Aku baru aja pulang sekolah dan ngobrol bentar ketika tiba-tiba Dhila melintas di depan kamar terus teriak
"Wak, jangan lupa besok pagi jam setengah enam!"
Langsung aja aku ber-argghh lumayan keras, sebel karena aku harus memilih satu diantara dua pilihan yang sama-sama menggiurkan.
Gerhana Matahari vs Medical Expo
Aku nggak bisa ngelepas gitu aja kesempatan melihat Gerhana Matahari. Kejadian langka yang sudah ku pelajari sejak SD. Apalagi (katanya) harus nunggu lama banget baru ada Gerhana Matahari lagi, khususnya gerhana yang melewati wilayah Indonesia, atau Jogja.
Tapi di sisi lain, ada rasa sayang kalau nggak ikut Medical Expo. ME itu acaranya anak FK UII (Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia). Agak kurang paham sama acaranya, yang jelas kita semacam diajak jadi Dokter sehari /?/ nanti kita bakal dikasih tau apa aja yang dipelajari oleh anak FK, terus diajak jalan-jalan keliling daerah FK juga deh kayaknya. Pikir ku sih, ini kesempatan terakhir buat ikut acara begituan, kan udah mau Lulus jadi tahun depan nggak bakal bisa ikut lagi *uhuk* dan nggak bisa ngerasain jadi Dokter, yah terkecuali kalau esok aku nyasar jadi anak FK.
Yang nggak mungkin banget itu terjadi.
Setelah mikir dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku milih buat ikut ini
Kami berangkat jam setengah enam. Aku, Hilma, Dhila, Ula, dan Tyas hampir aja telat dan ketinggalan rombongan padahal kami udah izin untuk nggak ikut halaqah pagi (setelah almatsurat kami berlima langsung balik kamar). Tapi waktu kami sampai di sekolah yang merupakan titik kumpul, kami sempat nunggu ustad Edy bentar. Beliau datang bertepatan dengan Bis yang udah terisi.
Sepanjang, perjalanan, ustad Edy melakukan semacam prolog.
"Anak-anak ku sekalian, ini adalah kejadian yang langka..... Terakhir kali Gerhana Matahari terjadi di langit Jogja adalah pada tahun 1983...Subhanallah, liat tuh mataharinya.....Gerhana yang hari ini akan terjadi bisa dijumpai kembali sekitar 300+ tahun lagi.....Ingat ya, jangan sekali-kali menatap Matahari dengan mata telanjang."
Setelah sekitar setengah jam, kami tiba di lokasi yang sama kayak waktu pengamatan Gerhana Bulan, tanpa banyak bicara beberapa orang langsung ngerakit teleskop sekolah dengan dibimbing oleh Ustad Herdi, teleskopnya udah di kasih filter terlebih dahulu. Sedangkan sebagian lagi memutuskan untuk mencoba kacamata yang udah dibagi saat di Bis.
Detik-detik menjelang Gerhana, kami sempat ditanyai oleh beberapa orang, mereka nanya dimana tempat untuk membeli kacamata yang kami pegang. Dan kami cuma bisa senyum sambil jawab, "Ini bawa dari sekolah:)"
Alhamdulillah-nya ustad Herdi membawa kacamata yang lumayan banyak, selain dipakai sama kami, ustad juga minta kami untuk meminjamkan kacamata ke masyarakat.
"Marketing....marketing." kata beliau.
Kami akhirnya muter-muter untuk nawarin kacamata, meskipun terkadang ada orang yang berinisiatif buat minjem sih. Salah satunya turis ini
Mulanya aku lagi ngobrol sama Tyas kan, terus turis yang pake kacamata semacam manggil gitu. Lalu nanya pake bahasa Indonesia dengan aksen asing.
"Itu belhi khacamata dhimana?"
"Oh..eh.. di sekolah." Aku yang agak kaget cuma bisa jawab gitu, eh, malah diketawain masa. Ya emang sih kalau dipikir jawaban ku nggak sesuai sama konteks.
Terus aku ngomong sama Tyas, akhirnya kami berdua berinisiatif buat minjemin kacamatanya ke turis tersebut. Aku langsung manggil Hilma, soalnya dia pernah jadi native speaker abal-abal waktu pengamatan Gerhana Bulan dulu.
Kalau yang belum baca pengalaman ku waktu melihat Gerhana Bulan atau yang mau baca lagi, silahkan aja.
Setelah muter-muter nggak jelas, aku balik ke lokasi teleskop dan Matahari nya udah ketutup walau nggak tertutup total.
Terlihat kecil ya? Itu penampakan Matahari kalau diliat pakai kacamata. Aslinya nggak gelap kayak malam kok, langitnya masih tetap berwarna biru.
Waktu aku lagi sibuk merhatiin Matahari, aku liat Dhila sama Ula yang sibuk ngotak-ngatik Teleskop.
"Teleskop nya kenapa?"
"Fokus nya hilang." jawab mereka.
Jadilah aku memperhatikan mereka berdua yang sibuk gerakin Teleskop terus ngecek lokasi Matahari pake kertas.
"Itu Matahari nya."
"Lensanya dipasang Dhil."
"Hati-hati goyang."
"Filternya dipasang dulu."
"Keliatan nggak Ul?"
"Nggak, gelap."
Gitu mulu sampai berkali-kali. Parahnya, aku, Dhila, dan Ula nggak ahli dalam mencari objek, ditambah dikerumuni banyak orang, tambah grogi deh kami.
"Syahid mana? Ustad Herdi? Ustad Edy?" Aku menanyakan lokasi tiga orang yang paham sama urusan teleskop.
"Sholat semua."
Astaga.
Aku nyoba bantuin Ula buat nyari objek, susah-susah gampang sebenernya, tergantung amal perbuatan dan keikhlasan hati sih, wkwk. Dhila pergi buat nyari panitia pengamatan (gak tau panitia apa bukan yang jelas makai kalung ID Card). Kakak pertama yang kita mintai tolong nggak bisa nemu, pas kakak yang kedua.
Kok agak ngeselin ya.
Si kakak panitia ini bilang kalau ada yang error di bagian tuas buat naik-turunin teleskop. Kami cuma diam lah, secara kami belum paham apa-apa. Aku malah baru tau kalau teleskop punya tuas buat naik-turun dan kiri-kanan :(
Setelah kakak nya pergi, Ula bilang kalau sebelum sholat ustad Edy berpesan yang intinya lensa teleskop di copot aja semisal emang udah nggak mau liat. Masalahnya, di sekeliling kami masih banyak masyarakat yang otomatis bakal bikin kami nggak enak kalau lensanya di copot.
Pada akhirnya, aku nyoba sendiri buat nyari objek. Nekat nggak pakai kertas, jadi lensa nya di buka terus aku nyoba ngintip buat nge-pas-in sama posisi Matahari. Sinarnya silau banget mamen.
"Hil, filtern ya di copot coba."
"Hati-hati lho."
"Iye," aku gerakin teleskop, "Hil... hil, filternya di pasang."
Sedetik, dua detik, pipi ku kerasa panas karena kena cahaya darri lensa, bikin keinget kaca pembesar.
"FILTER NYA DIPASANG HIL!"
Hilma yang baru denger langsung masang filter Teleskop, kemudian aku ngatur fokus nya, beberapa saat sempet ngabur hingga akhirnya,
"YES BERHASIL." Aku langsung teriak gitu, bodo amat di denger banyak orang.
Lalu ada seorang bapak minta izin buat liat, aku iyain aja.
"Hei (manggil temennya) you wanna see?" si bapak ngintip, "lho kok nggak keliatan?"
Aku kaget, waktu aku cek ternyata sedikit bergeser. Akhirnya aku benerin dulu, terus bule yang temennya si bapak mendekat mau liat.
"Dnt touch.." aku nyeplos waktu tangan bule nya mau megang teleskop. Aku takut teleskop nya geser lagi dan bikin objeknya kembali hilang.
"You see?"
"Hmm, oh, alright. I see."
Tapi setelah beberapa orang, objek nya kembali ngilang:( dan aku udah terlalu capek buat benerin lagi jadi aku pergi menjauh.
Nggak berapa lama, ustad Herdi datang bertepatan dengan selesainya Gerhana Matahari. Kami langsung ngebongkar teleskop, anak-anak yang lain ada yang foto bareng Jogja Astronomy Club. Berita buruknya, ada salah satu bagian teleskop yang hilang, entah jatuh atau gimana soalnya kecil jadi mungkin nggak ada yang liat.
Ini jadi pengalaman pertama dan (mungkin) terakhir kalinya bagi Aku, Dhila, Hilma, Ula, dan Tyas melakukan pengamatan Gerhana Matahari bareng ABATE.
Dan aku masih nyesel karena kehabisan prangko serta kartu pos edisi Gerhana Matahari 2016 yang di cetak secara terbatas:(
"Wak, jangan lupa besok pagi jam setengah enam!"
Langsung aja aku ber-argghh lumayan keras, sebel karena aku harus memilih satu diantara dua pilihan yang sama-sama menggiurkan.
Gerhana Matahari vs Medical Expo
Aku nggak bisa ngelepas gitu aja kesempatan melihat Gerhana Matahari. Kejadian langka yang sudah ku pelajari sejak SD. Apalagi (katanya) harus nunggu lama banget baru ada Gerhana Matahari lagi, khususnya gerhana yang melewati wilayah Indonesia, atau Jogja.
Tapi di sisi lain, ada rasa sayang kalau nggak ikut Medical Expo. ME itu acaranya anak FK UII (Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia). Agak kurang paham sama acaranya, yang jelas kita semacam diajak jadi Dokter sehari /?/ nanti kita bakal dikasih tau apa aja yang dipelajari oleh anak FK, terus diajak jalan-jalan keliling daerah FK juga deh kayaknya. Pikir ku sih, ini kesempatan terakhir buat ikut acara begituan, kan udah mau Lulus jadi tahun depan nggak bakal bisa ikut lagi *uhuk* dan nggak bisa ngerasain jadi Dokter, yah terkecuali kalau esok aku nyasar jadi anak FK.
Yang nggak mungkin banget itu terjadi.
Setelah mikir dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku milih buat ikut ini
Kami berangkat jam setengah enam. Aku, Hilma, Dhila, Ula, dan Tyas hampir aja telat dan ketinggalan rombongan padahal kami udah izin untuk nggak ikut halaqah pagi (setelah almatsurat kami berlima langsung balik kamar). Tapi waktu kami sampai di sekolah yang merupakan titik kumpul, kami sempat nunggu ustad Edy bentar. Beliau datang bertepatan dengan Bis yang udah terisi.
Sepanjang, perjalanan, ustad Edy melakukan semacam prolog.
"Anak-anak ku sekalian, ini adalah kejadian yang langka..... Terakhir kali Gerhana Matahari terjadi di langit Jogja adalah pada tahun 1983...Subhanallah, liat tuh mataharinya.....Gerhana yang hari ini akan terjadi bisa dijumpai kembali sekitar 300+ tahun lagi.....Ingat ya, jangan sekali-kali menatap Matahari dengan mata telanjang."
Setelah sekitar setengah jam, kami tiba di lokasi yang sama kayak waktu pengamatan Gerhana Bulan, tanpa banyak bicara beberapa orang langsung ngerakit teleskop sekolah dengan dibimbing oleh Ustad Herdi, teleskopnya udah di kasih filter terlebih dahulu. Sedangkan sebagian lagi memutuskan untuk mencoba kacamata yang udah dibagi saat di Bis.
Ustad Edy in frame |
Detik-detik menjelang Gerhana, kami sempat ditanyai oleh beberapa orang, mereka nanya dimana tempat untuk membeli kacamata yang kami pegang. Dan kami cuma bisa senyum sambil jawab, "Ini bawa dari sekolah:)"
Alhamdulillah-nya ustad Herdi membawa kacamata yang lumayan banyak, selain dipakai sama kami, ustad juga minta kami untuk meminjamkan kacamata ke masyarakat.
"Marketing....marketing." kata beliau.
Kami akhirnya muter-muter untuk nawarin kacamata, meskipun terkadang ada orang yang berinisiatif buat minjem sih. Salah satunya turis ini
Nggak terlihat kayak Turis ya? hehe |
Mulanya aku lagi ngobrol sama Tyas kan, terus turis yang pake kacamata semacam manggil gitu. Lalu nanya pake bahasa Indonesia dengan aksen asing.
"Itu belhi khacamata dhimana?"
"Oh..eh.. di sekolah." Aku yang agak kaget cuma bisa jawab gitu, eh, malah diketawain masa. Ya emang sih kalau dipikir jawaban ku nggak sesuai sama konteks.
Terus aku ngomong sama Tyas, akhirnya kami berdua berinisiatif buat minjemin kacamatanya ke turis tersebut. Aku langsung manggil Hilma, soalnya dia pernah jadi native speaker abal-abal waktu pengamatan Gerhana Bulan dulu.
Kalau yang belum baca pengalaman ku waktu melihat Gerhana Bulan atau yang mau baca lagi, silahkan aja.
Setelah muter-muter nggak jelas, aku balik ke lokasi teleskop dan Matahari nya udah ketutup walau nggak tertutup total.
Terlihat kecil ya? Itu penampakan Matahari kalau diliat pakai kacamata. Aslinya nggak gelap kayak malam kok, langitnya masih tetap berwarna biru.
Waktu aku lagi sibuk merhatiin Matahari, aku liat Dhila sama Ula yang sibuk ngotak-ngatik Teleskop.
"Teleskop nya kenapa?"
"Fokus nya hilang." jawab mereka.
Jadilah aku memperhatikan mereka berdua yang sibuk gerakin Teleskop terus ngecek lokasi Matahari pake kertas.
"Itu Matahari nya."
"Lensanya dipasang Dhil."
"Hati-hati goyang."
"Filternya dipasang dulu."
"Keliatan nggak Ul?"
"Nggak, gelap."
Gitu mulu sampai berkali-kali. Parahnya, aku, Dhila, dan Ula nggak ahli dalam mencari objek, ditambah dikerumuni banyak orang, tambah grogi deh kami.
"Syahid mana? Ustad Herdi? Ustad Edy?" Aku menanyakan lokasi tiga orang yang paham sama urusan teleskop.
"Sholat semua."
Astaga.
Aku nyoba bantuin Ula buat nyari objek, susah-susah gampang sebenernya, tergantung amal perbuatan dan keikhlasan hati sih, wkwk. Dhila pergi buat nyari panitia pengamatan (gak tau panitia apa bukan yang jelas makai kalung ID Card). Kakak pertama yang kita mintai tolong nggak bisa nemu, pas kakak yang kedua.
Kok agak ngeselin ya.
Si kakak panitia ini bilang kalau ada yang error di bagian tuas buat naik-turunin teleskop. Kami cuma diam lah, secara kami belum paham apa-apa. Aku malah baru tau kalau teleskop punya tuas buat naik-turun dan kiri-kanan :(
Setelah kakak nya pergi, Ula bilang kalau sebelum sholat ustad Edy berpesan yang intinya lensa teleskop di copot aja semisal emang udah nggak mau liat. Masalahnya, di sekeliling kami masih banyak masyarakat yang otomatis bakal bikin kami nggak enak kalau lensanya di copot.
Pada akhirnya, aku nyoba sendiri buat nyari objek. Nekat nggak pakai kertas, jadi lensa nya di buka terus aku nyoba ngintip buat nge-pas-in sama posisi Matahari. Sinarnya silau banget mamen.
"Hil, filtern ya di copot coba."
"Hati-hati lho."
"Iye," aku gerakin teleskop, "Hil... hil, filternya di pasang."
Sedetik, dua detik, pipi ku kerasa panas karena kena cahaya darri lensa, bikin keinget kaca pembesar.
"FILTER NYA DIPASANG HIL!"
Hilma yang baru denger langsung masang filter Teleskop, kemudian aku ngatur fokus nya, beberapa saat sempet ngabur hingga akhirnya,
"YES BERHASIL." Aku langsung teriak gitu, bodo amat di denger banyak orang.
Lalu ada seorang bapak minta izin buat liat, aku iyain aja.
"Hei (manggil temennya) you wanna see?" si bapak ngintip, "lho kok nggak keliatan?"
Aku kaget, waktu aku cek ternyata sedikit bergeser. Akhirnya aku benerin dulu, terus bule yang temennya si bapak mendekat mau liat.
"Dnt touch.." aku nyeplos waktu tangan bule nya mau megang teleskop. Aku takut teleskop nya geser lagi dan bikin objeknya kembali hilang.
"You see?"
"Hmm, oh, alright. I see."
Tapi setelah beberapa orang, objek nya kembali ngilang:( dan aku udah terlalu capek buat benerin lagi jadi aku pergi menjauh.
Nggak berapa lama, ustad Herdi datang bertepatan dengan selesainya Gerhana Matahari. Kami langsung ngebongkar teleskop, anak-anak yang lain ada yang foto bareng Jogja Astronomy Club. Berita buruknya, ada salah satu bagian teleskop yang hilang, entah jatuh atau gimana soalnya kecil jadi mungkin nggak ada yang liat.
Ini jadi pengalaman pertama dan (mungkin) terakhir kalinya bagi Aku, Dhila, Hilma, Ula, dan Tyas melakukan pengamatan Gerhana Matahari bareng ABATE.
Dan aku masih nyesel karena kehabisan prangko serta kartu pos edisi Gerhana Matahari 2016 yang di cetak secara terbatas:(
0 komentar