nya:) semoga setelah ini kita menyapa bukan ketika butuh saja ya hehe.
0 komentar