Sebuah Prolog : Obat Patah Hati

Dua semester menyandang status sebagai mahasiswi psikologi sedikit banyak memberiku insight kalau semua manusia itu sama, bukan mentang mentang si A anak FK terus dia langsung tau simtom-simtom segala penyakit di dunia, bukan karena Fulan sudah  bertahun tahun jadi anak rantau jadi apatuh homesick, masih jaman? bukan berarti orang yang sedang mempelajari ilmu Psikologi bisa menyelesaikan segala problematika kehidupan mentalnya secara otomatis.

Apalagi cuma untuk urusan cetek, urusan kecil.

Meskipun semua orang sama, namun semua orang tetap berbeda. Kita tidak bisa memberikan justifikasi subjektif yang hanya berujung pada pelabelan terhadap seseorang yang belum tentu benar.

Orang awam cenderung berpendapat bahwa seseorang yang mempelajari ilmu mental cenderung lebih paham mengendalikan emosi dan segala hal tetek bengek hal yang berkaitan dengan mental karena mereka banyak memiliki pengalaman mengurusi mental orang lain. Orang-orang awam yang sering terlupa kalau psikolog aja pasti punya masalah sendiri dibalik senyum ramah mereka saat mendengar cerita orang yang sedang berkonsultasi, apalagi aku yang baru akan memasuki semester tiga.

sek, piye sih iki.

sumber : tumblr

Pagi itu di hari senin tanggal 08 Mei 2017, aku baru bangun, serius, baru banget bangun dari tidur habis shubuh terus lagi ngumpulin nyawa di atas kasur ketika temen kamarku nyeletuk dari balik layar laptop,

"Wa, aku sedih kamu nggak lolos."

"Ha??"

"Aku sedih waktumu nggak jadi produktif."

"Apasih?"

"Kamu nggak lolos BEM wa. Udah liat grup belum e?"

"Belum."

Baru juga bangun tidur, nyawa belum ada yang terkumpul, pikiran masih kecantol di mimpi, terus langsung dapat kabar begituan, mixed feelings, rasanya aneh.

"Memang tidak cocok ternyata. Salahku sudah tergiur untuk mencoba."
 - sebuah kalimat yang langsung muncul di pikiran.

Untungnya di kamar hanya ada kami berdua jadi aku tidak perlu mendengar ucapan belasungkawa lagi karena jika iya, aku tidak yakin bisa bertingkah biasa aja evriting gonna be okay just smile and act like nothing happen.

Temenku yang memberi kabar sesaat setelah mataku terbuka dari tidur pagi nggak perlu tau betapa saat itu aku berusaha biar nggak nangis di depan dia.

Aku bukan orang yang mudah mengeluarkan air mata. Aku nggak pernah nangis ketika nonton film kecuali untuk The Little Thing Called Love yang gue liat waktu SMP tapi cuma berkaca-kaca sih, nggak sampe nangis kejer ngabisin tissue, dan film Harmony. Aku heran sama orang yang nangis ketika nonton drama padahal sepanjang karierku sebagai penikmat drama korea, aku cuma pernah nangis saat nonton menit-menit terakhir episode terakhirnya The Queen Classroom.

Kalau soal nonton, aku susah, malah hampir mustahil untuk mengeluarkan air mata. Sayangnya, aku malah nggak bisa ngontrol air mata ketika aku merasa jadi manusia tidak berguna. Salah satunya ketika aku gagal dalam sebuah seleksi.

Seleksi anggota BEM Fakultas Psikologi 2017.

Hehehe.

Hehe.

He.

Alay 10nan.

Keluar aja gitu air matanya, mau ditahan kayak gimana pun tetep aja keluar, nggak ngerti lagi deh. Mungkin karena tiba-tiba aku merasa sendiri kali ya, memang feeling nggak keterimanya udah ada tapi nggak nyangka bisa sedemikian bikin hati pletak pletak.

muehehehehehe.

Alay 10nan (2)

Sebagai sseseorang yang bukan tipikal anak organisasi, aku mengapresiasi diriku sendiri karena sudah berinisiatif untuk mengisi form calon anggota BEM FPSI. Pikirku, sudah saatnya walk out from comfort zone and trying for learning something new. Sempat bimbang soalnya that was my first time mengisi form calon anggota sebuah organisasi, kebimbangan yang kemudian dipatahkan oleh teman-teman sendiri.

"Ayok daftar yuk, buat coba-coba aja. Siapa tau keterima."

Eh taunya nggak lolos.

Eh dan lagi temen yang membuat kebimbanganku lenyap malah lolos.

Makanya jadi ngerasa sendiri, #ehem.

Ini juga dari tumblr, hehe

Ketika jadi anak asrama, jangan harap memiliki area pribadi yang dapat digunakan ketika kamu sedang ingin sendiri. Nggak bisa asal ngehamburin barang-barang di meja kayak di drama ketika lagi kesal. Nggak bisa sembarangan banting pintu lalu menjatuhkan diri di kasur. Nggak bisa marah marah tanpa ada yang merasa terganggu. Nggak bisa nangis sambil nutupin muka pake bantal tanpa ada yang penasaran. Itulah kenapa dulu aku sering jalan-jalan ke sawah sekitar pondok saat SMP, atau berangkat pagi-pagi buta sesaat setelah shubuh saat SMA.

Berita tidak baik yang kuterima dengan cara dadakan membuatku melakukan salah satu adegan sinetron paling tidak mutu dan paling iyuh sedunia.

/masuk kamar mandi untuk kemudian menangis dengan backsound air yang mengalir agar tidak ketahuan/

Aku melakukan itu. Nangis di kamar mandi. Sumpah. Nggak elegan banget.

Dan untuk menutupi mata sembab bekas air mata, aku memutuskan untuk sekalian mandi lalu keramas biar bisa ngomong, "tadi mataku kemasukan shampoo," kalau ada yang nanya kenapa mataku merah.

Aku tidak menyangka aku akan melakukan hal tersebut.

Nangis cuma gara-gara nggak lolos BEM.

Sekarang aku bisa ketawa, meski pas nulis ini rasanya sedikit malu. Bisa-bisanya jadi lemah banget-__-. Namun saat itu, ketika aku jongkok di depan ember sambil ngeliatin air yang mengalir, nggak tau kenapa hatiku sesak (ini gak ada kata lain apa-__-) (mendadak pengetahuan akan perbendaharaan kata menjadi terbatas T.T), sambil bertanya pada diri sendiri, "untuk sebuah pengalaman pertama, kenapa hasilnya harus begini?"

WKWKWKWKWK.

Gils. Melankolis syekali~~

Parahnya lagi, kemelankolisan seorang shofwa tidak berhenti sampai di kamar mandi doang, kegagalan pagi itu membawaku ke dua hal yang tidak pernah kulakukan sebelumya.

Pertama, mengajak kak Muna nyari makan bareng.

Sembilan bulan tinggal satu asrama dengan kakak sendiri tidak otomatis membuat kami sering jalan berdua. Frekuensi kami jalan berdua, literally just two of us, masih bisa dihitung pake satu tangan. Biasanya dia ke kamarku kalau lagi nyari makan, dan aku ke kamar dia untuk minta uang. Selain urusan makanan dan uang, kami sama sekali nggak pernah ketemu terus ngobrol berdua yang palingan hanya akan berujung dengan ghibahin orang.

Sungguh hubungan kakak-adik yang sangat bermutu.

Kejadian langka mengajak kakak sendiri nyari makan di luar dimulai dari sebuah pertanyaan yang terkirim melalui Line.
S : Kaka Muuun. Hari ini agenda lu apa? Puasa nggak?
M : Kuliah jam 1. Nggak.
S : Kelar kuliah jam berapa?
M : Nggak tau. Kenapa?
S : Mau gue ajakin nyari makan di kota wkwk.
M : Jam berapa?
S : Menyesuaikan lu aja sih. Gue mah fleksibel. 
Akhirnya sore itu aku menghabiskan waktu dengan mengunjungi dua tempat makan bersama kak Muna. Nanti dibawah aku bakal cerita tentang bagaimana kami berdua mencari makan di pulau yang tidak memberi banyak pilihan tempat makan wq.

Hal kedua yang belum pernah kulakukan sebelumnya adalah ngechatt official akun BagiKata.

Kalian mungkin nggak terlalu familiar sama OA BagiKata di Line, BagiKata itu semacam wadah di mana katanya kamu dapat menanyakan berbagai hal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, atau mencari informasi yang ingin diketahui. Mau cerita doang atau berdiskusi juga boleh. Dari curhatan nggak jelas sampai isu yang sedang hangat. Dari kesedihan karena Samuel nggak lolos 11 besar Produce 101 season 2 sampai perihal saham. BagiKata dapat digunakan 24 jam sehari, cocok lah buat kalian yang pengen chattingan tapi nggak tau mau ngechatt siapa.

Aku udah lama nge-add OA BagiKata tapi belum pernah mencoba untuk mengirim pesan sampai peristiwa kegagalan masuk BEM menimpaku.

S : Benar-benar boleh membicarakan apapun? Meski tidak berfaedah?
B : Halo Shofwa. Silahkan jika kamu ada hal yang ingin ditanyakan, diskusikan, atau curhat :)
S : Curhat deh, gapapa yak? Hehe.
Ini randomthought tadi pagi dan mungkin sedikit unimportant.
Kan banyak quotes yang bilang kalau kita seharusnya nggak usah peduli sama pendapat atau omongan orang lain, mengabaikan omongan orang asing memang lumayan mudah tapi kadang justru ekspektasi dari inner circle kita yang bikin kita tertekan. Seperti ada perasaan tidak nyaman ketika kita tidak bisa memenuhi ekspektasi inner circle kita.
What should we do?eh, i mean, What should I do?
Ketika aku ingin menggapai ekspektasi dari orang orang terdekatku sedangkan realitanya aku sedikit lelah  dengan 'ekspektasi' tersebut yang sebenarnya membuatku keluar dari comfort zone.

Siapa sih yang berekspektasi terhadap dirimu shof. Mikirnya suka berlebihan memang.

source : tumblr lah


Aku nggak bisa membantah kalau lingkungan sedikit banyak dapat mengubah pola pikir. Ada saat di mana kita (atau aku) perlu beradaptasi terhadap prinsip yang tengah digelombangkan oleh ombak-ombak kebaikan. Misalnya gini, aku udah bilang kalau aku bukan tipikal anak organisasi dan sejujurnya aku tidak terlalu berminat menerjunkan diri dalam lingkaran organisasi (cukup lingkaran KPOP yang bikin masa depanku jadi sedikit suram) (cukup lingkaran pertemanan yang menjadi tempatku bersosialisasi dengan orang lain), hanya saja fakta kalau aku sekamar dengan dua anggota DPM dan dua anggota BEM membuat perasaan inferiorku timbul tanpa dapat dicegah.

#TERTIDAKPRODUKTIF3a4MEMBER

"Semua orang itu punya potensi. Kamu tahu nggak apa yang dibutuhkan? Percaya diri."

Perkataan seorang teman yang menyesatkan namun benar .

Kalau prinsip diibaratkan dengan kapal, mungkin kala itu kapalku sedang berlayar dengan menyerahkah arah perjalanan pada ombak dan angin laut, nakhodanya sedang terlelap di dalam sebuah kabin berisi satu buah ranjang dengan tumpukan bantal empuk yang membuat nyenyak. Karena terbuai dengan kenyamanan kasur hingga hampir tidak sadar jika kapalnya sudah terlalu oleng dan terancam untuk karam di tengah laut.

Senin pagiku dimulai dengan perasaan yang berkuasa di atas logika. Makanya bisa sampai ahem nangis. Yang kubutuhkan ketika sudah berada dalam kondisi seperti itu adalah menghabiskan waktu bersama dengan orang yang sering mengedepankan logika. Makanya aku menghubungi kak Muna. Entah karena dia anak Teknik yang kerjaannya ngitung mulu dan sering main logika atau emang udah begitu dari sononya, kak Muna beberapa kali secara implisit menyadarkanku kalau masalah yang aku hadapi itu sebenarnya bukan apa-apa.

Nggak level. Tidak separah yang dibayangkan hingga harus diratapi.

Pengumuman anggota dan peresmian dilaksanakan pada hari yang sama. Kalau pengumuman dikeluarkan saat pagi, peresmiannya dilakukan sore hari.

Alhamdulillah, sorenya aku jadi jalan-jalan untuk jajan makanan bareng kak Muna.

Tapi dia nggak tau kalau yang melatarbelakangi ajakanku untuk nyari makan di kota adalah kesedihan tidak berguna akibat kegagalan kecil karena tidak menjadi bagian dari BEM Fakultas Psikologi. Aku juga nggak bilang ke dia soalnya buat apa juga, terkadang aku lebih butuh kehadiran daripada didengarkan.

"Mau makan di mana nih?"

"Terserah."

Aku lebih memercayakan urusan tempat makan di tangan kak Muna. Kenapa? Karena biasanya dia akan membawaku ke tempat yang belum pernah kujamah. Kami berdua memang sama-sama suka kulineran dengan kelas yang berbeda. Dia cenderung fokus explore ke tempat makan yang belum pernah dia coba sedangkan aku ya mana-mana boleh lah yang penting makan (dan rasanya enak) (dan kalau bisa harganya murah)

"Lu kaga ada ekspektasi mau makan di mana gitu?"

"Nggak ada."

Meski begitu, aku ngerasa kak Muna tidak mengeyampingkan pendapatku soalnya dia nanya mulu, "udah makan ini belum?" "udah pernah nyoba itu belum?" "udah pernah ke tempat X belum?" "lu lagi pengen makan makanan yang kayak gimana?"

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah... Cafe Logic? Sumpeh aku lupa itu nama cafenya apa.

dua delapan rebu untuk dua gelas

Di sudut cafe dengan ketiadaan suara bising selain denting gelas yang beradu dengan sendok, banyak obrolan yang terbentuk di antara kami berdua. Tentang ketidaksukaan dia akan kopi, keinginan dia memiliki sesuatu, permasalahan yang terjadi di asrama, sampai peraturan baru yang sempat jadi trending topic di grup whatsapp HIMARA Akhwat.

Kak Muna itu tipe manusia yang dingin banget kalau di sosial maya alias penganut hukum R(ead) doang tapi kalau ketemu in real life, dia jauh lebih banyak bicara daripada aku.

Hanya minum segelas kopi di sore hari tuh jelas nggak bikin lambung puas, jadi aku nggak punya alasan menolak tawaran dia untuk nyari makan malam.

"Lu yang bayar kopinya ya."

"Oke."

Sebagai pihak yang mengajak, aku sadar diri kali. Mengajak kak Muna nyari makan di luar sama dengan bersiap dengan kemungkinan mentraktir dia. Ndak sih usah pelit pelit sama saudara sendiri, sekaligus sebagai ucapan terimakasih karena dia telah meluangkan waktu untuk menemani adiknya ini.

Selain penganut hukum R(ead) doang, kak Muna juga merupakan manusia yang tidak terlalu suka makan nasi dan bukanlah budak mie instant. Setiap ke kamarku, dia selalu nyari makanan ringan. Nggak heran kalau pilihan menu makan malam yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makanan yang terdiri dari satu kata dengan lima huruf.

PIZZA.

Kecil ya? Tapi kami berdua hampir nggak bisa ngabisin:')

Kami makan pizza di Amazy. Kali ini dia yang bayar, haha. Padahal harga dua gelas kopi jauh lebih murah daripada seloyang pizza. Sewaktu menunggu pesanan datang, tiba-tiba obrolan kami malah berputar tentang nikah.

Iya. Nikah.

Seorang Nurul Muna Annazhifah ngomongin nikah.

Gue ngajak kak Muna jalan bareng aja sudah merupakan sesuatu yang langka, apalagi ketika orang yang tidak peduli terhadap menye menye things dan sering meng-iuh-kan curcolan gue itu malah membahas soal nikah.

Kejadian langka berdampingan dengan pembicaraan langka.

Pemikiran kak Muna tentang nikah cukuplah jadi rahasia antara kami berdua^^

Jadi, obat patah hatinya apa?

Makan. Kulineran. Dengan Seseorang.

Sebenarnya bukan patah hati, bagaimanalah mau patah jika jatuh saja tidak pernah. Lebih tepatnya aku sempat terlena akan kesibukan semu hingga tanpa sadar sudah tidak berpijak pada bumi.

Saat sadar, malah jatuh.

Terus patah.

Berarti memang patah ya, wkwk.

Apanya yang patah?

Nggak tau.

Hatinya mungkin? Atau sayap?

#ZuperrLabilque


Salam hangat dingin dari aku.
shofwamn

0 komentar