Sekitar
dua hari yang lalu aku sedang nge-scroll percakapanku dengan
seseorang di salah satu platform penyedia layanan chatt online.
Eh,
bentar deh.
Salah
satu kelemahan orang Indonesia adalah sering menggunakan istilah-istilah asing
dalam kehidupan sehari-hari makanya malah ngerasa aneh dan nggak cocok kalau
mengubah istilah asing (yang sering dipakai) ke dalam bahasa indonesia.
Contohnya,
ya, yang baru saja aku tulis di kalimat pembuka postingan ini.
Scroll. Scrolling.
Biasa kan
ya kalau di grup online kita nanya sesuatu yang dirasa kurang jelas terus
biasanya pada bilang, "scroll ke atas coba" yang artinya kita
disuruh ngelihat chatt-chatt sebelumnya yang jauuuh (atau
dekat) (sama ajalah) berada di atas alias chatt-chatt terdahulu.
Padahal scroll bukan
bahasa Indonesia tapi udah kayak bahasa Indonesia.
Scroll =
gulir
gu.lir v,
ber.gulir ; menggelincir;menggeluncur
Scroll ke
atas = gulir ke atas.
Menggelincir
ke atas (?)
Kalau
diterjemahin emang sih rada nyambung cuma pasti banyak yang ngerasa baku banget, sedangkan kalau nggak diterjemahin pada ngerti apa
maknanya.
Aneh ya.
Orang Indonesia.
OH!
Baru aja
aku nyari di google,
Terus
ternyata, scroll up itu termasuk kata yang ada di urban
dictionary.
/tibatiba
malu/
Harusnya
aku nggak perlu membahas bahasa ya, haha. Ketahuan masih rendah ilmunya.
Kembali
ke pembahasan awal, kemarin aku nge-scroll (or scrolling?) percakapanku
dengan seorang teman terus aku tertegun di salah satu pertanyaan yang dia
kirimkan.
"Prihatin doang? Kontribusinya apa?"
Deg.
Itu 'deg'
nya barusan aja. Sepersekian detik setelah aku membaca pertanyaan di atas
ketika sedang asyik nostalgia.
Mbahe nostalgia, bilang aja lagi gabut dan malas ngapa-ngapain.
Cih. Tukang ngeles.
Saat itu
kami sedang tidak membahas sesuatu yang penting atau sesuatu yang berat, hanya
obrolan tidak jelas tentang satu fakta unik ibu ibu indonesia yang naik motor.
Begitu
membaca pertanyaan itu, aku langsung nutup ruang obrolan kami lalu menimbang
nimbang sesuatu.
"Bagus
nih jadi judul tulisan di blog."
H3h3h3.
Kemudian
aku mikir, kira-kira aku perlu membahas apa untuk menyinkronkan antara isi
dengan judul. Lama sih mikirnya, membayangkan isi tulisannya gitu tapi gak
mikir berat yang sampe bikin pusing (dan flu, demam, serta sakit gigi)
segala sih 8D
Bayangan
tentang isi postingan baru masih samar-samar tidak jelas dan penuh dengan
kegundahan yang tak perlu ketika aku mendengar obrolan anak kamar.
"Besok
ada kuliah umum kan. Bapak Ignasius Jonan."
"Iya.
Jam 2 kan? Di pengumuman yang kesebar katanya gitu."
Percakapan
anak kamar ba'da maghrib memberikan secercah penerangan untuk shofwa.
"Judul
ini disimpen dulu buat kunjungan bapak menteri."
Biasanya
kalau ada tamu penting datang bakal banyak quotes-quotes bertebaran dan cerita
inspiratif, siapa tau bisa ku ceritakan ulang di sini.
Sayangnya
aku nggak bisa ikut kuliah umumnya:((
Sedih-sedih
kzl piye ngono.
Menjadi
orang sibuk bukanlah prioritasnya shofwa, bukan prioritas namun malah jadi
santapan sehari-hari. Aku lebih suka mengganti istilah 'sibuk' menjadi
'produktif.' Orang produktif tau bagaimana dia bisa mengefektifkan waktu 24 jam
dalam sehari, bagaimana mengatur agenda yang tumpang tindih dan saling
bertabrakan, bagaimana mengubah stimulus kecil menjadi respon yang besar.
Itulah
pengertian produktif menurut shofwa, kalau orang sibuk mah, estafet nonton
drama juga bisa dikata sibuk.
Sejujurnya,
draft di atas sudah ditinggalkan selama dua pekan. Ditinggalkan karena
penulis belum sempat membuka dashboard blogger lagi, karena penulis sempat
bermasalah dengan 363 (angka sakral yang menghubungkan individu dengan paket
internet), karena penulis sedang terbuai oleh banyaknya wajah tjakep yang
bertebaran di Produce 101 Season 2.
Yang
terakhir yang paling penting. Dan juga paling tidak berguna. Namun itulah
simbol kebahagiaan sederhana yang hqqi.
Karena
sempat ditinggalkan membuat sedikit ketidaksesuaian akan waktu.
Anggap
saja aku menulis prolog postingan ini di hari pertama, lalu pergi sebentar
menyapa dunia nyata, lalu kembali lagi di hari ke dua belas.
Jangan
dianggap deng, memang faktanya begitu.
Makanya
kunjungan Bapak Ignasius Jonan sudah jadi cerita lama, pun tentang kisah debat
antara dua pasang calon Ketua dan Wakil Ketua BEM Fakultas Psikologi. Karena baru tiga hari lalu BEM FPSI telah diresmikan:')
Cerita
lama tidak akan jadi cerita jika tidak diceritakan bukan?
Jum’at,
28 April 2017, hari terakhir perkuliahan dengan satu jadwal. Mata kuliah yang
dosennya tegas namun baik hati (ini sebenarnya mau mendeskripsikan mbak dosen
dengan panjang lebar, namun ndak jadi, takut dibaca sama si mbak dosen) (lah
pede). Kunjungan bapak Menteri yang hendak memberi kuliah umum menyebabkan
Kelas Psikologi Kepribadian II yang seharusnya mulai jam 14.40 dimajukan jadi
jam 10.00 dan membuatku bersyukur soalnya selama dua pekan sebelumnya, psikokep
II jamkos dan hal tersebut membuat jadwal presentasiku keundur mulu.
Punya
jadwal presentasi yang tidak jelas tuh nggak enak. Berasa diberi ketidakpastian
sama sesuatu yang tidak pasti juga.
Kuliah
umumnya bapak Ignasius Jonan kata jadwal bakal dimulai jam
14.30 meanwhile on the other side pada hari yang sama fakultas
psikologi mengadakan debat paslon calon ketua dan wakil ketua BEM di jam 14.00
Keinginan
ku? Menghadiri keduanya.
Pengennya
setengah-setengah gitu, gapapa nggak ikut dari awal sampai akhir acara asal
bisa menghadiri keduanya tapi kan hello, this is indonesia man! negara di mana
on time itu adalah sesuatu yang hampir fana. Bikin bingung mana yang perlu
didahulukan. Angka 14.30 dan 14.00 bisa berubah menyesuaikan keadaan dan
realita.
Keputusan
akhir?
P : “Shof, kamu kalau ikut kuliah umum ntar direkam ya biar bisa kudengerin.”
S : “Kalau gitu ntar kamu rekamin debatnya biar aku bisa denger juga.”
Keputusan
final yang terbentuk di sela-sela kunyahan mie goreng telur. Setelah kelas
psikokep II selesai aku emang nyari makan bareng temen-temen.
Habis
makan siang dengan menu yang enak namun tidak sehat, aku langsung balik ke
asrama bareng Ahda yang selama perjalanan pulang membombardirku dengan
pertanyaan pertanyaan yang memerlukan dalil Islam agar terjawab dengan benar.
Tiba di
asrama aku dapet info kalau pak menteri baru datang jam 15.00
Ealah.
Kutukupret. Enak ya jadi menteri. Acara mulai ketika menteri datang, tidak akan
mulai sebelum iring-iringan mobil muncul.
Enaknya
dikit, makan atinya banyak.
Sesaat
setelah aku dapet info begitu, aku langsung ngontak temenku yang masih di
kampus, minta dijemput karena aku memutuskan untuk liat debat dulu.
Keputusan
1/2-1/2 (setengah datang-setengah pergi) bukan keputusan yang sebaiknya kalian ambil jika kalian tidak bisa
berkomitmen atas keputusan itu(?)
Sek, aku
confused, sek mikir dulu.
To the
point aja ya, kayaknya akhir-akhir ini aku kalau nulis suka mbleber
kemana-mana. Ndak fokus.
Jadi di
jumat 28 april (malah diulang lagi-_-'') keputusanku untuk 1/2-1/2 tidak berjalan
karena ketika ingin pergi di pertengahan debat, aku nggak tau harus ke asrama
pakai apa. Jarak dari asrama ke fakultas psikologi sebenarnya nggak jauh-jauh
amat, sekitar 1.3 kilometer, 5 menit naik motor, dan 3000-an langkah kaki
#cmiiw
Tapi
jalan kaki di siang menjelang sore dan sendiri tuh kayaknya gak enak banget.
Makanya aku nonton aja tuh debat sampai selesai. Urusan kuliah umum, aku udah
minta salah satu temen kamar buat ngerekamin isi kuliahnya pak Ignasius
Jonan.
Itu tuh
debat pertama yang kuhadiri secara langsung dan tentu saja aku belum bisa
memberi penilaian, apakah debat tersebut bagus atau tidak. Namun sepanjang
pengetahuan sebagai pengamat amatir, debatnya berjalan dengan tidak terlalu
panas dan nggak terlalu bikin greget.
B aja.
B aja.
Ketika
sedang berjalan untuk balik ke asrama, papasan sama iring-iringan menteri.
Yah
minimal menatap mobil menteri menjauh meski tidak melihat rupa beliau.
Sumpah
ini udah melenceng jauh banget. Izinkan aku melencengkan lebih jauh lagi dari
judul postingan, bentar lagi kok.
Dari
rekaman berdurasi 50 menit 11 detik yang direkam oleh teman kamarku yang baik
hati nan mulia akhlaknya, ada beberapa quotes yang dapat ditulis.
Kutipan
bermakna adalah main point yang dicari dalam setiap kunjungan menteri. Siapa
tau bisa dijadiin caption instgram, siapa tau bisa buat pencitraan agar
terlihat bijak, siapa tau bisa buat selfreminder, siapa tau bisa jadi bahan
untuk pedekate #sip
"Orang sekolah itu karena tidak bisa belajar sendiri, kalau merasa bisa, pergi aja semua."
Aku
menyimpulkan bahwa bapak Ignasius Jonan ni kayaknya anak pinter deh, nggak
pernah belajar tapi dapet nilai tinggi mulu. Beliau juga bercerita based on
experience, not theory.
"Jangan sekolah karena terpaksa, jangan sekolah karena malu sama teman, jangan sekolah kalau diminta orang tua, sekolah itu passionnya harus ada sendiri."
"Jangan sekolah karena terpaksa, jangan sekolah karena malu sama teman, jangan sekolah kalau diminta orang tua, sekolah itu passionnya harus ada sendiri."
Oh ya,
kalian tau nggak sih pak Ignasius Jonan tuh siapa?
"Hidup itu harus realistis. Apapun juga. Harus efisien."
Nah ini.
Aku suka
dengan ceritanya pak Ignasius yang meski kadang melompat-lompat dari membahas A
ke J ke S ke A lagi tapi beliau bicara memang berdasarkan fakta, tanpa
kalimat-kalimat manis bermotivasi (yaiyalah, ini kuliah umum atau training
motivasi?) atau kalimat berbumbu janji tak pasti.
Oke. Kisah tentang pak Ignasius selesai sampai di sini.
Mari kita fokus kembali ke judul postingan.
Oke. Kisah tentang pak Ignasius selesai sampai di sini.
Mari kita fokus kembali ke judul postingan.
Prihatin
doang? Kontribusinya apa?
Emang
kalimat sederhana yang kalau dibaca sambil mikir ya cukup mengena.
Pri.ha.tin
bersedih hati, was was, bimbang.
Kon.tri.bu.si
jasa, partisipasi, peran, sokongan.
Kalau mau jujur, aku masih belum tahu mau nulis apa. Agak-agak males gitu kalau nulis tentang kontribusi yang telah kita (dalam kasus ini, mahasiswa) berikan ke masyarakat, pun tidak ingin membahas rasa prihatin yang lebih sering mendominasi.
Karena aku ndak suka menggurui, aku masih berupaya agar orientasi tulisan di blog ini tidak menggurui.
Ketika membaca ulang pertanyaan itu,
Ketika shofwa membaca pertanyaan itu,
Ketika itu.....
Seperti langsung diputarkan slide-slide kehidupan beberapa bulan terakhir ketika sudah resmi tidak menyandang gelar sebagai seorang siswa lagi. Yang nyatanya lebih banyak menonjolkan sifat pasif dan anti sosial.
Kemudian diputar pula slide-slide kehidupan yang lebih lama lagi ketika masih berpakaian putih abu-abu, (pasifnya sama, ansosnya sama) namun feel nya berbeda.
Tentu saja! Siswa bukanlah mahasiswa.
Mahasiswa. Maha-nya para siswa.
Kenapa tidak ada perubahan? Kenapa tidak ada yang berubah?
Rasanya, shofwa yang sekarang nyalinya lebih ciut daripada yang dulu. Dan juga lebih apatis.
Saat masih berpakaian biru putih atau putih abu abu, tidak ada yang peduli apakah kamu fokus pada studi atau fokus pada organisasi. Kamu bisa memilih keduanya atau hanya salah satu.
(malah bahas organisasi:'))
Gue ngetik sambil dengerin Try-nya Tyler Ward. Maklumi kalau malah jadi rada melankolis, muehehe.
Maksudnya gini, kadangkita, eh aku, hanya memberi respon terhadap suatu peristiwa dengan biasa saja.
"Daerah X terkena banjir, sejumlah penduduk tewas."
"Semakin menjadi, kelompok Z menembakkan bom gas yang menyebabkan kematian massal."
"Aksi P terjadi karena si fulan dianggap menistakan agama."
"Peduli daerah H. Galang dana untuk daerah tersebut."
"Telah menjadi kebiasaan. Ujian menjadi ajang menyontek."
"Banyaknya budaya yang berkumpul menyebabkan gap antara satu sama lain."
Hft.
Sesungguhnya shofwa tidak tahu sedang menulis apa---
Malu mengakui bahwa belum memberikan kontribusi secara 'layak' dari shofwa sehingga hendak ngomong membahas kontribusi juga udah keder duluan.
Di salah satu percakapan via telepon, ummi bilang, "ya gitu mbak, sekarang masyarakat lebih respek dengan orang-orang yang kontribusinya langsung terihat. Yang lantang membela, bukan yang tersembunyi di balik layar. Memang mungkin yang punya nyali yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini."
Kurang lebih begitu kata ummi, percakapannya udah lama jadi aku ndak ingat detailnya.
Seorang mahasiswa itu dikenal sebagai individu yang berpikir kritis dan tidak takut menyeruakan pendapatnya. Aku akui kekuatan mahasiswa tuh besar banget.
Secara nggak langsung, aku telah menjadi bagian dari 'kekuatan' tersebut.
STOP!
Aku belum mau membahas tentang mahasiswa dan kekuatan yang dimilikinya.
Simpelnya gini, kebanyakan orang itu lebih sering memperlihatkan rasa prihatin lalu do nothing.
Salah?
Belum tentu:)
Terserah mereka dong, mau prihatin kek, kasihan kek, bodo amat kek, whatever.
Tentu saja aku mengapresiasi orang-orang yang memiliki keprihatinan terhadap suatu peristiwa tertentu karena banyak kontribusi yang terjadi akibat munculnya rasa prihatin di awal. Jadi di postingan ini aku akan mengabaikan orang yang sama sekali tidak memberi respon sesederhana 'keprihatinan' pun tidak pula memberi 'kontribusi.'
Frasa 'do nothing' yang aku tulis sebelumnya secara harfiah tidak berarti benar-benar 'tidak melakukan apapun.' Masukkan saja orang-orang kekurangan inisatif dalam kelompok yang 'do nothing.'
Sekelompok orang yang sebenarnya membantu namun karena bantuannya invisible makanya terkesan do nothing.
Alamaaaaaak.
Judul postingan ini dapat menyebabkan pembahasan yang berbobot.
Sayangnya, aku dalam kondisi belum mampu membuat tulisan yang berbobot :'))
Sekian ya kalau begitu, hehe
*kabur*
yang sedang butuh pengubahan konten
shofwamn.
Kalau mau jujur, aku masih belum tahu mau nulis apa. Agak-agak males gitu kalau nulis tentang kontribusi yang telah kita (dalam kasus ini, mahasiswa) berikan ke masyarakat, pun tidak ingin membahas rasa prihatin yang lebih sering mendominasi.
Karena aku ndak suka menggurui, aku masih berupaya agar orientasi tulisan di blog ini tidak menggurui.
Ketika membaca ulang pertanyaan itu,
Ketika shofwa membaca pertanyaan itu,
Ketika itu.....
Seperti langsung diputarkan slide-slide kehidupan beberapa bulan terakhir ketika sudah resmi tidak menyandang gelar sebagai seorang siswa lagi. Yang nyatanya lebih banyak menonjolkan sifat pasif dan anti sosial.
Kemudian diputar pula slide-slide kehidupan yang lebih lama lagi ketika masih berpakaian putih abu-abu, (pasifnya sama, ansosnya sama) namun feel nya berbeda.
Tentu saja! Siswa bukanlah mahasiswa.
Mahasiswa. Maha-nya para siswa.
Kenapa tidak ada perubahan? Kenapa tidak ada yang berubah?
Rasanya, shofwa yang sekarang nyalinya lebih ciut daripada yang dulu. Dan juga lebih apatis.
Saat masih berpakaian biru putih atau putih abu abu, tidak ada yang peduli apakah kamu fokus pada studi atau fokus pada organisasi. Kamu bisa memilih keduanya atau hanya salah satu.
(malah bahas organisasi:'))
Gue ngetik sambil dengerin Try-nya Tyler Ward. Maklumi kalau malah jadi rada melankolis, muehehe.
Maksudnya gini, kadang
"Daerah X terkena banjir, sejumlah penduduk tewas."
"Semakin menjadi, kelompok Z menembakkan bom gas yang menyebabkan kematian massal."
"Aksi P terjadi karena si fulan dianggap menistakan agama."
"Peduli daerah H. Galang dana untuk daerah tersebut."
"Telah menjadi kebiasaan. Ujian menjadi ajang menyontek."
"Banyaknya budaya yang berkumpul menyebabkan gap antara satu sama lain."
Hft.
Sesungguhnya shofwa tidak tahu sedang menulis apa---
Malu mengakui bahwa belum memberikan kontribusi secara 'layak' dari shofwa sehingga hendak ngomong membahas kontribusi juga udah keder duluan.
Di salah satu percakapan via telepon, ummi bilang, "ya gitu mbak, sekarang masyarakat lebih respek dengan orang-orang yang kontribusinya langsung terihat. Yang lantang membela, bukan yang tersembunyi di balik layar. Memang mungkin yang punya nyali yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini."
Kurang lebih begitu kata ummi, percakapannya udah lama jadi aku ndak ingat detailnya.
Seorang mahasiswa itu dikenal sebagai individu yang berpikir kritis dan tidak takut menyeruakan pendapatnya. Aku akui kekuatan mahasiswa tuh besar banget.
Secara nggak langsung, aku telah menjadi bagian dari 'kekuatan' tersebut.
STOP!
Aku belum mau membahas tentang mahasiswa dan kekuatan yang dimilikinya.
Simpelnya gini, kebanyakan orang itu lebih sering memperlihatkan rasa prihatin lalu do nothing.
Salah?
Belum tentu:)
Terserah mereka dong, mau prihatin kek, kasihan kek, bodo amat kek, whatever.
Tentu saja aku mengapresiasi orang-orang yang memiliki keprihatinan terhadap suatu peristiwa tertentu karena banyak kontribusi yang terjadi akibat munculnya rasa prihatin di awal. Jadi di postingan ini aku akan mengabaikan orang yang sama sekali tidak memberi respon sesederhana 'keprihatinan' pun tidak pula memberi 'kontribusi.'
Frasa 'do nothing' yang aku tulis sebelumnya secara harfiah tidak berarti benar-benar 'tidak melakukan apapun.' Masukkan saja orang-orang kekurangan inisatif dalam kelompok yang 'do nothing.'
Sekelompok orang yang sebenarnya membantu namun karena bantuannya invisible makanya terkesan do nothing.
Alamaaaaaak.
Judul postingan ini dapat menyebabkan pembahasan yang berbobot.
Sayangnya, aku dalam kondisi belum mampu membuat tulisan yang berbobot :'))
Sekian ya kalau begitu, hehe
*kabur*
yang sedang butuh pengubahan konten
shofwamn.
0 komentar