Ketika nulis ini, waktu menunjukkan pukul 16.29 KST dan aku nggak terlalu berharap tulisan ini bakal langsung jadi postingan terbaru di blog mengingat betapa kekuatan internet di daerahku agak nggak bisa di harapkan.
Oke, mungkin bukan kekuatannya, tapi karena kuota yang tak tersedia.
Kali ini aku mau agak flashback dikit, sekitar 43 bulan yang lalu lah tepatnya bulan Desember. Waktu itu statusku masih jadi seorang santriwati di sebuah pondok pesantren modern, bukan mau cerita di bagian kenakalanku yang termasuk suka kabur, bukan juga di bagian logika aku yang nggak bisa menerima pergantian tahun tanpa libur, itu masa-masa yang, sudahlah, kaga usah di ingat—ingat lagi kalau nggak perlu.
Siang itu, tanggal 24 Desember. Entah bagaimana caranya, aku sampe di rumah saudara di bilangan Bantul. Begitu masuk rumah, ada tiga pasang mata yang natap arah pintu, satu punya kakak ku, satu punya temennya, yang satu lagi punya adek nya temen kakak ku.
Itu momen pertama dimana aku melihat Ula.
Iya, melihat.
Aku senyum aja sambil ngangguk gitu biar keliatan sopan, langsung naruh barang di kamar, terus keluar buat gabung sama tiga orang tadi.
“Kenalan gih sama temenku.” Kata kak Muna.
Aku natap kak Muna tapi nggak membuat reaksi apapun.
“Ini Mahya, kalau itu adeknya, Ula.”
Kemudian hening.
Tiada satu pun percakapan yang terjadi.
Krik.
Semua fokus ke layar kaca yang sedang menampilkan gambar bergerak.
Jadi, begitu cerita gimana aku bisa tau nama seorang anak cewek berkacamata dengan kerudung biru motif jaring laba-laba.
Dan selama aku liburan di rumah saudara, aku sama Ula nggak saling ngomong ataupun berinteraksi.
Oh, pernah, satu kali, aku beli eskrim dungdung harga seribuan kemudian aku tawarin ke Ula
(sambil nyodorin eskrim) “Mau?”
Jawaban yang aku dapet cuma gelengan kepala.
CUMA GELENGAN!! Asjnkjvjfvn, mengingat sekarang dia jadi satu tokoh prontagonis di kisah hidupku.
“Ini anak pendiemnya melebihi aku.” Begitu pikirku (YANG SEKARANG BAKAL AKU SESALI KENAPA AKU PERNAH BERPIKIR KAYAK GITU)
Delapan belas bulan berlalu setelah peristiwa tersebut, secara nggak ajaib aku ketemu lagi sama Ula.
Di Asrama, habis libur Ramadhan. Aku habis keliling kamar dan begitu balik ke kamar sendiri, aku ngeliat Ula.
Ula ngeliat aku.
“Shof, kamu dicari Ziya.”
“Oh.” Aku ngangguk.
Nah lo! Aku kok ngakak kalau nginget waktu itu, haha, dari sekian banyak kosa kata kenapa yang keluar dari mulut Ula adalah seorang Ziya? :p
Aduh, jadi nostalgia masa lalu. Padahal masa lalu yang biarin aja berlalu kan ya. Buat pelajaran, buat disimpan, dan buat kenangan.
Semalem, tanggal 28 June 2015. Beberapa jam sebelum pergantian tanggal menuju hari lahirnya Ula, jam sepuluh lewat beberapa menit aku udah bersiap tidur sambil dengerin lagu MID yang BCD ver ketika tiba-tiba aku ngerasa kalau lebih cepat ngucapin selamat ke Ula maka lebih baik, apalagi ada perbedaan waktu dua jam jadi bisa agak akwkward time. Alhamdulillah nya di hpku ada opsi buat “kirim pesan nanti” jadi aku bisa ngatur kapan pesanku bakal dikirim.
“Di Bacan sudah pukul 00.00, aku tau di Medan masih pukul 10. Tapi aku tak kuasa untuk menahan ucapan ulang tahunku pada orang yang sangat luar biasa, Ula.”
Untuk sesaat aku terkesan romantis, dengan kata-kata yang rada puitis.
Romantis pala lu ketimpuk obeng.
Itu pesan bukan aku yang bikin, tapi dari orang yang merasa dirinya luar biasa.
Setelah aku ngetik pesan yang isinya bisa ketebak. Ada ucapan selamat, ada ucapan doa. Eh tapi aku lupa masukin ucapan minta pajak milad, mungkin emang kayak gini mental orang yang yakin bakal dikasih oleh-oleh harusnya ucapan milad, nggak usah minta pajak. Kalau dikasih bersyukur, kalau nggak dikasih ya nasib. Aku ngatur biar pesannya dikirim jam 00.04 we-i-te, kenapa nggak 00.00? nggak tau, agak takut kalau tiba-tiba pesan nya kaga kekirim, kan bikin bete. Yaudah jadi jam 00.04 karena Ula anak ke empat. Dan aku yakin pesanku bakal dibaca sama Ula beberapa saat setelah pesan kekirim, karena dia pernah bilang kalau dia menunaikan ke-sunnah-an seorang muslim pada bulan Ramadhan sekitar jam setengah sepuluh. Kemudian aku siap mengunjungi dunia mimpi ketika waktu menunjukkan beberapa menit sebelum memasuki jam 23.00.
Teruntuk Ula, aku nggak bakal rela begadang cuma buat ngirim pesan yang bisa di setting pengirimannya :p istirahatku lebih penting daripada itu. Aku juga nggak perlu ngucapin met milad disini kan? Satu pesan aja cukup, jangan kebanyakan. Kebanyakan cinta bisa bikin menderita #apaini
Oke, tulisan ini berakhir pukul 18.15, soalnya sambil nulis aku juga lagi ngintipin blog orang yang kusuka, ehe.
00.04 16.29 18.15
Anak ke empat yang sudah berumur enam belas tahun pada tanggal dua puluh sembilan bulan enam tahun dua ribu lima belas. Iya, itu 18 nya dibaca 6 aja, agak maksa emang, tapi ya sudahlah, who cares.
Oke, mungkin bukan kekuatannya, tapi karena kuota yang tak tersedia.
Kali ini aku mau agak flashback dikit, sekitar 43 bulan yang lalu lah tepatnya bulan Desember. Waktu itu statusku masih jadi seorang santriwati di sebuah pondok pesantren modern, bukan mau cerita di bagian kenakalanku yang termasuk suka kabur, bukan juga di bagian logika aku yang nggak bisa menerima pergantian tahun tanpa libur, itu masa-masa yang, sudahlah, kaga usah di ingat—ingat lagi kalau nggak perlu.
Siang itu, tanggal 24 Desember. Entah bagaimana caranya, aku sampe di rumah saudara di bilangan Bantul. Begitu masuk rumah, ada tiga pasang mata yang natap arah pintu, satu punya kakak ku, satu punya temennya, yang satu lagi punya adek nya temen kakak ku.
Itu momen pertama dimana aku melihat Ula.
Iya, melihat.
Aku senyum aja sambil ngangguk gitu biar keliatan sopan, langsung naruh barang di kamar, terus keluar buat gabung sama tiga orang tadi.
“Kenalan gih sama temenku.” Kata kak Muna.
Aku natap kak Muna tapi nggak membuat reaksi apapun.
“Ini Mahya, kalau itu adeknya, Ula.”
Kemudian hening.
Tiada satu pun percakapan yang terjadi.
Krik.
Semua fokus ke layar kaca yang sedang menampilkan gambar bergerak.
Jadi, begitu cerita gimana aku bisa tau nama seorang anak cewek berkacamata dengan kerudung biru motif jaring laba-laba.
Dan selama aku liburan di rumah saudara, aku sama Ula nggak saling ngomong ataupun berinteraksi.
Oh, pernah, satu kali, aku beli eskrim dungdung harga seribuan kemudian aku tawarin ke Ula
(sambil nyodorin eskrim) “Mau?”
Jawaban yang aku dapet cuma gelengan kepala.
CUMA GELENGAN!! Asjnkjvjfvn, mengingat sekarang dia jadi satu tokoh prontagonis di kisah hidupku.
“Ini anak pendiemnya melebihi aku.” Begitu pikirku (YANG SEKARANG BAKAL AKU SESALI KENAPA AKU PERNAH BERPIKIR KAYAK GITU)
Delapan belas bulan berlalu setelah peristiwa tersebut, secara nggak ajaib aku ketemu lagi sama Ula.
Di Asrama, habis libur Ramadhan. Aku habis keliling kamar dan begitu balik ke kamar sendiri, aku ngeliat Ula.
Ula ngeliat aku.
“Shof, kamu dicari Ziya.”
“Oh.” Aku ngangguk.
Nah lo! Aku kok ngakak kalau nginget waktu itu, haha, dari sekian banyak kosa kata kenapa yang keluar dari mulut Ula adalah seorang Ziya? :p
Aduh, jadi nostalgia masa lalu. Padahal masa lalu yang biarin aja berlalu kan ya. Buat pelajaran, buat disimpan, dan buat kenangan.
Semalem, tanggal 28 June 2015. Beberapa jam sebelum pergantian tanggal menuju hari lahirnya Ula, jam sepuluh lewat beberapa menit aku udah bersiap tidur sambil dengerin lagu MID yang BCD ver ketika tiba-tiba aku ngerasa kalau lebih cepat ngucapin selamat ke Ula maka lebih baik, apalagi ada perbedaan waktu dua jam jadi bisa agak akwkward time. Alhamdulillah nya di hpku ada opsi buat “kirim pesan nanti” jadi aku bisa ngatur kapan pesanku bakal dikirim.
“Di Bacan sudah pukul 00.00, aku tau di Medan masih pukul 10. Tapi aku tak kuasa untuk menahan ucapan ulang tahunku pada orang yang sangat luar biasa, Ula.”
Untuk sesaat aku terkesan romantis, dengan kata-kata yang rada puitis.
Romantis pala lu ketimpuk obeng.
Itu pesan bukan aku yang bikin, tapi dari orang yang merasa dirinya luar biasa.
Setelah aku ngetik pesan yang isinya bisa ketebak. Ada ucapan selamat, ada ucapan doa. Eh tapi aku lupa masukin ucapan minta pajak milad, mungkin emang kayak gini
Teruntuk Ula, aku nggak bakal rela begadang cuma buat ngirim pesan yang bisa di setting pengirimannya :p istirahatku lebih penting daripada itu. Aku juga nggak perlu ngucapin met milad disini kan? Satu pesan aja cukup, jangan kebanyakan. Kebanyakan cinta bisa bikin menderita #apaini
Oke, tulisan ini berakhir pukul 18.15, soalnya sambil nulis aku juga lagi ngintipin blog orang yang kusuka, ehe.
00.04 16.29 18.15
Anak ke empat yang sudah berumur enam belas tahun pada tanggal dua puluh sembilan bulan enam tahun dua ribu lima belas. Iya, itu 18 nya dibaca 6 aja, agak maksa emang, tapi ya sudahlah, who cares.
0 komentar